Pelukku untuk Pelikmu

Tw // character death , family issue , broken home, mention of blood, penculikan.

Ini part penting banget sebenernya, tapi kalo takut ke trigger bisa skip aja ya^^


“Bunga seperti biasanya Mas?” Tanya sang florist kepada Marvin.

Marvin tersenyum ramah dan mengangguk. “Iya Bu.”

“Saya sudah menyiapkan nya untuk Mas Marvin sejak dua bulan lalu, tapi tumben Mas Marvin tidak datang setiap bulan seperti biasanya.” Ucapnya sembari merangkai buket bunga anyelir.

“Iya Bu, lagi sibuk banget akhir-akhir ini, baru sempat jengukin Mommy.”

Sang florist—sebut saja Bu Salsa. “Oh begitu, pasti Mommy nya seneng sekarang udah dijengukin. Ini Mas bunganya.” Ucapnya menyerahkan satu buket bunga anyelir ukuran sedang berwarna pink.

Marvin menerimanya lalu membayar. “Terimakasih Bu, saya pergi dulu. Permisi.”

“Baik Mas, silahkan.”

Lalu Marvin memasukkan buket itu ke dalam ranselnya dan memakai helm full face nya, menancapkan gas motor Ninja merahnya menuju TPU yang berjarak sekitar 500m dari toko bunga.

Setelah sosok Marvin tidak terlihat, Hazen mencopot helm full face nya dan menyebrang untuk berjalan ke toko bunga.

“Permisi...”

Bu Salsa yang sibuk menata bunga pun menoleh ketika mendengar suara Hazen. “Ya Mas. Ada yang bisa saya bantu?”

Hazen menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Um... itu Bu, kalau boleh saya tau, cowok yang tadi beli bunga apa ya?”

“Cowok yang tadi? Yang pakai Ninja merah?”

“Iya Bu, itu hehe.”

“Oh, dia beli buket bunga anyelir Mas.”

“Anyelir? Yang warna apa?”

“Warna pink.”

Deg

Ia jadi teringat beberapa tahun lalu...

Hazen ingat betul, dulu saat SMA, Raden suka melukis bunga, lalu tanpa diminta, Raden selalu menjelaskan makna setiap bunga yang ia lukis kepada Hazen. Dan Hazen yang sedang menggambar konstruksi bangunan pun mendengarkan dengan hikmad.

Ia juga ingat, waktu itu Raden sedang melukis bunga anyelir warna pink. Tapi saat itu, Raden diam saja tidak seperti biasanya. Lalu, Hazen berinisiatif untuk bertanya, apa makna dari bunga anyelir pink yang sedang dilukis Raden. Kemudian Raden menatap Hazen dan tersenyum lembut ketika itu dan berkata, “Bunga anyelir pink ini adalah salah satu bunga kesukaan gue Zen, selain bunganya yang cantik, maknanya juga penuh arti.”

“Oke... apa emang maknanya?”

“Aku tidak akan pernah melupakanmu.” Ujarnya masih dengan senyuman manis seorang Raden.

Hazen sedikit cengo. “Itu artinya bunga anyelir pink?”

“Iyup, betul sekali.” Lalu Raden lanjut menggores kuas nya dengan cat air warna soft pink ke lukisan nya.

Hazen memperhatikan setiap gerak tangan Raden yang dengan lincah menari-nari di atas kanvas.

Hazen mengangguk, lantas ia bertanya lagi kepada Bu Salsa. “Kalau saya boleh tau, apa Kak Marvin sering membeli bunga kesini?”

“Iya, setiap bulan rutin ia beli bunga anyelir untuk hadiah Mommy nya di tempat istirahat terakhirnya.”

Lagi-lagi, Hazen terkejut bukan main mengetahui fakta ini. Demi Tuhan, ia kira, Marvin masih mempunyai keluarga lengkap, namun orangtua nya cerai. Tak disangka, Om Jagat menikah lagi karena istrinya sudah meninggal.

“Um, Bu saya mau buket bunga Lily putih nya ya?”

“Baik Mas, mohon tunggu sebentar.”

Hazen menghela nafas, menatap sendu jalanan di depannya yang sedikit lengang. “Kak Marvin...” lirihnya sembari meremat kedua tangannya yang terkepal.


Hazen melajukan motor KLX nya menuju satu-satunya TPU yang dekat dengan toko bunga tersebut. Ia memarkirkan motornya sedikit jauh dari area parkiran pemakaman. Setelah mencopot helm nya, ia mencabut kunci motor dan berjalan perlahan memasuki TPU.

Sepertinya karena ini hari Jum'at mangkanya banyak yang datang kesini untuk mendoakan orang terkasih masing-masing. Hazen celingukan kesana kemari untuk mencari sosok Marvin diantara banyaknya nisan di sini. Di tangannya sudah ada sebuket bunga Lily putih yang segar dan cantik.

Hazen berjalan memasuki area TPU untuk menemukan Marvin, dengan pelan, matanya berpendar. Masuk semakin jauh, kedua manik hazelnya menangkap punggung yang meluruh sedang duduk berjongkok di samping nisan keramik warna putih.

Tadi yang Hazen tau, Marvin memakai jaket kulit hitam nya. Sekarang lelaki itu melepasnya dan menyisakan kemeja hitam lengan panjang yang sedikit tipis. Ia tau, itu adalah Marvin, tinggal selama hampir 4 bulan bersama Marvin, membuatnya hafal figur tubuh lelaki itu bahkan meski dari punggung nya saja.

Hazen tidak mendekat kesana, melainkan ia ikutan berjongkok di samping nisan makam seseorang yang tidak ada pengunjungnya, tepatnya di belakang Marvin, selisih 4 baris nisan yang memisahkan keduanya.

Bacanya sambil dengarkan lagunya ya bestie, “Bahasa Kalbu by Raisa”

https://www.youtube.com/watch?v=3PBetn4m8n0

“Hai Mom, selamat sore, maaf aku hanya diam sejak 15 menit lalu dan cuma natap nisan Mommy, aku merasa bersalah udah 2 bulan nggak jengukin Mommy, tapi sekarang hati aku udah lega liat Mommy, jadi aku mau ngomong sama Mommy sekarang.”

Hazen masih setia menatap punggung lebar Marvin, bukan maksudnya ia menguping, ia tau ini privasi Marvin, harusnya ia tidak boleh tau. Tapi—ia ingin merasakan kesedihan Marvin juga, ia sudah berjanji dulu kepada Marvin bahwa ia bisa menjadi apapun untuk Marvin, bersedia menjadi tempat berkeluh kesah, menangis, bahagia dan sebagainya. Maka disinilah ia sekarang, mendengarkan setiap kalimat yang Marvin ucapkan kepada Mommy nya.

“*Mom, yang pertama aku mau kasih kabar, kalau Daddy udah nikah 1 bulan lalu, sama Papa Noah. Papa orang baikkkkk banget, sangat mencintai Daddy, begitupun sebaliknya. Aku punya saudara tiri yang lebih tua, dia cewek yang cantik, dan—aneh haha. Lebih ke unik sih Mom, pasti Mommy suka kalo liat Jelita.* Ucapnya terkekeh hambar, ada rasa sedih bercampur senang saat ia menceritakan tentang keluarga barunya kepada sang Ibu.

Hazen meremat kepalan tangan kanan nya, hatinya bergejolak, seperti ikut merasakan kesedihan yang dirasakan Marvin ketika menyampaikan berita kepada sang Ibu. Hazen menghela nafas lirih, masih menatap dan mendengarkan ocehan Marvin.

“Dan—sebenernya Mom, ada alasan kenapa aku selama 2 bulan ini nggak jengukin Mommy. Mom, you have a grandson, his name is Hevin. He's my son. Aku sibuk mengurusi dia, karena dia masih bayi, sehingga nggak ada waktu buat jengukin Mommy, karena waktuku setelah kuliah, ya merawat anakku.”

“Dia bukan anak kandungku karena aku belum menikah, ada seseorang yang menitipkan dia buat aku jaga, tapi aku sayang banget sama dia Mom, aku udah anggep dia kayak anak aku sendiri. He's very cute and funny, if you see him, surely you will like my son too.” Kekeh Marvin sembari membayangkan Hevin yang tertawa dan bertingkah nakal namun menggemaskan.

Hati Hazen trenyuh dan menghangat mendengar Marvin menceritakan sosok Hevin, apalagi Marvin menceritakannya dengan penuh kasih sayang. Tanpa sadar, bibirnya melengkung ke atas mendengar perkataan Marvin tentang Hevin. “I told you, if you are indeed a great father to Hevin, Kak. Hevin beruntung punya Papa kayak lo.” Batin nya tak memudarkan senyum nya.

Marvin mengusap nisan sang Mommy. “Oh ya Mom, sejujurnya juga, aku nggak sendirian merawat Hevin selama ini. Ada orang baik yang rela menjaga Hevin bersama denganku. Hevin manggil dia Mama. Hevin emang manggil dia Mama, tapi bukan berarti dia perempuan cantik ataupun kekasihku. Orang baik itu, sudah aku anggap Mama nya Hevin karena selama ini, figur seorang Ibu Hevin diambil alih sama dia. Dia benar-benar baik Mom, dia juga sayang banget sama Hevin, nggak pernah ngeluh buat direpotin jagain bayi padahal dia juga sama sibuknya kayak aku, harus kuliah dan banyak tugas.”

“Dia rela waktu mainnya sama temen-temennya tersita buat bantu aku jagain Hevin. Telaten banget urusin Hevin, dari mulai menggendong, buatin makanan, nyuapin makan, buatin susu, mandiin, gantiin baju, pampers dan menenangkan Hevin kalau nangis dan rewel. Pinter banget nimang Hevin sampe Hevin ketawa kesenengan. Suaranya juga bagus, Hevin jadi cepet tidurnya kalo denger Mamanya nyanyi.”

Hazen mengerjapkan matanya, jantungnya berdentum begitu cepat mendengar Marvin mendeskripsikan dirinya kepada Mommy. Mata Hazen berkaca-kaca, sungguh ia ngin menangis sekarang. Ada rasa—bahagia karena Marvin begitu menyanjung dirinya di hadapan batu nisan sang Ibu. “Kak Marv...” cicitnya begitu lirih yang hanya dapat didengar olehnya sendiri.

“Namanya Hazen Aditya Buana. Bagus ya Mom namanya? Tau nggak arti namanya? Aku sempat iseng cari nama buat Hevin dulu sebelum Hazen yang ngasih. Trus aku ketemu nama Hazen.”

“Tadinya aku pengen namain Hevin sebagai Radeva, artinya pembawa kebahagiaan. Nanti bisa dipanggil Deva. Tapi—Hevin juga bagus. Karena kata Hazen, itu nama gabungan dari aku sama dia. Hevin artinya Hazen Marvin. Haha lucu ya Mom? Akhirnya aku setuju, lagian memang kan dia anak aku sama Hazen?”

Hazen makin speechless, sungguh ia tidak menyangka Marvin juga sempat memikirkan calon nama untuk Hevin. “Hevin Radeva? Nama yang indah.”

“Mau cerita tentang Hazen sebentar boleh ya Mom? Selain Hevin, aku ingin Mommy tau orang baru yang masuk di hidup aku beberapa bulan ini. Dan itu cukup berdampak untuk aku Mom. I feel, I can be me when I was with you when they came. Before the cold creeps in my body and freezes all the warmth you've ever given me. I felt that warmth back when I was with Hazen and Hevin. Bukankah itu mengejutkan Mom?

Tangan Hazen sudah berkeringat dingin, angin sepoi-sepoi menerbangkan poninya. Semakin memburamkan penglihatannya karena mata nya yang mulai berembun lebih banyak, dan sebentar lagi akan jatuh. Semua perkataan Marvin, ia mendengarnya dengan jelas, ia menahan untuk tidak lari dan memeluk lelaki itu erat.

“Hazen, artinya tertawa dan tersenyum. Lalu Aditya, artinya matahari sedangkan Buana, artinya dunia, semesta—

nama itu cocok untuk dia Mom, karena Hazen memang orang yang periang, selalu tertawa dan tersenyum. Tawa dan senyumnya membuat orang di sekitarnya ikut senang dan bahagia, energi positifnya bisa tersalur dengan mudah ke orang lain. Dia bersinar secerah matahari, dia membawa cahaya untuk menerangi kegelapan ke semua orang dengan cara menawarkan dan berbagi kebahagiaan kepada orang lain tanpa memilih. In short, he is a loving and warm person. Kemudian dia memang seperti dunia, karena orang-orang berpusat ke dia.”

“Kenapa aku bilang begitu? Karena dia mampu membuat semua orang nyaman ketika bersamanya. Dia memberi tanpa meminta balasan, sehingga dunia pun berpusat kepadanya, semua memuja dan kagum sama dia. Hazen orang tertulus yang pernah aku kenal Mom.

“He even offered me the long lost happiness after Mom left me and Daddy. Subconsciously, I felt dependent on him, just as Hevin needed him. He showed me that the world is beautiful, should not be sad for long. He said, I deserve to be happy, and he can be anything to give happiness to me.”

“Bahkan Mom, aku dan Hazen adalah orang asing. Yang kebetulan kami dipertemukan karena dia terpilih menjadi ketua angkatan sama sepertiku, serta menjadi roommate yang berujung kami harus merawat bayi bersama dan mendeklarasikan Hevin sebagai anak kami. Bukankah Hazen orang yang sangat baik Mom?, kepada orang asing sepertiku aja dia kayak gitu, aku rasa orang lain juga akan diperlakukan sama olehnya. Cause, he is indeed a very kind and pure hearted person. Help without asking for anything in return. Sincere man, right?

Hazen memeluk lututnya dan menunduk, menyembunyikan wajahnya dibalik lipatan tangannya yang memeluk lutut. Jika kalian ingin tahu, Hazen sedang menangis. Ia menahan suara sesenggukannya agar Marvin tidak mendengarnya, hati Hazen terasa meletup-letup mendengar kalimat yang begitu panjang dan polos itu keluar dari bibir Marvin. Hazen tidak menyangka sama sekali jika Marvin sangat memperhatikannya sedemikian rupa. Semua yang ia lakukan untuk Marvin itu ikhlas, ia tidak ingin Marvin sampai memujinya seperti itu. Itu sungguh mengejutkan untuknya. Hazen bertanya-tanya, apakah dirinya memang sebaik itu? Apakah dirinya pantas mendapatkan pujian sebaik itu dari Marvin? Hatinya berkecamuk, dia sangat senang dan terharu.

Jujur saja, ia ingin memeluk Marvin sekarang. Ia ingin Marvin bisa berkeluh kesah padanya, ia ingin Marvin bercerita banyak kepadanya. Hazen siap untuk mendengarkan apapun yang akan Marvin katakan. Dia siap ikut bersedih karena Marvin berbagi beban kesedihannya yang selama ini dipendam sendiri. Tapi tubuh Hazen rasanya lemah hanya untuk sekedar beridir, bahkan saat ini pun Hazen telah terduduk di atas tanah dan menyembunyikan wajahnya di balik lipatan lengan, menangis tersedu-sedu disana tanpa suara.

“Sepertinya aku ceritanya kepanjangan ya Mom?. Haha, maaf, aku terlalu excited bercerita karena sudah 2 bulan aku nggak cerita sama Mommy.

“Sekali lagi Mom, ini cerita terakhir aku.” Marvin menarik nafas dan menghembuskannya pelan—

Mom, Daddy waktu itu nyuruh aku buat kenalin calon tunangan, tapi aku nggak suka sama semua pilihan Daddy, aku masih nggak mau mikirin tentang tunangan, tapi Daddy ngotot minta dikenalin sama calon tunangan yang aku pilih sendiri waktu pernikahan Daddy sama Papa. Dan aku mengenalkan Hazen sebagai calon tunanganku, aku—bingung Mom, in the future, aku sama Hazen harus gimana? Karena kami sepakat untuk jadi calon tunangan pura-pura buat pertahanin Hevin biar bisa sama kami selama mungkin.”

Hazen tak kuasa mendengarnya, air matanya makin deras saja membasahi pipinya. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan isakan nya agar tidak terdengar. Matanya pedih, karena air matanya tidak mau berhenti. “Kak Marvin...” Cicitnya tanpa suara.

“Aku harus apa Mom? Semua akan berantahkan kalau kebohongan aku sama Hazen terbongkar, kami berdua ingin merawat dan menjaga Hevin sampai besar, sepakat untuk hidup bertiga. Apa sebaiknya aku mengikat Hazen dalam hubungan yang nyata aja Mom? Demi Hevin?”

Tik tik tik

Marvin mendongak, ternyata hujan mulai datang untuk membasahi bumi. Ia pun memandang nisan sang Mommy sekali lagi. “Ah hujan Mom, kayaknya cukup sampai sini aja deh aku ceritanya. Bulan depan, kalo ada cerita baru, aku pasti datang lagi. Mom, tolong bahagia ya di atas sana? Jangan lupa senyum, karena Daddy, aku pun juga bahagia. Sampai jumpa lagi Mom, aku pulang dulu.” Ucapnya mengusap nisan sang Ibu lalu beranjak berdiri dan mengeluarkan payung nya dari ransel.

Saat ia melewati Hazen, Marvin mengernyit, kenapa pemuda itu duduk telungkup seperti itu di tengah-tengah hujan yang mulai deras begini? Saat Marvin ingin menanyakan pada Hazen, terdengarlah suara isakan begitu lirih di telinga Marvin, membuatnya urung bertanya, namun ia tetap mendekati Hazen. “Mas, hujan nya mulai deres. Nanti kalo udah selesai, jangan lupa pulang pake payung ya? Payung nya ada di samping Mas.”

Setelah meletakkan payung transparan itu di samping Hazen, Marvin segera berlari dari sana, menutupi kepalanya dengan jaket untuk menuju parkiran TPU.

Hujan semakin lebat, Hazen pun mengangkat kepalanya. Lalu mendongak menatap langit yang mendung. Wajahnya basah karena air mata sekaligus guyuran air hujan. Tubuhnya pun sudah basah kuyup, karena Hazen yang tak berniat beranjak dari sana. Hazen melirik payung transparan di sampingnya lantas tersenyum. “Payung lo nggak guna Kak, gue udah basah kuyup.” Kekehnya, “Tapi makasih, gue simpen payung lo ya?” Lalu Hazen pun berdiri dan memakai payungnya, berjalan menghampiri makam Mommy nya Marvin.

Ia berjongkok disana sembari memegang payung. Ia meletakkan buket bunga Lily putih di sebelah buket bunga anyelir pink. “Selamat sore Mommy nya Kak Marvin, ini—Hazen.” Ucapnya sembari mengusap nisan.

“Maaf kalau aku lancang datang kesini, aku ingin menyapa Mommy nya Kak Marvin. Aku—nggak sebaik yang Kak Marvin bilang Mom, yang ada, Kak Marvin lah orang paling baik yang pernah aku temui, ya walaupun kadang sedikit nyebelin sih hehe, tapi beneran deh Mom, Kak Marvin Papa yang hebat untuk Hevin. Aku kagum sama dia Mom, dia rela melakukan apapun untuk Hevin, mempertahankan anak kami, dan berjanji buat besarin Hevin bersama. Bahkan ia mau berbohong untuk menjadikan aku sebagai calon tunagannya, padahal kami tidak terikat dalam sebuah hubungan apapun, hanya sebagai orangtua Hevin.”

Hazen menghela nafas dan menunduk. “Maaf Mom, aku pasti mengecewakan harapan Mommy ya? Harusnya Kak Marvin mengenalkan perempuan cantik sebagai calon tunangan, sebagai menantu Mommy, bukannya aku yang jauh dari kata cantik. Tapi Mommy, kami hanya pura-pura, mungkin nanti kami bisa memperbaiki keadaan ketika Hevin diambil orangtua kandungnya, lalu aku dan Kak Marvin akan mengakhiri hubungan pura-pura ini.”

Mommy, semoga selalu bahagia di atas sana. Hazen mendoakan untuk kebahagiaan Mommy, tolong bantu aku Mom, untuk membuat Kak Marvin bahagia terus, Kak Marvin berhak bahagia seperti saat Mommy masih ada disini. Biar aku bisa tenang jika suatu saat nanti harus berpisah dari Kak Marvin. Mom, sepertinya aku—” Hazen menjeda ucapannya dan menggigit bibir nya lagi.

“Um, sepertinya aku harus pergi sekarang. Hari sudah sangat sore dan hampir petang, lain kali aku datang lagi kesini ya Mom? Selamat sore, Hazen pamit Mom.” Katanya lalu berdiri meninggalkan makam tersebut. Berjalan tergesa menuju motornya dengan payung yang ia gunakan untuk melindungi tubuhnya yang sudah basah.

Ketika sosok Hazen sudah tak terlihat di area TPU, Marvin menatap makam Mommy nya dari kejauhan, terlihat ada sebuket bunga Lily putih yang menemani buket bunga anyelir miliknya.

Tadinya Marvin ingin kembali ke makam Mommy nya untuk menebar kelopak bunga mawar merah, tadi ia lupa karena keasikan cerita. Namun langkahnya terhenti ketika melihat seseorang duduk di sebelah makam Mommy nya dan meletakkan sebuket bunga Lily disana. Lalu ia teringat payung dan hoodie abu-abu itu, itu adalah lelaki yang ia kasih payung tadi. Akhirnya Marvin mengawasi dari kejauhan, lebih tepatnya di gazebo yang ada di TPU tersebut.

Dan ia sangat terkejut ketika orang itu berlari kecil melewatinya, yang ternyata adalah Hazen. Hazen tidak menyadari kehadirannya karena Marvin menutupi kepalanya dengan tudung jaket dan menggunakan masker.

“It seems you know everything today, Zen. You know some of the secrets of my life today, do I have to tell you everything after this?” Cicitnya lirih menatap KLX 250 warna Hijau baru saja lewat jalanan depan TPU yang tak jauh dari tempat Marvin berdiri.

Hazen tidak langsung pulang ke apart Marvin, ia mau mampir ke studio musik Golden Boyz untuk mengambil kamera yang akan ia gunakan untuk merekam latihan dance nya yang akan mereka tampilkan di Manajemen Festa nanti.


Rimie menyambut kedatangan Marvin dengan antusias, berlari lalu mendusal di sela kaki Marvin.

Marvin menunduk lalu mengambil Rimie dan menggendongnya. Rimie menjilati wajah Marvin yang membuat sang empunya tertawa kegelian. “Hei, stop it Rimie, gue mau mandi. Nanti ya kita mainnya?”

Gug gug gug

“Udah makan belum?”

Rimie menjulurkan lidahnya, itu berarti Rimie belum makan. Marvin masih menggendongnya dan berjalan menuju rumah anjing Rimie yang ada di ruang sebelah dapur.

Marvin mengernyitkan dahinya, karena apart nya sangat sepi, tadi cuma ada Bi Mina sedang menyaring daun-daun yang jatuh di kolam renang. “Hazen belum pulang? Padahal dia tadi balik duluam, kok belum dateng?”

Gug gug gug

“Hazen belum pulang ya Rim?”

Gug gug

Marvin mengangguk saja, itu artinya Hazen memang belum pulang. Soalnya kalau Hazen sudah pulang, biasanya Rimie akan bermain dengan Hazen jika tidak ada Hevin bersama Hazen.

“Kemana dah tuh orang? Lupa alamat apart atau gimana?” Monolognya sembari menuangkan sarden kesukaan Rimie dalam mangkuk, tak lupa mengisi air minumnya juga di baskom besar.

Ia menurunkan Rimie agar anjing itu bisa makan. Rimie malahap sarden itu dengan lahap, Marvin terkekeh dan mengusak kepala Rimie. “Makan yang banyak ya Rim, gue mandi dulu.”

Marvin pergi dari sana, saat melewati kamar Hazen, Marvin berhenti lalu membuka pelan pintu kamar Hazen. Kemudian masuk tanpa suara, Marvin bernafas lega ketika menemukan Hevin sudah tidur nyenyak. Pasti Bi Mina tadi susah menidurkan Hevin. Nyatanya jam segini Hevin masih tidur, harusnya ini jam bangun nya Hevin agar malam jam 8 nanti bisa tidur.

Setelah selesai mengecek Hevin, ia pun keluar dari sana dan menuju kamarnya sendiri di lantai 2 untuk mandi sore.

Tak perlu waktu lama untuk mandi bagi Marvin, 7 menit cukup. Ditambah berganti pakaian 3 menit dengan total 10 menit ia sudah rapi dan bersih.

Krucuk krucuk

Marvin menepuk perutnya, ternyata ia lapar. Tadi ia tidak ikut makan siang bersama teman-temannya karena ia ada di perpustakaan untuk mencari buku-buku buat kepentingan tugasnya.

“Laper, tapi bentar lagi udah jam makan malam. Diganjel apaan dulu ya enaknya?” Gumamnya sembari menuruni tangga menuju dapur.

Ketika sampai di dapur, ia membuka kulkas dan mendapati kulkasnya penuh bahan makanan. “Apa gue masak buat makan malam sekarang aja? Biasanya Hazen yang masak, sekali-kali gue yang masak nggakpapa lah ya? Meski masakan gue nggak enak-enak amat, tapi bisalah kalo dimakan.”

Akhirnya Marvin memutuskan untuk memasak makan malam saja, karena sebentar lagi pun memasuki jam makan malam. Menu yang ia pilih untuk makan malam adalah Kwetiau Goreng dan tak lupa menggoreng nugget dan sosis goreng.

Marvin tidak bisa memasak makanan rumah yang ribet, ia hanya bisa yang mudah seperti ini. Jika masak Kwetiau, masakannya masih dapat dikategorikan lezat. Hazen pasti akan menyukainya nanti.

Selesai memasang apron nya, Marvin pun mulai sibuk merebus Kwetiau nya dahulu dan meracik bumbu Kwetiau. Berkutat di dapur dengan tingkat fokus yang tinggi, membuatnya tak memperhatikan sekitar.

“Loh? Mas Marvin kenapa masak?” Tanya Bi Mina saat Bi Mina ingin berpamitan kepada Marvin.

Marvin menghentikan kegiatannya mengupas bawang putih dan bawang merah. Matanya sedikit berkaca-kaca. “Nggakpapa Bi, saya pengen masak buat makan malam.”

“Aduh, itu pedes pasti ya? Bibi aja yang masak ya Mas? Mas Marvin duduk aja.”

“Jangan Bi, jam kerja Bibi udah habis. Bibi silahkan pulang dan istirahat ya? Capek kan jagain Hevin seharian karena saya sama Hazen di kampus dari pagi?”

“Tapi Mas—”

“Bi Mina... pulang dan istirahat atau saya potong nih gajinya?”

Bi Mina menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Hehe iya deh Mas, saya pulang kalau gitu. Mas Marvin hati-hati ya Mas?”

“Oke Bi, makasih ya Bi sudah jagain Hevin.”

“Sama-sama Mas, saya pamit dulu. Selamat malam Mas.”

“Malam juga Bi, hati-hati.”

“Baik Mas.”

Kemudian Marvin melanjutkan lagi kegiatan masaknya setelah sosok Bi Mina tak terlihat lagi.

Sudah ada 20 menit Marvin sibuk di dapurnya, jam telah menunjukkan pukul 18.35 WIB.

Tap tap tap

Hazen dengan hoodie yang masih basah namun tidak sebasah tadi memasuki apart, hidungnya kembang kempis saat bau sedap memasuki indra penciumannya. “Eh? Bi Mina belum pulang jam segini?”

Akhirnya Hazen pun memilih untuk mengecek dapur, harusnya Bi Mina sudah pulang, jika belum pulang, maka ia yang akan menggantikan Bi Mina untuk memasak.

Hazen terhenyak ketika punggung lebar itu yang menyapa penglihatannya pertama kali saat memasuki dapur. Ada suara tarikan ingus juga disana. Lelaki itu sedang memotong di atas telenan, karena terdengar suara pisau beradu dengan telenan, memotong sesuatu.

Hazen terkekeh dalam hati. Sungguh, ini sangat lucu melihat Marvin memotong bumbu dapur, biasanya Marvin hanya memasak yang simpel seperti telur goreng, mie instan, omelet, pasta, yang tak perlu memotong bumbu-bumbu dapur seperti ini.

“Huftt mata gue pedes anjir, gue jadi pilek mendadak juga. Gak asik.” Gerutu Marvin masih dengan memotong cabai menjadi kecil-kecil.

“Need some help?”

Marvin menoleh ke belakang begitu mendengar suara Hazen. Di ambang pintu dapur, Hazen menyandarkan tubuhnya di pintu, menatap Marvin dan melipat kedua tangannya di perut. Masih dengan hoodie abu-abu basahnya seperti di makam tadi.

“Nggak, daripada lo ngerecokin gue, mendingan lo mandi.” Ucapnya kembali fokus dengan kesibukannya.

Hazen berjalan mendekati Marvin dan berdiri di sampingnya. “Lo udah ingusan, mata lo merah. Udah berhenti aja, biar gue yang masak. Lo nggak ada bakat masak, jangan coba-coba kenalan sama bumbu dapur.”

“Bacot, minggir sana Zen. Jangan gangguin gue masak please.”

“Yakin nih nggak mau gue bantuin? Lo masak Kwetiau ya?”

“Iya yakin, hmm. Udah sono lo mandi, bau apek hoodie lo. Nggak pake mantel apa gimana sih kok basah kuyup?” Tanya nya pura-pura bego.

“Bawa tapi males pake. Apek banget ya Kak bau gue?” Tanya nya sembari mengendusi hoodie nya.

“Banget, bau kencing tikus. Sana jauh-jauh lo dari gue, mandi yang bersih baru turun buat makan malam.”

“Weitsss macam istri idaman aja lo Kak hehe.”

“Istri pala lo peyang, suami idaman iya!”

“Ya oke, suami idaman. Gue mandi dulu, masak nya jangan sampe gosong ya? Nanti istri lo brewokan kalo masak nya gosong.”

“Lo kan yang brewokan? Mana peduli gue.”

“Heh! Istri lo dongo, bukan gue.”

“Iya, istri gue kan elo? Gitu bukan? Hevin aja panggil gue Papa dan panggil lo Mama.”

“Bajingan, dahlah gue mandi aja.” Ucap Hazen pergi begitu saja darisana, sejujurnya pipi Hazen sudah memerah, pun dengan telinganya.

“Oi Zen, Hevin lagi tidur. Jangan berisik pas masuk kamar.”

“Yoooo.” Jawabnya dan benar-benar menghilang dari dapur.

“Marvin bangsat, lancar banget gombalnya.” Gerutu Hazen dalam hati.

Marvin menahan tawa sejak tadi melihat ekspresi Hazen yang kesal namun terlihat menahan malu. “Mampus, salah siapa recokin gue masak.” Cicitnya sembari memasukkan Kwetiau yang sudah matang ke wajan penggorengan setelah mengeseng bumbu nya.


Hazen baru saja selesai mandi, anaknya masih memejamkan mata. Ia mendongak melihat jam dindingnya. “Duh udah jam 7, ini kalo Hevin belum bangun, ntar susah tidur. Apa gue bangunin aja ya? Waktunya makan malam juga.”

“Ganti baju dulu aja lah.” Ucapnya berjalan menuju almari, memilih pakaian santai. Kaos hitam dan celana longgar selutut.

Dug

“Anjrittt sakit banget bangsat!” Umpat Hazen terduduk di kasurnya dan mengusap lututnya yang terbentur ranjang bayi Hevin dan—

Oeekkkkk oeeeekkk hueeeee hiks hiks hiks Maaaa Paaaa

Hazen langsung berdiri dan mengangkat Hevin dari ranjang bayinya, menggendongnya sembari menepuk punggung sempit sang anak. “Maaf sayang, aduh maafin Mama ya? Tadi nggak sengaja ketendang ranjang nya, maaf. Cup cup cup, jangan nangis ya?”

Ceklek

Marvin masih dengan apron yang melekat di tubuhnya pun menghampiri Hazen. “Kenapa Hevin nangis? Kebangun?”

“Iya kebangun karena gue nggak sengaja senggol ranjang bayinya.”

Marvin menghela nafas dan menggeleng. “Ya udah nggakpapa, waktunya Hevin bangun juga dan makan malam. Ayo turun, makan malam udah siap.”

Oeeekkkk Papa paaaa hiks hiks paaa

“Jangan sama Papa dulu, Papa mu masih kotor bau dapur. Nanti ya? Kalo Papa udah bersih.” Ucap Hazen masih menimang sang anak agar diam.

“Nanti ya sayang, abis ini makan disuapin Papa ya? Diem dulu, anak pinter nggak boleh cengeng, nanti diketawain Rimie loh.” Kata Marvin mencuri kecupan di pipi gembil sang anak.

Hiks hiks hiks eunggg Maaa hiks maammmmm

“Iya kita mamam ya?” Ucap Hazen berjalan keluar kamar bersama dengan Marvin yang mengekor di belakangnya.


Hevin duduk di kursi makan bayinya, disuapi oleh Marvin seperti janjinya tadi. Sedangkan Hazen makan dan menyuapi Marvin. Kegiatan seperti ini sudah biasa mereka lakukan. Kalau kata Bi Mina, sudah cocok jadi suami-suami.

Hazen akan menanggapi dengan kekehan malu sedangkan Marvin hanya menggeleng dan menghela nafas. Hevin lah yang senang dan setuju dengan perkataan Bi Mina, ia akan tertawa dan bertepuk tangan.

“Aaaaaakkkk ammmmmm.” Kata Marvin saat meluncurkan satu sendok smoothie buah mangga ke dalam mulut Hevin.

Hazen tergelak tawa melihatnya, Marvin tidak peduli di tertawai Hazen.

“Makan yang banyak sayang, hargai effort Papa kamu ya?”

Hevin bertepuk tangan dan lahap menerima suapan dari sang Papa.

“Ayo Papa buka mulutnya juga, aaaaaaakkkkkk.” Ucap Hazen sembari terkikik.

Marvin mendengus lalu melahap satu gulungan besar Kwetiau yang diulurkan Hazen. “Gue bukan bayi, nggak usah gitu ya Zen? Atau lo beneran gue pukul pake sendok.”

“Hahaha iya iya. Ayo habisin, Kwetiau nya enak banget sumpah. Gue nggak bohong, lo jago masak Kwetiau ternyata.”

“Bukan jago, ini pertama kali gue nyoba btw.”

“Oh ya? Tapi enak banget kok, sama kayak Kwetiau di resto rasanya. Ajarin masak Kwetiau yang enak gini dong Kak.”

“Liat youtube, ada tutorial nya.”

“Idih, nggak enak liat tutorial. Mendingan langsung praktek daripada lihat sambil praktek.”

“Alesan, nanti kalo gue nggak sibuk tapi.”

“Iya, nanti gue juga bisa ajarin lo masak yang lain kalo lo mau.”

“Nggak mau.”

“Lah kenapa? Kan biar bisa gantian masak kalo gue nggak sempet masak.”

“Masakan lo selalu enak, nggak kayak gue yang enaknya pas mood bagus doang.”

Hazen mengerjapkan matanya, ia tersenyum simpul. Secara tidak langsung, Marvin sedang memuji dirinya bahwa masakannya memang enak. “Yaa, makasih pujiannya meski artinya itu harus gue yang masak disini.”

Marvin terkekeh lalu menyentuh tangan Hazen yang sedang menggulungkan Kwetiau untuknya. Kemudian mengangkat tangan Hazen dan menariknya menuju mulutnya, melahap gulungan Kwetiau itu dari garpu. “Lama, gue masih laper.”

Hazen tertawa lalu giliran dirinya yang menyuapi dirinya sendiri. Ngomong-ngomong, mereka memakai 1 garpu untuk makan berdua :)

Selesai makan malam, Hazen yang membersihkan bekas makan mereka dan mencucinya. Sedangkan Marvin mengajak Hevin bermain di ruang tamu. Ada Rimie juga ikut bermain disana, jadilah Hevin sedang asik bermain dengan Rimie dibawah pengawasan Marvin.

Hevin duduk di tengah-tengah kaki Marvin, karena Hevin masih perlu sandaran untuk duduk. Hevin melemparkan squishy bentuk burger ke lantai, kemudian Rimie akan berlari mengambil squishy itu dan membawanya ke hadapan Hevin. Lalu Hevin tertawa dan bertepuk tangan kemudian melemparnya lagi.

Marvin hanya tergelak tawa melihatnya dan memotret Hevin serta Rimie sangat banyak.

Gug gug gug gug gug

Hihihihikkk Paaaa cuuuu

“Apa? Rimie lucu?”

Hevin mengangguk dan tertawa lagi. “Miieee cuuuu hihihihikkk”

“Aduh gemes banget, ini mah yang lucu dua-duanya.” Kata Marvin menciumi pipi Hevin bertubi-tubi hingga anak itu tertawa kegelian.

Hihihihikk Paaaa papa liii

“Salah sendiri kenapa gemesin hm? Kan Papa jadi pengen ciumin terus.”

Papaaaaa hihihihihikkk liii, Paaaa

“Aduh kayaknya seru ya? Join donggggg.” Teriak Hazen berlari kecil menghampiri Papa dan anak itu yang tengah duduk lesehan di ruang tamu berssama Rimie.

Hihihikkk Mama, maaaaa maaa

“Sini, main sama Mama ya? Biar Rimie main sama Papa, biar adil.” Ucap Hazen mengangkat sang anak dan mendudukkannya di pangkuannya.

Gug gug gug

Rimie berlari dan melompat ke arah Marvin yang sigap ditangkap oleh Marvin.

Posisi Hazen dan Marvin duduk berhadapan, Hazen yang memangku Hevin sedangkan Marvin memangku Rimie dan mengelus bulu anjing itu yang tengah bermain dengan Hevin. Bermain bola plastik.

Ketika Hevin menggelindingkan bola itu dengan tangan mungilnya ke arah Rimie, maka Rimie juga akan menggelindingkan bola dengan kakinya ke arah Hevin sehingga bola itu bergulir dari Hevin ke Rimie. Begitu terus.

Hevin tertawa terbahak-bahak diikuti gonggongan senang dari Rimie, anak bulu yang cantik.

Marvin dan Hazen turut senang dengan interaksi Hevin bersama Rimie, memang pada usia Hevin sudah harus dikenalkan dengan Hewan dan berkomunikasi seperti ini untuk membantu otak dan sarafnya mengenali benda-benda yang ada di sekitarnya.

Hihihihi Mieee niii laaaa nya

Gug gug gug , Rimie menggulir bolanya ke arah Hevin yang sigap ditangkap oleh Hevin.

“Sarimi kalo gini nggak nakal ya? Biasanya dia suka ngajakin gue gelut.” Kata Hazen.

“Udah dibilang namanya Rimie bukan Sarimi.” Ketus Marvin dan menyentil kening Hazen.

“Awww, idih kasar. Dia aja nggak marah gue panggil Sarimi, kok lo yang sewot?” Ucap Hazen sembari mengusap keningnya.

“Tau kenapa lo diajak gelut terus sama Rimie?”

Hazen dengan polosnya menggeleng. Marvin menghela nafas lelah. “Itu karena lo panggil dia Sarimi, nih anjing sensian, mangkanya panggil yang bener!”

“Nggak mau, terlanjur enak Sarimi wlekkkk.” Hazen menjulurkan lidahnya, mengejek Marvin.

Marvin mengerlingkan matanya. “Terserah, pokoknya jangan lupa aja kasih makan Rimie kalo gue belum pulang dan Bi Mina nggak ada disini.”

“Itu mah tiap hari, asal lo tau aja selama ini Sarimi jarang minta makan ke lo karena apa? Ya karena gue yang baik hati ini kasih dia makan rutin meski dia ngeselin suka jilatin muka gue.”

Marvin tertawa kecil. “Kalo dia jilatin muka lo, artinya dia mulai nyaman sama lo. Rimie nggak mau jilatin orang asing.”

“Hmmm gitu, gue tuh demen sama Sarimi kalo nggak bikin kesel. Gue kesel kalo dia jilatin pas gue udah mandi dan wangi, kan gue jadi cuci muka lagi.”

“Cuci muka tinggal cuci muka juga, nggak ribet.”

“Ya tapi air liurnya itu loh buset, bau sarden.”

Marvin langsung tertawa terbahak-bahak, membuat Hevin jadi ikutan tertawa serta Rimie yang ikut serta menggonggong. Ramai sekali suasana apartemen luas ini.

“Apanya yang lucu? Gue lagi menderita loh ini.” Hazen mengerucutkan bibirnya karena semuanya tertawa di atas penderitaannya.

“Hahaha ya ampun perut gue sakit banget ngetawain ini 2 menit. Bentar gue nafas dulu.” Kata Marvin mengatur nafasnya.

“Ya mau gimana lagi? Rimie sukanya sarden, sosis, ayam, nugget, tempura, siomay ikan begitu. Mangkanya kalo emang Rimie belum tidur jangan mandi dulu.”

“Ishh ya masa harus nunggu Sarimi tidur dulu baru gue mandi? Bisa-bisa gue mandi tengah malam.”

“Lebay deh, jam tidur Rimie tuh sama kayak Hevin.”

“Ya malam kan, sama aja.”

Kemudian 3 manusia dan 1 anjing itupun melanjutkan bermain sembari menonton film kartun agar Hevin cepat tidur. Hevin sudah menyesap susu nya dan bersandar di dada Hazen sembari melihat kartun We Bear Bears yang tayang di tv.

Rimie sudah tidur nyenyak di pangkuan Marvin. “Rimie udah tidur, gue mau ke kandang dia dulu. Hevin kayaknya udah ngantuk tuh, matanya merem melek dari tadi.”

Hazen menunduk untuk melihat sang anak. “Oh iya ya, ya udah gue gendong sambil puk puk aja kalo gini ntar pasti merem.”

“Iya.” Lalu Marvin berjalan menuju ruangan Rimie untuk menidurkan anak bulu itu.

Hazen menggendong Hevin dengan gendongan koala dan menepuk-nepuk punggung serta pantatnya. Dot nya sudah terlepas karena susu nya habis.

Hevin bobok ooohh Hevin bobok Kalau tidak bobok, digigit Rimie Hevin bobok ooohhh Hevin bobok Kalau tidak bobok, digigit Rimie

Hazen mengubah lirik lagu Nina Bobok itu dengan semangatnya, niatnya untuk pengantar tidur Hevin, tapi dia sendiri malah terkekeh.

“Serem ah digigit Rimie, ntar rabies.” Cicitnya lirih.

“Oke ganti lagu deh.” Hazen berjalan memasuki kamarnya lalu membuka jendela nya yang langsung disuguhi pemandangan langit malam yang terang karena sinar bulan dan bintang.

Marvin yang baru saja selesai menidurkan Rimie pun terhenti di depan pintu kamar Hazen yang terbuka lebar. Ia menatap punggung Hazen yang sedang berdiri di depan jendela. Sedangkan Hevin matanya masih merem melek dalam gendongan koala Hazen.

Ambilkan bulan Bu… Ambilkan bulan Bu… Yang selalu bersinar di langit

Ambilkan bulan Bu… Ambilkan bulan Bu… Yang selalu bersinar di langit

Marvin melipat kedua tangannya di dada lalu bersandar pada pinggiran pintu kamar Hazen, memperhatikan Hazen dan Hevin dari belakang.

Di langit bulan benderang Cahayanya sampai ke bintang

Ambilkan bulan Bu… Untuk menerangi Tidurku yang lelap di malam gelap

“Udah tidur itu anaknya, taruh di ranjang gih.” Kata Marvin dan masuk ke dalam kamar Hazen setelah menutup pintunya.

Hazen menoleh ke belakang dan terkejut mendapati Marvin di belakangnya. “Beneran udah tidur?”

“Iya, udah.”

Hazen menghela nafas lega lalu menaruh Hevin ke ranjang bayi dengan hati-hati dan pelan agar anak itu tidak terbangun.

“Huft lega, akhirnya tidur juga.”

Marvin memperhatikan Hazen, kemudian mendekat membuat Hazen terkejut dan sontak mundur hingga ia terduduk di kasurnya. “Ke-kenapa lo?”

“Ssttt jangan keras-keras, nanti Hevin bangun.” Marvin menunduk, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Hazen membuat Hazen tahan napas dan memundurkan wajahnya.

“Lo ngapain sih Kak?” Cicit Hazen lirih.

“Bibir lo.”

“Huh? Bibir gue kenapa?” Tanya nya dan menyentuh bibirnya.

“Jangan disentuh, lo nggak ngerasa apa kalo bibir lo luka? Apa nggak sakit pas makan Kwetiau pedes tadi?”

“Ssshh duh, gue kira gue kepedesan mangkanya sakit cekit-cekit, emangnya luka ya bibir gue?”

Marvin mengerlingkan matanya lalu menarik Hazen keluar kamar dan membawanya ke ruang tamu lagi. “Duduk situ, gue ambilin obat dulu.”

“Eh Kak nggak usah, ini nggak perih kok, gue nggak—”

“Hazen, nanti makin lebar lukanya kalo lo cerewet. Diem, gue ambil obat dulu.” Ucapnya dan berlari kecil menaiki lantai 2 menuju kamarnya.

Hazen menghela nafas lalu menyentuh bibir bawahnya lagi yang memang terasa perih. “Sshhh duh, perih juga ya. Kenapa deh? Apa gue gigit nya kekencengan waktu di makam tadi?”

Tak lama Marvin datang membawa kotak P3K dan duduk berjongkok di depan Hazen yang duduk di sofa. “Ini agak perih, tahan ya? Jangan dikatupin bibirnya, biar gue mudah olesinnya.”

“Anu Kak biar gue obatin sendiri aja ya?”

“Nggak, gue aja. Kenapa bibir lo sampe sobek gitu sih? Hobi banget gigitin bibir.”

“Tsk, bukan hobi. Nggak kerasa aja kalo lagi gigit.”

Marvin menipiskan jarak diantara keduanya, jari telunjuknya sudah ia bubuhkan krim luka siap dioleskan di bibir Hazen. “Buka mulutnya, jangan dirapetin gitu.”

“Iya iya, sabar ngapa.” Kata Hazen lalu membuka mulutnya sedikit agar jari Marvin bisa menyentuh luka di bibirnya.

Jari Marvin mulai mengeksplor bibir bawah Hazen dan mengoleskan krimnya. Hazen mendesis ketika krim itu menyentuh luka nya. “Ssshh Kak, pelan dikit.” Racaunya tidak jelas.

“Iya, jangan ngomong nanti jari gue lo hisap bisa-bisa.”

Hazen mendengus dan menurut, membiarkan Marvin mengoleskan krim itu di luka nya. Hazen memperhatikan Marvin yang fokus mengobati lukanya. Kemudian menatap iba mengingat curahan hati Marvin di makam tadi.

Hazen menghentikan pergerakan tangan Marvin dengan menggenggam tangan kanan Marvin yang ada di bibirnya, membuat Marvin menatap kedua manik hazel Hazen dan menaikkan sebelah alisnya. “Kenapa? Sakit banget?”

Hazen menggelengkan kepalanya. “Udah selesai. Udah nggak sakit.”

“Oh oke.” Marvin melepaskan tangannya dari genggaman Hazen dan membereskan P3K nya.

“Kak.” Panggilnya saat Marvin hendak pergi.

“Kenapa?”

“Duduk sini.” Ucap Hazen menepuk ruang kosong di sebelahnya.

“Ngapain? Gue mau balikin ini ke kamar.”

“Nanti aja, duduk sini dulu. Gue mau kita deep talk boleh?”

Marvin mengernyitkan dahinya, karena Hazen tak sabar, ia pun menarik lengan Marvin hingga terduduk di sampingnya. “Boleh?”

Marvin menatap iris Hazen, seperti tersihir, ia pun mengangguk. “Of course, so? What do you want to talk about?”

“Gue mau mengakui sesuatu ke lo.”

“Oke... then, explain now.”

Hazen menarik nafas lalu menghembuskannya. “Gue liat lo tadi, di TPU lagi jengukin Mommy lo.” Cicitnya sedikit lirih, tak sadar menggigit bibir bawahnya lagi.

“Dibilang jangan digigit, Hazen.” Kata Marvin menyentuh bibir Hazen yang baru saja digigit.

“Maaf, reflek.”

Marvin menghela nafas. “Gue tau.”

Deg

Hazen membelalakkan matanya. “Lo—tau? Kok bisa?”

“Tadinya gue mau balik ke makam Mommy buat naburin bunga mawar yang kelupaan, eh malah ada cowok yang gue kasih payung tadi duduk disana, ngasih Mommy bunga Lily.”

“Kak, lo—nggak marah? Gue nggak bermaksud lancang ataupun nguntit lo serius, tadi gue beneran nggak sengaja liat lo berhenti di toko bunga waktu gue mau beli Mie Ayam, trus gue jadi penasaran dan tanya penjual bunganya, lalu florist itu bilang kalo lo barusan beli bunga buat hadiah Mom—

Ucapan Hazen tak terselesaikan karena telunjuk Marvin memblokir gerak bibirnya. “Jangan banyak ngomong, nanti krim obatnya ketelan dan lo keracunan tau rasa.”

Hazen mengerjapkan matanya dan terdiam, hingga telunjuk Marvin berpindah tempat mengelus pipi kanan Hazen. “Zen, gue nggak marah. Yang ada gue malu.”

“Malu? Kenapa malu?”

“Lo pasti dengerin semuanya kan? Waktu gue cerita ke Mommy?”

Hazen mengangguk polos. “Maaf, gue juga nggak bermaksud buat nguping, tapi gue tetep denger.”

“Lo boleh ledekin gue kalo lo mau, lo udah denger tadi gue sebut-sebut nama lo bahkan gue cerita ke Mommy tentang lo dari sudut pandang gue.”

Hazen menyentuh punggung tangan Marvin lantas menggenggam dan mengusapnya, kedua manik nya menatap obsidian gelap Marvin. “Gue nggak akan ledekin lo, lo harus tau waktu lo kasih payung ke gue, itu gue lagi nangis. Lo tau kenapa gue nangis? Karena lo Kak, gue nangis jelek di makam sana karena lo.”

“Lo nangisin gue karena kasihan? Sorry, gue nggak butuh dikasihani.” Ucapnya ingin menarik tangannya dari genggaman Hazen, namun tidak berhasil karena Hazen menahan dan makin mengeratkan genggamannya.

“Gue nggak kasihan ataupun iba sama lo. Gue nangis, karena gue terharu asal lo tau. Gimana lo kenalin Hevin ke Mommy lo, gimana lo ceritain Sandra, Om Noah dan Daddy lo, itu semua ngebuat gue terharu dan nangis. Dan juga—tentang gue, cerita lo tentang gue ke Mommy, gue beneran nggak bisa berkata-kata lagi saat tau pandangan lo ke gue sebaik itu Kak, gue orang asing, orang baru di hidup lo, tapi lo menjunjung kebaikan gue di depan Mommy. Gimana gue nggak nangis coba? Gue ngerasa nggak pantes dapet pujian kayak gitu Kak, karena gue nggak sebaik itu.”

Tangan kanan Marvin yang terbebas pun mengelus kepala Hazen disertai senyum di bibirnya. “Hari ini lo udah tau sebagian rahasia hidup gue Zen, lo mau tau lengkapnya kisah hidup gue nggak?”

“Hum? Memangnya boleh?”

“Bukannya lo dulu pernah bilang kalo lo bisa jadi apapun buat gue? Menampung semua cerita gue dan dengerin apapun yang gue keluhin?”

Hazen mengangguk semangat seperti anak kecil senang mendapat permen. “Iya, gue bilang gitu. Tapi kalo lo nggak nyaman, jangan dipaksa cerita ke gue Kak.”

“Gue butuh temen berbagi Zen, dan lo nawarin buat jadi teman berbagi. So, wanna hear some story of my life?

“Yes, i want. Tell me your story, and I will hear your story.”

Marvin terkekeh. “Agak menyedihkan ceritanya, lo jangan nangis ya? Gue nggak mau liat lo narik ingus ntar.”

“Anjir, iya enggak nangis. Kalo ntar nangis, gue lari ke dapur deh buat buang ingus.”

“Idih, oke oke. Mari mulai. Dengerin baik-baik, karena gue nggak mau ngulang satu katapun kalo lo tanya.”

“Iya, gue diem aja kalo gitu sampai lo selesai cerita.”

“Bagus.”

Kemudian Marvin menyamankan posisinya, bersandar pada sofa, begitupun juga Hazen. Keduanya menatap langit-langit apartemen luas itu. Dengan posisi tangan mereka masih saling menggenggam bahkan jemari mereka bertaut.


Putar dulu lagunya T_T wajib banget! “Afgan – Untukmu Aku Bertahan”

https://www.youtube.com/watch?v=i0yrU_Ge_aw

“Dulu, gue, Daddy and Mommy adalah keluarga bahagia. Karena gue anak tunggal, gue dimanja sama mereka, apapun yang gue mau pasti diturutin. Gue tinggal di Kanada sampai gue lulus dari SD. Menginjak SMP, gue pindah ke Indonesia, dan saat itulah semuanya berubah.”

“Lo tau kenapa gue bawa pistol kemana-mana?”

“Buat pelindung diri kan? Dulu lo bilang gitu.”

“Iya, lo dulu nyangka gue kayak berandalan karena bawa pistol kan?”

“Iya, karena gue aja cuma bawa pisau lipat buat jaga-jaga, itupun kalo inget. Karena gue atlet Judo, jadi cukup dengan ilmu beladiri gue buat ringsekin musuh.”

Marvin mengangguk. “Gue bawa pistol, karena tandingan gue bukan orang biasa Zen.”

Hazen melirik Marvin. “Maksudnya?”

“Alasan gue pindah ke Indonesia karena Daddy dituduh sebagai bandar senjata tajam padahal Daddy nggak tau apa-apa, dia dijebak sama orang kepercayaannya Daddy sendiri.”

Hazen sedikit terkejut namun ia tak mengucapkan apa-apa, ia ingin Marvin bercerita tanpa gangguan.

“Setelah proses hukum dan terbukti Daddy gue nggak salah, akhirnya orang itu yang dimasukin penjara, Daddy gue sempat masuk penjara selama 1 bulan. Lalu Daddy adain konferensi pers buat klarifikasi salah paham itu untuk bersihin namanya sekaligus perusahaan Daddy di Kanada.”

“Tadinya kita pikir, semuanya selesai sampai disitu. Tapi—keluarga orang itu nggak terima karena orang itu masuk penjara karena Daddy, dan ancaman-ancaman serta terror pun berdatangan, sampai Daddy berhasil jeblosin orang-orang yang neror keluarga gue bahkan karyawan di perusahaan Daddy juga diganggu. Nggak sampai situ, setelahnya makin runyam. Daddy kerap diserang sama orang asing dan ujung2 nya nggak ada yang diketahui identitasnya, meski kita bisa nebak itu masih se spesies sama orang-orang sebelumnya. Mereka ancam, kalau kita lapor ke polisi atau membawa ke hukum, mereka akan semakin ngejar kita tanpa ampun, mereka bilang, hukum tidak akan menyusutkan pasukan mereka, karena orang-orang itu adalah sekelompok manusia yang pengen hancurin karir Daddy.”

“Demi keamanan keluarga, Daddy membawa kami kabur ke Indonesia, menghilang tanpa jejak. Daddy benar-benar menyewa badan intel buat urusin kepindahan kami di Indonesia agar nggak kecium sama mereka. Yah, kita berhasil kabur kesini. Dan Daddy selalu bilang ke gue, kalo gue nggak bisa tenang-tenang aja hidup disini, oleh karena itu Daddy ajarin gue main pistol dan senjata tajam waktu gue baru aja masuk SMP buat jaga-jaga.”

“Dan ini puncaknya, ketika gue hampir mati saat gue pulang sekolah. Itu waktu gue kelas 2 SMP, gue diculik dan disekap di gedung kosong. Gue nggak bisa lawan mereka dengan kemampuan shoot gue yang gak seberapa buat lawan belasan orang disana. Mereka telfon Daddy buat datang dan nukarin gue sama seluruh aset harta Daddy, kalo Daddy bawa polisi atau perlindungan, gue akan dibunuh.”

Daddy nggak mau ambil resiko datang sendiri, jadi Daddy bawa polisi diam-diam dan temuin gue sendirian. Sampe Daddy udah serahin semua sertifikat dan dokumen aset harta, datanglah polisi dan sialnya ada aja yang gercep dan nusuk perut gue dan gue pingsan.”

Hazen bergidik ngeri membayangkannya, ia jadi teringat waktu dulu saat pagi-pagi Hazen pulang dari rumahnya ke asrama, Marvin masih topless keluar dari kamar mandi. Tak sengaja ia melihat bekas jahitan di perut kanan Marvin meski hanya samar karena masih pagi dan remang-remang.

“Gue dilariin ke rumah sakit, dan gue kehilangan banyak darah. Gue perlu dioperasi karena hati gue terluka karena tusukan itu. Kalo gue nggak segera dioperasi kemungkinan hati gue rusak dan singkatnya, gue bisa mati.”

Mommy yang waktu itu lagi sibuk kerja karena peresmian toko Pastry nya pun nyalahin Daddy atas semuanya. Meski gue tau ini bukan salah Daddy sama sekali, tapi Mommy terlanjur capek, Mommy ikut kerja bangun usaha buat bantuin Daddy karena merintis perusahaan di Indonesia, yang di Kanada di tinggal buat hilangin jejak.”

“Gue selamat meski harus koma selama sebulan, dan saat gue bangun, udah pulih dan bisa beraktivitas, saat itulah gue nyesel bangun dari koma.”

Bibir Hazen bergetar, ia ingin menangis sejak tadi mendengarkan kisah tragis Marvin dan keluarganya, namun sebisa mungkin ia tahan. “Ke-kenapa?”

Marvin menghela nafas dan mengeratkan genggamannya di tangan Hazen. “Mommy minta cerai, karena Mommy nggak bisa hidup dengan jadi buronan para penjahat, tidur nggak nyenyak, mau aktivitas takut, Mommy trauma karena insiden yang terjadi sama gue. Daddy udah mohon-mohon biar Mommy batalin perceraian, tapi Daddy nggak bisa pertahanin Mommy karena tetiba ada lelaki yang masuk dalam pertikaian mereka dan ngaku sebagai calon suami Mommy yang baru.”

“Dengan mata kepala gue sendiri, gue liat Daddy terduduk di lantai dan nangis ketika Mommy memperkenalkan lelaki yang dikata calon suaminya. Daddy nggak punya pilihan lain, Daddy cinta banget sama Mommy dan milih buat lepasin Mommy demi kebahagiaan Mommy.”

Hazen mengusap jemari Marvin yang ada di genggamannya karena merasakan tangan Marvin mulai bergetar. “Kak, nggak perlu dilanjutin kalo lo nggak bisa. Okey?”

Marvin menggeleng. “Gue mau lo tau semua sampai tuntas, ini udah setengah cerita.”

“Tapi lo—”

“I'm fine Zen, gue bisa.” Ucapnya mengusap kepala Hazen.

Mommy lihat gue nguping lalu narik gue ke pelukannya, Mommy bilang kalau gue harus ikut Mommy biar gue aman dan tentram dari buronan penjahat itu. Dan ngebuat Daddy naik pitam, karena Daddy mau, gue juga ikut dia. Disitu, gue bingung banget Zen, gue nggak tau harus milih siapa, gue sayang semuanya dan nggak ingin pisah. Tapi gue harus milih ketika itu juga.”

“Gue berfikir secara rasional dan memilih buat ikut Daddy, karena gue tau perjuangan Daddy buat lindungin gue, sementara Mommy minta talak sama Daddy udah bawa calon suami baru disaat Daddy bahkan masih cinta sama Mommy.”

“Sejak saat itu, semuanya berubah. Daddy yang dulu manjain gue, selalu ada waktu buat gue pun udah sirna. Daddy kerja kayak orang gila, gue merasa sendirian di rumah sebesar itu. Gue nggak bisa rasain kehangatan dari Mommy lagi kayak dulu, semuanya hilang dan berubah jadi dingin. Rumah yang tadinya hangat, jadi beku. Bahkan Daddy pun berubah jadi orang tempramen, suka marah-marahin gue tanpa sebab, nuntut gue buat jadi nomer 1 di sekolah, katanya gue harus buat Daddy bangga. Dan gue mulai sumpek sama semua tuntutan Daddy. Bukan kayak Daddy gue banget.”

“Akhirnya, gue berhasil meraih peringkat 1 paralel di SMP dan menang banyak olimpiade di sekolah. Dengan itu gue buat persekutuan sama Daddy agar dia mau lepasin gue hidup sendiri. Tadinya Daddy marah, tapi gue ancam bakalan kabur buat nyari Mommy kalo Daddy gak ijinin gue hidup sendiri. Dan akhirnya, Daddy kasih gue apartemen ini, dan gue tinggal disini selama SMA, nggak pernah balik ke rumah karena Daddy emang sibuk jarang balik ke rumah juga. Gue ditemenin Bi Mina disini sampai sekarang.”

“Itu juga yang ngerubah sifat gue jadi kayak gini. Kayak yang lo tau, dingin, nggak bersahabat, penyendiri, cuek, dan semua temperamen buruk itu. Gue yang dulu udah mati sejak perceraian Daddy sama Mommy, but—, gue ngerasa perlahan gue balik ke diri gue yang dulu akhir-akhir ini.”

“Sejak perceraian Daddy sama Mommy gue nggak tau kabar apapun tentang Mommy, yang gue tau, Mommy pindah ke Taiwan kalo nggak Hongkong, menetap disana.”

“Sampai saat gue denger berita kalo Mommy meninggal saat lahirin anaknya, anak sama suami barunya. Daddy mengancam suami Mommy untuk makamin Mommy di Indonesia, yang akhirnya disetujui sama pihak keluarga sana. Dan mengejutkannya lagi, ternyata suami Mommy itu single parents. Hahaha, sampai sekarang gue nggak tau gimana rupa anak tiri Mommy itu ataupun anak kandung Mommy. Gue cuma peduli sama Mommy dan bersyukur bisa ketemu Mommy tiap bulan meski beda alam. Wajah Mommy terakhir gue tau waktu proses talak di pengadilan dan hak asuh gue jatuh ke tangan Daddy. Gue ngga nyangka, itu terakhir kalinya gue lihat Mommy di dunia.”

Mata Hazen sudah mengabur, airnya siap tumpah kapan saja. Dengan suara sedikit paraunya, Hazen merengkuh Marvin ke dalam pelukannya tanpa minta persetujuan Marvin.

“Gue tau lo lagi nahan nangis, lo sedih Kak, tumpahin aja semuanya. Gue temenin nangisnya, karena gue sekarang juga udah nggak tahan buat nangis.”

“Zen, gue...”

“Nangis kalo sedih Kak, jangan ditahan biar hati dan batinnya lega. Ada gue disini yang siap kasih lo pelukan hangat selama mungkin, apa gunanya gue sebagai teman berbagi kalo gue nggak bisa jadi tempat lo buat bersandar? Nggakpapa Kak, lo manusia biasa, meskipun cowok, nangis itu bukan perkara lo laki-laki atau lo orang yang kuat. Itu perasaan, siapapun bisa nangis kalo sedih, cara meluapkan kesedihan ya nangis meski lega sebentar, tapi seenggaknya lo udah tumpahin sebagian kesedihan lo dengan menangis. Dan sedikit dapat penyembuhan dari pelukan. Pelukan gue contohnya. Gue nggak ngejamin, ini bisa kurangin kesedihan lo, tapi yang harus lo tau, gue bisa jadi tempat lo bersandar sewaktu-waktu. You can cry right now if u want, dan gue akan dengerin tanpa bicara.”

Hiks hiks hiks

Mulai terdengar suara isakan dari lelaki kekar di pelukannya ini, Hazen mengeratkan pelukan itu dan mengusap punggung lebar Marvin dengan lembut. Memejamkan mata dan ikut meneteskan air mata, Hazen dapat merasakan kerapuhan lelaki di pelukannya.

“Zen hiks jangan pergi hiks hiks, jangan pergi ya?”

Hazen menangis tanpa suara, ia ingin membiarkan Marvin puas menangis malam ini di pelukannya. “Iya, gue nggak akan pergi. Kan gue udah janji untuk selalu ada buat lo.” Ucapnya dengan suara parau.

“Lo hiks hiks berarti buat gue Zen, gue hiks ngerasa jadi bergantung sama lo. Lo orang pertama dan satu-satunya yang secara sukarela gue ceritain dengan gamblang kisah hidup gue yang nggak mau gue ceritain ke siapapun. Dan sekarang lo udah tau gue Zen, semuanya. So, don't go anywhere Zen, please.

“Gue tersanjung karena gue satu-satunya orang yang lo percaya buat berbagi kisah hidup lo Kak. Dan gue janji, gue nggak akan kemana-mana, kita juga udah janji kan buat besarin Hevin bersama? So, what can I do except stay with you?

Marvin mengangguk dan menghirup aroma tubuh Hazen yang sewangi bunga dan buah-buahan segar, begitu menenangkan untuknya. “Thank you Zen, sorry if I make it hard in the future.”

“Nggakpapa, bisa diatasi bareng-bareng. Lo berhak bahagia, pantas bahagia. Sesuai nama lo, Liam yang berarti pelindung yang tegas dan Pradipta, yang berarti bercahaya terang. Nama lo bagus, dan sesuai sama lo. Karena lo emang pelindung buat Hevin bahkan buat gue, lo rela berkorban buat pembatalan perjodohan gue demi melindungi Hevin dan gue agar nggak kepisah. Lo juga kayak cahaya yang terang, karena lo, Hevin bisa rasain punya sosok Papa yang hebat, lo menerangi hidup Hevin Kak, bahkan—gue juga. Jadi, jangan sedih lagi ya Kak? Ada gue dan Hevin yang selalu support lo dan ada buat lo. Makasih udah bertahan sampai sekarang. Marvin kecil sangat hebat dan udah tumbuh jadi pria dewasa yang hebat. You did well, Kak. Everything will be oke right now. Terimakasih banget mau bertahan sampai selama ini. Saatnya lo bahagia Kak.”

“Untuk lo dan Hevin, gue bertahan.” Batinnya dan meluruhkan semua tangisnya di ceruk leher Hazen.

@_sunfloOra