Parental instinct

Marvin menguap lebar dan menggelengkan kepalanya, berjalan sedikit cepat menuju asramanya. Di tangan kanan nya sedang menenteng plastik indomaret yang berisi 3 pack bye bye fever.

Ia memasukkan kuncinya lalu memutar knop pintu dan masuk. Tak lupa ia menguncinya kembali. Begitu ia masuk asrama, lagu berjudul 'Melukis Senja' menyapa indra pendengarnya.

“Masih waras ternyata diputerin lagu kalem, gue kira bakalan muter musik nya One Direction.” Gumam Marvin sembari berjalan pelan menuju kamar Hazen.

Ngomong-ngomong, Marvin mengetahui kebiasaan Hazen memutar lagunya One Direction karena hampir setiap hari ia mendengar lagu-lagu One Direction diputar dari kamar Hazen jika sedang menenangkan Hevin di siang sampai sore hari. Tadinya Marvin ingin memarahi Hazen, karena itu melanggar aturan asrama, dimana mengganggu kedamaian karena berisik.

Tetapi mengingat tujuan Hazen memutar musik untuk apa, ia mengurungkan niatnya untuk memarahi Hazen. Karena bagaimanapun juga, dirinya tidak bisa membuat Hevin diam, hanya Hazen yang bisa.

Tok tok tok

“Zen, ini bye bye fevernya, gue taruh di gagang pintu kamar lo ya?”

Belum sampai Marvin mengalungkan plastik indomaret itu di gagang pintu, pintunya pun terbuka dan menampilkan sosok Hazen yang menggendong Hevin dengan kompresan kain dingin di kening si bayi serta Hevin yang masih menangis meski tidak keras.

“Siniin.” Ucap Hazen mengulurkan tangan kanan nya.

Marvin memberikan plastiknya. Hazen mengangguk dan tersenyum tipis. Marvin memperhatikan raut wajah Hazen yang terlihat sekali bahwa lelaki itu sangat mengantuk, kedua matanya sayu, rambutnya sedikit acak-acakan. Khas orang bangun tidur paksa sekali.

“Makasih kak Marv.” Ucap Hazen lalu menutup pintu kamarnya setelah mendapat anggukan dari Marvin.

Marvin masih setia berdiri di depan pintu kamar Hazen, terdengar suara tangis Hevin dan juga suara Hazen yang mencoba menenangkan Hevin.

“Sebentar ya sayang, habis ini nggak sakit lagi oke? Kakak punya ramuan ajaib nih, kak Marvin tadi beliin kamu plester demam. Semoga cepat sembuh anak baik.” Ucap Hazen sayup-sayup yang dapat didengar Marvin meski sedikit teredam lagu Melukis Senja.

Marvin mengacak rambutnya, dalam hati jujur saja ia sangat kasihan melihat Hazen menjaga Hevin sendirian seperti ini. Apalagi dua minggu ini, Hazen terlihat sangat kelelahan, namun anak itu tidak mengeluh kepada Marvin. Hanya bilang suruh jagain Hevin ketika Hazen sedang sibuk atau ada urusan, padahal tanpa Hazen minta, Marvin sadar diri jika Hazen sibuk maka dirinyalah yang akan menggantikan peran Hazen untuk Hevin.

“Duh, gimana ya? Gue mau bantuin, tapi nggak tau gimana cara ngomongnya.” Batin Marvin ribut dan menggerutu.

“Udahlah, dia nggak minta tolong juga ke gue, berarti dia bisa sendiri.” Monolog nya dan bergegas masuk ke dalam kamarnya sendiri.

Oooeekkk ooeekkk ooooeekkk

Marvin yang sudah terbaring di kasurnya namun enggan menutup mata pun gelisah mendengar suara tangis Hevin yang tak kunjung reda.

“Bayi kalo sakit emang nyusahin ya anjir, udah dikasih obat tetep aja nangis.” Gerutu Marvin menutup kedua telinganya dengan bantal yang ia himpitkan di kedua telinganya.

Ooooeeekkk oooeeekkk oooeeekkk

“Arghhh, Hevin bisa diem nggak sih?” Jeritan hatinya meraung-raung.

Marvin beranjak dari rebahannya, kemudian membuka pintu kamar. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, ia langsung membuka pintu kamar Hazen. Saking fokusnya Hazen menimang-nimang Hevin sembari mengipasi bayi itu dengan buku, bahkan Marvin masuk pun Hazen tidak dengar.

Posisi saat ini, Hazen memunggungi Marvin, menghadap ke jendela kamar yang Hazen buka tirainya untuk melihat langit yang masih gelap. Lagu memang masih terputar dari bluetooth speaker milik Hazen, namun suara merdu Hazen lebih mendominasi menyanyikan lirik lagu 'Risalah Hati'.

Seperti biasa, putar lagu di bawah ini sampai lembar terakhir, mari menikmati suasana yang tercipta. “Risalah Hati by Dewa 19”

https://www.youtube.com/watch?v=SjFxNgmh-D8

Sembari menepuk-nepuk pantat Hevin dan menimang, menggoyangkan pelan ke kanan dan ke kiri, bibirnya menyanyikan lagu. Membuat Hevin perlahan memelankan tangisnya.

Jiwaku berbisik lirih Ku harus milikimu

Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku Meski kau tak cinta kepadaku Beri sedikit waktu Biar cinta datang karna telah terbiasa

Marvin masih mematung di belakang Hazen, dekat pintu kamar lebih tepatnya. Bahkan pintu kamar Hazen belum ditutup oleh Marvin. Berapa kalipun Marvin mendengar suara Hazen saat bernyanyi, sebanyak itu pula juga ia mengagumi suara Hazen. Seperti sekarang, tak hanya Hevin yang tersihir nada melankolis yang dinyanyikan Hazen, melainkan Marvin juga ikut tersihir.

“Ssst ssstt tidur ya anak Mama yang baik, nanti sakitnya sembuh kalo Hevin cepet tidur. Oke?”

Cup ; Hazen mencium kening Hevin yang tertempel plester demam. “Get well soon, Hevin.”

Marvin membelalakkan matanya melihat dan mendengar itu semua. Demi Tuhan, Hazen yang berucap lembut dan teduh, menyebut dirinya sebagai Mama, ditambah dengan kecupan singkat kepada Hevin membuatnya terhenyak. Hatinya bergetar aneh, perutnya tergelitik seperti ada kupu-kupu terbang di dalam sana.

Lelaki itu sibuk dengan pikirannya, sampai ia tak sadar jika Hazen sudah berbalik badan dan ikut kaget melihat Marvin yang berdiri dekat pintu kamarnya.

“Kak Marvin?”

Barulah Marvin tersadar dan mengerjapkan matanya. “Huh?”

Hazen menghampiri Marvin, digendongannya masih ada Hevin yang sesenggukan namun sudah memejamkan mata. “Kakak ngapain disini? Masuk kamar tanpa ketok pintu pula.” Bisiknya lirih, takut membangunkan Hevin.

“Errr—gue nggak bisa tidur karena suara tangisnya Hevin kenceng dan kedenger sampe kamar gue.”

“Um, maaf ya kak, lo pasti keganggu banget. Tapi Hevin emang susah buat diem karena sakit.” Hazen memasang wajah merasa bersalahnya, jujur saja ia tidak enak dengan Marvin. Laki-laki yang lebih tua darinya ini pasti lelah, Hazen tau seberapa banyak tugas-tugas Marvin.

“Nggakpapa, mata lo—menghitam. Lo perlu tidur.”

“Hevin belum tidur nyenyak, gue nggak bisa tidur gitu aja. Lagian ini udah pagi juga, nanggung.”

Marvin melirik jam dinding di kamar Hazen. “Masih jam 4, lo bisa tidur sampe jam 6. Lo masuk jam 7 kan?”

“Iya.”

“Ya udah lo tidur aja, biar gue yang gantian jagain Hevin.”

“Emang lo bisa? Nanti kalo dia nangis lagi gimana coba?”

Marvin mengerlingkan matanya. “Ngeremehin gue, lo?”

“Nggak ngeremehin, ya lo liat aja selama ini. Yang diemin dia siapa? Gue kan?”

“Belagu, sini biar gue gendong aja. Lo tidur sana.” Ucapnya sembari mengambil alih Hevin dari gendongan Hazen.

Baru saja Marvin mengangkat tubuh Hevin dari tangan Hazen, bayi itu membuka mata lagi dan menangis.

Oeeeekkkk ooooeeekkk ooooeeeekkk

“Tsk, tuh kan! Dibilang Hevin cuma mau diem kalo sama gue. Lo sih ah ganggu dia, jadi kebangun anaknya.” Gerutu Hazen dan menarik tubuh Hevin lagi ke dalam pelukannya, menjauh dari Marvin menuju kasurnya. Duduk disana sembari menimang ke kanan dan ke kiri, menepuk-nepuk pantat Hevin.

Marvin menghela nafas, apa salahnya? Kenapa Hevin tidak mau disentuh dirinya? Padahal kalau tidak sedang rewel, Hevin selalu menempeli Marvin. Jika sudah rewel begini, maunya cuma sama Hazen.

“Dasar bocil, pemilih.” Batin Marvin dan menghampiri Hazen, ikut duduk di kasur.

“Ngapain lo masih disini? Lo balik ke kamar aja, tidur. Lo pake earphone aja biar nggak kedengeran suara Hevin.”

“Gue bantuin, nggak usah banyak bacot.”

“Bantuin ngapain anying? Lo cuma diem dan duduk liatin gue doang. Lo kata itu bantuin?”

Marvin mendekati bluetooth speaker Hazen. “Puter lagu yang tadi lagi cepet.” Ucapnya mengulurkan ponsel Hazen.

“Lagu mana? Gue muter banyak lagu dari tadi.”

“Yang lo nyanyiin ini tadi, pas Hevin udah mulai nggak nangis.”

“Risalah Cinta?”

“Nggak tau judulnya gue, kayaknya itu kali.”

“Lo buka sendiri ajalah anjir, hp gue nggak ada sandi nya.”

“Ini barang privasi, gue nggak mau ngutak-atik barang penting punya orang.”

Hazen menghela nafas. “Nggak ada yang aneh-aneh, hp gue aman, bersih dan suci. Udahlah lo buka aja di playlist youtube gue yang judulnya Healing and Relaxing.”

Marvin menurut saja karena ia sudah mendapatkan izin. Hazen memang membuat playlist healing nya dari youtube, karena ia suka memasukkan lagu-lagu cover orang lain atau bahkan memasukkan coveran Golden Boyz ke dalam playlist healing.

Maka terputarlah lagu Risalah Hati.

“Kontribusi lo apaan? Muterin lagu doang?”

“Lo nyanyi lagi, dan soal kontribusi gue apaan biar gue yang atur. Yang penting Hevin denger lo nyanyi lagi biar tidur.”

Hazen mendengus namun ia tak membantah, ia menyanyikan lagu Risalah Hati. Marvin memang tidak tau judul lagu ini, tetapi ia sering dengar ketika pergi keluar atau nongkrong bersama teman-temannya.

Jadi ia cukup familiar bagaimana nadanya, ia membuka ponselnya untuk mencari lirik lagu tersebut di google.

Hidupku tanpa cintamu Bagai malam tanpa bintang Jiwaku tanpa sambutmu Bagai panas tanpa hujan Jiwaku berbisik lirih Kuharus milikimu

Hevin masih menangis namun sudah tidak sekencang tadi, sedikit memelan tetapi belum berhenti tangisannya.

Saat Hazen melanjutkan menyanyi bagian reff, ia sedikit terhenyak karena Marvin ikut bernyanyi. Suara bariton dan countertenor pun menyatu membentuk harmonisasi indah. Hazen terkejut sih, tapi ia tetap melanjutkan menyanyi bersama dengan Marvin.

Aku bisa membuatmu Jatuh cinta kepadaku Meski kau tak cinta kepadaku Beri sedikit waktu Biar cinta datang karena telah terbiasa

Hingga lagu berakhir, Marvin dan Hazen bernyanyi bersama. Benar-benar ajaib, Hevin sudah tidak menangis, tinggal sesenggukan kecil namun matanya sudah menutup, nafasnya mulai teratur.

Hazen mengelap sisa air mata Hevin di pipi gembilnya dengan ibu jari. “Tidur yang nyenyak malaikat kecil, jangan sakit ya? Semoga besok Hevin sudah sehat dan tertawa lagi kayak biasanya.” Bisik Hazen lirih, namun dapat didengar Marvin tentu saja.

Kemudian Hazen menidurkan Hevin di atas kasurnya, tepat di tengah agar tidak jatuh.

Hoammmm

Hazen menutup mulutnya dan menguap, kedua matanya berat, ingin sekali tidur.

“Hevin udah tidur, lo bisa balik ke kamar dan tidur juga kak.”

Marvin mengangguk dan berdiri dari kasur, namun—

Oooeekkk ooooeekkk pppaa ppaaa oooeekk

Hazen terkejut tentu saja, Hevin membuka matanya lagi, tangannya mengudara dan menatap Marvin sembari menangis.

“Loh kok bangun lagi? Kenapa sayang?” Tanya Hazen dan menggendong Hevin lagi.

Pppaa papa oooeekkk

Marvin dan Hazen saling menatap.

“Um kak, kayaknya Hevin pengen lo gendong deh.”

“Tapi ntar kalo nggak bisa diem gimana?”

“Coba aja dulu, dia yang minta digendong sama lo duluan. Siapa tau dia mau diem karena lo gendong kan?”

Marvin menghela nafas dan mengambil Hevin dari tangan Hazen. Menggendong sang anak dan menepuk-nepuk lembut punggungnya. “Jangan nangis anak baik, ayo merem. Kasian Kak Hazen nya harus bobok juga, tapi kamu nangis terus jadi gak bisa bobok Kak Hazen nya.”

Hazen terkekeh, pengucapan Marvin sudah sedikit berubah. Dulu-dulu, ia memanggil Hevin dengan 'lo – gue', tapi lihat sekarang. Sudah pake kakak kamu an.

“Ketawa lo? Apanya yang lucu?” Sinis Marvin saat mendengar kekehan Hazen.

“Lo yang lucu kak. Hahaha agak cringe diliat tapi ngademin juga. Jangan galak-galak sama Hevin seterusnya, biar dia nggak takut sama lo.”

Marvin diam dan memilih menenangkan Hevin lagi. Anak itu masih menangis, menatap Hazen.

Mama mamamamamam hiks hiks hiks

“Kenapa? Mau digendong Mama?” Tanya Marvin.

Hazen mendengus, ia memang sudah biasa memanggil dirinya sendiri Mama di depan Hevin, tapi kalau Marvin yang memanggilnya begitu, Hazen jadi merinding dan ingin muntah.

Papa papapapapa hiks hiks hiks

“Jadi gimana? Mau sama Papa atau Mama?” Tanya Marvin lagi.

Demi Tuhan, Hazen mendadak ngilu mendengar Marvin berbicara seperti itu. Like—how strange to hear, makes Hazen's stomach feel like it's churning. Tapi Hazen memilih diam demi Hevin, karena anak itu memang suka sekali mendengar Hazen dan Marvin memainkan peran Mama Papa saat bersamanya.

Dasar bayi nakal

Mama Papa Mama Papa hiks hiks

“Mau sama Papa Mama sekaligus?” Tanya Hazen kali ini.

Hevin menangis sesenggukan dan mengangguk lemah. Perlu diketahui, bayi mulai umur 6 bulan sudah mengerti sedikit-sedikit apa omongan maksud orang meski tidak bisa menjawab secara signifikan. Maka Hevin hanya meresponnya dengan mengangguk dan menangis sesenggukan.

“Kak, gimana ini?”

Sebelah alis Marvin terangkat. “Gimana apanya?”

“Ishh ya ini loh, Hevin nggak mau ditinggal kita berdua. Maunya ada kita berdua.”

“Ya udah.”

“Maksud lo ya udah? Please yang jelas, jangan ambigu.”

Marvin memijat pangkal hidungnya. “Ya udah, kita disini aja sama Hevin. Gue nggak balik ke kamar, lo juga tetep disini. Paham?”

“Hah? Gimana-gimana? Trus kita mau ngapain? Diem doang?”

“Duh, lo kalo bego jangan pagi-pagi gini dong. Gue jadi pengen jorokin kepala lo ke dinding anjir.”

“Ya habisnya mau ngapain disini?”

“Buat Hevin tidur lah, masih pake nanya!” Marvin emosi jadinya, Hevin makin nangis kejer.

Ooooeekkkk oooeeeekkk mmaaaama pppaapapa oooekkkk

“Sssttt Hevin sayang, kita nggak kemana-mana kok. Liat, Papa Mama disini. Oke? Bobok yuk, jangan nangis terus. Nanti demam nya nggak turun-turun.” Ucap Hazen mengambil alih Hevin dari gendongan Marvin.

Hazen membawanya ke kasur lalu menidurkan Hevin disana. Hazen ikutan tiduran di samping Hevin dan memiringkan tubuh menghadap Hevin, menepuk-nepuk perut Hevin serta mengelus kepala sang anak.

Sedangkan Marvin masih berdiri seperti patung buddha di tempat yang tadi.

Papa pppa papapa hiks hiks hiks

“Ish Kak sini, ngapain berdiri kayak patung pancoran disitu sih? Hevin nggak berhenti nangisnya ini loh.”

“Sina-sini, gue mau lo suruh dimana?”

“Ya di kasur sini sama gue dan Hevin. Mau dimana lagi?”

“Anjing, itu sempit bodoh tempatnya. Mana muat?”

“Muat, jangan banyak cingcong deh, sini buruan. Baringan tuh di samping kanan Hevin. Masih sisa, muat kan tubuh lo tiduran miring disana?”

Marvin tampak mempertimbangkan permintaan Hazen.

“Yaelah kelamaan mikir lo kak, kayak disuruh mikir mau jatuhin hukuman ke pidana aja.”

Marvin melirik Hazen dan mengerlingkan matanya malas. “Bacot, lo agak minggir dikit, sekalian Hevinnya juga. Gue nggak muat kalo segitu doang. Samping lo masih lebar juga lagian.”

“Iya iya bawel.” Hazen menggeser tubuhnya sedikit, Hevin yang masih menangis meronta-ronta pun ia tarik juga agar Marvin bisa menyelinap bergabung tiduran di kasur single itu.

“Udah.”

Marvin mengangguk lalu ikut bergabung ke atas kasur. Menghimpit Hevin di tengah-tengah. Marvin di sebelah kanan menempel dinding sedangkan Hazen sebelah kiri menempel nakas.

Ooeeekk oooeeekkk tuuu tuuu hiks hiks

“Apa? Kamu laper?” Tanya Marvin.

Tuuu tuuuu hiks tuu hiks hiks

“Dia bilang mau susu. Laper dia, wajar kalo sakit jadi laper gini. Bentar, gue bikinin susu sebentar.” Ucap Hazen kemudian keluar dari kamar menuju dapur untuk membuatkan susu.

“Sebentar ya, susu nya masih dibuatin Mama.” Kata Marvin menepuk-nepuk kepala Hevin.

Pappppapapapapa hiks hiks hiks

“Iya, Papa disini.”

Marvin terkekeh geli, ia menyebut dirinya sendiri sebagai Papa. Terasa—aneh namun familiar dan terdengar menggemaskan baginya.

Tak lama, Hazen datang dengan sebotol susu formula hangat dan kembali berbaring miring di samping Hevin. “Ayo buka mulutnya anak ganteng, makan dulu biar cepet sembuh.”

Begitu Hazen menyodorkan dot ke mulut Hevin, anak itu langsung meraup dot nya dan menegaknya rakus. Marvin dah Hazen terkekeh bersama melihat Hevin yang kelaparan.

“Laper banget kayaknya.” Kata Marvin.

“Iyalah, nangis sejak jam 3 pagi, abis tenaganya buat nangis jadi laper, ditambah kesehatannya ngedrop gini.” Jawab Hazen menanggapi.

Hevin meredakan tangisnya, karena Hazen masih terus menepuk perutnya sedangkan Marvin menepuk pucuk kepala Hevin. Perlahan, deru nafas Hevin teratur, kedua matanya sayup-sayup mulai menutup namun bibirnya masih aktif menyesap dot nya.

Barulah Hazen dan Marvin menghela nafas lega.

“Masih jam setengah 5, lo tidur aja. Masih sempet tuh tidur sampe jam 6.” Ucap Marvin lirih kepada Hazen.

“Emang lo nggak tidur? Lo bisa balik ke kamar lo sekarang dan tidur juga.”

“Nggak usah, gue nggak ngejamin Hevin nggak nangis lagi. Dia nggak sehat, pasti dia ngerasa ngapa-ngapain nggak enak. Kalo lo tidur, gue tidur, siapa yang mau nenangin dia?”

“Iya juga ya. Gue rebahan aja, kalo nanti ketiduran ya syukur kalo nggak bisa tidur yaudah, gue tidur di perpustakaan ntar.”

“Terserah lo.”

Tanpa merubah posisi yaitu memiringkan tubuhnya untuk memegangi dot Hevin, Hazen menutup kedua matanya. Sehingga kini posisi Marvin dan Hazen saling berhadapan.

“Zen.”

“Hmmm.” Gumamnya tanpa membuka mata.

“Gue aja yang pegang dot nya, lo mana bisa tidur kalo tangan lo masih megang dot?”

Hazen membuka matanya, menatap Marvin yang kini menatapnya juga. “Bisa, lo tidur juga kak. Lo capek, gue tau itu. Kalo Hevin kebangun, kita pasti kebangun kok. Tidur ya?”

“Nggakpapa, gue nggak ngantuk.”

“Tsk, batu banget dibilangin. Terserah lo aja deh.” Hazen menutup matanya kembali.

Marvin menepuk-nepuk perut Hevin memakai tangan kanan nya sedangkan tangan kirinya menepuk kepala Hevin. Bayi itu tertidur pulas karena afeksi Marvin yang banyak. Marvin menatap wajah Hazen yang ada di depannya, tidak terlalu dekat namun cukup dekat menurutnya.

“Zen, lo—pernah nggak merasa nyesel dan pengen udahan buat rawat Hevin yang ngerepotin kayak gini?”

Ternyata Hazen belum tidur, karena ia menjawab pertanyaan Marvin meski tidak membuka matanya. “Nggak, gue nggak pernah ngerasa nyesel buat jagain Hevin. Capek iya, tapi gue nggak keberatan sama sekali.”

“Kenapa gitu? Bukannya lo awalnya juga marah waktu dia datang?”

“Emang, tapi itu dulu sebelum gue tau kenyataan bahwa Hevin nggak diinginkan orangtua nya. Waktu liat Hevin ketawa, nangis, senyum, bahkan celoteh nggak jelas, itu ngebuat gue kek ngerasa udah kewajiban gue buat jagain Hevin. Cuma gue yang bisa selametin anak ini dari pahitnya dunia. Intinya, gue ikhlas lakuin semua ini buat Hevin.”

Marvin tidak menjawab, membuat Hazen membuka mata. “Kapan gue bisa tidur kalo lo ajakin ngomong terus?”

“Maaf, lo lanjutin tidurnya. Gue diem.”

Hazen mengangguk lalu menutup kedua kelopak mata cantiknya lagi. Sedangkan Marvin masih sama seperti tadi, menepuk-nepuk serta menatap Hevin yang tertidur pulas.

“Lo bener-bener orang yang tulus Zen, lo mengajari gue banyak hal, padahal ini masih belum genap 2 bulan lo tinggal disini, tapi gue udah banyak dapat hal baru dari lo. Gue ngerasa dunia emang gila, nggak ada angin nggak ada hujan, tetiba kehidupan gue yang sunyi, tenang dan damai pun berubah dalam sekejap mata menjadi—ramai karena lo. Dan lebih gilanya lagi, sekarang ada Hevin yang bergabung sama kita di asrama ini. Gue kira, gue bakalan gila dan depresi hidup satu atap sama lo dan Hevin. Ternyata—nggak sampe kayak gitu. Sadar atau enggak, gue mulai terbiasa dengan adanya lo dan Hevin, dengan keributan dan keramaian karena ulah kalian berdua. Tadinya gue emang kesel, merasa pengen marah. Tapi nggak bisa, gue nggak tau kenapa. You two changed my situation in my daily life during this time.”

“Terimakasih Hazen, lo udah beri gue gambaran dan ajarin gue apa itu ketulusan dan ikhlas. I promise from now on, lo nggak sendiri lagi buat jagain Hevin. Gue—ada bersama lo untuk membesarkan Hevin bersama-sama.”

Beberapa menit, suasana pun sunyi. Deru nafas teratur Hazen dan Hevin menjadi satu-satunya suara yang didengar Marvin. Ia menatap wajah Hazen yang sudah menuju alam mimpinya. Marvin hanya menatap wajah tidur Hazen tanpa melakukan apapun lagi, tangannya masih stay nangkring di atas perut dan kepala Hevin.

Hingga 5 menit berjalan menatap Hazen, entah bagaimana Marvin juga ikut memejamkan matanya. “Sleepwell Hazen, Hevin.” Gumam nya lirih dan menutup matanya sempurna. Bergabung ke alam mimpi bersama Hevin dan Hazen.


Sinar matahari masuk melalui celah jendela, Marvin yang mudah peka dengan sinar matahari pun perlahan membuka matanya. Perlahan, kedua obsidian gelap itu terbuka lebar. Ia melihat jam dinding menunjukkan pukul 5.50 WIB.

Marvin melirik ke samping untuk melihat Hevin. Bayi itu masih tertidur pulas sampai bibirnya terbuka, dot nya sudah tidak ada entah kemana, sepertinya menggelinding di samping Hazen sana. Marvin terkekeh melihat Hazen dan Hevin yang masih tidur pulas.

Yang bayi Hevin, tapi setelah Marvin amati, tak hanya Hevin yang lucu dan menggemaskan ketika tidur.

Hazen, juga terlihat seperti bayi saat tidur. Wajahnya polos, damai dan meneduhkan. Tidak terlihat rese', tengil, jahil, berisik seperti saat membuka mata.

“Dasar bayi besar.” Gumam Marvin.

Ketika ia ingin bangun dari tempat tidur, ia merasa ada yang aneh. Ada yang menahannya untuk bangkit dari kasur. Ia pun melirik tangannya dan—boom.

Marvin terkejut bukan main. Karena ternyata, tangan kanan nya sedang bergenggaman dengan tangan kiri Hazen di atas perut Hevin. Sedangkan tangan kirinya yang ada di atas kepala Hevin pun sudah pindah di atas bantal yang digunakan Hazen, parahnya lagi telapak tangan kiri Marvin ditindih oleh telapak tangan kanan Hazen.

Wow, posisi bagun tidur macam apa ini? Marvin sungguh tercengang, kalau saja Hazen melihat posisi mereka yang seperti ini, apa tidak teriak heboh itu Hazen nya?

“Duh, kenapa bisa gini deh? Perasaan tadi sebelum gue merem nggak ada kayak gini.”

Marvin pun perlahan menarik kedua tangannya yang digenggam dan ditindih tangan Hazen. Namun saat baru saja bergerak, Hazen malah mengeratkan genggamannya dan bergumam tidak jelas.

“Bentar Bun, 5 menit lagi.” Gumam Hazen begitu lirih seperti bisikan.

“Bun? Lah? Ini anak ngigo gue Bundanya?”

“Zen, udah jam 6. Bangun, nanti lo telat ke kampusnya.” Ucap Marvin mengguncang kaki Hazen dengan kaki nya.

“Tsk, bentar Bun, Hazen masih ngantuk.” Erangnya manja.

Marvin melongo, apa-apaan itu tadi? Apa baru saja ia mendengar rengekan manja seorang Hazen?

“Ban bun ban bun, Hazen bangun kebo!!” Ucapnya mendorong betis Hazen keras hingga Hazen berubah posisi menjadi terlentang dan hampir jatuh.

Hazen yang kaget karena hampir jatuh pun membuka matanya, bersamaan dengan Hevin yang menangis.

Ooooekkk oooeeekkk ooooeeekkk

“Astaga, kepala gue pusing anjirrrrrr.” Teriak Marvin frustasi.

“Anjing kak, gue mau jatuh gedubrak di lantai loh ini. Kasar amat sih bangunin orang?”

Ooooeekkkk ooooeeekkk oooooeeeekkkk

“Aduh aduh maaf ya Hevin sayang jadi kebangun, salahin Papa mu tuh yang berisik banget pagi-pagi.” Ucap Hazen menggendong Hevin.

“Berisik pala lo, udah jam 6. Lo kan kuliah pagi bego!”

“Tapi kan bisa bangunin yang baik-baik dan kalem biar Hevin nggak kebangun!”

“Kalem tuh gimana? Cium bibir lo gitu maksudnya?”

Hazen melongo. “Mesum lo anjingg, keluar lo dari kamar gue!” Ucapnya memukuli Marvin dengan bantal.

“Orang gila!” Maki Marvin dan segera lari keluar dari kamar Hazen.

Hazen menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya sebanyak 3 kali.

Hihihihi bbrrmmmm maammmaaamama

Suara tawa Hevin mengalihkan atensi Hazen. “Loh kok ketawa? Tadi kan masih nangis?”

Kikikiiikkk papapapapaaaa mmammmamamam hihihihi

Hazen menepuk jidatnya, Hevin sepertinya sudah gila. Bisa-bisanya dia berhenti menangis setelah melihat dirinya dan Marvin saling maki dan teriak.

Di sisi lain, Marvin pun merebahkan tubuhnya di kasur, menatap langit-langit kamar. “Aneh, bener-bener aneh.”

“Jantung gue deg-deg an, bangsat.”

Flo ´•ᴥ•`