Lose Before The War

—68;


Mark mengajak Haechan ke Orchid Forest Cikole, menikmati pemandangan hutan pinus dan duduk bersantai sambil minum kopi dan snack. Berbicara banyak hal untuk menghilangkan kecanggungan yang ada di antara mereka.

Mereka sedang nostalgia, meski harus menahan rasa sesak karena mengingat kenangan manis dan indah mereka dahulu, tetapi kedua anak itu tidak menghentikan obrolannya. Justru mereka tertawa mengingat bagaimana hari-hari mereka saat menjadi sepasang kekasih.

“Kebiasaan lo minum kopi sebelum tidur itu, masih lo lakuin sampe sekarang?” Tanya Mark.

“Masih, gue nggak bisa tidur nyenyak kalo nggak minum kopi. Lo juga tau sendiri kan?”

Mark mengangguk. “Taulah, lo kan dulu suka chat atau telpon gue malem-malem buat nanya gue dimana? Trus berakhir lo nyuruh gue beliin kopi sachetan ber pack-pack karena persediaan kopi lo abis.”

Haechan terkekeh, ia ingat betul Mark selalu menggerutu ketika Haechan menyuruhnya membelikan kopi saat tengah malam tiba, namun Mark tetap datang ke kost an Haechan dan membelikannya kopi, bahkan ditambah beberapa snack juga.

“Kalo lo gimana, Mark? Masih nyetok beng-beng di kamar?”

“Hahaha sial, masih anjir. Itu kebiasaan dari remaja kenapa nggak ilang-ilang deh. Gue agaknya beli ke toserba tuh malu. Pas beli ber pack-pack gitu kan, gue pasti diginiin sama kasirnya 'Wah, pasti anaknya seneng banget dibeliin beng-beng sebanyak ini'. Mentang-mentang gue tua dikira nggak doyan beng-beng apa?”

Haechan terkekeh, namun perkataan Mark membuatnya jadi berfikir. Memangnya Mark belum menikah dan punya anak? Haechan ingin tau, tapi tak berani bertanya. Namun sepertinya Mark belum punya anak, karena Mark bilang ingin mengajak jalan Haechan sampai malam, harusnya si anak akan mencari sosok Ayahnya, tapi Mark terlihat tenang-tenang saja.

Atau mungkin Mark belum menikah? Tapi mengapa?

“Err—Mark, gue boleh nanya?”

“Tanya aja.”

Haechan menggigit bibirnya, ia takut bertanya, ia takut jawaban Mark tidak sesuai ekspetasinya. Tapi jika dirinya bertanya, pasti Mark balik bertanya kan?

“Gue nggak boleh kayak gini, jangan buat hubungan yang membaik ini malah numbuhin perasaan yang dulu. Lo punya Zeline dan Ody di rumah, Haechan. Jangan kayak gini...” sisi malaikat Haechan membisiki hati nuraninya.

“Chan!” Mark menjentikkan jarinya di depan wajah Haechan.

“Hah? Kenapa Mark?”

“Tadi katanya mau nanya?”

Jemarinya mengepal dan diremat-remat di bawah sana. Sedikit bergetar, Haechan benar-benar takut mendengar jawaban Mark.

“Haechan...” panggil Mark lembut, menyentuh dagu Haechan dan mendongakkannya karena Haechan yang menunduk.

“Ada apa? Mau nanya apa, hm?” Mark tersenyum dan mengusap pipi kanan Haechan dengan jempolnya.

“Lo—errr, apa lo... udahmenikah?” Kalimat akhir ia percepat sehingga terdengar seperti gumaman.

“Apa? Udah apa? Lo jangan cepet-cepet ngomongnya, Chan.”

Haechan menghela nafas dan menatap Mark dengan berani. “Lo, udah nikah atau belum, Mark? Sorry kalo ini privasi banget, lo boleh nggak jawab kok.”

“Belum, gue belum menikah.” Jawabnya langsung ketika Haechan selesai berbicara.

“Bohong ya lo?”

“Kenapa gue harus bohong? Emang gue keliatan bohong ya?”

“Nggak tau, kayak—nggak mungkin aja lo belum nikah.”

Mark terkekeh. “Mungkin aja, kenapa nggak mungkin?”

“Ya lo orang sukses, banyak duit, cakep iya, baik iya, lo cowok yang super perhatian, penyayang, friendly, royal, loyal. Duh, kan kayak nggak mungkin aja gitu lo masih belum nikah di umur lo yang udah kepala 3.”

“Hahaha, gue tersanjung. Ternyata gue di mata lo masih kayak gitu ya? Gue terharu.”

Haechan mengerlingkan matanya. “Yang gue lihat selama bertahun-tahun sih gitu, nggak tau juga 6 tahun terakhir ini. Mungkin ada yang berubah dan gue nggak tau itu.”

TOLONG DI PLAY LAGUNYA T_T ; “Duka by Last Child” kalo mau nangis sih :)

https://www.youtube.com/watch?v=ELfjMODb0mM

“Gue banyak berubah Chan, cuma ada satu yang dari dulu sampai sekarang nggak berubah.”

“A-apa? Lo nggak perlu kasih tau kalau lo—”

“Perasaan gue.”

“Hah?” Haechan menaikkan sebelah alisnya, Mark menoleh dan tersenyum kemudian menyentuh jemari Haechan dan menggenggamnya.

“Iya, perasaan gue nggak pernah berubah buat lo dari dulu sampai sekarang.”

Deg

Jantung Haechan berhenti berdetak selama seperkian detik. “Gi-gimana maksudnya?”

“Lo tau nggak, kenapa gue belum nikah sampai sekarang?”

Haechan kontan menggelengkan kepalanya, namun dadanya sakit karena debaran di jantungnya makin menggila. Tidak tau kenapa ia takut mendengar alasan dari Mark. Ia takut.

“Mau tau alasannya nggak?”

Haechan diam, ia bimbang. Haruskah ia tau atau lebih baik tidak usah tau sampai kapanpun?

“Alasannya karena kamu, Haechan.” Mark mengeratkan genggamannya, ia dapat merasakan jemari Haechan meremat jarinya.

“M-maksudnya gimana?” Haechan mengerti, tapi ia terlalu syok sehingga bibirnya otomatis bertanya seperti itu.

“Aku masih nungguin kamu, Lee Haechan. Aku nggak nikah karena aku pengennya nikahin kamu. Aku nggak bisa jatuh cinta sama orang lain Chan, hati aku, raga aku maunya cuma kamu. Aku udah coba berulang kali buat move on dan deketin banyak orang, tapi bener-bener nggak bisa Haechan. Nggak ada yang ngebuat aku merasa berdebar dan jatuh cinta, perasaan aku mati buat orang lain, tapi jantung aku selalu berdebar kalau inget kamu, liat foto kamu, bahkan ketika nama kamu disebut aja aku deg-deg an. Kamu sering dateng ke mimpi aku, dimana masa-masa kita masih bersama, bahagiaaaa banget pokoknya di mimpi aku.”

Haechan menggigit bibir dalamnya, ia menahan untuk tidak menangis. Bagaimana bisa ini terjadi? Haechan tidak tau harus sedih atau bahagia. Di satu sisi ia bahagia karena Mark masih mencintainya bahkan menunggunya sampai detik ini. Namun ia juga sedih karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Mark bahwa dirinya juga masih mencintai Mark sampai sekarang. Ia sedih karena Mark bodoh, kenapa Mark sebegitu yakinnya bahwa Haechan akan kembali padanya? Padahal kenyataan pahit sedang ada di depan mata Mark karena Haechan tidak bisa ditunggu lagi, Haechan sudah terikat dengan orang lain.

“Chan, kalau perasaan kamu gimana? Are you still love me or it's just me who still loves you?

Haechan ingin menangis sekejer mungkin, bagaimana cara mengatakannya kepada Mark? Akan terlihat menyedihkan jika Haechan mengatakan dengan jujur bagaimana perasaannya kepada Mark dengan status sudah menjadi suami orang. Akan terlihat jahat, karena Haechan mempermainkan pernikahan dan istrinya karena masih mencintai Mark.

“Mark...” Haechan mengusap punggung tangan Mark. “I'm sorry, I'v been married. I have a wife, Mark...” katanya sangat lirih dengan bibir yang bergetar, matanya berkaca-kaca namun Haechan menahannya sekuat mungkin agar tidak jatuh.

Hati Mark remuk redam, seperti ditusuk ribuan pisau. Sakit namun tidak berdarah. Yang jelas perasaannya hancur, Mark tidak dapat mencerna kalimat Haechan dengan baik, kalimat itu seperti kaset rusak yang terus berputar di otaknya namun tidak dapat dicerna dengan baik.

“So-sorry...” Haechan menundukkan kepalanya menahan tangisnya, ia tidak boleh menangis di hadapan Mark. Ia harus membuat Mark move on agar semuanya tidak makin rumit. Biarkan perasaannya sendiri terluka, asalkan Mark tidak terus berharap kepada dirinya yang jelas-jelas tidak bisa kembali ke pelukan Mark.

“Kamu udah punya—anak?”

Haechan mengangguk. “I have one daughter.

Sudah jatuh dari tangga, tertimpa tangga pula. Itulah yang dirasakan Mark. Hati Mark luluh lantak, tak bersisa, hancur berkeping-keping seperti pecahan kaca.

Genggaman tangannya di tangan Haechan ia lepaskan, kemudian menunduk dan menyangga kepalanya dengan telapak tangan, memijat pelipisnya yang tetiba berdenyut.

“Mark, I'm sorry...

Mark mengangkat tangannya, menyuruh Haechan berhenti berbicara. Haechan menggigit bibir bawahnya, ia ingin tenggelam di samudra saja, ia tak sanggup melihat Mark seperti ini.

Lama mereka terdiam, Haechan memejamkan matanya dan mendongak agar air matanya tidak menetes. Beberapa menit kemudian, Mark mendongakkan kepalanya. Kemudian menepuk pundak Haechan membuat si empu membuka mata dan menoleh.

Mark tersenyum simpul, senyum kepedihan yang terlihat dipaksakan untuk bahagia. “Congrats for your wedding, Chan. Sorry gue telat ucapinnya. Dan juga—selamat untuk anak pertama lo dan istri lo.”

Haechan tidak kuat, ingin rasanya ia memeluk Mark dan meraung-raung bahwa ia masih mencintai Mark. Ingin mengatakan bahwa Ody bukanlah anak kandungnya, mengatakan bahwa ia tidak mencintai Zeline. Namun apa daya, itu kata-kata haram dan larangan untuk Haechan, ia tidak bisa mengucapkan itu kepada Mark atau siapapun di dunia ini.

Thanks Mark. Ini bukan hak gue buat bilang kayak gini tapi gue nggak mau liat lo kayak gini, Mark. Lo harus cari pengganti gue, karena kita nggak akan mungkin buat kembali, Mark. Dunia kejam sama kita, kita nggak bisa berbuat apa-apa. Just let our story being a beautiful memories, we live each other's lives. It's better, so that you or I don't have to be shackled anymore.

Mark tertawa kecil. “Nggak semudah itu, Haechan. Lo bukan gue, jadi lo nggak tau gimana susahnya gue buat lupain lo. Nggak bisa, Chan. Tapi gue janji, gue akan belajar pelan-pelan buat lupain perasaan gue ke lo. Atau lo juga mau gue lupain lo nya? Kalo iya, lebih baik hari ini jadiin hari terakhir kita ketemu biar gue bisa belajar hidup tanpa adanya lo selamanya.”

Pedih

Haechan sedih mendengar kalimat Mark yang mengatakan akan melupakan sosoknya sekaligus, bukan hanya perasaannya. Tapi bukannya itu lebih baik? Ia ingin Mark bahagia, tidak terbayang-bayang akan dirinya lagi. Ia tidak ingin Mark seperti dirinya, menjadi suami yang bejat karena mencintai orang lain disaat statusnya sudah sah menjadi suami orang.

“Itu hak lo, Mark. Kalo itu bisa buat lo bahagia, gue nggakpapa. Lo boleh lupain gue, gue bisa pergi jauh dari lo dan nggak akan kembali lagi. Besok hari terakhir gue disini, dan setelahnya gue nggak akan pernah balik ke Indonesia lagi. Tomorrow is last day for me.

Mark menatap Haechan dan menghela nafas. “Then, I hope you always happy Haechan, thank you for the beautiful memories for the four years with me.”

Haechan tak berdaya. Ia hanya membalasnya dengan senyuman dan satu tetes air mata yang berhasil lolos dari mata cantiknya yang diusap lembut oleh jempol Mark sembari tersenyum. . . .

“Semuanya telah berakhir, harapan Mark untuk memiliki Haechan kembali sudah patah. Harapannya yang tinggi membutakannya, bahwa Haechan bukanlah miliknya lagi. Sayap Mark patah, bintangnya tidak bisa digapai lagi. Canda tawa, senyum, suara, dan raga Haechan hanya akan menjadi kenangan indah dalam duka untuk Mark. Bahkan setiap rindunya kepada Haechan yang jatuh lewat tetesan air matanya pun terhenti, ia tidak sanggup menangis atas kepergian Haechan secara nyata dari pelukannya. Mark akan mencoba terjaga dari mimpinya, mimpi bahagia bersama Haechan. Ia akan melupakan Lee Haechan untuk selamanya.”