Leave or Stay?

Marvin buru-buru membereskan semua bukunya dan memasukkan ke dalam ranselnya setelah Dosen mata kuliah Manajemen Keuangan. Jay yang duduk di sebelahnya pun mengernyitkan dahi, keheranan.

“Mau kemana lo? Buru-buru amat.” Tanya Jay yang juga membereskan buku-buku nya.

“Ada urusan penting.” Jawabnya acuh tanpa melirik Jay sama sekali.

“Tumben, biasanya sepenting apapun lo nggak akan sepanik ini?”

Marvin mengabaikan ucapan Jay dan berdiri dari duduknya setelah Dosen keluar dari kelas. “Gue duluan Jay.”

“Heh Marvin! Tungguin bangsat!” Teriak Jay namun dihiraukan oleh Marvin yang berlari menuju parkiran.

Rencana Marvin, hari ini ia ingin tidur di apart nya yang sedikit jauh dari asramanya. Sehingga ia menaiki motor untuk kuliah, biasanya ia akan jalan kaki jika berada di asrama. Namun Hazen mengacaukan semuanya, Marvin tidak bisa ke apart sekarang karena harus mengurusi Hazen—si pengacau asramanya.

Deru motor Ninja 250 Merah nya keluar dari Neo Dream University dengan tergesa. Sejujurnya, Hazen sedikit berlebihan ingin jalan kaki dari asrama ke kampus. Karena jarak dari asrama ke kampus masih 500 meter.

Memang bisa jalan kaki, tapi ya lumayan lama kalau tidak lari.

Sesampainya di basement asrama untuk memarkirkan motornya, Marvin segera memasuki lift yang ada di basement itu yang tersambung dengan lantai asrama.

Marvin menekan tombol lantai 3, letak dimana asramanya berada. Dengan ekspresi datar dan sedikit menahan amarah, Marvin keluar dari lift saat pintu terbuka.

Langkah kakinya perlahan membawa tubuhnya sampai di depan pintu ruang 119. Marvin menghela nafas kasar, lalu memasukkan kunci asramanya untuk membuka pintu.

Ceklek

Hal pertama yang Marvin lihat ketika pintu terbuka yaitu, lampu asramanya menyala begitu terang.

Oh My God, Marvin bisa gila. Ini masih siang dan terang, tapi kenapa Hazen menyalakan lampunya? Marvin tak habis pikir, ini namanya pemborosan listrik. Lagian kan jika ingin terang bisa tinggal buka tirai jendela?

“Hahahaha, anjing kasian Andhini. Jagdish tolol banget sih? Dulu aja waktu bocil demen banget sama Andhini, sekarang malah ditinggal nikah sama Gauri. Dasar, emang ya kalo dijodohin itu ujung-ujungnya bullshit, nggak ada ceritanya cinta datang karena terbiasa. Jagdish sama Andhini udah belasan tahun serumah, nyatanya tetep aja ditinggal Andhini nya gegara kepincut sama Gauri—

Ayah emang bohong, Bunda sama Ayah emang udah kasmaran pas dijodohin mangkanya bisa langgeng.” Lanjutnya, mengomentari serial Andhini yang menampilkan adegan saat Jagdish dan Gauri menikah.

Marvin menepuk jidatnya, ia berdiri sekitar 10 meter di belakang Hazen yang duduk santai di sofa sembari minum soda kaleng menonton televisi.

“Dasar orang aneh, jaman gini nontonnya serial India, mana dikomentarin lagi.” batin Marvin sembari memijat pangkal hidungnya, merasa cringe sendiri melihat kelakuan Hazen.

Marvin melangkahkan kakinya perlahan, mendekati Hazen. Ketika jaraknya sudah tepat di belakang Hazen, ia sedikit merasa aneh karena Hazen tidak terusik sama sekali, masih tetap fokus menonton serial Andhini sembari mengoceh mengomentari serial itu.

Ekhm

Suara dehaman Marvin mengejutkan Hazen, yang tadinya duduk santai senderan nyaman di sofa pun seketika ia menegakkan tubuhnya lalu menoleh ke belakang.

Di belakangnya, Marvin menatapnya datar, tanpa ekspresi. Dingin, mengintimidasi, menakutkan, intinya tidak bersahabat sama sekali. Hazen meneguk salivanya diam-diam, jujur saja meski dirinya berani dengan Marvin tapi kalau sudah aura nya mendominasi begini, Hazen rada takut juga. Apalagi mengingat bahwa Marvin memiliki pistol kemana-mana.

“E-eh kak Marvin hehe, kapan pulang kak? Kok gue nggak denger ada orang masuk?”

Marvin mendudukkan tubuh lelahnya di sofa yang lainnya, menjauh dari tempat duduk Hazen. “Gimana mau denger kalo lo liat tv dengan volume kayak mau orkesan?”

Hazen mengerjapkan matanya tiga kali kemudian tergelak tawa. Marvin mengerutkan dahinya melihat itu.

Apa yang lucu? Marvin tidak mengatakan hal lucu apapun disini, namun Hazen tertawa terpingkal-pingkal.

“Ini bocah emang nggak waras,” batin Marvin mendumal lagi.

“Ya ampun, sorry kak gue ketawa. Lo tau kata-kata orkesan darimana? Gue aja sering denger itu dari Raden, biasanya dia nyebut job manggung dengan orkesan. Hahaha jadi keinget Raden deh gue, lucu banget.”

Lelah, Marvin lelah menghadapi Hazen yang belum genap 10 menit berinteraksi di dalam ruangan 119 ini. Tak bisa Marvin banyangkan bagaimana nasibnya harus satu atap dengan Hazen sampai 4 tahun. Bisa gila Marvin

Stop ngomongin hal yang nggak penting. Gue mau to the point kalau gue dengan sangat sabar dan mohon ke lo dengan sopan buat tinggalin asrama gue.”

“Gue udah bayar uang sewanya, gue udah punya kuncinya, dan nama gue udah ditulis sama ibuk asrama nya sebagai rommate lo, pemilik ruang 119—

ringkasnya adalah, gue nggak akan pergi dari sini karena gue berhak dan sah tinggal disini. Dan lagi, gue butuh tempat tinggal.” Hazen menyilangkan kedua tangannya di dada, mendongakkan dagunya menantang Marvin.

Tsk, Hazen please, gue—nggak bisa berbagi wilayah privasi gue ke orang asing. Gue cuma bisa tinggal sendiri tanpa siapapun ada di sekitar gue.”

“Kenapa begitu? Alasannya apa? Lo bilang gue orang asing? Setelah berminggu-minggu kita kenal? Lo masih anggep gue orang asing? Sinting!”

“Alasannya? Lo mau gue jawab jujur? Dan—ya, lo orang asing. Kita hanya sebatas kating dan adting di kampus. Nggak ada hubungan pertemanan atau apapun diantara kita selain itu. Bagi gue, yang kayak gitu disebut stranger karena lo emang bukan siapa-siapa gue. We just know our name and what do our faces look like.

Hazen tertawa sarkas dan menaikkan satu kakinya di sofa, duduk layaknya anak warung. Dia tidak peduli lagi sopan santun atau apalah itu kepada tuan rumahnya, karena sekarang ia juga tuan rumah asrama nomer 119.

“Nggak peduli, mau lo anggep gue hewan atau setan sekalipun nggak akan ngebuat gue angkat kaki dari asrama ini. Katakan, apa alasannya lo nggak mau tinggal sama orang lain. Gue mau kejujuran lo.”

Marvin pergi beranjak dari duduknya, berjalan menuju dapur dan membuka kulkas mengambil satu kaleng soda lalu kembali duduk di tempatnya. Hazen diam memperhatikan segala tingkah Marvin.

Setelah ia meminum beberapa tegukan soda, Marvin menghela nafas. “Gue nggak suka keramaian, gue nggak suka berisik, gue nggak suka ada yang mengusik suasana sunyi dan senyap yang membuat gue rilex dan tenang, gue nggak suka siapapun merusak tatanan, kerapian yang udah gue ciptain sedemikian rupa buat kenyamanan hidup tenang gue—

dan lo, termasuk dari semua hal yang gue sebutin. Lo berisik, rame, banyak tingkah, banyak gaya, banyak omong, hidup lo bebas dan foya-foya. Lo selalu dikelilingi apa itu keramaian. Dan gue kebalikan dari lo, gue suka apa itu sendiri, sepi, sunyi, senyap dan tenang.”

Ucap Marvin begitu panjang, tanpa mengalihkan gerak obsidian gelapnya dari kedua manik hazel milik Hazen.

Hazen sungguh tercengang, meski Hazen dari awal memang menduga jika Marvin memang orang yang tak tersentuh seperti itu. Namun rasanya tetap mengejutkan jika Marvin sendiri yang mendeklarasikan bagaimana dunia yang Marvin suka. Yang jelas—sangat bertolak belakang dengan dunia Hazen yang hangat, ceria, ramai, dan penuh semangat antusias. Tak seperti dunia Marvin yang dingin, keras, mengintimidasi, kesepian, sunyi.

Hazen bingung, jika bertolak belakang seperti ini, apakah semuanya bisa berjalan dengan semestinya jika tetap dipaksakan satu atap untuk menjalani hidup bersama? Dan lagi, waktu nya pun tidak sesingkat itu, tetapi 4 tahun.

Apa yang akan terjadi selama 4 tahun ke depan?

“Tapi lo ketua angkatan, hidup lo selalu dikelilingi banyak orang, keramaian organisasi, dan rekan-rekan kerja tim lo buat universitas. Menurut lo itu sepi? Sunyi? Damai? Tenang?”

“Gue hanya tanggung jawab, dinobatkan sebagai ketua angkatan membuat gue harus berkecimpung dengan keramaian mau nggak mau. Itu udah tugas gue sebagai ketua angkatan, berinteraksi dengan banyak orang untuk menampung aspirasi mahasiswa, rapat, merancang event, bakti sosial dan sebagainya. Gue nggak bisa lari dari tanggung jawab Zen, meski gue nggak suka. Maka dari itu, disaat gue sendiri, gue mau semuanya balik seperti awal, dunia gue yang tenang, senyap, sepi dan kesendirian. Kalo nggak saat gue sendiri, kapan lagi gue bisa nikmatin itu? Karena disaat gue angkat kaki dari asrama, dunia gue udah berisik lagi.”

Wow, tolong diingat bahwa ini termasuk kata-kata terpanjang Marvin sepanjang hidupnya dan mau repot-repot menjelaskan kepada seseorang bagaimana dunianya

Hazen, you did a magic spell for this man

“Kalau gitu kenapa lo bersedia jadi ketua angkatan kalo lo emang orang introvert mendekati ansos begini? Ini namanya melawan dunia lo sendiri, keluar dari zona nyaman lo.”

Marvin mengangguk dan meneguk soda nya kembali hingga tandas tak tersisa.

“Solidaritas dan persahabatan. Itu yang membuat gue mau keluar dari zona nyaman.”

Ah, sekarang Hazen mengerti. Pantas saja Marvin terlihat hanya berbaur dengan kating-kating Manajemen Bisnis nya itu. Siapa lagi jika bukan Tristan and the genk?

“Udah kan? Lo udah tau kalo gue nggak suka kehadiran siapapun di satu-satunya wilayah yang gue bisa merasakan kesunyian dan kedamaian. So, lo bisa pergi dari sini. Masalah uang sewa, gue ganti. Mau cash juga bisa gue kasih sekarang.”

Katakan Hazen gila, tapi—jauh di dalam lubuk hatinya sana, ia merasa iba dengan Marvin. Lelaki yang lebih tua satu tahun darinya ini seperti menanggung beban berat di pundaknya, tidak membiarkan siapapun membobol masuk untuk membantunya meringankan.

Entah dasarnya dirinya yang terlalu baik dan manusiawi atau karena yang lain, Hazen ingin membantu Marvin agar keluar dari zona nyamannya dengan perasaan bahagia, tanpa perlu seperti menjadi dua orang berbeda. Ia ingin mengenalkan kepada Marvin bahwa dunia luar itu indah dan tidak se-berisik dan sekacau seperti yang Marvin bilang.

Ia beranjak dari duduknya lalu berjongkok di depan Marvin kemudian tanpa permisi meraih jemari Marvin dan menggenggamnya. Marvin terkejut tentu saja, ia menarik genggaman Hazen pada jemarinya namun gagal karena semakin Marvin melepasnya, genggaman Hazen kian menguat dan erat.

“Lo ngapain?” Tanya Marvin akhirnya, memandang lurus tepat pada kedua mata cantik Hazen yang tersirat sebuah tatapan yang teduh dan menyejukkan.

Dunia yang Marvin suka, teduh, tenang dan menyejukkan. Seperti itulah Hazen menatapnya saat ini. Tatapan amarah dan menantang tadi entah lenyap kemana. Marvin tidak mengerti dengan perubahan mood Hazen yang begitu cepat seperti ini.

“Kak Marv, gue emang orang asing bagi lo, gue orang baru di kehidupan lo. Dunia gue dan dunia lo juga bertolak belakang, dunia lo bagaikan gunung Es yang keras, dingin dan beku. Sedangkan dunia gue bagai matahari yang hangat, bersinar, berwarna. Gue tau akan mustahil bagi kita berdua hidup satu atap begini—

tapi kak Marv, sebenernya bukan dunia lo yang kayak gitu. Tapi lo sendiri yang mengurungnya disana. Lo emang orang yang ngeselin dan brengsek menurut gue, tapi gue tau lo sebenernya orang yang baik kak, lo—cuma make topeng acuh tak acuh, tak tersentuh buat bentengin diri lo agar nggak diremehin orang-orang, agar lo bisa pasang poker face ke semua orang. Lo nggak ngebiarin siapapun mengenal lo sampe akar-akarnya, lo cuma ngebiarin orang-orang tau cover lo yang penuh kedustaan, bukan isi lo yang sejatinya lo itu pribadi yang baik, lembut, dan manusiawi.”

Capek berjongkok, akhirnya Hazen merubah posisinya menjadi bersila namun genggamannya di jemari Marvin masih mengerat. “Bentar kak, kaki gue kesemutan, biarin gue duduk yang bener dulu.”

Marvin mengerutkan dahinya, sumpah demi apapun, Hazen ini orang macam apa? Bisa-bisanya setelah berucap kata-kata keren dan serius malah berakhir seperti candaan begini?

Pantas saja jika Raden seperti lelah menghadapi Hazen yang tidak peka. Tidak tau situasi memang Hazen ini.

“Oke, lanjut ya kak?”

Marvin cuma menaikkan sebelah alisnya tanpa menjawab, Hazen mengerti bahwa ia bisa melanjutkannya. Kini genggaman itu, Hazen tambah dengan usapan-usapan lembut di punggung tangan Marvin.

“Gue bisa kenalin lo ke dunia yang luas ini dengan cara gue kak, lo nggak perlu pake topeng apapun saat bersama gue bahkan saat lo gue ajak menjelajah dan menapaki belahan dunia ini satu-satu, gue bisa bawa lo masuk ke dunia gue yang kata lo berisik, rame dengan rasa yang beda. Gue bisa bikin lo tanpa terbebani meski keluar dari zona nyaman. Let me show you my beautiful world, Kak Marv.

“Kenapa?”

“Apanya?”

“Kenapa lo sok serius dan sok keren gitu coba? Lo pikir bakalan ngaruh ke gue?” Marvin mengerlingkan matanya lalu melepas paksa genggaman tangannya dari Hazen dan berdiri menjauhi Hazen.

“Ishhh Kak! Gue beneran serius anjir, lo ngerusak suasana banget sih?” Teriaknya mengekori Marvin yang berjalan menuju toilet.

Sesampainya di depan toilet, Marvin menghentikan langkahnya dan berbalik. Hazen yang sepertinya pikirannya tertinggal di sofa pun tak tahu jika Marvin telah berhenti dan berbalik, membuat Hazen seketika menabrak dada bidang Marvin dan terhenti.

Dug

Hazen meringis lalu mendongak dan mengusap keningnya. Marvin masih diam, ia juga memandang Hazen yang lebih pendek darinya.

“Apa?!” Tanya Marvin sewot.

“Lo manusia apa batu sih kak? Keras amat badan lo, liat nih dahi gue! Kayaknya benjol dan memar.” Ucapnya sembari mengusap dahinya yang memang sakit.

“Lo ini lagi ngapain gue tanya?” Marvin mengabaikan pertanyaan Hazen.

“Emangnya gue ngapain?” Tanya Hazen balik, karena sungguh Hazen tidak mengerti apa maksud dari pertanyaan Marvin.

Marvin memijat pelipisnya, ini belum genap sehari tapi kepalanya sudah berdenyut. “Lo ngapain ikutin gue ke toilet? Gue mau buang hajat, lo mau ikutan masuk emang? Mau cebokin gue?”

Seketika ekspresi Hazen blank, ia baru sadar jika dirinya dan Marvin memang berdiri di depan kamar mandi.

“Astaga anjing, nggak gitu kak Marv, lo salah paham. Gue—tadinya mau nanya sama lo, eh lo malah berhenti mendadak dan gue nya nabrak lo.”

“Nanya apaan?”

“Jadi gue stay disini kan?”

“Nggak, tetep pergi.” Katanya lalu berbalik dan memutar knop pintu kamar mandi, sebelum Marvin masuk, pergelangan tangannya ditarik Hazen.

“Kak Marvin, please, gue akan nurut semua aturan yang lo buat di asrama ini deh sumpah, tapi biarin gue tinggal disini ya, ya, hum?” Tangannya mengayunkan lengan kiri Marvin ke kanan kiri, mencoba membujuk Marvin agar memberikan izin kepadanya untuk tinggal.

Marvin menoleh ke belakang, menatap Hazen yang sudah menunjukkan muka melasnya. Ia merasa kasian juga dengan Hazen, tetapi ia juga tidak mau kenyamanannya terusik, ia tidak terbiasa hidup ditemani orang seperti ini.

Kecuali sama Daddy nya, hanya dengan Daddy nya ia bisa tinggal satu atap. Itupun dulu, dulu sekali entah kapan. Marvin sampai lupa.

Trial 1 bulan.”

“Hah? Ma-maksudnya gimana? Kok pake trial-trial an segala?”

“Mau atau enggak? Kayak yang lo bilang, gue bakalan bikin aturan di asrama ini. Percobaan lo tinggal disini itu 1 bulan, kalo sampe 1 bulan lo nurut sama aturan dan gak langgar sedikitpun, bakalan gue perpanjang trial lo sebulan lagi. Gitu seterusnya, nambah trial nya kalau lo menurut sama aturan selama tinggal disini. Kalau lo langgar aturan, siap-siap angkat kaki dari sini, nggak peduli, mau lo jadi gelandangan pun tetep gue usir.”

Hazen melongo, sumpah demi apa ia jadi bahan percobaan sebagai roommate? Sungguh menyebalkan.

“Kak Marvin, lo jahat banget anjing, jahat!!”

“Kata lo tadi, gue orang baik?”

“Gak jadi, lo titisan setan emang.” Ucap Hazen dan berlalu dari sana meninggalkan Marvin yang diam-diam menahan tawa.

Marvin memasuki toilet dan mengunci pintunya. Terkekeh pelan dan geleng-geleng kepala.

“Bener, mari kita percobaan selama 1 bulan. Hazen, kita liat sampai kapan lo bertahan tinggal satu atap sama gue? Gue yakin, nggak ada 1 bulan, lo pasti pilih angkat kaki dari sini. Let's try it, and good luck Hazen Aditya Buana.”

Flo·ᴥ·