Kata Dokter Dirga

—124;


Sebelum datang ke rumah sakit, Zeline sudah di briefing oleh Dirga, termasuk suster pribadi Dirga yang diutus untuk mengarahkan Zeline dan Haechan agar menuju ruangannya saat Zeline daftar pemeriksaan.

Dirga adalah dokter umum, namun ia juga merangkap menjadi spesialis kanker. Sehingga, selain konsultasi perihal kanker, Dirga bisa mengatasi keluhan penyakit lainnya.

“Zeline Aurora.” Panggil sang suster di resepsionis, diikuti Haechan yang mengekori Zeline.

“Silahkan anda ke ruangan Dokter Dirga ya? Ruangannya di samping ruang laboratorium. Ini lurus, lalu belok ke kiri, ruang ke 4.”

“Baik Sus, terimakasih.” Ucap Zeline dan Haechan.

Sepasang suami istri itu pun berjalan menuju ruangan Dirga. Zeline tentu saja hafal sekali dimana ruangan Dokter Dirga, tiap minggu juga kesini.

Haechan membuka pintu ruangan Dirga dengan Zeline yang ada di belakangnya. Dirga berdiri dan tersenyum ramah menyambut keduanya. “Selamat siang, tuan dan nyonya. Silahkan duduk.”

Zeline dan Haechan duduk di depan Dirga. Sebisa mungkin, Dirga dan Zeline terlihat natural, menjalani sandiwara seperti orang asing yang baru pertama kali bertemu.

“Saya Dirga Halmiton. Bisa dipanggil Dirga.”

“Saya Lee Haechan dan ini istri saya Zeline Aurora.”

Dirga mengangguk. “Baik, berdasarkan daftar pasien yang masuk, yang ingin periksa nyonya Zeline, benar?”

Zeline menatap Dirga dan mengangguk. “Iya Dok, saya.”

“Kalau boleh saya tau, keluhan apa yang nyonya Zeline rasakan?”

“Sering mual, pusing terkadang, trus suka capek kalo ngapa-ngapain, nafsu makan saya turun.”

Dirga mengangguk paham. “Baik, mari nyonya Zeline ikut saya ke ruang pemeriksaan.”

Haechan tersenyum kepada Zeline dan mengangguk, bermaksud menyemangati sang istri. Zeline pun berdiri dan mengikuti Dirga, duduk diatas brankar untuk di tensi, kemudian berbaring untuk pemeriksaan jantung, suhu, dan mata.

Haechan melihat semua yang dilakukan Dirga disana, tidak ada kecurigaan sedikitpun akan hal itu. Zeline tampak biasa saja, begitu juga dengan Dirga.

Setelah beberapa menit melakukan pemeriksaan, Zeline duduk kembali di samping Haechan, sedangkan Dirga menyerahkan coretan diagnosa nya kepada suster.

“Sebentar ya? Kami sedang mendiagnosa hasil pemeriksaan nyonya Zeline.” Kata Dirga setelah duduk di hadapan mereka lagi.

Dirga dan Zeline seolah berbicara lewat tatapan mata untuk tetap bersandiwara sampai akhir.

Sambil menunggu surat diagnosa Zeline jadi, Dirga mengajak bicara Haechan dan Zeline. Dirga orang yang ramah, sehingga mencairkan suasana dengan pasien seperti ini sangatlah mudah.

“Saya adopsi anak perempuan juga dengan suami saya, dia seumuran anak kalian karena tahun kelahirannya sama.” Ucap Dirga.

Seketika Haechan tersenyum miris, kenapa dunia begitu baik kepada orang-orang yang seperti dirinya dan Mark tapi tidak berlaku untuk dirinya dan Mark? Kenapa? Dunia tidak adil.

Cerita keluarga Dirga adalah impian Mark dan Haechan juga, menikah dan mengadopsi anak, tinggal di rumah yang sederhana dan cozy namun semua kebutuhan sang anak tercukupi bahkan berlimpah.

“Suami Dokter Dirga juga seorang Dokter?” Tanya Haechan.

“Iya, di rumah sakit ini juga. Dia dokter ahli bedah.” Kata Dirga.

Haechan mengangguk saja, Zeline melirik suaminya, terlihat sekali pancaran kesedihan dan iri disana. Zeline sangat mengerti itu. Oleh karenanya, ia juga memutuskan untuk merelakan Haechan dengan Mark setelah dia pergi dari dunia ini.

Kriett

Suster pribadi Dirga datang dan membawa 1 amplop putih berisi hasil diagnosa Zeline yang sudah di manipulasi tentu saja.

Dirga membuka dan membacanya. “Jangan khawatir tuan Haechan, nyonya Zeline punya anemia dan darah rendah, mangkanya nyonya sering pusing, lemas, lelah, mual dan demam. Nyonya harus rajin makan buah-buahan, sayur-sayuran dan zat besi ya? Trus jangan lupa minum vitamin penambah darah. Saya akan memberikan obat khusus dari resep dokter untuk nyonya.”

Haechan menatap Zeline yang meringis. Masuk akal, itu memang ciri-ciri orang anemia dan darah rendah. Kenapa Haechan tidak berpikiran sampai sana sih?

“Ini resep dokternya, bisa ditebus di klinik rumah sakit ya?”

Haechan menerima kertas berisi resep dokter itu kemudian tersenyum kepada Dirga. “Terimakasih banyak Dokter Dirga, kalau gitu, kami permisi dulu.”

“Sama-sama, jika ada keluhan lain, bisa datangi saya lagi.”

“Baik Dok, terimakasih.” Ucap Zeline yang memberikan senyuman tulus kepada Dirga, berterimakasih atas bantuan yang Dirga berikan, sedangkan Dirga mendengus dan mengerlingkan matanya saat Haechan sudah balik badan dan membuka pintu meninggalkan Zeline di belakang untuk terkekeh melihat respon Dirga.

Haechan dan Zeline langsung menuju klinik untuk menebus obat.

“Tuh kan apa aku bilang, aku tuh cuma anemia sama darah rendah. Penyakit umum ibu-ibu itu tuh.”

“Meski begitu, kalo kamu nggak periksa ke Dokter, mana tau kalo anemia dan darah rendah? Trus makan kamu tetep jadi sembarangan.”

“Iya iya, ih jangan galak-galak gitu dong.” Zeline mengerucutkan bibirnya.

Haechan menghela nafas, “Lain kali, kalo sakit bilang Zel, jangan diem, ya?”

“Iya Haechan, aku sehat kok sekarang.”

“Ya udah kamu duduk disitu aja, aku yang nebus obatnya.”

Zeline menurut dan duduk di kursi tunggu, sedangkan Haechan mengantri untuk mengambil dan membayar obat-obatan Zeline.

“Maaf Haechan, aku nggak mau jadi beban kamu terus, udah cukup kamu baikin aku dan relain bahagia kamu sendiri. Saatnya kamu bahagia dengan pilihan kamu, Haechan. Sebentar lagi Chan, sabar ya? Sebentar lagi kamu dan Mark akan bahagia seperti Dokter Dirga dan Dokter Tara.”