Euphoria

Marvin berdiri di tribun atas untuk mengamati panggung pensi yang sudah siap dan kini para panitia ospek sedang mengecek ulang dan menambahkan beberapa serta menata kursi kembali agar lebih rapi dan tertata.

Ia sedang bersama Jay di atas situ ikut mengamati kemegahan panggung yang mereka rancang jauh-jauh hari untuk perpisahan hari terakhir kegiatan ospek Neo Dream University.

“Udah cocok jadiin konser musik ngalahin NOAH ini mah,” celetuk Jay sambil terkikik.

“Iya, kursinya banyak banget. Ini kalo penuh beneran kayak lagi konseran.” Kata Johan tetiba menyahut dan sudah berdiri di samping Jay.

“Wajar, pensi kan yang liat banyak. BEM, HIMA, SEMA, petinggi rektorat, dosen-dosen, anggota UKM sama mahasiswa baru nya. Jelas butuh kursi sebanyak ini.” Jelas Marvin.

“Konsumsi udah beres kan?” Tanya Jay.

“Udah, diurus Juan, Tama sama Deon tadi.” Kata Marvin.

“Willy udah dateng, nggak pengen ketemu dia?” Ujar Johan.

“Dimana dia?”

“Di panggung sana sama Yudha lagi dokumentasi.”

“Oh yaudah gue samperin Willy dulu.” Ucap Marvin meninggalkan Johan dan Jay disana.

“Seenggaknya gue harus berterimakasih langsung sama Willy.” batinnya menatap dua sosok anak adam yang terlihat serasi sedang tertawa cekikikan di atas panggung sambil dokumentasi.

Marvin berjalan mendekati panggung dan meneriakkan nama Willy.

“Wil!”

Willy dan Yudha mendongak, lalu Willy tersenyum lebar dan menghampiri Marvin kemudian merangkul pundaknya. “Weitsss Marvin sobat gue, udah gue cariin daritadi padahal. Kemana aja lo?”

Yudha mengerlingkan matanya, pacarnya itu emang kalau sudah ketemu Marvin jadi suka mengabaikan dirinya.

Kasihani Yudha, tolong

“Dari tribun atas tadi.”

Willy mengangguk lalu mendorong Marvin menjauh. “Berdiri situ, gaya buruan. Mau gue foto.”

“Nggak mau.”

“Ish, ayo dong Vin, semua panitia ospek udah ada jepretan dirinya di kamera gue, lo doang nih yang belum.”

“Emang Jay udah?”

“Belum hehe, dia bisa ntar an. Tanpa gue minta dia pasti yang minta.”

Marvin berdecak, “Gue gak usah aja, males.”

“Yaelah Vin, kenapa si susah banget difoto? Padahal lo itu ganteng, cakep, keren. Kan sayang kalo nggak diabadikan.”

Yudha langsung menyentil kening Willy. “Ganjen amat dasar, udah punya pacar jangan muji-muji cowok lain gitu napa Wil.”

Willy mengerucutkan bibirnya dan mengusap dahinya yang baru disentil sang kekasih. “Apasih? Gue kan cuma ngomong kenyataan. Marvin emang cakep dan keren, cuma orang katarak yang bilang dia jelek.”

Marvin geleng-geleng kepala, perlu kalian ketahui saja. Jika Yudha dan Willy itu pasangan aneh, hal gak guna dan gak perlu diperdebatkan pun bisa jadi medan perang.

“Lanjutin adu tubirnya, kalo perlu tonjok-tonjokan coba. Katanya lakik.” Ujar Marvin lalu mendekati Willy dan berbisik di telinga lelaki cantik itu.

“Thanks untuk yang lusa malem. Gue utang budi sama lo, kalo ada waktu longgar, hubungin gue aja ntar gue traktir semau lo.”

“Dia siapa? Kok lo sampe mau nyariin di tengah malem kayak gitu? Pacar lo?” bisiknya lirih.

No, just someone I need to keep an eye on.

Willy mengangguk dan tersenyum sumringah setelah Marvin pergi begitu mengatakan itu, ia berteriak. “Yoi, nanti gue hubungin lo lagi Vin!”

Yudha jadi skeptis dengan kode-kodean antara pacarnya dengan sahabatnya. “Heh, ngomongin apa sama Marvin?”

Willy melirik Yudha dan menjulurkan lidahnya. “Rahasia.” Kemudian ia lari dan kabur dari Yudha.

“Heh, Willy bocah gendeng! Balik sini lo!”

Dan semua panitia ospek hanya bisa menghela nafas melihat kelakuan pasangan absurd itu yang kejar-kejaran di stage.


Raden dan Jendra sudah datang duluan menunggu teman-temannya yang belum datang.

“Baper gak tuh lagunya ntar?” Celetuk Jendra.

“Lo sialan, bisa-bisanya gue sama Hazen suruh nyanyi itu.”

Jendra tertawa, “Gue kesel, Hazen gak peka, Nathan gak peka. Stress rasanya gue tuh punya sahabat modelan mereka berdua.”

“Emang cocok Hazen sama Nathan tuh kalo jadi saudara kembar, sama-sama nggak jelas, dongo, nggak pekaan.”

Jendra mengangguk sembari tertawa hingga kedua matanya tersenyum. “Kejebak friendzone itu nggak enak ya, Den.”

“Banget, bingung kalo diungkapin ntar persahabatan rusak, kalo gak diungkapin kita yang kesel uring-uringan sendiri, jancok hahaha.”

Tiba-tiba Hazen, Leo, Jidan dan Nathan datang bergerombolan menghampiri Jendra dan Nathan.

“Rajin amat udah ada disini aja.” Kata Hazen dan mengambil duduk di samping Raden.

“Iyalah, emang kalian? Dasar pemalas.” Ucap Raden.

“Jen, minum Jen, haus banget.”

Jendra mengeluarkan botol minum berwarna biru dari tasnya dan menyerahkan kepada Nathan.

“Kalian tuh kebiasa minum pake satu botol? Itu botol minumnya Jendra kan?” Tanya Hazen.

Nathan menutup tutup botolnya lalu memberikannya kepada Jendra. “Udah kebiasa dari kecil, gue sama Jendra berbagi apapun termasuk barang pribadi.” Ungkapnya kelewat jujur.

Leo tertawa ngakak. “Barang pribadi apaan bangsat? Sempak juga maksud lo?”

“Bangsat, gak gitu leo anjing. Pribadi tuh kayak baju, nih alat makan minum, sepatu, atau apapun selain sempak. Mulut lo gue tabok pake batu bata tau rasa!” Ucap Jendra.

Raden, Jidan dan Hazen ikut tertawa terpingkal-pingkal.

“Kalian udah kayak suami istri, ntar bakalan nikah atau nggak nih?” Goda Jidan menaik turunkan alisnya.

Tidak ada yang menjawab baik Nathan ataupun Jendra.

“Kalo beneran nikah, jangan sungkan minta tolong kita buat bantu persiapan nikah.” Kata Hazen.

Jendra mengaminkan dalam hati sembari tersenyum tipis sedangkan Nathan hanya tertawa haha hihi aja.

“Lo kali Zen yang harus minta tolong ke kita bantu persiapan nikah.” Ucap Jendra.

“Apaan? Gue jomblo mau ngajak nikah siapa?”

“Gausah cari jauh-jauh kalo yang deket aja ada.” Kata Leo.

Hazen mengedikkan bahu. “Deket gue setan semua, yakali gue nikahin setan?”

“Goblok.” Kata Raden menempeleng kepala Hazen cuma-cuma sedangkan yang lainnya tertawa bahagia jika melihat Hazen yang disiksa oleh Raden.


Setelah mendengar pengumuman menggelegar dari sound system yang menyebar di sudut-sudut atap kampus, semuanya disuruh memasuki aula indoor dimana letak acara akan berlangsung.

Hazen dan teman-temannya sudah standby di backstage sebagai peserta pensi. Disana juga banyak mahasiswa baru yang menjadi peserta pensi.

Dasarnya Hazen yang loyal dan friendly, teman-temannya dari kelompok lain menyapa Hazen dan mengajaknya berbincang.

“Hazen, terlalu baik jadi orang,” gumam Raden pelan menatap sendu punggung Hazen, lelaki itu tengah tertawa dan asik berbincang dengan teman-teman barunya.

“Iya, saking baiknya dia nyakitin hati orang.” Celetuk Nathan berbisik di telinga Raden.

Raden terkekeh miris. “Nggak, nggak ada yang sakit hati. Cuma aja orang itu yang ekspetasinya ketinggian.”

Jendra menepuk pundak Raden. “Kalo gak kuat bilang sama dia, dipendem terus jadi penyakit hati nanti.”

Saat ini mereka hanya bertiga. Jidan dan Leo udah duduk mojok berdua, entah apa yang kedua anak adam itu lakukan disana, yang jelas keduanya sedang duduk dan tertawa terbahak-bahak.

“Ngomong sama diri lo sendiri sih Jen, lo juga kalo dipendem muluk jadi penyakit hati.”

Nathan mengernyitkan dahinya. “Jendra lagi suka sama orang?”

Raden menepuk jidatnya. “Satunya cupu, satunya goblok. Cocok banget.” Ucapnya lalu meninggalkan Nathan dan Jendra.

“Siapa Jen?”

“Rahasia.”

“Loh? Kok gitu? kata lo kita sehati, sejiwa kok main rahasia-rahasiaan?”

Jendra ikut duduk disamping Raden. “Nanti Nat, kalo gue udah nggak cupu lagi gue kasih tau.”

Raden geleng-geleng kepala doang.


Saat Hazen ingin duduk bersama teman-temannya, tiba-tiba namanya terpanggil oleh suara berat yang khas.

“Hazen.”

Sang empu menoleh mendapati Marvin yang berdiri di belakangnya beberapa meter. Hazen pun menghampiri kakak pembimbingnya itu.

“Iya kak, kenapa?”

Marvin memperhatikan pahatan wajah Hazen, menelisik dan menilai. “Udah nggak sakit?”

“Hah? Apanya?”

“Luka lo, lebam-lebam di wajah sama badan lo.”

Otomatis, jemarinya meraba bekas lebam-lebam di wajahnya. “Ah, udah sembuh dari kemarin kak. Gue nggakpapa.”

Marvin mengangguk lalu tersenyum simpul, tidak lebar hanya seulas senyum saja. “Lo hebat udah bawa 5 kemenangan untuk kelompok 7.”

“Errr—makasih kak, gue nggak akan bisa bawa kemenangan tanpa kerja tim.”

“Bener, tapi kerja tim juga berjalan karena pemimpinnya. Masih inget kan kalo abis pensi nggak boleh pulang dulu?”

“Iya kak masih.”

“Siap-siap ya.”

Hazen mengernyitkan dahinya, tidak mengerti. “Siap-siap ngapain kak?”

“Nanti lo tau sendiri.”

“Eh? Gue nggak lagi mau di rundung kan?”

“Nggak ada perundungan di ospek jaman sekarang, gausah ngaco deh.”

Hazen meringis dan menggaruk tengkuknya. “Ah iya juga ya, abisnya lo bilangnya gitu sih kan gue jadi skeptis.”

“Nggak kok, gue cuma bilang intinya siap-siap aja.”

“Oh ya satu lagi, semangat ya! Gue yakin lo bakalan kasih hiburan yang memuaskan semua penonton hari ini.”

Hazen mengangguk dan tersenyum lebar. “Makasih kak Marv.”

Marvin mengacungkan jempolnya dan hendak pergi dari sana, saat kedua kakinya baru melangkah beberapa langkah, Hazen memanggilnya, sehingga ia pun berhenti dan menoleh.

“Kak Marv!”

“Kenapa?”

“Kak Marvin juga semangat, jangan lupa dimakan konsumsinya dan istirahat kalau capek kak. Lo udah kerja keras dari ospek hari pertama sampe sekarang, gue tau lo capek.”

Marvin blank seketika, tau kenapa? Hazen mengucapkan itu sembari tersenyum manis menampakkan gigi rapinya yang lucu, bahkan meninju tangannya ke udara memberi gerakan semangat untuk Marvin.

Marvin menggelengkan kepalanya lalu menaruh atensinya lagi untuk Hazen. Ia membalas dengan senyuman. “Makasih, lo juga jangan lupa makan.”

Setelahnya Marvin pergi meninggalkan Hazen yang masih terkekeh. Bagi Hazen, melihat Marvin yang versi seperti ini itu menyenangkan.

“Senyum lo manis kak, harusnya lo tau itu. Sayang banget senyum lo mahal, medit pula.” Kekehnya lalu pergi dari sana menghampiri sahabat-sahabatnya.

Karena pensi sudah dimulai sejak 15 menit lalu, yang artinya dengan perlahan waktu berputar, sampai waktunya Golden Boyz tampil sebagai penutup pensi.

Flo·ᴥ·