Ku sebut ini Rumah

Hazen sedang menonton film horor di netflix berjudul The 8th Night bersama sang Ayah—Kaisar. Sedangkan Bunda nya—Kirana tengah menyiapkan makan malam. Hazen memang akan menginap di rumah malam ini, karena Bunda nya merengek sangat merindukan Hazen, ingin memeluk Hazen saat tidur nanti.

Sang Ayah sempat protes, karena beliau merindukan istrinya juga dan ingin tidur memeluk sang istri, namun istrinya itu malah ingin tidur bersama si bungsu.

Kata Kirana, “Mengalah sebentar bisa nggak? Hazen kan udah nggak sama kita lagi, buat hari ini biarin aku seharian sama Hazen. Besok dia udah pulang ke asrama, kamu bisa mempoligami aku semaumu setelahnya.”

Percakapan sedikit vulgar itu membuat Hazen sedikit geli. Ayahnya itu memang sangar, tetapi kalau sudah sama Bunda nya hilang sudah ke-sangar an sang Ayah.

Hazen melihat film yang terputar di televisi besarnya itu dengan cermat dan serius membuat sang Ayah terkekeh. Pada dasarnya 70% sifat Hazen itu berasal dari sang Ayah—termasuk usil dan isengnya.

Kaisar memikirkan sebuah ide jahil untuk menggoda sang anak, jujur saja dirinya merindukan bocah nakal itu. Biasanya, ia selalu bisa mendengar suara teriak-teriak, suara tawa dan suara merdu Hazen ketika bersenandung di rumah besar ini. Namun semenjak Hazen pindah ke Asrama, Kaisar tidak bisa mendengarnya lagi.

Ia melirik Hazen yang tengah memeluk bantal sofa serta mulut yang sedikit terbuka karena saking seriusnya menonton. Kaisar berancang-ancang mendekati Hazen, kedua tangannya siap untuk menepuk bahu Hazen dengan kencang disertai suara mengejutkannya.

“Hazen!” Teriak Kaisar menepuk bahu Hazen lumayan keras dan suara nya yang terbilang cukup keras membuat Hazen sampai melempar bantal sofanya karena terlalu kaget.

“Aaaaa, Ayah! Jangan ngagetin gitu ih, aku beneran kaget tau!” Ucap Hazen memukul lengan Kaisar berkali-kali dengan bantal sofa yang baru saja ia ambil setelah terlempar.

Memang anarkis sekali Hazen jika kesal begitu, tolong dimaklumi teman-teman

“Aw aw, aduh Zen sakit banget kamu mukulnya.” Kaisar melindungi lengan kanan nya sembari menahan bantal sofa yang terus melayang memukulnya.

“Biarinnnn, Ayah ngeselin ih! Kesel, kesel, kesel!” Racau Hazen masih setia memukuli sang Ayah.

Kirana yang tengah menata makanan di meja makan hanya geleng-geleng kepala sembari menghela nafas lelah melihat kelakuan dua lelaki kesayangannya itu.

“Hadeh, kangen sama Devon deh. Biasanya ini rumah jadi kapal pecah kalau tiga-tiga nya di rumah.” Kekeh Kirana membayangkan kejadian yang dulu-dulu saat Devon masih di rumah.

Kaisar dengan badan kekarnya pun mencekal kedua tangan Hazen lalu menarik tubuh gembul Hazen ke dalam pelukannya. Memeluk si bungsu dengan erat, lebih tepatnya terlihat seperti membekap anak itu ke dalam tubuh kekar dan besarnya.

“A-ayah ih, ketek Ayah bau! Hazen nggak bisa nafas, help me Bundaaaaaa.” Teriak nya memukul dada bidang sang Ayah.

Kaisar tergelak tawa dan makin erat memeluk sang anak kemudian menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri seperti menimang bayi. Bagi Kaisar dan Kirana, Hazen memang masih bayi kecil mereka.

“Hueeeee Ayah, sesak banget ini lohhhh.”

“Kaisar... kamu ini ya, kenapa jahil banget sih? Lepasin anaknya, udah merah-merah itu mukanya hirup bau ketek kamu.” Ucap Kirana tetiba muncul di belakang kedua lelaki itu.

Kaisar menoleh menatap sang istri dan tertawa geli lalu melepas Hazen dari dekapannya.

“Huhhh sumpah Ayah, aku kayaknya tiga detik lagi bakalan tinggal nama kalau Ayah nggak lepasin aku.” Kata Hazen mengipasi mukanya yang memerah.

Kirana tertawa begitupun Kaisar.

“Udah-udah, makan malem nya udah siap. Makan yuk.” Kirana menarik lengan Hazen untuk berdiri dan menuntun anak itu duduk di meja makan, diekori oleh Kaisar di belakang.

Baru saja mereka duduk di kursi makan, tiba-tiba suara bel rumahnya berbunyi dengan brutalnya.

Ding Dong Ding Dong Ding Dong

“Astaga, siapa tamu kurang ajar yang dateng pas jam makan malem gini?” Kaisar geram sendiri, sungguh tidak sopan menurutnya memencet bel rumah orang seperti itu.

“Biar aku aja yang buka Yah, kalau ternyata temenku biar bisa aku patahin jarinya.” Ucap Hazen berlalu dari meja makan menuju pintu rumahnya.

Kirana mengernyitkan dahinya. “Kalaupun temennya Hazen, masa iya nggak punya sopan santun kayak gitu ya, Yah?”

“Nggak tau juga Bun, setauku temen-temennya Hazen sopan semua kok. Siapa aja Bun temennya Hazen yang suka main kesini? Mana gerombolan kayak mau tawuran lagi.”

“Hahaha, oh itu emang genk nya Hazen atuh Yah. Anak band nya Hazen. Ada Raden, Jendra, Nathan, Leo sama Jidan.”

“Oh iya iya, aku paling inget sama Raden sih Bun. Hahaha tau nggak Bun waktu aku kasih tau Hazen soal cinta itu bisa diusahakan, kalau udah terbiasa bersama pasti cinta. Tau nggak Hazen bilang apa setelahnya?”

“Bilang apa emang?”

“Bilang gini—'Kalau ngomongin soal cinta datang karena terbiasa, aku pasti udah jatuh cinta sama Raden kali Yah karena saking terbiasanya bareng Raden dari dulu', gitu Bun kata Hazen.”

Kirana tergelak tawa, “Ada-ada aja emang kelakuan anak kamu tuh. Kamu dulu juga sebelum nikah sama aku, nempel banget sama sahabatmu Dimas—aku kira kalian dulu pacaran tau, aku sampai nge ship kalian saking cocoknya.”

“Hahaha ada-ada aja, mana mungkin? Dimas punya pacar tau, pacarnya cantik. Ya kali Dimas malah mau pacaran sama aku.”

“Oh, jadi kamu suka sama Dimas sebenernya?”

Kaisar mengerlingkan matanya. “Mana ada? Enggak lah, aku sama Dimas cuma sahabatan aja kok, kayak Hazen sama Raden gitu.”

Di sisi lain...

Hazen mendadak linglung setelah membuka pintu rumahnya untuk melihat siapa gerangan tamu kurang ajar yang mengganggu kenyamanan kediaman Tuan Kaisar.

Surpise~~~” Teriaknya sambil nyengir menampakkan giginya yang rapi.

“M-mas Devon...” Ucap Hazen begitu lirih, yang hanya bisa di dengar Hazen.

Benar, tamu kurang ajar itu adalah anak sulung dari keluarga ini—Devon Radhika Vega nama lengkapnya

“Kok bengong? Ini mas nggak disuruh masuk?” Devon menaikkan sebelah alisnya menatap sang adik yang hanya melihatnya dengan pandangan kosong.

“Hueeeee Mas Devon, aku kangennnnnn.” Teriak Hazen dan berhambur memeluk sang kakak dengan erat, mendusalkan kepalanya di ceruk leher sang kakak.

Devon terkikik dan mengusap helaian rambut sang adik dengan lembut kemudian mencium pucuk kepala Hazen setelahnya. “Mas juga kangen banget sama kamu. Tadinya mas mau bikin kejutan besok dateng ke Asrama kamu, eh malah kamu nya udah di rumah aja.”

Hazen mendongak untuk melihat wajah sang kakak yang sangat jarang ia lihat. Satu tahun sekali, mungkin.

“Bunda suruh aku nginep sehari disini abis jemput Bunda di Bandara. Mas Devon pulang kok nggak ada kasih kabar? Apa cuma aku yang nggak tau kalo mas pulang?”

“Ayah sama Bunda juga nggak tau, mas emang sengaja buat kasih kejutan hehe.”

“Hazen, siapa tamunya? Kok lama ba—” Ucapan Kirana terhenti seketika saat kedua maniknya menemukan si sulung berdiri di depan pintu sedang berpelukan manja dengan Hazen.

Tak lama setelahnya, Kaisar menyusul di belakang Kirana. “Ada apa Bun? Kok bengong?”

“Anakmu, pulang.” Kata Kirana lirih dan segera berlari menghampiri kedua anaknya yang masih asik bercengkrama.

“Devon!” Panggil Bunda dan memeluk Devon serta Hazen di dekapan hangatnya.

Hazen tentu saja terkejut tiba-tiba dipeluk dari belakang. Hazen terjepit, kasian sekali beruang madu ini.

“Kamu pulang kok nggak kabar-kabar Bunda sama Ayah sih?” Tanyanya setelah puas memeluk putra sulungnya dan—Hazen yang terjepit di tengah.

Kaisar ikut menghampiri anak dan Ibu itu. “Ayah kira siapa yang dateng malem-malem mana nggak sopan lagi pencet bel nya. Ternyata emang dedemit yang dateng, pantes aja.”

Hazen tertawa terbahak-bahak sedangkan Devon mendengus. Hazen dan Devon sudah tidak berpelukan setelah dipeluk Bunda.

“Anak sendiri dikatain dedemit, emang cuma Pak Kaisar yang begini.” Kata Devon.

Kaisar terkekeh lalu memeluk si sulung, menepuk bahu Devon beberapa kali. “Selamat datang di rumah nak, Ayah kangen sama putra nakal Ayah yang ini.”

Devon membalas pelukan sang Ayah, “Nakal begini tapi udah bisa kasih Ayah duit tau.” Candanya sembari tertawa.

Kaisar tertawa dan mengangguk, itu memang fakta. Perusahaannya di Belanda memang dipegang oleh Devon dan setiap uang yang masuk selalu Devon kirim ke rekening sang Ayah dan Bunda. Devon hanya mengambil 20% nya. 80% ia kasih kepada kedua orangtuanya.

“Ayo masuk, Bunda udah masak banyak. Kebetulan Bunda juga masakin makanan kesukaan kamu. Padahal Bunda nggak tau kalo kamu pulang, mas.” Ucap Bunda.

Devon mengangguk sembari tersenyum. “Ikatan batin Bunda sama anaknya sekuat itu ya Bun? Atau emang Bunda yang kangen berat sama aku sih hehe.”

“Iya, kangen berat.”

Kemudian mereka masuk rumah untuk makan malam bersama. Makan malam dengan anggota lengkap di tahun ini. Hazen tentu saja bahagia, ia harus menanti satu tahun untuk merasakan makan malam dengan anggota keluarga lengkap seperti ini.


Kini ke-empat nya sedang duduk di sofa, meneruskan film yang Hazen dan Kaisar tonton tadi. Kirana dan Devon dipaksa oleh Hazen untuk ikut menonton. Di depan Hazen sudah banyak snack dan camilan, hasil oleh-oleh dari Devon. Jajanan Belanda bos ini tuh.

Mulut Hazen sedari tadi tidak berhenti mengunyah, Devon geleng-geleng kepala aja liatnya. Memang adiknya ini pemilik perut babi, makanan apa saja bisa masuk—kecuali sayuran yang tanpa bumbu sih.

“Zen, nafsu makan kamu kok nggak pernah berkurang sih?” Tanya Devon.

“Kenapa harus berkurang? Aku kan sehat, nggak sakit.”

“Tambah gembul tuh pipi kamu, liat.” Devon mencubiti pipi mochi milik Hazen dengan gemas.

“Ihhhh Mas Devon! Sakit tau, jangan dicubitih dih.”

Kirana dan Kaisar hanya diam memperhatikan interaksi kedua anak mereka. Mereka senang sekali melihat Hazen dan Devon bisa saling tatap muka, meski satu tahun sekali. Ini tetaplah moment berarti untuk kedua orangtua itu.

“Habisnya gemes banget, kamu udah gede tapi kok tetep kayak bayi.”

“Idih nggak ya. Aku udah gede, mana ada kayak bayi? Ketua angkatan nih bos, keren kan? Nggak ada ceritanya bayi sekeren aku.”

Devon mengusak rambut Hazen, mencomot snack yang dipegang oleh Hazen. “Ya, ya terserah. Kalau kata Ayah sama Bunda sih pasti setuju sama mas, iya kan Yah, Bun?”

Kaisar dan Kirana hanya tersenyum.

Saat mereka asik menonton, ponsel Kaisar berdering. Ada telfon masuk lebih tepatnya, ia pamit untuk mengangkat telfon kepada sang istri.

“Selamat malam, Kai.”

Kaisar terkekeh, sungguh temannya ini kenapa kaku sekali, padahal akan jadi besan. “Selamat malam Noah, jangan kaku gitu ah. Kita nggak lagi kerja tau.”

Noah juga tertawa di seberang sana. “Oke oke, kita santai aja kalau gitu.”

“So? Kenapa nih kok telfon, tumbenan.”

“Seperti rencana awal kita Kai, aku pengen Hazen dan Sandra segera bertemu dan kenalan. Biar mereka bisa mulai saling mengenal, dan nggak canggung waktu mereka menikah nantinya.”

Ah benar, Kaisar sedikit lupa tentang itu. Kalau Hazen dan Sandra harus segera bertemu karena Sandra sudah kembali ke Indonesia dua hari lalu.

“Oh iya ya. Bisa kamu atur aja waktunya kapan kita temuin mereka berdua.”

“Lusa malam, aku mengundang kalian makan malam di restoran milikku. Bagaimana?”

“Aku tanyakan dulu ke Hazen apa dia senggang lusa malam. Kalau dia senggang, aku akan hubungin kamu lagi. Gimana?”

“Baiklah, usahakan ya, Kai? Sandra harus balik ke Harvard buat wisuda minggu depan.”

“Oke, tenang aja Noah. Hazen anak penurut, dia pasti mau.”

“Baiklah kalau gitu. Aku tunggu kabar baiknya Kai.”

“Oke.”

“See you bro.”

“See you bro.”

Tut tut tut—

Kaisar menghela nafas, ia bingung jika Hazen tidak mau pergi bagaimana? Apalagi jika dirinya berkata jujur untuk mempertemukan anak itu dengan Sandra, pasti Hazen akan menolaknya.

“Hm, diancam pakai apa ya biar Hazen nggak nolak? Asrama? Pegang perusahaan mulai sekarang? Ah, itu ide yang bagus sepertinya.” Gumamnya lalu kembali masuk ke dalam rumah untuk ikut bergabung menonton film lagi. . . . . .

Noah, rekan bisnis sekaligus teman Kaisar Images

Dimas, sahabat dari Kaisar Images

Flo·ᴥ·