Love Scenery

Marvin membuka almarinya untuk berganti pakaian, karena ia sudah janji akan mengikuti rapat angkatan 22. Hevin sudah tidur, jadi ia akan tenang meninggalkan sang anak di apart bersama Bi Mina.

Ia mengambil kaos putih dan celana jeans hitam, dan tak lupa memakai topi hitam. Hanya se simpel itu penampilan Marvin, karena ini sudah di luar jam KBM Neo Dream. Ia bercermin sekali lagi untuk melihat penampilannya, kemudian menyemprotkan parfum secukupnya.

Tok tok tok

Marvin membuka pintu kamarnya dan muncullah Bi Mina.

“Siang Mas.”

“Siang Bi, kenapa Bi?”

Bi Mina menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Anu Mas, anak saya mau lahiran. Jadi saya mau izin pamit pulang, apa boleh ya Mas?”

Marvin jadi bingung, ia harus ke kampus sekarang. Tapi Bi Mina malah mau pulang. Mau dititipkan ke Sandra pun, kakak nya itu sedang bekerja. Daddy dan Papa nya juga ada di kantor masing-masing. Ayah dan Bunda Hazen ada di Belanda untuk mengurus perusahaan yang ada disana sekaligus mendampingi Devon yang mau sidang skripsi.

“Ya udah Bi, bibi pulang aja nggakpapa. Semoga anaknya Bi Mina lancar melahirkannya dan cucu Bi Mina lahir dengan selamat. Amiin.”

Bi Mina tersenyum lalu menundukkan kepalanya. “Makasih banyak Mas, saya izin selama 5 hari untuk tidak kesini, boleh Mas?”

Marvin tidak bisa untuk menolak, karena bagaimanapun saat ini momen bahagianya Bi Mina sebagai seorang nenek. Maka ia hanya bisa mengangguk meng-iyakan permintaan Bi Mina. “Iya Bi, boleh. Tenang aja, gajinya nggak saya potong kok.”

Sekali lagi Bi Mina menundukkan kepalanya. “Terimakasih banyak Mas, kalau gitu saya pamit dulu Mas.”

“Eh sebentar Bi, tunggu dulu.” Ucap Marvin lalu kembali masuk ke dalam kamarnya, membuka almari rak bawah nya, kemudian mengambil amplop coklat yang lumayan tebal dan memasukkan beberapa lembar ratusan ribu lagi ke dalamnya. Lalu ia kembali menghampiri Bi Mina.

“Ini gajinya buat bulan ini, sama sedikit pesangon dari saya.” Ucapnya mengulurkan amplop coklat itu.

Bi Mina menerimanya. “Ya ampun Mas, kenapa saya dikasih pesangon? Ini bukan hari natal, Mas.”

Marvin terkekeh. “Nggakpapa, Bi Mina udah bekerja keras buat bantu saya dan Hazen jagain Hevin. Ini nggak seberapa sama capeknya Bi Mina saya repotin tiap hari kalau saya sama Hazen nggak bisa jagain Hevin.”

“Itu sudah pekerjaan saya atuh Mas, membantu kebutuhan Mas Marvin dan Mas Hazen termasuk adek Hevin.”

“Memang, tapi saya mau apresiasi Bi Mina. Anggap aja, ini sebagai pesangon ucapan selamat saya untuk kelahiran cucu Bi Mina yang kedua.”

Bi Mina tersenyum lebar. “Terimakasih banyak Mas Marvin, semoga Tuhan selalu memberikan kebahagiaan untuk Mas Marvin, Mas Hazen dan juga adek Hevin.”

“Amiin, makasih untuk doanya Bi.”

Lalu Bi Mina pamit undur diri dari hadapan Marvin, pulang menuju kampungnya di Banyuwangi.

Marvin menghela nafasnya, sekarang harus bagaimana? Apakah ia harus membawa Hevin ke kampus?

“Gue bawa Hevin aja kali ya? Lagian Neo Dream kan fleksibel, nggak ada larangan buat bawa anak ke kampus. Dan juga, ini udah bukan jam KBM.” Monolog nya dan menutup pintu kamar, berjalan menuju kamar Hazen untuk membangunkan sang anak.


Marvin berangkat ke kampus memakai mobil, rencananya tadi ia ingin memakai motor Ninja merahnya saja, tetapi ia membawa Hevin saat ini, sehingga mau tak maupun ia harus membawa mobil. Hevin duduk di car seat yang ada di kursi belakang.

Anak itu langsung terbangun saat Marvin menoel pipi dan hidungnya tadi, kemudian menangis sebentar karena kesal tidurnya diganggu. Untung saja Marvin sudah terlatih selama 6 bulan ini untuk merawat Hevin dengan benar. Sehingga ia tak kesusahan mendiamkan bayi itu untuk berhenti menangis.

“Paaaa, Mamaaa naa?”

Marvin melirik sang putra dari kaca mobil yang ada di dalam mobil lantas tersenyum. “Mama kamu ada di kampus, ini kita lagi samperin Mama.”

“Pusss? Mama ii puss?”

“Heem, Mama ada di kampus buat belajar. Nanti Hevin kalau udah besar juga belajar di kampus kayak Mama sama Papa.” Ucapnya dan menyetir dengan tenang sembari menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari anaknya.

Dalam 30 menit, akhirnya Marvin sampai di kampus. Ia membuka pintu belakang dan menggendong sang anak memasuki area kampus. Marvin berjalan dari parkiran mobil, disapa oleh satpam dengan senyum ramah.

“Loh Mas Marvin, ini anaknya yang waktu Manajemen Festa itu ya?” Tanya sang satpam saat Marvin menyapa sang satpam.

“Iya Pak hehe, udah gede nih sekarang. Ayo sayang disapa dulu bapak nya.”

Hevin mengerjapkan matanya lalu memperhatikan sang satpam. “Alooooo hihihihikkk.” Sapanya sembari melambaikan tangan heboh.

Sang satpam tergelak tawa dan membalas lambaian tangan Hevin. “Halo anak manis, namanya siapa?”

“Namanya Hevin Pak.” Jawab Marvin mewakili sang anak karena Hevin belum bisa menyebut namanya sendiri.

“Oh Hevin, nama yang bagus.” Satpam itu tersenyum.

“Pak, saya pergi duluan ya Pak? Saya ada rapat angkatan soalnya.”

“Oh enggeh siap Mas, silahkan.”

“Bilang dada dulu sama Bapaknya.” Ucap Marvin memerintah sang anak yang ada di gendongannya.

“Umm, paiipaiiiii.” Hevin lagi lagi melambaikan tangannya dengan riang gembira yang dibalas Pak Satpam dengan ketawa dan anggukan.

Marvin melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 2, yang artinya rapat sudah harus dimulai. “Hazen kayaknya udah nggak di rooftop lagi deh.” Gumamnya lalu mengambil ponsel di saku celananya.

Dan benar saja, ada pesan spam dari kekasihnya itu bahkan ada telpon tak terjawab juga. Marvin menghela nafasnya, tadi ia lupa menyalakan suara di ponselnya alias ponsel Marvin dalam keadaan silent. Tanpa membuka pesan dari kekasihnya itu, ia bergegas menuju aula tertutup Neo Dream.

“Paaaa, Mama naaa?” Hevin agaknya sudah kesal tidak sabar ketemu sang Mama, ia merengek menepuki pipi Marvin.

“Iya sebentar ya Hevin, ini lagi jalan nyamperin Mama kok.”

“Pattt Paaa, mau Mamaaaa.” Rengek sang anak mendusal di ceruk leher Marvin.

“Heem, sabar sedikit, hampir sampai ini.” Marvin berjalan sedikit terburu-buru menuju aula tertutup.

Banyak mahasiswa dan mahasiswi yang menatap Marvin, bahkan meskipun Marvin menggunakan topi dan masker, semua juga tahu itu Marvin. Apalagi dengan adanya Hevin di gendongannya, bayi itu sudah terkenal di Neo Dream. Berita tentang Marvin dan Hazen yang memiliki anak juga seluruh Neo Dream sudah tahu, sepertinya dosen hingga rektor pun tahu.

Saat sudah ada di depan pintu depan aula tertutup, Hevin meronta ingin turun dari gendongan Marvin. “Paaa runnn.” Ia memukuli dada Marvin.

“Iya iya, sebentar, Papa buka dulu pintunya baru kamu boleh turun. Jangan berisik ya? Mama lagi rapat di dalam.”

“Paaa runn, runnn.” Hevin tidak mau mendengarkan ucapan sang Papa dan terus memukuli dada Marvin.

Marvin pun menurunkan sang anak. “Sebentar, diem dulu. Papa buka pintunya.” Ia pun membuka pintu aula tertutup itu perlahan.

Keadaan di dalam aula itu ramai sekali, ada ribuan mahasiswa/i yang duduk lesehan, dan terlihat Hazen duduk paling depan menghadap ke arahnya, namun Hazen tidak sadar jika Marvin ada di ambang pintu. Karena kekasihnya itu sedang berbicara memberikan pengarahan kepada teman-teman angkatannya.

Sibuk memperhatikan Hazen yang serius mendiskusikan sesuatu dengan teman-temannya, Marvin jadi tidak sadar jika sang anak sudah tidak ada di ambang pintu bersama dirinya.

“Mamaaaaaaa Maaaaa Maaaaa.”

Putar dulu lagunyaaa pleaseee hehehe

https://www.youtube.com/watch?v=yWYDDvHBODc

Teriakan itulah yang akhirnya menyadarkan Marvin dan segera mengedarkan pandangannya mencari keberadaan sang anak yang lepas dari pengawasannya. “Hevin!!!” Panggil Marvin dan mengejar sang anak yang lari sedikit terseok-seok menghampiri Hazen.

Ribuan mata disana pun tertarik untuk melihat ke belakang karena teriakan sang bayi yang menggema di aula tertutup itu, karena Hevin terus memanggil Hazen sembari terkikik. Di tambah suara Marvin yang juga memanggil sang anak sembari mengejar.

“Mamaaaaaa Maaaaa.”

Mahasiswa/i pun otomatis minggir memberi jalan untuk Hevin ketika bayi itu melwati kerumunan begitu saja, lari tanpa rem.

“Astaga Hevin, jangan lari-larian, nanti jatuhhh.” Hazen yang akhirnya menyadari eksistensi sang anak pun segera berdiri dan berlari menuju sang anak, menangkap tubuh kecil itu yang berlari kencang hingga masuk ke dalam pelukannya.

Marvin berhenti di belakang Hevin yang sedang dipeluk oleh Hazen dan menghela nafas lega. Ia sungguh takut jika Hevin jatuh tadi karena berlari kencang namun jalannya masih terseok-seok.

Hazen melirik ke belakang, menemukan sang kekasih yang meringis ke arahnya. Hazen menghela nafas, tidak habis pikir apa yang dipikirkan oleh Marvin untuk membawa sang anak ke rapat umum seperti ini.

Masih dengan ribuan mahasiswa/i yang memperhatikan mereka bertiga, bahkan diam-diam banyak yang memotret dan merekam kejadian ini. Bagi mereka, kapan lagi mendapatkan momen langka seperti ini?

“Kenapa bawa Hevin kesini Kak?”

“Nggak ada yang jagain, Bi Mina pulang kampong, anaknya lahiran. Papa sama Daddy sibuk kerja, Sandra juga lagi kerja. Lo tau sendiri Ayah dan Bunda lo di Belanda.”

“Oh gitu, ini mau gimana? Masa diajak rapat sih?”

“Emang kenapa? Kan udah biasa juga kita ajak Hevin rapat.”

Hazen mengerlingkan matanya, “Itu mah sama anak-anak BEM, bukan rapat angkatan begini kali.”

“Apa bedanya? Sama-sama rapat. Udahlah Zen nggakpapa, Hevin kan selalu seneng liat banyak orang. Dia perlu adaptasi sama lingkungan yang ramai, buat bantu perkembangan dia dalam mengenal orang.”

“Hmm iya iya. Ya udah, ayo kesana. Gue tadi udah sampein beberapa, tapi masih perlu bantuan masukan dari lo.” Hazen menggendong Hevin dan berdiri, berjalan menuju tempatnya yang semula, diikuti Marvin.

Mahasiswa/i disana pun langsung pura-pura sibuk diskusi, berlagak tidak tau melihat apa-apa padahal mereka sudah gibah di grub chat masing-masing.

Hazen dan Marvin duduk di depan ribuan mahasiswa/i, Hevin duduk di tengah kedua orangtua nya. Hazen menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sedangkan Marvin pasang poker face seolah ini adalah hal biasa, bukan apa-apa.

“Ekhm, guys sorry ya kalau rapat kita nanti agak sedikit ada gangguan. Soalnya ada anak gue, gue nggak ngejamin dia bakalan diem aja, ada lah kalo ngerecokin jalannya rapat. Tapi gue usahain rapat kita selesai hari ini tanpa perlu mengulur waktu pulangnya meski ada beberapa gangguan dari anak gue nantinya.” Ucap Hazen.

“Nggakpapa Zen, santai aja. Lagian kita kan rapat santai kayak biasanya.” Kata mahasiswa 1.

“Bener, anak lo bisa jadi hiburan juga sih malahan, anak lo lucu banget tau.” Ucap mahasiswa 2.

Hazen tergelak tawa mendengar jawaban dari teman-temannya. “Thanks guys atas pengertiannya. Kita lanjut diskusinya ya?”

Akhirnya diskusi pun dilanjutkan, Hazen kembali berbicara memberikan pengarahan serta membalas setiap aspirasi dari teman-teman seangkatannya. Hevin yang merasa diabaikan oleh Hazen pun merangkak naik ke pangkuan sang Papa yang sedang memperhatikan penjelasan Hazen.

“Paaaa papa, papaaaa papapapaaaaa.” Hevin menarik-narik kaos Marvin meminta perhatian.

Ia menunduk untuk melihat sang anak yang sudah duduk di atas pahanya. “Kenapa? Bosen ya?”

“Mainnnn Paaa muuuu maiinnnn.”

Marvin membuka ransel mini yang ia bawa tadi lalu mengeluarkan beberapa mainan Hevin. “Main ini ya? Jangan gangguin Mamamu, dia lagi sibuk.”

Hevin diam saja dan lekas memainkan mainan favoritnya. Piano suara hewan. Bayi itu asal memencet seperti biasanya, dan saat ini keluarlah suara kucing. Hevin yang senang mendengar itu pun tergelak tawa dan menirukan suara kucing.

“Mong mong mong hihihihikk monggg monggg.” Tawa ceria nya mengundang banyak perhatian dari mahasiswa/i disana.

“Ssst Hevin jangan berisik ya? Masih ada rapat.” Peringat Marvin mengambil piano itu dari Hevin.

“Oooeeeekkkkk oeeeekkkkk hueeeeeee ueeee Mamaaaa maaaaa.”

Hevin menangis, Marvin kelimpungan dan membuat Hazen memijat pangkal hidungnya dan menghampiri si kecil. Lalu mendudukkan sang anak di pangkuannya. “Utututu kenapa nangis sih? Siapa yang nakal, hm?” Ucap Hazen sembari mengelap air mata Hevin dengan jemarinya.

“Oeeeekkk Papaaa hiks hiks hiks Papaaa hattt Maaaa hiks hiks.”

“Papa yang nakal? Biar Mama pukul ya Papanya, tapi Hevin harus berhenti nangis, oke?”

“Oeeeekkkk Maaaa, Papaaa hattt hiks hiks hiks.”

Marvin menepuk jidatnya mendengar aduan sang anak. Lantas Hazen mendekati Marvin kemudian memukul lengan Marvin tidak kencang.

Plakk

Marvin hanya pasrah dan tersenyum kecut lantas mengusap pipi sang anak yang basah karena air mata.

“Papa udah Mama pukul, jangan nangis lagi dong ya? Hevin anak baik, anak pinter masa nangisan? Malu dilihatin kakak-kakak nya tuh.” Ucap Hazen menunjuk ribuan mahasiswa/i untuk memberitahu Hevin.

“Papa minta maaf ya udah ambil mainan Hevin, nih Papa balikin deh.” Kata Marvin memberikan lagi mainan piano itu kepada sang anak.

“Hiks hiks hiks Papa Mama maaaaaa innnn hiks hiks.”

Marvin dan Hazen saling menatap, berbicara lewat tatapan mata, beginilah jika mata bisa berbicara.

“Gimana Kak? Rapat nya belum selesai tapi Hevin rewel banget.”

“Gue juga bingung Zen, gue ajak keluar aja ya? Lo rapat sendirian bisa kan?”

“Jangan anjir, nanti Hevin makin nangis tau. Lagian gue butuh aspirasi lo ini tentang proker nya.”

“Trus gimana dong? Masa kita ladenin Hevin main padahal masih rapat?”

“Kayaknya gue beri jeda istirahat aja deh rapatnya, ini prokernya tinggal dikit aja buat minta pendapat dari lo, kita bisa temenin Hevin main dulu.”

“Terserah lo aja, lo kan ketua angkatannya di angkatan ini.”

Para mahasiswa/i disana menahan teriak kegemasan dengan interaksi keluarga cemara di depan mereka. Tentu saja mereka syok mendengar panggilan Papa Mama untuk Marvin dan Hazen. Bukannya mereka geli, justru mereka semua gemas mendengarnya.

Hazen mendudukkan Hevin lagi di tengah setelah anak itu akhirnya diam dan sibuk memencet piano suara hewan itu.

“Moooo mooooo hihihihilkkkk mooooo.” Ucap Hevin saat suara sapi yang berbunyi.

Marvin dan Hazen terkekeh mendengarnya, berkali-kali keduanya mendengar ocehan Hevin pun tetap terasa menyenangkan di dengar meski ocehannya sama setiap hari.

“Iya bener, itu suaranya apa? Suara sa???” Tanya Marvin.

“Piiiii.” Jawab Hevin sembari tepuk tangan riang.

Hazen melihat teman-teman seangkatannya lalu menangkup tangannya bermaksud minta maaf. “Guys kayaknya istirahat dulu aja ya sebentar, 15 menitan. Hevin lagi rewel, mau temenin dia sebentar aja. Nggakpapa kan?”

“Nggakpapa Zen sumpah nggakpapa!!!!!” Teriak beberapa mahasiswi kompak.

Hazen tergelak tawa lalu mengacungkan dua jempolnya. “Kalian bisa pergi ke cafeteria kalo mau, daripada bosen duduk doang di aula sini.”

“Lihat kalian bertiga aja lebih enak sih Zen, kalian bertiga lucu, gue suka liatnya hehe.” Kata salah satu mahasiswi.

Marvin yang mendengar itupun tersenyum simpul, namun ia tetap bermain dengan Hevin tidak ikut nimbrung ke pembicaraan itu. Hazen ikut bergabung dengan Marvin dan Hevin yang sedang bermain piano dan buku-buku bergambar.

“Ini namanya buah Anggur.” Ucap Marvin menunjuk gambar buah Anggur.

“Gurrr?” Tanya Hevin.

“Iya, ang-gur. Anggur.” Ulang Hazen menjawab pertanyaan sang anak.

“Coba tebak yang ini sayang, buah apa?” Tunjuk Hazen ke gambar buah pisang.

“Nana, nanaaaa hihihikk nanaaaa.”

Marvin dan Hazen lagi-lagi tertawa, Hevin lebih suka menyebut nana alias banana daripada pisang.

“Iya udah banana, sekarang coba berhitung. Udah hafal sampai angka berapa?” Tanya Marvin.

“Sudah sampai 10 dong….” Ini Hazen yang menjawab sembari menggerakkan tangan Hevin menunjukkan 10 jarinya.

“Coba kita berhitung ya? Terusin setelah Papa oke?”

“Keeeeeee hihihihik.”

Marvin berdeham lalu memulai mengeja angka satu. “Sa?”

“Tuuuu.”

“Du???”

“Waaaaa.”

“Ti???”

“Gaaa.”

“Em???”

“Patttt.”

“Li???”

“Maaa.”

Mahasiswa/i disana dibuat terpukau, takjub. Ini benar-benar pemandangan yang indah. Sungguh, moment seperti ini perlu diabadikan. Mereka pun terlarut dalam drama keluarga yang tersaji di depan mata mereka.

“En???” Giliran Hazen yang mengucapkannya, membuat Marvin diam dan menyimak sang anak yang menjawab pertanyaan angka mereka sambil menyusun puzzle.

“Nammm.”

“Tu???”

“Cuuu.”

“Dela???”

“Pannn.”

“Sembi???”

“Lannn.”

“Sepu???”

“Luhhh.”

Hazen bertepuk tangan bangga lalu menghadiahi ciuman kupu-kupu di seluruh muka Hevin. “Aduh pinternya, aduh gemessss.”

Marvin tertawa kecil lalu mengusap kepala Hevin. “Pinternya anak Papa, nanti belajar hafalin abjad ya?”

Hevin hanya mengangguk sebagai respon karena ia asik bermain.

“Maaa maaaa mamammmm.”

“Loh? Laper ya?” Tanya Hazen.

“Pelll Maaa.”

Hazen melirik Marvin, memberikan kode untuk membelikan makanan. “Kak, di cafeteria ada kue bolu. Beliin aja buat Hevin.”

“Gue bawa aja kesana gimana? Biar rapat lo lancar?”

“Nggak usah, Hevin udah diem anteng kok. Lo bawain aja makanan nya kesini, suapin dia dan gue tinggal rapat.”

“Ya udah, tunggu.” Marvin berdiri dan pergi ke cafeteria untuk membeli kue bolu.

Siang itu, menjadi rapat yang menyenangkan untuk mahasiswa/i Manajemen Bisnis angkatan 22 karena bisa melihat pemandangan keluarga bahagia secara langsung. Semakin banyak juga yang mendukung hubungan Marvin dan Hazen setelah melihat interaksi langsung kedua orangtua muda itu kepada sang anak. Melihat Marvin yang menyuapi kue bolu untuk Hevin, sedangkam Hazen yang rapat bahas proker sembari sesekali meladeni Hevin yang minta perhatian.

Proker pun terselesaikan dengan baik karena Marvin mengoreksi dan memberi masukan yang bagus untuk angkatan 22. Rapat dibubarkan pukul 5 sore.

@_sunfloOra