Pagi Hari yang Sibuk

Hazen dengan usaha kerja kerasnya akhirnya berhasil mengganti popok sang bayi, untung saja orangtua bayi ini memberinya perlengkapan bayi komplit. Popok pun sudah disediakan sebanyak 1 pack. Bahkan ada gendongan bayi nya juga.

Huft, akhirnya beres juga. Nggak usah ganti baju dulu ya? Kamu belum mandi soalnya.”

Sang bayi hanya mengerjapkan matanya, kedua tangan mungilnya masih meraih udara, keinginannya untuk menyentuh Hazen masih ada.

Hazen mengalah, ia pun mengambil gendongan bayi berwarna abu-abu itu dan mengaitkannya pada tubuhnya. Seingatnya, Bunda pernah bilang, jika menggendong bayi akan terasa lebih ringan jika memakai gendongan bayi.

Oleh karena itu, Hazen memilih memakainya saja, ia tidak mau lengannya kebas lagi di pagi hari seperti ini. Hazen mengangkat tubuh kecil sang bayi dan memasukkannya ke dalam gendongan bayi. Hazen mengeratkan pengikat gendongan bayinya pada pundaknya agar posisi sang bayi enak, tidak merosot ke bawah.

“Gue berasa ibuk-ibuk lagi gendong anak pake gendongan bayi segala, Ishh apa kata dunia Hazen yang keren dan cool abis malah gendong bayi?”

Hikhikhik kikikikik Ma....

Hazen menaikkan sebelah alisnya, bayi di gendongannya ini sedang tertawa dan berceloteh entah apa. “Apa? Kenapa liatin gue terus? Iya tau gue ganteng, tapi nggak usah kayak gitu juga liatinnya.”

Hihihikikiki bbbrrrmmm ma...maa maa maa kikikik

“Anjay, ini liur nya jangan nyembur-nyembur ah. Gue udah mandi jangan diludahin elah.” Gerutu Hazen ketika air liur sang bayi muncrat ke wajahnya.

Namun bayi itu malah makin tertawa dan berceloteh tidak jelas. “Astaga, kamu harus mandi! Bau ih, bentar ya tunggu es batu selesai mandi.”

Hazen mengambil peralatan mandi si bayi yang ada di tas bayi. Mulai dari handuk kecil, sabun cair, dan sampo. Kemudian ia keluar dari kamarnya untuk menunggu Marvin selesai mandi.


Ceklek

Bunyi pintu kamar mandi terbuka mengalihkan atensi Hazen yang sedang mengajak sang bayi berbicara. Ia menoleh ke belakang dan Marvin sudah terlihat segar dengan balutan bathrobe nya.

“Kak, jangan ganti baju dulu deh.” Ucap Hazen tiba-tiba saat Marvin ingin berjalan ke kamarnya.

“Kenapa emang?”

“Bantuin gue lah.”

“Untuk?”

“Mandi.”

“Hah?” Marvin tidak mengerti, dia yang salah dengar atau emang Hazen memang mengucapkan demikian.

Tsk, maksud gue bantuin mandiin nih bayi. Sekarang juga, jadi daripada baju lo basah lagi, mending nggak usah ganti baju.”

“Kenapa gue bantu mandiin? Gue nggak tau cara mandiin bayi.”

“Lo pikir gue ngerti? Hellooo kak Marvin yang terhormat, disini kita sama-sama awam ya, jadi jangan banyak alasan buat kabur dari tanggung jawab ini.”

“Ngapain tanggung jawab? Dia bukan anak gue, bukan kerabat gue, bukan siapa-siapa gue.”

“Trus lo pikir dia anak gue? Kerabat gue? Buat mandiin nih bayi tuh ya nggak perlu status hubungan, jangan banyak cing cong, bantuin gue atau gue bakal nyuruh lo bawa dia ke kampus nanti?”

Marvin menganga, Hazen sedang mengancamnya saat ini. Benar begitu? Wah, Marvin tak habis pikir. “Lo ngancem gue?”

“Iya, gue ngancem lo! Please kak, anak ini diserahin ke kita. Jadi ayo kita mandiin dia, dia bau pesing meski udah gue ganti popoknya.”

Tsk, nyusahin bener pagi-pagi. Udah ayo buruan jangan lama-lama.”

Hazen mencebikkan bibirnya lalu membawa sang bayi ke dalam kamar mandi diikuti oleh Marvin.

“Kak, itu isiin bath up nya sama air anget.”

Tanpa banyak kata, Marvin menyalakan air hangat untuk mengisi bath up nya. Menunggu sekitar 5 menit, akhirnya bath up terisi setengah.

“Udah kak jangan penuh, nanti tenggelem anaknya.”

Marvin mematikan kran air nya, lalu Hazen mencopot ikatan gendongan bayinya. “Kak, pilih gendong atau yang lepasin baju-bajunya?”

“Nggak dua-duanya.”

“Ishh Kak! Ayo dong serius, mau cepet selesai nggak?”

Marvin mengerlingkan matanya, lalu mengambil alih sang bayi di gendongannya. “Buruan.”

Hazen mendengus lalu mulai mencopot kain yang menempel di tubuh sang bayi satu persatu. Si baby masih bergumam dan berceloteh tak jelas di tengah kesibukan Hazen menanggalkan pakaiannya.

BBbrrrmmm paaa....bbrrrr iikikkikikik

Marvin memalingkan wajahnya ke samping, karena ia bernasib sama dengan Hazen seperti tadi. Benar, terkena semburan maut air liur nya.

“Heh jorok amat bocah, jangan disembur pake air liur dong! Gue udah wangi dan bersih tau!” Kata Marvin memarahi sang bayi.

Ada hening sejenak, sebelum badai menyapa gendang telinga Marvin dan Hazen di dalam kamar mandi itu.

Ooeeekkkk oooeeekkk hiks hiks hiks

“Heh kok nangis sih? Kan lo emang salah, nggak sopan nyembur orang!”

Ooooeekkkk ooooeeekkkk oooooeeekkk

“Kak Marvinnnnn Ya Tuhan, bisa nggak sih lo itu manusiawi dikit? Ye jelas aja dia nangis kalau lo bentak kayak gitu, bodoh.”

Hazen mengambil alih sang bayi setelah bayi itu telanjang bulat. Hazen menepuk-nepuk pantat dan mengusap punggung sang bayi, menyandarkan kepala si bayi di bahunya. “Cup cup cup anak ganteng, jangan nangis ya? Nanti aku cubit kakak yang nakal itu ya? Sekarang waktunya mandi biar wangi. Oke ganteng?”

Hiks hiks hiks bbbrrmmmaaa maaa

Oceh bayi itu sesenggukan namun sudah berhenti menangis, meneruskan celotehan tidak jelasnya. Marvin sempat heran, kenapa bayi itu menurut sekali dengan Hazen?

“Zen.”

“Apa?!” Jawabnya galak.

“Jangan-jangan ini anak lo ya? Ngaku lo!”

Rahang Hazen terjatuh seketika, demi apa Marvin menuduhnya?

“Sembarangan! Gue aja nggak pernah pacaran, mau hamilin siapa? Angin?”

“Abisnya ini bocah nurut banget sama lo.”

“Nurut darimana nya njir, lo nggak tau aja struggle gue kemarin malem buat dia diem dan tidur. Tulang gue rasanya pisah dari raga.”

Mmmmman mmaaan bbrrmmmiiii Ucap sang bayi sembari menepuk-nepuk pipi berisi milik Hazen dengan jari-jari mungilnya.

“Iya iya mandi, ayo kita mandi cussssssss.”

Bayi itu tergelak tawa dan bertepuk tangan, merasa Hazen itu lucu. Sedangkan Marvin masih mencerna sebenernya dia ini ngapain di pagi hari yang cerah ini harus memandikan bayi bersama Hazen?

“Kak, kok bengong sih? Sini bantuin!”

Marvin terbangun dari lamunannya lalu segera menghampiri Hazen dan ikut berjongkok. Sang bayi sudah Hazen letakkan dalam bath up.

“Selanjutnya apa?” Tanya Marvin.

“Pegangin bayinya kak, biar gue yang sabunin dan sampoin dia.”

“Dipegang gimana maksudnya?”

“Ya—pegangin bahunya atau punggungnya biar dia bisa duduk tegak nggak jatuh pas gue sabunin dan gue sampoin.”

Marvin mengangguk mengerti lalu ia pun memegang tubuh kecil sang bayi, meletakkan telapak tangan besarnya untuk menyentuh lengan kecil sang bayi. “Udah.”

“Oke, tahan terus sampai selesai ya kak.”

“Hm.”

Kedua tangan Hazen mulai beraksi, ia membasuh tubuh sang bayi dengan air hangat menggunaka gayung yang ada di kamar mandi, menyiramnya pelan-pelan.

Si bayi aktif, menepuk tangannya di kubangan air bath up, bermain air istilahnya. Air itu menciprati Hazen dan Marvin.

“Kamu diem dikit ya bayi, jangan dicipratin. Baju aku basah kuyup ntar.” Keluh Hazen masih memegang gayung.

Bukannya menurut, si bayi makin berulah, semakin gencar menyiprati Hazen dengan air.

“Kak, bentar ya gue ambil bathrobe dulu.”

“Ya, jangan lama-lama.”

“Iyaaa.” Hazen keluar dari kamar mandi menuju kamarnya untuk berganti pakaian.

Bbrrrrr bbbrrr paaa mmmbbrrrr paa

“Apasih? Gue nggak ngerti lo ngomong apa, jadi diem aja okay?” Marvin dongkol sendiri mendengar celotehan bayi ini lama-lama.

Hihihihikkkk puuuurrr bbbrrmmm

Tak lama setelahnya, Hazen sudah kembali dengan bathrobe yang membungkus badannya.

“Nah, sekarang waktunya pakai sabun, jadi kamu jangan gerak-gerak ya? Biar cepet selesai.” Ucap Hazen memperingati.

“Emang dia ngerti lo ngomong apaan?”

“Mana gue tau? Gue nggak bisa baca pikiran orang.” Kata Hazen sembari menuangkan sabun cair ke telapak tangannya.

Ia mendekat ke bayinya, lalu mulai mengusap kulit lembut dan rentan sang bayi dengan sabun. Dengan telaten, Hazen mengusap lembut seluruh badan sang bayi tanpa terlewati.

Marvin hanya diam memperhatikan setiap gerakan Hazen yang menyabuni sang bayi. Rasanya—Marvin tidak mengerti. Pemandangan Hazen yang diam dan sibuk mengusap tubuh sang bayi dengan sabun secara perlahan namun disertai senyuman, bahkan mengajak si bayi berbicara meski jawaban sang bayi hanya brrrmm dan maaa tapi Hazen tetap saja mengajak bicara ini seperti menyihirnya. Kedua manik tajamnya tidak ingin beralih sedikitpun untuk memandangi Hazen dan sang bayi bergantian.

“Hmmm wanginyaaa, dibilas ya? Diem aja kamu, nanti nggak bersih kalo kamu gerak-gerak.”

Dalam diam, ia merindukan Mommy nya, Marvin ingat betul saat ia masih umur 6 tahun pun masih sering dimandikan ibunya seperti ini. Hazen mengingatkannya pada masa kecilnya dulu.

“Kak, baringin bayinya, gue mau sampoin biar samponya gak masuk ke mata dia.”

Tidak ada jawaban dari Marvin, lelaki itu menatap Hazen dengan pandangan kosong.

“Kak.”

“Kak.”

“Kak Marv!” Panggil Hazen sedikit keras karena Marvin tidak menggubris panggilannya.

“Ha? Kenapa?”

“Jiwa lo kemana deh? Gue bilang, baringin anaknya.”

“O-oh dibaringin gimana?”

“Tumpu kepalanya trus pegangin lengannya.”

“Oke.”

Marvin menjalankan instruksi Hazen. Saat posisi sang bayi sudah terbaring nyaman, Hazen menuangkan sampo di kepala sang bayi.

“Kamu jangan banyak gerak ya? Nanti kalo masuk mata perih, jadi diem aja okay?”

Brrrmmmm maa hihihi

Hazen ikut terkekeh mendengarnya, ia mulai memijat kepala sang bayi pelan dan mengusap helaian rambut tipis sang bayi dengan sampo.

“Kata lo nggak pernah mandiin bayi? Tapi kok lagak lo kayak orang pro.”

“Ilmu insting dan modal nekat ini mah, gue kemarin sempet liat youtube cara mandiin bayi.”

“Lo—nerima dia disini? Maksud gue lo mau rawat dia gitu?”

“Dia dititipin ke kita kak, ortunya percayain dia ke kita.”

“Orang gila, orangtua mana yang nitipin anaknya ke orang asing? Dan lagi, kita nggak ada pengalaman buat ngurus bayi, bukannya lebih bagus kalo dikasih ke panti asuhan aja?”

Hazen menghela nafas. “Kak, abis ini gue kasih tau lo sesuatu. Dan coba lo pikirn solusi terbaiknya apa. Kalo lo berpikiran sama kayak gue buat jaga amanah orangtuanya dia, lo masih manusia.”

“Jangan lo pikir gue nggak kesel juga tiba-tiba dititipin bayi kayak gini, gue kesel banget tapi abis gue liat dia—gue kasian.”

“Kasian kenapa?”

“Nanti lo bakalan tau sendiri, mangkanya ayo selesaiin acara mandi ini dengan cepet biar lo bisa ngerti apa maksud gue.”

Marvin hanya diam dan mengangguk sebagai jawaban. Lalu acara memandikan bayi itu berlanjut, Hazen dan Marvin berhasil memandikan bayi itu dengan bersih dan harum. Meski Hazen dan Marvin harus basah karena ulah sang bayi yang aktif menyipratkan air bath up kepada mereka berdua.

“Bantuin gue lagi, jangan kabur lo.”

“Apalagi sekarang? Kan udah gue bantu mandiin.”

“Ya bantuin makein bajunya lah! Lo pikir gue bisa sendiri?”

“Zen...”

“Kak please.” Hazen melengkungkan bibirnya ke bawah, tanda putus asa membutuhkan pertolongan.

Marvin mengalah, ia menurut pada akhirnya. “Gue harus apa?”

Hazen tersenyum sumringah. Nih gendong dulu dedeknya, gue mau ambilin baju sama popok dan skincare nya dulu.”

“Hm, jangan lama-lama.”

“Ya bacot.”

Hazen sedikit berlari kecil menuju kamarnya untuk mengambil keperluan sang bayi.

Tak berapa lama, Hazen kembali. “Kak baringin dia di sofa, ini perlak nya jadiin alasnya.”

Marvin mengambil perlaknya dan membeberkannya di atas sofa lebar asramanya. Kemudian meletakkan sang bayi berbaring disana. “Udah selesai kan tugas gue?”

“Enak aja!! Masih belum mulai, bantuin masangin semua pakaiannya.”

Hazen berjongkok , Marvin juga. Tangan Hazen mulai menuangkan minyak telon di telapak tangannya.

“Itu apaan?”

“Minyak telon, ada tulisannya, mohon dibaca.” Sewot Hazen dan mulai mengoleskan minyak telon di perut sang bayi dan telapak kaki serta telapak tangan bayi itu.

“Gak keliatan.”

Hazen mencibir lalu mengambil bedak tabur.

“Itu apaan?”

“Udah jelas ini bedak tabur bodoh, pake nanya. Lo kira ini garem?”

“Gue kan nggak tau, apa salahnya nanya?”

“Udah kakak diem aja, biar gue selesaiin pakein semua skincare nya dulu.”

Marvin memilih diam dan melihat semua gerak-gerik Hazen mendandani sang bayi. Hazen membubuhkan bedak taburnya ke perut sang bayi, ke leher dan juga ketiak.

“Nah, kak sekarang bantuin gue makein pakaiannya. Gue pasang popok dan celananya, lo pasangin bajunya.”

“Ya.”

Marvin dan Hazen bekerja sama sekarang, Marvin yang mencoba sabar memasukkan lengan kecil sang bayi ke dalam baju bersusah payah karena bayinya bergerak terus.

“Diem kek, ini tangan lo masuk dong elah.” Gerutu Marvin kesal.

Bbbrrrmmmm hihihihi parrmmm

“Idih malah ketawa, nakal banget.”

Hazen terkekeh, demi Tuhan ini lucu. Melihat Marvin jengkel karena ulah sang bayi.

“Hahaha jangan diomelin kak, nanti dia nangis malah repot. Kalo sampe dia nangis, gue suruh lo buat dia sampe diem.”

Marvin bergidik ngeri, membayangkannya saja merinding. “Gak banget.”

“Mangkanya diem aja, udah sana cepet dipakein baju. Gue udah selesai nih.”

Marvin melirik kerjaan Hazen, popok dan celana panjang warna putih sudah terpasang rapi.

“Ya sabar.”

Perjuanhan selama 15 menit itu akhirnya selesai.

“Sentuhan terakhir biar makin wangi, pakai collogne ya dedek.”

Bayi itu tertawa dan bertepuk tangan. Hazen mengoleskan collogne ke seluruh tubuh si bayi hingga bajunya. Kemudian Hazen mendekatkan hidungnya pada pipi sang bayi. “Hmm wangi bener dah. Cium boleh ya?”

Kedua tangan mungil sang bayi meraba-raba wajah Hazen. Menepuk hidung, kening, kedua pipi Hazen bahkan bibir Hazen.

“Ishhh masih bocil udah bisa modus aja kamu.” Kekeh Hazen lalu mencium pipi, kening, hidung dan bibir si bayi bergantian.

Marvin mengerjapkan matanya melihat itu, baru saja entah bagaimana Marvin merasa jantungnya berhenti berdetak satu detik saat melihat adegan mencium Hazen kepada sang bayi.

Ia menyentuh dadanya yang berdetak kencang. “Anjir ini kenapa gue deg-deg an banget? Cuma karena liat si bayi yang kesenengan dicium Hazen? Seriously?”

Sang bayi bertepuk tangan senang, tangannya meremas udara.

Mmmmaaa maaaa

“Hah? Apa? Kamu mau makan?”

Marvin menatap bayi itu, karena sang bayi juga sedang menatapnya. “Apa liat-liat?!”

Pppaaa paaaa

“Iya, apaan? Kok malah balik nanya?”

Hazen pening, kenapa Marvin mencak-mencak begitu. “Kak bisa diem nggak? Aku buatin susu dulu, kayaknya dia laper.”

“Mama.” Ucap sang bayi saat Hazen hendak pergi.

Hazen berbalik badan lalu berjongkok di samping sang bayi. “Apa? Kamu bilang apa? Makan?”

“Mama mama mama.” Ucap bayi itu sambil menunjuk Hazen.

Tak yakin dengan yang ia dengar, Hazen pun menayakan kembali. “Ma—ma? Aku?”

Bayi itu bertepuk tangan dan tertawa, “Mama, mama, mama.”

Marvin tertawa. “Kata dia, lo Mama.”

“Papa brrrrmm papa!” Bayi itu kini menunjuk-nunjuk Marvin.

“Hah? Papa? Gue Papa?” Tanya Marvin.

Lagi, bayi itu tertawa dan mengangguk serta bertepuk tangan. “Papa, Mama, Papa, Mama.”

Marvin dan Hazen saling pandang setelahnya, setelah beberapa detik kemudian pandangan itu terlepas.

“Anjritt ngeri banget dah, dek jangan panggil kita Papa Mama ya? Panggil Kak aja.” kata Hazen setelahnya, mencoba memberi paham kepada si bayi.

“Mama, Papa.” Eyel si bayi tak mau menuruti Hazen.

“Ka—kak. Bukan Mama ya? Tapi kakak.”

“Mama, mama, mama.”

“Astaga, bisa-bisanya gue cowok macho gini dibilang Mama! Jangan ngadi-ngadi kamu ya bayi.”

Marvin tidak peduli, ia membiarkan bayi itu berceloteh sesuka hati. Lagian namanya masih bayi, kosakata Mama dan Papa wajar disebut ketika sudah bisa berbicara.

“Mamaaa.”

“Zen, anaknya minta gendong deh kayaknya. Gendong aja tuh.”

Tsk, kalo gitu lo buatin susu nya.”

“Gue nggak bisa, kemarin nggak diminum kok sama dia.”

“3 sendok bubuk susunya, air angetnya jangan penuh, sisasin sepertiga dari botolnya.”

“Kalo nggak enak jangan salahin gue!”

“Hm, atau lo yang gendong? Biar gue yang bikin susunya?”

“Nggak, gue aja yang bikin susunya, lo yang gendong.”

Marvin segera kabur ke dapur untuk membuat susu formulanya setelah mengambil bubuk susu dan dot yang ada di meja ruang tamu. Hazen tadi yang membawanya bersamaan baju.

“Mama mama mama.”

Hazen melirik sang bayi dan menghela nafas. “Serah dah, nanti kalo udah gede, aku ajarin manggil kakak.”

Karena jam sudah menunjukkan pukul 9 artinya satu jam lagi mereka harus berangkat ke kampus, akhirnya Haze menggendong sang bayi dengan gendongan bayi sembari membuatkan sarapan untuk dirinya dan Marvin. Hanya sarapan sederhana yaitu sandwich telur dan mayo. Sedangkan Marvin membuat jus semangka untuk dirinya dan Hazen. Sang bayi asik menyesap susu formula di dotnya.

Pagi itu, keadaan asrama 119 sangat ramai. Ramai dengan gelak tawa, tangis dan teriakan si bayi dan suara frustasi Hazen yang meladeni sang bayi. Sedangkan Marvin hanya diam duduk di sofa sembari menonton televisi sambil menikmati sarapannya.

“Kak, lo baca ini. Baca dengan bener, dan ambil keputusan harus kita apain ini bayinya.” Hazen menyerahkan amplop surat kepada Marvin.

Marvin menerimanya, dan membaca dengan cermat. Setelah beberapa menit membaca ia menghela nafas berat. Cobaan hidupnya sungguh berat kali ini, benar-benar berat.

“Zen.”

Then?

Marvin menatap serius kedua manik hazel milik Hazen. “Ok, but—

But?

Try it 1 years.

Flo