Not just cup but—more.

Puter lagu “Ada Cinta” di bawah ini bestie, if u want to baper meleyot dugun-dugun

https://www.youtube.com/watch?v=Xyh-9Z8csCg&list=RDGMEMQ1dJ7wXfLlqCjwV0xfSNbAVMOT5msu-dap8&index=26

note : cw // kissing boleh di skip jika tidak ingin meleyot dan melumer.


“Gimana Kak? Udah bilang ke temen-temen lo buat batalin janji?”

Saat ini Hazen sedang duduk lesehan depan televisi bersama Hevin yang sedang bermain teether semangka yang Hazen beli kemarin saat mampir Mall belanja bulanan.

Hazen kepikiran beli itu karena saat belanja, ia menemukan seorang ibu menggendong bayi dan berbicara katanya si bayi harus melatih gigi nya agar kuat menggigit dengan mainan itu. Akhirnya Hazen membelinya setelah ibu-ibu itu pergi darisana.

Kepikiran semangka, karena Hazen akhir-akhir ini jadi suka semangka karena Marvin selalu menyediakan semangka di kulkas. Tentu saja Hazen dilarang makan, tapi bukan Hazen namanya jika tidak bisa mendapatkan apa yang dia mau.

Debat dengan Marvin adalah salah satu keahliannya, dan memenangkan perdebatan antara dirinya dan Marvin adalah salah satu prestasi besarnya.

Marvin yang sedang memotong buah semangka yang baru saja dikeluarkan dari kulkas pun melirik Hazen. “Udah.”

“Lo bilang apa ke mereka buat batalain?”

“Kepo.”

“Ishh, gitu terus buset.” Hazen mengerucutkan bibirnya, “Kak, bagi semangka nya kalo udah selesai ngupas ya?”

“Nggak.”

“Kok pelit? Kan di aturan udah ditulis kalo kita saling masakin, saling kasih makan. Gimana sih?”

“Except watermelon, I can't share this with everyone, including you.”

Hazen berdiri dan menghampiri Marvin, dan dengan sigap ia mengambil satu potong buah semangka. Hazen pikir, ia akan lolos setelah berlari kabur, namun sepertinya Marvin sudah hafal kelakuan Hazen yang se atap dengannya selama 1,5 bulan ini.

Karena begitu Hazen mengambil satu potong buah semangka, Marvin segera menarik lengan Hazen. Spontanitas Hazen juga bagus, ia menggerakkan tangannya ke sembarang arah menghindari tangan Marvin yang berusaha merebut buah semangka itu.

Adegan itu berlanjut kejar-kejaran karena Hazen bisa lepas dari cekalan Marvin, lari-larian memutari sofa. Hevin hanya melihat setengah tidak peduli, ia asik sendiri bermain dengan piano mainan, memncetnya asal setengah memukul lebih tepatnya asalkan bunyi.

“Hazen, gue bilang nggak mau berbagi ya nggak mau!”

“Yaelah satu doang ini mah, jangan pelit dong!”

“Sekarang satu, entar ngelunjak nyolong lagi sampe 7 buah.”

“Dih, hiperbola amat. Gue nggak se-maniak lo kali kak sama semangka.”

“Halah bilang nggak maniak, tapi pas malem-malem suka buka kulkas terus nyomot. Jangan lo pikir gue nggak tau kelakuan nakal lo ya Hazen...”

Hazen tergelak tawa renyah, itu benar. Hazen biasanya malam hari suka haus, dan semangka segar di dalam kulkas menggoda imannya untuk mencomot meski sudah dilarang Marvin.

Ia pikir, selama ini Marvin nggak pernah tau mangkanya nggak pernah marahin, ia terkejut juga perbuatan biadab nya diketahui sang pemilik semangka.

“Haus kak, semangka nya menggoda iman buat dicicipi di malam hari.”

Dan mereka masih terus kejar-kejaran, memutari sofa dan meja. Untung saja Hevin tidak keinjak mereka.

“Namanya tetep nyuri kalo nggak bilang!”

“Nggak nyuri, kan yang di dalem kulkas milik bersama.”

“Kecuali semangka, itu punya gue sendiri.”

“Pelit, ntar kuburan lo sempit tau rasa!” Hazen menjulurkan lidahnya sembari melihat Marvin di depannya yang terhalang oleh sofa di tengah. Mereka saling mengepung.

“Udahlah serah lo aja, gue capek.” Ucap Marvin dan kembali ke meja dapur untuk meneruskan memotong buah semangkanya.

Hazen bernafas lega, ia ngos-ngosan juga berlarian sejak tadi menghindari Marvin. Jadi dengan tenang, ia duduk di sofa. Saat ia membuka mulutnya ingin memakan buah semangka, tiba tiba Marvin mencekal tangannya.

“Nah, kena lo.” Senyum licik terpancar dari bibir Marvin.

Hazen melongo, “Gue ini lagi dikibulin Marvin? Bangsat.”

Saat Marvin ingin mengambil buah semangka dari tangan Hazen, Hazen menarik tangannya mundur dengan kencang agar terlepas dari cekalan Marvin. Namun, bukan seperti perkiraan Hazen yang terjadi, justru ini adalah keadaan dimana tak pernah terbayangkan oleh Hazen maupun Marvin.

Tenaga Hazen yang kuat untuk menarik tangannya mundur dan berusaha melepaskan diri dari cekalan Marvin, membuat tubuh Marvin limbung dan menubruk tubuh Hazen di bawahnya.

Semangkanya terlempar ke lantai, sedangkan Hazen sedang dikungkung Marvin.

Tak sampai disitu, karena ini betulan gila asal kalian tahu. Tidak tau apa karena Hazen seorang atlet judo sehingga tenaganya memang sebesar itu? Karena Marvin jatuh menimpanya tak hanya sebatas badan, melainkan—bibirnya juga.

Bibir tipis Marvin menempel diatas bibir ranum Hazen, bahkan diantara mereka tidak ada jarak sama sekali, sejengkal pun tidak. Benar-benar definisi jatuh yang sesungguhnya, karena Marvin tidak bisa menjaga tubuhnya untuk tetap bertahan saat tertarik Hazen.

Jika kalian ingin tahu, tak hanya bibir yang menempel. Kening mereka, hidung mereka—bahkan hembusan nafas masing-masing bisa dirasakan menerpa permukaan kulit wajah mereka.

Seperti tersihir sebuah mantra, kedua manik mata hazel dan gelap itu bertemu. Saling memandang dan menelusuri begitu dalam keindahan keduanya dari pancaran kedua manik mata mereka.

Suara televisi yang mengisi asrama 119 itu terasa tak terdengar sama sekali, yang mereka dengar hanyalah degub jantung masing-masing yang sama keras dan ributnya.

Deg deg deg deg deg deg

Bunyi detak jantung keduanya seirama, sama-sama keras dan bikin dada sesak. Berpacu membentuk melodi dan gelenyar aneh di hati masing-masing.

Entah keduanya juga tidak mengerti, kenapa mereka tidak ada yang ingin mengakhiri posisi ini. Posisi yang luar biasa ambigu.

Ingatlah, bahwa mereka tetaplah remaja; yang dimana hormon sedang melambung dengan tingginya. Jika sudah seperti ini, tentu akal sehat hilang entah kemana. Tak peduli itu siapa, dimana atau bahkan kenapa.

Tidak tau siapa yang berinisiatif, karena keduanya memang sudah hilang akal—sepertinya. Terbawa suasana yang mendukung, memang iblis itu jika mengganggu kewarasan manusia paling pintar. Karena kini yang berawal dari hanya menempel, sudah tidak lagi sekedar itu.

Kedua belah bibir itu bergerak perlahan. Bersamaan menutup kelopak mata. Tangan yang semula diam, kini juga ikut bergerak mengikuti insting. Tangan Hazen merambat ke bahu Marvin kemudian dengan sempurna mengalung cantik di leher Marvin.

Sedangkan telapak tangan Marvin sudah menyentuh kedua pipi gembil Hazen, kedua ibu jarinya mengusap lembut pipi berisi dan lembut itu.

Bibir mereka bergerak tidak tergesa, perlahan namun pasti. Membuka dan menutup untuk menyamakan gerak. Melumatnya bergantian, saat Marvin sedang mencumbu bibir bawah Hazen, maka Hazen melumat bibir atas Marvin.

Bergantian selama beberapa kali, karena mereka merasa nyaman dan ingin terus mencumbu. Tak ragu mereka bertukar saliva dengan saling menyesap lidah yang bergerak dalam rongga mulut keduanya.

Bunyi kecipak basah khas orang ciuman kini beradu dengan suara televisi.

Jika kalian bertanya bagaimana Hevin? Bayi itu hanya melihat dua remaja itu dengan mengerjapkan mata tak mengerti sembari menggigiti teether semangkanya.

Tangan Hazen memang nakal, karena terlalu terbuai dengan pagutan bibir Marvin di bibirnya, telapak tangan kecilnya itu mengusap rambut Marvin dengan gerakan konstan, sama dengan gerak bibir mereka yang saling memagut mesra.

Marvin juga terbawa suasana, tangan kanannya mengelus helaian rambut Hazen yang menutupi kening. Menyisir dengan jemarinya untuk menyingkirkan helaian rambut Hazen. Mengusap lembut pelipis kanan Hazen.

Hihihi pppaaaa mmmaaa brmmm kikikikik

Suara heboh Hevin yang bertepuk tangan berkali-kali dan tertawa cekikikan sembari berceloteh membuat keduanya tersadar dari buaian yang begitu nikmat itu.

Hazen dengan reflek mendorong dada Marvin hingga Marvin terdorong jatuh dari sofa—maksudnya jatuh dari atas tubuh Hazen.

Bug

Bunyi gedebug pun tak bisa terhindari, Marvin mengerang mengusap pantat dan punggungnya yang nyeri, karena jujur saja Hazen mendorongnya sangat keras. Pake sekali. Sudah sangat, sekali pula. Artinya apa? Benar, sakit sekali permisa.

Hevin yang melihat Marvin tersungkur malah tertawa terbahak-bahak dan merangkak menghampiri Marvin, menaiki perut Marvin dan memuku-mukulkan tangan mininya di dada Marvin sembari terkikik.

Brrrmmm papapapa hihihihihi mmmmmburrrr

Namanya juga bayi, suka tidak tau diri jika ludahnya itu banyak dan menyembur keluar sembarangan.

“Hevin, air liurnya kesembur ke gue semua, jangan jorok deh!” Kata Marvin menyentuh badan Hevin dan mengangkatnya menjauh dari perutnya. Meletakkan Hevin di sampingnya sembari mendudukkan tubuhnya yang tersungkur akibat ulah Hazen.

Hihihi papapapa bbbrmmmmm mamamamama

Ucap Hevin yang kini melihat Hazen dan merangkan menghampiri Hazen yang sudah duduk tegak di sofa, namun wajahnya melengos menatap ke arah jendela asrama yang menunjukkan panorama malam hari kota Jakarta dari lantai 3.

Sungguh, Hazen masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi dan apa yang ia lakukan bersama Marvin. Otaknya ngebul, panas, mendidih dan pening mengingat kelakuan biadab nya beberapa menit lalu.

Namun pergerakan training yang dipakainya membuatnya melirik dan menunduk. Ternyata Hevin sedang berusaha memanggil Hazen dengan menarik-narik training di bagian bawah—dekat mata kaki.

Hazen menghela nafas sebentar dan melirik sedikit Marvin yang sudah berdiri dan berjalan menjauhinya. Sepertinya Marvin menuju ke dapur. Lantas Hazen memukul kepalanya sendiri, tidak keras tapi cukup untuk membuat otaknya kembali bekerja normal. Ia mengangkat tubuh Hevin dan mendudukkan bayi itu di pangkuannya tanpa bicara apapun. Membiarkan Hevin berceloteh sesukanya.

Marvin sedang mengambil air putih dan meneguknya rakus, karena ia merasa panas saja. Ia perlu menyegarkan otak dan akal sehatnya.

“Hazen, lo sinting, lo gila. Barusan lo ngapain sama Marvin, sialan? Arghhh gue malu banget anjing, mau pasang wajah dimana gue kalo begini? Mana Marvin juga diem aja kagak ngomong apa-apa.”

“Hazen.”

“Kak Marv.”

Sepertinya kedua remaja ini memiliki ikatan batin yang kuat, sehingga memanggil satu sama lain pun bisa barengan.

Keduanya kikuk, Hazen menggaruk tengkuknya yang tetiba merinding. Sedangkan Marvin berdeham canggung.

“Kenapa? Lo dulu aja.”

“Lo aja deh Kak.”

“Gue bilang lo dulu, ya lo dulu.”

“Kak Marvin aja.”

Keduanya terdiam lagi selama beberapa saat.

“Sorry.”

“Maaf.”

Oke, bersamaan lagi untuk kesekian kalinya.

Hazen dan Marvin menghela nafas bersamaan. Hazen masih duduk di sofa dan memangku Hevin yang bersandar pada dadanya, sepertinya anak itu tertidur. Sedangkan Marvin bersandar pada dinding ruang tamu, berjarak 3 meter dari Hazen.

“Lupain yang tadi, anggap aja tadi mimpi.” Ucap Marvin.

“Hm iya, gue juga mau bilang kalo itu bukan kemauan gue, itu nggak sengaja. Cuma terbawa suasana aja dan gue pengen lo lupain itu.”

Marvin menghela nafas lega, “Bagus kalo gitu, gue harap lo beneran lupain ini.”

Hazen mengerlingkan matanya, “Iya gue lupain, lagian ngapain juga gue inget-inget bangsat? Merinding dan ngeri juga gue ingetnya.”

“Halah, bilang aja lo kesenengan juga trus ketagihan kan? Nggak usah ngelak, lo sangat menikmati ci—”

Stop it, lagak lo kayak lo nggak suka aja. Lo juga terbuai dan nikmati permainannya. Jangan munafik deh.”

“Apa?! Gue nggak, tadi khilaf terbawa suasana aja.”

“Ya udah sama! Gue juga kebawa suasana, jadi nggak usah diungkit-ungkit lagi.”

Oeekkk oooeekkk oooeekkk

Hevin yang tadinya sudah mulai terlelap pun terbangun karena suara Hazen yang sedikit kencang.

“Eh Hevin astaga, maafin kakak yaa. Kekencengan ya suara kakak?” Ucapnya lalu menimang Hevin dan menggoyangkan tubuh kecil Hevin di pelukannya pelan serta mem puk-puk punggung dan pantat Hevin bergantian.

Mammmm mamamama

“Iya iya, Mama disini sayang. Ssstt jangan nangis ya? Nanti gawat kalau tetangga kamar denger.”

Oooeeekkk mmmaa mmmaa mamama

Hazen berdiri dan membawa Hevin ke kamarnya. Lebih baik ia menenangkan Hevin di kamar, setidaknya suaranya bisa lebih teredam dan tidak sampai keluar asrama.

“Kak, udah ya bahasan tadi selesai sampai sini. Selamat malam, gue mau nenangin Hevin.” Ucapnya melewati Marvin begitu saja.

Marvin tidak menjawab apapun dan hanya menghela nafas sembari menyentuh dadanya. Asal kalian tau, detak jantung Marvin masih sama cepatnya seperti tadi.

“Anjing, gue lagi stroke atau gimana sih? Kok tetep kenceng banget detak jantung gue? Apa karena gue terlalu syok mangkanya gini?” Batinnya mendumal.

Setelahnya, Marvin memutuskan kembali ke kamarnya. Ia akan menyelesaikan semua tugasnya yang bahkan masih dikumpulkan 2 minggu lagi. Ia ingin mengalihkan pikirannya dari kejadian tadi yang masih terbayang-bayang sampai sekarang.

Saat melewati pintu kamar Hazen, kaki nya terhenti. Bukan karena pintu kamar Hazen tidak ditutup lagi, melainkan karena suara Hazen terdengar jelas hingga ke telinganya.

Itu suara Hazen, sedang bernyanyi. Menyanyikan Hevin sebuah lagu, yang Marvin tak tau judulnya apa. Tapi yang jelas—sangat indah dan merdu.

Bintang malam katakan padanya Aku ingin melukis sinarmu di hatinya Embun pagi katakan padanya Biar ku dekap erat waktu dingin membelenggunya

Tahuakah engkau malam ini Ku ingin bertemu membelai wajahnya Ku pasang hiasan angkasa yang terindah Hanya untuk dirinya

Lagu rindu ini kuciptakan Hanya untuk bidadari hatiku tercinta Walau hanya nada sederhana Ijinkan ku ungkap segenap rasa dan kerinduan

Marvin tersenyum tipis, “Oh lagu cinta, kayaknya Hazen rindu his someone special. Raden maybe?”

Kemudian Marvin meneruskan langkahnya dan masuk ke kamarnya sendiri.

Flo·ᴥ·