Sederhana

kinda 18++, mohon pembaca yang bijak. Aku nggak ngasih trigger biar kejutan :D :P

Hazen duduk selonjoran dan bersandar pada kaki sofa sembari melihat Hevin yang asik bermain dengan Rimie—anjing milik Marvin.

“Hevin, kamu main terus sama Sarimi, masa Mama dicuekin sih?”

Sang anak melirik Hazen sekilas, kemudian kembali mengusap-usap kepala Rimie yang sedang mendusal-dusal kepada Hevin. Bayi itu kini tengah berbaring di karpet tebal berbulu, kedua tangannya meraih-raih bulu Rimie untuk diusap.

“Ish beneran dicuekin anjir, eh Sarimi, jangan dijilatin Hevin nya, dia udah mandi. Nanti kotor lagi bau air liur anjing.”

Gug gug gug

Rimie menggonggongi Hazen dan mengibaskan ekornya, seolah mengejek Hazen.

Hazen mendengus lalu menarik tubuh berbulu itu dan mendekapnya. “Nakal banget dibilangin orangtua, Hevin udah wangi, jangan dibikin bau karena ilermu. Ngerti nggak?”

Gug gug gug—Rimie menggonggong sembari menjilati wajah Hazen penuh semangat.

“Heh, gue juga udah mandi tau! 2 jam lagi gue kuliah, jangan jilat-jilat!”

Yang tidak Hazen tau, sebenarnya Marvin sudah masuk apart sejak 5 menit lalu. Tepat dimana Hazen mengomeli Rimie karena menjilati Hevin. Hanya saja, Marvin memang sengaja tidak langsung masuk, ia berdiri di balik dinding sekat antara pintu masuk menuju ruang tamu atau ruang keluarga itu.

Marvin menggelengkan kepala heran, makin diperhatikan, Hazen itu memang aneh namun membuat dirinya juga tak habis pikir, bisa-bisanya dirinya tertawa karena hal-hal kecil yang dilakukan atau diucapkan Hazen.

Marvin tidak menunjukkan terang-terangan di depan Hazen, namun itu benar dan tidak bohong jika Marvin sering tertawa dan tersenyum diam-diam melihat ke-absurd an Hazen, apalagi jika sudah bersama Hevin. Makin lucu dan menggemaskan. Setidaknya itu yang ada di pikiran Marvin Liam Pradipta saat ini.

Tap tap tap

Suara langkah kaki yang tidak terlalu keras itu cukup menarik atensi Hevin sang anak, yang kini tengah merangkak menghampiri Marvin.

Ppppapa papa papaaa bbbrrmmm hihihihi—celoteh Hevin sembari merangkak.

Marvin terkekeh lalu meletakkan tas nya di lantai dan berjongkok kemudian menggendong Hevin. “Selamat siang anak ganteng.”

Papapapa hihihikkk mmmmbbbrrrpaaa

Hazen yang sibuk gelut dengan Rimie pun akhirnya menoleh setelah mendengar suara Marvin. Ia menyingkirkan Rimie dari gendongannya dan berdiri, menghampiri Marvin.

“Kok udah pulang?”

Marvin melirik Hazen sebentar kemudian berjalan menuju sofa dengan Hevin yang tertawa di gendongan Marvin. “Ada larangan gue nggak boleh pulang? Ini kan apart gue.”

Hazen mendengus kemudian mengambil tas ransel Marvin yang tergeletak di lantai, kemudian mengekori Marvin. “Bukan gitu, kata lo tadi masih 1 jam lagi pulangnya?”

“Jamkos.” Ucapnya sembari mendudukkan diri di sofa.

“Kata lo juga nggak mau bolos jamkos?”

“Suka-suka gue lah, kok ngatur?”

“Anjrit, bilang aja lo gabut di kampus mangkanya pulang.” Ucapnya dan duduk di samping Marvin, memandang Hevin yang sedang berceloteh mengajak Marvin berbicara.

“Permisi mas Hazen, makanan nya sudah siap. Silahkan makan mas.” Tiba-tiba Bi Mina muncul di belakang ketiga nya.

“Eh? Makasih Bi Mina. Maaf saya ngerepotin Bi Mina yang masak dua kali.” Ucap Hazen meminta maaf tulus, ia merasa bersalah dengan Bi Mina.

“Nggakpapa mas Hazen, sudah tugas saya melayani kebutuhan mas nya.”

“Makasih banyak bi, lain kali saya masak sendiri aja ya?”

“Jangan mas, nanti saya nggak dikasih gaji sama mas Marvin.”

Hazen menoleh kepada Marvin yang sedang berbicara kepada Hevin. “Nanti lapor saya aja Bi kalo Kak Marvin nggak mau gaji, biar saya yang pukulin dianya.”

Bi Mina tertawa lalu berpamitan undur diri setelahnya.

“Lo belom sarapan dari tadi?” Tanya Marvin akhirnya.

“Belom.”

“Kenapa? Nggak suka masakan nya Bi Mina?”

“Bukan, gue yang nggak bisa makan menu sarapan tadi.”

“Emang Bi Mina masak apaan buat sarapan? Kayaknya tadi cuma salad sayur kan sama sandwich.”

“Iya justru itu, gue nggak bisa makan sayur yang mentahan gitu.”

“Dih, pemilih.”

“Bukan pemilih anjir, gue bisa sakit kalo makan sayur-sayuran mentah begitu. Gue bisa makan sayur, tapi yang udah dibumbui jadi masakan, bukan yang dijadiin isian di sandwich apalagi dijadiin salad. Huft, ngeri sendiri bayangin perut gue diaduk gegara makan itu.”

“Kalo gitu nanti bilang ke Bi Mina buat jangan masak menu sayur yang mentahan begitu. Daripada lo nyusahin Bi Mina masak dua kali buat gue sama lo.”

“Gue bisa masak sendiri, nggak akan repotin Bi Mina.” Kata Hazen ketus lalu berdiri meninggalkan Marvin dan Hevin menuju meja makan.

Marvin menghela nafasnya, Gue salah ngomong lagi apa ya? Hazen gampang kesinggung banget perasaan.

Ppppaaaaa tuuuu tuuuuu mmmmbbrrr tuuu

“Hevin laper ya?”

Perrrr tuuu tuuuu pppaaaaa

Marvin mengangguk dan mencubit pipi gembil sang anak kemudian berdiri menggendong Hevin, berjalan menuju meja makan. “Ya udah ayo makan, Papa juga laper.”

Seampainya di meja makan, Hazen sedang nikmat menyantap makan siangnya. Bi Mina membuatkan Fire Chicken Fillet dan sambal ati ampela. Tak lupa dengan minumnya Jus Jeruk.

“Susunya dimana?”

“Di kamar gue, gue taruh di atas nakas.”

Ngomong-ngomong, ide untuk pisah kamar dari Hevin tadi pagi akhirnya ditolak oleh Hazen. Karena kata Hazen, Hevin masih bayi, bahaya kalau tidurnya banyak gerak di kasur kalau jatuh bagaimana? Keamanan nya diragukan jika Hevin dibiarkan tidur sendiri. Akhirnya Marvin setuju dengan alasan itu, membiarkan Hevin tidur dengan Hazen.

Kemudian Marvin pergi begitu saja menuju kamar Hazen untuk membuatkan susu. Ia berjongkok sembari menuangkan tiga sendok bubuk susu formula ke dalam dot. Hevin bergerak tak bisa diam dalam gendongan Marvin.

“Sebentar, jangan gerak-gerak kamu, nanti susunya tumpah.”

Baru beberapa detik Marvin berucap demikian, dan benar saja dot nya jatuh dan bubuk susunya tumpah mengotori lantai kamar Hazen.

“Udah gue bilang kan buat jangan gerak? Tumpah susunya!” Ujar Marvin sedikit keras.

Ooooeekkkkk ooooeeekkkk mmmmaaa mamamama oooeekkk hiks hiks hiks

“Dikasih tau malah nangis, jangan nangis dong.”

Ceklek

Hazen dengan wajah paniknya pun berdiri di ambang pintu. Mendengar suara Hevin menangis kencang. Ia menghela nafasnya lalu menghampiri Marvin.

“Lo apain lagi sih kak? Ya Tuhan, gue makan siang aja kagak tenang jadinya.” Ucapnya lalu mengambil alih Hevin dari pangkuan Marvin dan menggendongnya.

“Nggak gue apa-apain, gue cuma buatin dia susu tapi tumpah karena dia gerak terus.”

“Pasti lo marah-marah setelahnya kan? Mangkanya dia nangis?”

“Gue nggak marah, cuma ngasih tau dia kalo susunya tumpah.”

“Tsk, alesan.” Sungut Hazen kemudian mengalihkan perhatiannya kembali pada sang anak.

“Cup cup cup, anak pinter jangan nangis ya sayang, ssstt ada Mama disini, siapa yang nakal? Papa ya? Hm? Papa yang nakal ya?” Ucapnya menenangkan sang bayi sembari menepuk-nepuk punggung Hevin.

Hiks hiks mmmmaaa maaaa hiks hiks pppaaa papaaa

“Wah wah, nanti Mama pukul Papa nya ya? Sekarang Hevin jangan nangis lagi, laper? Minum susu yuk, Mama buatin.”

Hevin masih menangis tersedu-sedu meski tidak sekeras tadi. Hazen mengambil dot nya di lantai serta meraih kaleng susu bubuk itu. “Lo makan siang aja Kak, bibi udah buatin lo makan siang. Biar Hevin gue yang urus.”

Setelah Hazen keluar dari kamar, Marvin menghembuskan nafas lelah. “Pusing banget anjing ngurus bayi, suka banget rewel. Nyusahin banget. Hevin tuh lucu tapi kalo udah nakal dan bikin gue kesel jadi pengen lempar Hevin ke jurang.”


Bi Mina sudah berpamitan pulang kepada Hazen saat Hazen tiba di dapur membuatkan susu untuk Hevin. Tugas Bibi Mina memang hanya membersihkan rumah dan memasakkan sarapan dan makan siang. Karena Marvin memilih untuk memasak sendiri untuk makan malamnya, oleh karena itu jam kerja Bibi Mina hingga siang saja, setelah selesai memasak makan siang, maka tugasnya sudah selesai.

“Nah, susunya udah jadi. Jangan nangis lagi ya? Nanti muka nya jelek kayak Papamu. Ayo buka mulutnya aaaaaaakkk.”

Hevin terkikik meski bulir-bulir air matanya masih berjatuhan, namun ia tetap membuka mulutnya lebar untuk menyesap susu dari dot nya.

“Pinter banget anak Mama, dihabisin ya? Terus langsung bobok siang.”

Hevin tidak menjawab apapun karena sibuk menikmati susunya, perlahan bulir air matanya berhenti, Hazen menghapus jejak air mata itu dengan ibu jarinya. Sesenggukan Hevin perlahan mereda, hingga beberapa menit kemudian kedua kelopak mata belo itu menutup rapat dan nafasnya teratur. Menandakan sang anak mulai tidur.

Hazen lega, ia pun berjalan menuju ruang tamu, dilihatnya jam besar yang berdiri di samping almari hias. 45 menit lagi ia harus berangkat kuliah. “Duh, gue jadi mager kuliah kalo gini, jarak apart nya lumayan jauh dari kampus. Gue harus berangkat sekarang anjir.”

Ting Ting

Ponsel nya berbunyi di saku celana pendeknya. Ia pun mengambil ponselnya untuk mengecek pesan yang masuk. Ternyata ada pesan masuk dari grub mata kuliah Ekonomi Makro kelasnya. Hazen membaca pesan yang baru saja dikirim oleh ketua kelasnya.

Hazen ingin berteriak tapi mengingat Hevin sedang terlelap dalam gendongannya pun ia tidak jadi teriak.

“Anjay, ini yang namanya doa anak Tuhan, langsung dikabulin, padahal gue cuma bilang mager kuliah.”

Memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku, Hazen berjalan menuju kamarnya. Ia sempat terkejut karena lantai kamarnya sudah bersih dari bubuk-bubuk susu yang berceceran tadi.

“Masih peduli juga ternyata, gue kira bakalan ditinggal kotor gitu aja.” Gumamnya lalu menutup pintu kamar dan meletakkan Hevin di kasur. Seperti biasanya, Hazen meletakkan bantal di kanan dan kiri untuk menghadang pergerakan Hevin agar tidak jatuh.

Kasurnya lebih lebar, jadi Hazen tidak seberapa takut menidurkan Hevin, ia menidurkan Hevin tidak di tengah, melainkan minggir dekat dinding agar jauh dari pinggiran kasur, untuk meminimalisir Hevin jatuh dari kasur.

“Gue masih laper, makan lagi lah, tadi makan gue belum habis udah gue tinggal gitu aja.”

Hazen keluar dari kamar tanpa mengunci pintunya, berjaga-jaga jika Hevin menangis lagi. Ia kembali ke meja makan, tadi saat ia selesai membuatkan Hevin susu, belum ada Marvin di meja makan, namun sekarang disana sudah ada Marvin yang sedang menyantap makan siangnya.

Sreettt

Suara kursi ditarik membuat Marvin mendongak dan melirik sedikit, kemudian lanjut makan lagi. Hazen membuka tudung sajinya yang berisi makanan nya yang belum habis.

“Hampir aja gue buang itu makanan lo.”

“Enak aja main buang-buang, belum habis gue makan ya anjir.”

“Mangkanya makan tuh dihabisin, bukannya disisain kayak gitu. Jorok.”

“Ini gara-gara siapa ya anjing? Tolong sadar diri.”

Marvin mendengus dan membiarkan Hazen melakukan apapun, karena ia juga lapar butuh diisi perutnya daripada harus meladeni Hazen.

Hazen juga tak peduli, ia memilih memakan makanannya. Keduanya sibuk dengan dunia nya masing-masing, tanpa bicara hingga Marvin selesai makan duluan.

Marvin menuju ke dapur untuk mencuci piring, tak lama setelahnya Hazen juga selesai, ia berjalan ke dapur, dengan tujuan yang sama yaitu mencuci piring.

“Lama amat nyuci piringnya.”

Marvin tidak menggubris dan tetap meneruskan menggosok piringnya dengan spon yang penuh busa. Hazen bersandar pada kulkas yang terletak di samping wastafel cuci piring. Memandang Marvin yang tengah menggosok piring, gelas, serta sendok garpu bekas makanan dan minumnya.

Dasarnya Hazen memang jahil, ia pun tersenyum miring kemudian mencolekkan busa sabun colek di pipi Marvin. Marvin terkejut dan mengusap pipinya dengan punggung tangannya yang basah.

“Maksud lo apaan?”

“Lama, gue gabut nungguinnya.”

Marvin pun tak mau kalah, ia mencolekkan sabun colek ke pipi kanan Hazen.

“Heh kok sabunnya? Gue tadi cuma busa nya anjir!”

“Terserah tangan gue lah, yang penting impas.”

Hazen tidak terima, karena baginya itu tidak adil. “Impas darimananya? Gue pake busa, gak kotor banget sedangkan lo pake sabun colek, alias ini beneran kotor anjir.” Hazen pun mencolekkan sabun colek itu ke pipi Marvin.

“Zen, ngajak ribut banget sih?”

“Lama gak ribut sih, mau ribut hah?” Hazen mendongakkan dagunya, menantang Marvin.

Marvin menghela nafas lalu mematikan keran air nya. Menatap kedua manik hazel Hazen serius. “Lo nggak kuliah apa? Berangkat sana, apart ini lumayan jauh dari kampus.”

“Libur, dosen gue ada seminar.”

“Masih ngajak berantem nggak?”

“Masih.” Jawab Hazen mantap.

Tanpa aba-aba, Marvin mengunci leher Hazen kemudian mencoleki seluruh wajah Hazen dengan busa sambil terkikik.

Hazen meronta-ronta dari dekapan erat Marvin. “Kakkk, leher gue sakit ih.” Hazen dengan sekuat tenaga melepaskan diri, ketika berhasil ia membalas Marvin dan mengoleskan busa dengan brutal ke seluruh wajah Marvin.

“Wah, lo beneran ngajak gue berantem ya?”

“Kan lo yang setuju, gue jabanin lah.”

“Oke Zen, gue buat lo kapok setelah ini udah berani ngerjain gue kayak gini.”

Marvin menarik tangan Hazen sedikit menjauh dari kulkas, karena takut menyenggol nya. Marvin masih kasihan dengan Hazen jika nanti Hazen terbentur kulkas, kan sakit.

Mulailah perang busa dan sabun colek antara dua remaja laki-laki itu, sambil saling memiting dan mengunci pergerakan. Mereka memang perang, tapi sambil bermain—sepertinya. Karena Marvin dan Hazen tertawa terbahak-bahak.

“Rasain, biar muka sok kegantengan lo tertutupi busa!” Ucap Hazen sibuk mengolesi wajah Marvin dengan busa.

Mereka berdua tidak sadar, bahkan posisi mereka sudah guling-guling di lantai dapur. Untung dapurnya luas, jadi mereka tidak terpentok meja ataupun kursi. Posisi kini Hazen ada diatas, sedangkan Marvin di bawah. Hazen masih tertawa puas karena berhasil mengotori seluruh wajah Marvin dengan busa yang ada di tangannya.

Marvin memeluk pinggang ramping Hazen dan menggulirnya ke samping sehingga posisi berbalik, Hazen berada di bawah sedangkan Marvin di atas. Tangan Marvin sudah bersih dari busa, ia jadi tidak bisa membalas Hazen yang nakal ini. Enak saja hanya dirinya yang kotor, ia ingin Hazen juga sekotor dirinya. Ia memikirkan cara bagaimana membalas Hazen.

Ting

Suara ide muncul itu datang dalam benak Marvin. Ia menyeringai setelah mengunci kedua pergelangan tangan Hazen dengan satu genggaman tangannya. Mengangkat kedua tangan Hazen yang ia kunci di atas kepala Hazen.

“Anjrit kak, apa-apaan ini tangan gue ada diatas kepala gue? Lepasin gak? Gue nggak ngunci tangan lo sama sekali loh!” Protes Hazen sembari mendengus.

“Lo nakal, liat! Muka gue busa semua, muka lo masih belum sepenuh gue. Nggak adil.”

“Lo lambat, kok gue yang disalahin?”

“Mangkanya biar gue bales dendam sama lo!”

“Nggak mau, minggir atau gue tendang adek lo?”

“Eitss, nggak ada main kasar. Gue udah sabar diemin lo bertindak sepuasnya ngerjain gue ya anjir.” Marvin mengikis jarak yang ada antara keduanya, hembusan nafas Hazen terasa hangat menerpa kulitnya.

“Heh, lo mau ngapain deket-deket gue? Kak Marv!” Teriak Hazen melengoskan wajahnya ketika jaraknya dengan Marvin hanya setengah jengkal.

“Zen.” Panggil Marvin dengan suara deep baritone nya.

Jujur saja kini badan Hazen meremang hanya karena suara Marvin yang memanggilnya seperti itu.

“A-apa?”

Marvin menggesekkan pipinya di pipi Hazen sehingga busa yang menempel di wajahnya pun berpindah mengotori Hazen.

“Kak Marvinnn, anjir geli anjing kak.” Hazen tertawa kegelian karena Marvin mendusal-dusal di area pipi dan hidungnya untuk mengusap busa yang ada di wajah Marvin.

“Hahaha rasain, gue balikin nih busanya ke lo.”

“Kak sumpah geli anying, minggir sana lo.” Hazen mengibaska wajahnya ke kanan dan kiri menghindari Marvin.

“Zen diem, nanti malah salah sasaran, bodoh!”

“Gimana gue bisa diem kalo ini geli? Dongo.”

Hazen mengumpulkan tenaga kuda-kudanya ingin mendorong Marvin. Memang sih kedorong, Marvin jatuh. Tapi sialnya, Marvin menarik pinggang Hazen sehingga keduanya jatuh bersama, Hazen menindih Marvin.

Akibat dorongan Hazen yang kuat serta tarikan Marvin yang tak kalah kuat, kening Hazen pun terkantuk dengan kening Marvin. Bukan itu saja, bahkan kedua hidung bangir mereka berbenturan.

Dug

Sakit, itu yang mereka rasakan. Ngilu di kepala serta hidung yang nyut-nyutan. Pening. Mungkin karena keduanya masih menetralisir rasa sakit nya, sehingga keduanya pun tak berpindah posisi.

Hazen ingin beranjak dari atas Marvin, menggunakan kedua tangannya untuk bertumpu di lantai, namun sialnya lagi karena tangannya berbusa membuat nya tergelincir saat tangannya menyentuh lantai. Dan akhirnya ia terjatuh lagi di atas Marvin and—boom!

Jatuh dengan spot yang indah

Marvin membelalakkan matanya saking ia terkejut dengan kejadian yang tiba-tiba.

Untuk kali kedua, bibir mereka menempel. De javu, baik Marvin maupun Hazen jadi teringat kejadian 1 bulan lalu.

Dengan cepat Marvin menggulir tubuhnya, menjadikan Hazen berpindah posisi di bawahnya, mengungkungnya. Bibir keduanya sudah terlepas, namun keduanya terdiam, hanya saling menyelami kedalaman manik mata masing-masing.

Putar lagunya dulu bestie, “Dari Mata by Jaz”, mari meleyot bersama-sama T_T

https://www.youtube.com/watch?v=jieBCHsHg3A

“Zen.”

“Hm...” Gumam Hazen lirih, ia bingung mau merespon seperti apa. Dadanya sakit karena jantungnya berdetak begitu kencang, seperti menggedor-gedor ingin keluar saja jantungnya.

“Kenapa sih hobi banget nempelin bibir?”

“Dengkul lo hobi! Nggak sengaja, kecelakaan anjir.”

“Sebulan lalu, itu—first kiss lo?”

“Kepo amat, itu privasi.”

“Gue tebak itu first kiss lo.”

“Sok tau.” Hazen mengerlingkan matanya.

“Ciuman lo berantahkan, tapi lumayan.”

Hazen membelalakkan matanya. “Anyingg, lo mesum banget Kak sumpah. Pergi lo, lo berat banget sial. Sadar diri dong badan lo gede anjrit.” Hazen meronta dan mendorong-dorong Marvin, kedua tangannya menumpu tubuhnya agar bisa berdiri, namun ia salah langkah, lagi

Karena kini Hazen terpeleset dan hampir saja kepalanya terbentur lantai jika Marvin tidak segera menggulingkan tubuhnya, merubah posisi. Sehingga yang terbentur lantai menjadi Marvin, Hazen ada di atasnya.

“Kak Marv, lo tuh daritadi bolak-balikin badan gue, lo kira gue ini karung be—”

Ucapan Hazen tak terselesaikan, karena Marvin sudah membungkam mulut cerewetnya dengan bibir penuhnya. Memagut bibir semanis madu itu pelan, Hazen hanya diam.

Ketika Hazen tersadar, ia mendorong kepala Marvin menjauh, namun kedua tangan kekar Marvin lebih kuat menahan kepala Hazen agar tidak bergerak ribut.

“Gue ajarin lo cara ciuman yang nggak berantahkan, biar ntar lo nggak malu-malu amat waktu ciuman sama pacar lo.” Ucapnya di sela-sela memagut bibir Hazen.

“Brengsek.” Umpat Hazen, ia tidak diterima dibilang skill ciumannya berantahkan meski mungkin memang—iya. Ia pun meladeni Marvin dan ikut melumat bibir Marvin. Mengikuti tempo yang dimainkan oleh lelaki itu, ia ingin membuktikan bahwa dia bisa berciuman, skill nya tidak berantahkan seperti yang Marvin bilang.

Lama kelamaan keduanya terlarut dalam pagutan manis dan candu itu, sehingga keduanya pun tak berniat menghentikan untuk saling menyicipi bibir sang lawan.

Kedua telapak tangan Hazen mengusap kedua lengan berotot Marvin yang ada di bawahnya, terkadang sedikit memberi rematan kepada lengan baju Marvin untuk menyalurkan kenikmatan.

Marvin pun tak hanya diam, jemarinya mengusap tengkuk leher Hazen dan memijatnya pelan, jemari yang lain menyisir helaian rambut Hazen, menyingkirkan semua poni yang menjuntai yang menutupi wajah manis Hazen.

Keduanya memejamkan mata ketika ciuman itu sedikit berubah tempo lebih cepat. Marvin berguling ke kiri, merubah posisi menjadikan Hazen di bawahnya, ia tau Hazen lelah menyangga tubuhnya di atas.

Telapak tangannya ia gunakan untuk melindungi kepala Hazen agar tidak terbentur, tangan Hazen merambat dari meremas-remas lengan baju Marvin menjadi mengalung di leher Marvin.

Ugh, Hazen maupun Marvin sama-sama tenggelam dalam kenikmatan yang terasa begitu memabukkan bagai candu. Marvin merasa bibir Hazen sangat manis, ia pun mencoba memainkan lidahnya, mengetuk akses bibir Hazen agar terbuka lebih lebar.

Tanpa ragu, Hazen membuka mulutnya lebih lebar untuk mengizinkan lidah Marvin masuk menjelajahi rongga mulutnya, menyesap pertukaran saliva dan berperang lidah.

“Ummhh Kak Marv...”

Lenguhan pertama yang Hazen keluarkan dan Marvin dengar, membuat tubuh Marvin merinding disko dan makin kepanasan. Ia pun menyesap saliva yang mulai mengalir keluar dari sudut bibir Hazen. Ia tidak peduli itu tadi punya siapa, karena rasanya manis, jadi ia telan saja lelehan saliva itu.

“Kak, ugh—gue kehabisan nafas uummhh....” Erang Hazen menjambak helaian rambut Marvin.

Barulah Marvin melepaskan pagutannya, ia mengelap sudut bibir Hazen yang ternodai saliva dengan ibu jarinya.

Hazen di bawahnya terlihat berantahkan, matanya mengembun dan sayu, seluruh wajahnya memerah apalagi di bagian pipi, hidung dan telinga. Sedangkan bibirnya—sedikit membengkak dan basah sekali karena ulahnya.

Marvin mengusap keringat yang bercucuran di pelipis Hazen dengan punggung tangannya. “Udah selesai belajarnya, lo udah lumayan.”

Dada Hazen naik turun, ngos-ngosan meraup oksigen yang banyak. Rasanya ia ingin memukul orang brengsek di atasnya ini, tapi ia sendiri juga menikmati permainan setengah panas itu tadi. Jadi ia menahannya.

“Minggir, lo berat.” Ucapnya mendorong Marvin.

Marvin terkekeh dan menyingkir, barulah Hazen berdiri dan mencuci tangannya. Diikuti oleh Marvin.

Sebetulnya, keduanya sangat malu sekarang, Hazen juga bisa melihat kedua telinga Marvin yang sangat merah. Tapi Hazen tidak mau mengungkit apapun, karena ia pasti di ejek balik kalo ia mengejek Marvin sekarang.

Ooooeeekkkk oooooeeeeekkkkk mmmmaaaa pppppaaaaa

Marvin dan Hazen berpandangan lalu keduanya berlari bersama menuju kamar Hazen.


Tolong putar lagu ini T_T resapi liriknya bestie, niscaya anda akan meleyot gedubrak brak brak. “Takkan Kemana by The Overtunes”. Dengarkan sampai lembar terakhir ya...

https://www.youtube.com/watch?v=PnPbo6umcSc

Hevin kini sedang digendong koala oleh Marvin, sedangkan Hazen menimang-nimang sang anak dengan lelucon receh. Hevin mulai berhenti menangis, karena tepukan Marvin di punggungnya serta Hazen yang mengajaknya bercanda.

Hevin mulai tertawa melihat tingkah konyol Hazen.

Hihihikkikik mmmaaa bbuuuurrrmmmm

“Hevin turun ya? Kita bermain di lantai aja, Papa capek gendong kamu.” Kata Marvin.

Hevin mengangguk, memahami maksud sang Papa. Akhirnya Marvin menurunkan Hevin di karpet berbulu yang hangat di ruang tamu. Hazen yang sejak tadi membawakan tas berisi mainan-mainan Hevin pun ikut duduk lesehan bersama Hevin yang sedang tengkurap. Hazen mengeluarkan mainan-mainan Hevin.

“Kok mainan Hevin tambah banyak aja perasaan.” Ujar Hazen mengernyitkan dahinya melihat mainan-mainan Hevin.

“Gue beli beberapa hari lalu. Masa mainan nya itu-itu aja, dia perlu banyak mengenal banyak benda kan?”

Hazen tersenyum lebar, ternyata Marvin pengertian juga. “Iya, gue juga ada rencana mau beliin Hevin mainan, tapi lupa terus.”

Marvin mendengus dan ikut bergabung duduk lesehan, menemani Hevin dan Hazen.

“Hevin capek tengkurap ya? Mau duduk?” Tanya Hazen melihat pergerakan Hevin yang ingin bangkit tetapi tidak bisa.

Mmmmaaaa dddduuuukk

Hazen terkekeh lalu mengangkat tubuh kecil sang anak, mendudukkan tubuh mungil itu, Hazen ada di belakang Hevin sebagai sandaran sang bayi. Karena ia tau, di umur Hevin yang otw 7 bulan masih perlu sanggahan untuk bisa duduk.

Darimana Hazen tau? Dia baca dari internet tentu saja, ia sudah mempelajari apa saja tumbuh kembang sang bayi dari umur 6 bulan hingga 1 tahun. Jadi Hazen sudah bersiap untuk mengajari banyak hal kepada Hevin nantinya disaat usianya sudah mencukupi untuk belajar.

Hevin duduk bersandar pada dada Hazen, ia sedang bermain dengan Marvin yang ada di depannya. Hevin mengajaknya bermain piano. Mainan favorit Hevin karena setiap di pencet muncul suara.

Mbeeek mbeeek mbeeekkk

Suara yang keluar dari piano tersebut ketika Hevin asal memencet. Ia tertawa cekikikan mendengarnya.

Mmbbbrrrr eeekkkk mmmbbburrrrr, celotehnya dengan air liur muncrat kemana-mana.

Marvin yang ada di depannya auto mengusap wajahnya yang terciprat air suci barusan. Hazen tergelak tawa melihatnya.

“Hahaha ya ampun lucu banget, kamu kenapa hobi nyembur Papa mu kayak dukun gitu sih sayang?”

Hevin tertawa cekikikan lagi, sedangkan Marvin mengerlingkan matanya. “Hevin, kamu sekali-kali sembur Mama mu itu, jangan Papa terus. Kamu pilih kasih emang, nanti Papa nggak mau beliin kamu mainan lagi loh!”

Hihhihikikikik pppapaaa ppapaaaa hihihihik, tangan sang bayi mengudara ingin menggapai wajah Marvin.

Marvin pun memajukan wajahnya, membiarkan sang anak menyentuhnya. Ia pikir, Hevin akan menepuk-nepuk dan menampar wajahnya ternyata bukan. Bayi itu mengusap lembut wajah Marvin, seolah-olah membersihkan cipratan air liurnya tadi dari wajah sang Papa.

Hazen yang melihat itu terhenyak. Tanpa sadar ia menyunggingkan senyum nya. “Anak pintar.” Gumam nya lirih.

Marvin menatap lekat kedua manik mata belo sang anak kemudian tersenyum juga. Ia meraih tubuh mungil Hevin lalu mengangkatnya sedikit tinggi sampai atas kepala Marvin.

Menimang tubuh Hevin ke atas, ke bawah dan dilakukan berkali-kali seolah-olah Hevin sedang naik wahana Hysteria. Hevin tertawa senang diayunkan seperti itu oleh Marvin.

“Kak hati-hati, jangan kenceng-kenceng nanti pusing anaknya.”

“Iya, nggak kenceng kok.” Kata Marvin lalu berdiri, meneruskan aksinya mengangkat sang anak.

Tak hanya menaik turunkan di udara, kini Marvin mengayunkan Hevin ke kanan dan ke kiri saat ia gendong koala.

Hihihihikkk papa pppapaaa hihihi

Suara tawa riang dan senang Hevin menjadi pengisi keheningan apartemen besar itu. Hazen hanya memandang Marvin dan Hevin dengan senyuman yang lebar.

Demi Tuhan, Hazen tidak bohong. Suara ketawa Hevin yang bercampur suara tawa Marvin itu terasa menyenangkan di dengar. Bahkan Hazen saja ikut tertawa melihat itu semua.

Marvin memang berniat sekali malam ini mengajak anak itu bermain, karena kini Hevin ia naik turunkan dalam gendongan koalanya. Ketika Marvin membungkuk, maka Hevin akan ikut terlentang ke bawah, namun tubuh Hevin masih dipeluk erat oleh Marvin, sehingga bayi itu tidak jatuh.

“Kak, hati-hati.” Peringat Hazen ngeri melihat itu, dia hanya takut Hevin jatuh.

“Tenang aja Zen, Hevin aman kok.”

Hihihihkk ppaaa giiii giiii kikikik

Ternyata Hevin sangat senang diajak bermain Marvin. Sesuai permintaan Hevin, Marvin melakukannya lagi. Kali ini sembari menggelitiki perut Hevin dengan hidung mancungnya.

“Hmmm wangi banget anak ganteng.” Ucap Marvin menggelitiki perut tummy Hevin dengan hidungnya berkali kali.

Pppaaa hihihikkk bbrrrmmm papapapapa

Hazen tertawa terbahak-bahak, ia terkejut bukan main melihat sisi Marvin yang ini. Ia sangat bingung darimana Marvin belajar menimang dan bermain dengan bayi seperti ini?

“Mumumumum hmm Papa gelitikin perut kamu nanti kalo masih rewel dan nangis.”

Hihihihi pppaaaa papapapapa

“Udah-udah Kak, capek ketawa itu Hevin nya. Turunin gih, biarin main di bawah.” Hazen menghampiri Marvin lalu mengambil alih Hevin.

“Besok lagi ya mainan ekstrim nya? Nanti kamu pusing kalo lama-lama. Sekarang main di bawah aja. Oke?”

Mmmaaa mmamaaama hihihihi

Akhirnya Hevin bermain di bawah, Marvin ternyatav membelikannya poster berisi gambar-gambar Hewan dan Buah beserta namanya. Hazen membeber poster itu, lalu menunjuk satu persatu gambar dan menyebutkan namanya.

Posisi sekarang, mereka bertiga duduk bersila di lantai. Hevin ada di tengah, diapit Marvin dan Hazen. Hevin duduk dan disangga oleh Marvin dan Hazen. Marvin memeluk bahu Hevin sedangkan Hazen memeluk pinggang Marvin. Di depan Hevin ada poster gambar Hewan yang dibeber Hazen.

Hazen menunjukkan gambar beruang dengan telunjuknya. “Ini namanya Be-ru-ang. Beruang.”

Bbrrrmmmm angg anggg hihihihi

Meski Hevin tidak bisa mengejanya, namun bayi itu mendengarkan seksama setiap perkataan Hazen yang mengenalkan nama-nama hewan padanya. Marvin terkekeh saja melihat respon Hevin yang sama setiap nama hewan yang diejakan oleh Hazen.

Marvin mengambil piano mainan Hevin lalu memencet asal, keluarlah suara kucing.

meong meong meong

Hevin langsung menoleh begitu mendengar suara itu. Marvin memencetnya lagi, Hevin tergelak tawa.

“Ini suara kucing, meong meong adalah hewan kucing.” Kata Marvin menjelaskan kepada Hevin.

Hihihihikkkkk iiingggg hihihihihi

Hazen dan Marvin tertawa terbahak-bahak karena Hevin terus memencet pianonya yang mengeluarkan suara kucing.

Mbeeeekkk mbeeek mbeeeekkkk

“Nah kalo ini suaranya kambing, mbeeeekkkk itu suaranya kam???” Tanya Hazen.

inggggg bbbrrruummmm ingggg hihihhi

“Aduh aduh gemasnyaaaa, pinter banget sih anak Mama hmm, sini cium dulu.” Ucap Hazen mendekatkan bibirnya di pipi gembil Hevin, mencuri 1 kecupan di pipi kiri sang anak.

“Mau juga dong, Papa cium satu juga ya?” Marvin terkekeh lalu mendekatkan diri dan mencium pipi kanan Hevin.

Hihihihikkk ppppaaaa mmmaaaa hhmmuuuhhhhh

Marvin dan Hazen saling pandang lalu tertawa terbahak-bahak. Karena Hevin menepuk-nepuk pipinya sendiri setelah dicium Papa Mama nya.

Kemudian, Hevin sibuk dengan dunianya sendiri, berceloteh setiap suara hewan berbeda keluar dari piano.

“Zen.”

“Hm...”

Keduanya berbicara tanpa bertatapan, karena fokus keduanya tertuju kepada sang bayi yang asik bermain.

“Kita udah berbulan-bulan barengan dan gue sadar banyak hal yang berubah dalam hidup gue, sejak adanya lo dan Hevin. Lo pasti sadar kan perubahan gue akhir-akhir ini?”

Hazen menoleh, kebetulan juga Marvin sedang menatapnya. Hazen jadi sedikit gugup namun ia pasang poker face nya. “Iya, gue sadar banget. Lo—keliatan lebih warm dan banyak ketawa, sama Hevin sih. Kalo sama orang lain kayaknya lo sama aja, masih dingin.

Marvin terkekeh dan mengangguk. “Gue ketawa, senyum kalo gue emang seneng. Artinya, Hevin bikin gue seneng. Gue nggak tau kenapa, tapi tiap denger ketawanya Hevin tuh gue seneng aja dengernya dan pengen terus denger. Lo ngerasain gitu nggak?”

“Rasain kok, gue suka denger suara tawanya Hevin. Lucu, and feeling healing too liat dia ceria, ketawa, riang dan lincah bermain sana-sini. Apalagi kalo dia udah celoteh dan ngomong nggak jelas, haha itu lucu banget.”

Marvin tersenyum. “Gue mau, kita rawat dan jaga Hevin dengan benar bareng-bareng. Dia butuh Papa Mama nya, yaitu kita. Kayak kata lo, dia dibuang sama orangtuanya bahkan dititipin ke kita, gue rasa Hevin perlu kasih sayang orangtua. Kalo bukan kita, siapa lagi?”

Hazen terhenyak dengan ucapan Marvin, ini—benar Marvin kakak tingkatnya yang seperti kulkas itu bukan? Kok terasa aneh?

“Kak, lo kerasukan demit mana gue tanya?”

Marvin mendengus. “Jangan bercanda, gue serius.”

Hazen terkekeh, kemudian tersenyum lembut menatap obsidian gelap Marvin. “Iya, kita besarin Hevin bersama ya Kak? Entah nanti ortu nya inget buat ambil dia atau enggak, kita yang jadi orangtua nya sampai dia dijemput. Oke?”

Marvin menghela nafas dan mengangguk setuju. “Biar waktu yang atur semuanya, kita cukup menerima apapun yang terjadi dan jalanin dengan ikhlas. Gue nggakpapa kalo harus habisin waktu sama Hevin.”

“Gue juga. Gue—beneran sayang banget sama Hevin, Kak.”

I think me too, Hevin kayak membawa kebahagiaan lain yang entah gimana caranya gue nggak ngerti, tapi gue mulai sayang sama dia.”

Keduanya bertatapan kembali lalu saling melempar senyum.

Flo·ᴥ·