Terimakasih, Zeline

—142;


Mark segera menuju ke rumah sakit Royal Victoria Infirmary setelah check in ke hotel terdekat. Ia menghubungi Dirga untuk bertanya harus ke ruangan berapa untuk bertemu dengan Zeline.

Kata Dirga, Zeline sudah dipindahkan ke ruang inap setelah melewati masa kritisnya.

“Kamar no 520 ya Mark yang VIP, lantai 5.”

“Baik Dok, terimakasih.”

Sambungan telepon itu terputus, Mark sudah ada di lobi rumah sakit ini, ia pun menuju lift dan masuk bersama dengan beberapa orang, dipencetnya lantai 5.

Sejujurnya Mark sangat takut, ia akan menemui Haechan lagi, namun dengan keadaan yang berbeda. Jika di Bandung ia menemui Haechan dengan bahagia, maka disini, ia menemui Haechan dengan kesedihan karena Zeline.

Berjalan beberapa menit, akhirnya Mark sampai di depan pintu kamar 520. Di sekitar unit ini sangat sepi, mungkin karena VIP jadi lebih privasi. Namun yang ia bingungkan, kenapa harus VIP? Biasanya yang rawat inap di unit ini kalangan artis papan atas atau publik figur.

Ini kan istrinya Lee Haechan, tapi mungkin bisa jadi karena Haechan banyak uang akhirnya memilih yang terbaik untuk istrinya. So sweet, Mark agaknya sedikit cemburu.

Perlahan Mark membuka pintu ruang inap itu.

Kriettt

Suara pintu terbuka mengalihkan atensi orang yang ada di dalam ruangan itu. Kedua manik Mark pertama kali menangkap sosok Haechan yang kini juga menatapnya. Pemandangan mengejutkan lainnya yaitu ada Ody yang tidur di pangkuan Haechan.

“Mark? Lo Mark Lee?” Cicitnya lirih, takut membangunkan Ody.

Mark meringis kemudian masuk ke dalam. “Hai.”

“Sebentar, ini gue lagi mimpi atau gimana sih? Masa Mark ada disini? Oh mata gue saking bengkak nya jadi sliwer.”

Ini bukan waktunya Mark untuk tertawa karena gemas dengan Haechan. Suasananya sangat tidak mendukung untuk tertawa. Mark mendekati Haechan lalu mengusap punggung tangannya.

“Haechan, ini gue Mark Lee. Gue bemeran disini, di depan lo.”

Kedua mata cantik Haechan mengerjap. Ia menarik tangannya yang digenggam Mark, kemudian menidurkan Ody di sofa panjang dan lebar.

“Bentar, lo beneran Mark Lee? Kok bisa? Lo nyasar atau apa?”

“Panjang ceritanya, intinya gue kesini tuh atas permintaan Zeline.”

“Zeline? Istri gue?”

Mark mendengus, kenapa Haechan terang-terangan sekali menyebut Zeline istrinya, tak tau apa Mark ini cemburu?

“Iyalah, kan gue datengnya kesini, yakali istri orang lain.”

“Gimana caranya lo interaksi sama Zeline? Kok bisa?”

Karena malas menjelaskan, akhirnya Mark menyerahkan ponselnya yang berisi chat Zeline kepadanya beberapa hari yang lalu. “Lo baca aja deh biar paham.”

Haechan pun membaca chattingan antara Mark dan Zeline dengan pelan, meresapi kalimat panjang yang diketik Zeline untuk Mark. Sedangkan Mark mengambil duduk di samping Haechan sambil menunggu.

Selesai membaca, Haechan memijat pelipisnya dan menyerahkan ponsel Mark kembali kepada pemiliknya.

“Haechan, gue turut berduka cita atas meninggalnya Om dan Tante. Lo tau rasanya gue baca pesannya Zeline? Gue nangis Chan jujur aja, Om sama Tante baik banget ke gue, ketika orang-orang bahkan orangtua gue nggak kasih validasi sama hubungan kita, tapi Tante sama Om kasih cuma-cuma. Maaf Chan, gue tau ini telat, karena gue beneran baru tau. Kemarin di Bandung lo bohong sama gue kalo Om sama Tante ada di Inggris sama lo.”

Thanks Mark, Papa sama Mama meninggal 2 tahun lalu, pesawat yang bawa mereka ke India jatuh di jurang, lo tau juga kan beritanya? Dulu heboh karena semua penumpangnya meninggal dan susah ditemuin karena pesawatnya hancur lebur.”

“Iya tau, cuma beberapa doang yang disebut identitasnya, karena yang lainnya nggak bisa dikenali jasadnya.”

“Papa sama Mama ketemu setelah satu minggu dari kejadian, yang gue yakini itu Papa Mama karena kalung yang dipake mereka sama kayak punya gue, ada ukiran nama LHC di kalung mereka berdua. Papa dan Mama juga hancur, wajahnya nggak bisa dikenali.”

Mark mengusap pundak Haechan, ingin ia memeluk pujaan hatinya ini, namun sadar posisi ia ada di rawat inap istri Haechan. Tidak etis rasanya memeluk suami orang di depan istrinya.

“Om sama Tante pasti bahagia di atas sana liat lo udah segede ini dan sekuat ini. Lo harus selalu bahagia, Chan, supaya Om dan Tante juga bahagia liat lo dari atas sana.”

Haechan mendongak dan tersenyum tipis, Kedua mata cantiknya membengkak, ia baru saja menangis lagi karena membahas orangtua nya ditambah ada presensi Mark yang sangat ia rindukan kini duduk di sampingnya. Ingin memeluk tapi tak bisa, kesedihan Haechan berlipat ganda.

“Gue sedang mencoba mencari kebahagiaan gue, Mark. Gimana gue mau bahagia sekarang kalo Zeline begini? Gue nggak bisa liat Ody nangis terus dari kemarin. Ody nangis, gue juga nangis.”

“Itu wajar, Mama nya sakit, anak mana yang nggak sedih liat Mama nya sakit? Lo harus kuat untuk Ody, Chan. Lo yang hibur dia saat begini, kalo lo sedih, Ody makin sedih karena nggak ada yang nguatin dia.”

“Gue lagi kalut Mark, semua yang diomongin Zeline ke gue itu susah gue cerna. Gue bingung harus gimana, gue takut Mark. Gue nggak mau kehilangan lagi.”

“Zeline cewek kuat, dia pasti bisa lawan penyakitnya. Doa yang banyak, siapa tau doa lo bisa buat Zeline bangun.”

“Ayah...” Suara serak khas bangun tidur itu mengintrupsi obrolan Mark dan Haechan.

“Loh, Ody kok udah bangun? Keganggu suara Ayah ya?”

Ody menggelengkan kepalanya. “Lapar, Ayah.” Ia menghampiri Haechan dan memeluk Haechan erat.

Haechan terkekeh dan mengusap surai sang anak. “Ya udah, Ody mau makan apa? Biar Ayah belikan, Ody disini dulu sama Kak Mark ya?”

Ody melirik Mark, mengerjapkan matanya. “Halo, Kak Mark.”

Mark terkesiap, demi Tuhan, Ody tersenyum padanya sambil melambaikan tangan di pelukan Haechan. Gemes, Mark bisa melihat Ody gadis yang lucu dan cantik. “Halo, Ody. Aku Mark, teman Ayah kamu.”

“Aku Ody, anaknya Mama Zeline sama Ayah Haechan.” Jawabnya.

Mark tersenyum simpul dan menghampiri Ody, duduk berjongkok di samping Haechan untuk menyamakan tingginya dengan Ody. “Ody laper ya? Mau makan apa? Biar Kakak aja yang belikan, Ody disini jagain Mama sama Ayah, ya?”

“Eh Mark, gue aja deh. Lo abis landing langsung kesini ya?”

“Naruh tas dulu di hotel, baru kesini.”

“Sebentar kalau gitu, gue chat dokter Dirga dulu buat jagain Zeline. Kita makan bertiga di kantin, lo juga butuh makan, Mark.”

“Nggakpapa emang? Mendingan gue aja yang beli, kalian berdua disini tungguin Zeline.”

“Nggakpapa, dokter Dirga juga mau cek kondisi Zeline sekalian sih tadi. Mangkanya gue tanya jadi kesini nggak nya.”

“Oh ya udah.”

Dokter Dirga datang bersama dengan suster. Dirga terlihat terkejut melihat Mark ada disana. Ia tersenyum ketika melewati Mark, ia harus memeriksa keadaan Zelin, sehingga tidak menyapa Mark dengan benar.

“Kalian mau beli makan? Jika iya, kalian bisa makan dahulu. Zeline biar saya yang jaga, sekalian mantau perkembangannya.”

“Dokter udah makan? Mau saya bungkusin?” Tawar Haechan.

“Saya sudah makan, Haechan. Kalian bertiga saja yang makan.”

“Baik Dok, saya titip Zeline ya? Kabari saya kalau sesuatu terjadi.” Pesan Haechan.

“Iya, Haechan.”

Kemudian Mark, Haechan dan Ody keluar dari ruang inap Zeline menuju kantin rumah sakit.

“Ody mau makan apa nih?” Tanya Haechan ketika mereka sudah sampai di kantin rumah sakit.

“Mau ayam geprek.”

Mark dan Haechan kontan tertawa, demi Tuhan, Ody lucu sekali.

“Kalau mau Ayam Geprek mah di Bandung, sayang. Disini nggak ada, adanya fried chicken.” Ucap Mark.

“Ih, kenapa disini nggak ada Ayam Geprek? Ody kan suka, mau hidup di Bandung aja, makannya enak-enak.”

Haechan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sedangkan Mark terdiam mendengar jawaban lugu Ody.

“Ody mau emang tinggal di Bandung?” Tanya Haechan.

“Mauuuu, Ody sama Mama suka Bandung. Kata Mama, nanti kalo Ody udah besar, pindah ke Bandung aja.”

Haechan tidak kuat mendengar celoteh polos putrinya ini, ia harus apa untuk menjelaskan keadaan Zeline yang sesungguhnya?

“Ayo kita makan, katanya Ody lapar.” Kata Mark mengalihkan topik pembicaraan.

“Ah iya ayo makan, Ayah juga udah laper loh ini.”

“Ayoooo.” Sorak Ody senang.

Beda reaksi, Mark dan Haechan merasa iba kepada Ody.

Akhirnya mereka bertiga memesan nasi goreng karena baunya begitu menggoda untuk dicicipi, padahal rasa nasi goreng ya gitu-gitu aja.

“Dihabisin ya, Ody? Biar sehat, nggak gampang sakit.” Ujar Haechan mengusap pucuk kepala Ody.

“Mama suka makan, tapi kok sakit, Yah?”

Deg

Mark melirik Haechan yang seketika berhenti mengunyah karena pertanyaan Ody.

“Mama kecapekan, mangkanya sakit. Nah, Ody juga jangan capek-capek dalam melakukan sesuatu ya? Biar nggak sakit nantinya.”

“Okey Ayahh.” Ody melanjutkan makannya.

Mark mengusap punggung tangan Haechan di bawah meja, menggenggamnya erat menyalurkan kekuatan. Kedua mata mereka bertemu, Mark melempar senyum tipis, membuat Haechan pun ikut tersenyum.

Saat ketiganya asik makan, tiba-tiba ponsel Haechan berbunyi, menandakan ada telefon masuk. Diambilnya ponsel itu dari saku jaketnya, ada nama Dokter Dirga tertera disana.

“Halo, Dok? Ada ap— “

“Zeline, pengen ketemu kamu sama Mark. Cepat kesini, sebelum terlambat.”

*Tuttt— *

Sambungan itu terputus. Wajah Haechan panik.

“Chan? Kenapa?”

“Mark, Zeline mau ketemu kita sekarang juga. Ayo kembali.”

Mark mengangguk dan meneguk air mineralnya hingga tandas.

“Ody, ayo diminum airnya, Mama udah bangun.” Kata Haechan.

“Mama bangun? Yeayyy.” Sorak Ody dan meminum air mineralnya hingga habis.

“Ayo Yah kita ketemu Mama, Ody kangen sama Mama.”

Lalu mereka bertiga pun berjalan menuju ruang inap Zeline. Jika Ody dengan perasaan bahagia akan menemui Zeline, berbeda lagi dengan Mark dan Haechan. Jantung kedua anak itu berdebar tak karuhan, merasa gelisah, deg-deg an, takut menjadi satu.

Kriett

Haechan membuka pintu ruang inap Zeline, Ody pun lari menghampiri Zeline yang terbaring lemah di atas brankar, namun matanya terbuka. Dokter Dirga juga berdiri di samping brankar Zeline.

“Mamaaaa.”

Zeline menoleh pelan lalu tersenyum. “Hai Ody, habis darimana?” Tanya nya begitu lirih.

“Habis makan nasi goreng!”

“Wah enaknya, sama siapa tadi makannya?”

“Sama Ayah dan Kak Mark!”

Zeline terkekeh. “Kak Mark baik nggak sama Ody?”

Ody tersenyum lebar dan mengangguk antusias. “Baikkk bangetttt. Ody suka Kak Mark.”

Mark yang mendengar itu hanya tersenyum 5 jari.

“Oh ya? Bagus kalo Ody suka sama Kak Mark.”

“Mama mau ngomong sama Kak Mark dan Ayah boleh?”

“Boleh dongggg.”

“Ody ikut dokter Dirga dulu ya jalan-jalan. Mama harus bicara penting sama Ayah dan Kak Mark.”

Dirga menghampiri Ody dan berjongkok. “Mau beli es krim sama coklat nggak?”

“Mauuu dokterrr, Ody mauuu.”

Dirga terkikik lalu mencubit pelan pipi gembil Ody. “Kalo gitu ayo berburu es krim dan coklat!”

“Lezgooooo.” Jawab Ody bahagia, keluar dari kamar Zeline bersama Dirga.

Mark dan Haechan mendekati brankar Zeline, kedua anak adam itu berdiri dengan jarak yang cukup jauh. Zeline tertawa melihatnya.

“Kalian lagi social distancing apa gimana? Jauh amat jaraknya.”

Mengabaikan gurauan Zeline, Haechan mengusap punggung tangan Zeline. “Gimana keadaan kamu? Baik? Mana yang sakit?”

Mark hanya diam melihat itu, tanpa Mark sadari, Zeline memperhatikan setiap ekspresi yang ditampilkan Mark.

“Baik Chan, nggak ada yang sakit kok, kan aku cuma tidur dari kemarin.”

“Sembuh ya, Zel? Dilawan kankernya, jangan dibiarin menang.”

I'll try my best, Chan.”

Zeline melirik Mark. “Hai, Mark. Aku Zeline.” Ia mengulurkan tangannya yang lemas kepada Mark.

Mark menjabat tangan hangat Zeline. “Hai Zel, gue Mark.”

“Kalian deketan dong, aku mau ngomong serius sekarang.”

“Harus banget? Emang nggak bisa gini aja?” Tanya Haechan, Mark tersenyum miris.

“Nggak, suara aku nggak bisa kenceng, Chan. Lemes banget badan aku buat ngomong kenceng.”

Tidak ada pilihan lain, akhirnya Haechan menarik lengan Mark agar lebih dekat dengannya. Zeline mengangguk.

“Aturannya, kalian cuma boleh jawab iya.”

“Maksudnya?” Tanya Mark.

“Nanti, saat aku bertanya, kalian cuma boleh jawab iya, selain itu, nggak boleh.”

“Lah, kok maksa?” Ucap Haechan.

“Iya, aku maksa. Pokoknya kalian harus jawab iya nanti.”

“Tapi Zel— “

“Nggak menerima protes sekecil apapun, oke?”

Mark dan Haechan diam.

“Loh, kok diem? Dijawab dong! Jawabannya cuma iya, nggak ada yang lain.”

Haechan menghela nafas, “Iya.”

“Mark?”

“Iya, Zel.”

Zeline tersenyum senang. “Oke, pertama. Aku mau bilang, aku nggak tau sampe kapan aku bisa bertahan, jadi aku mohon kalian jangan pergi kemana-mana ya? Aku mau liat kalian disini sampe aku boleh keluar dari rumah sakit.”

“Iya.” Jawab Mark dan Haechan.

“Kedua, kalian berdua jangan canggung dan jaga jarak kayak tadi. Aku nggak suka liatnya, bersikap biasa aja kayak kalian biasanya. Oke?”

“Iya.”

“Ketiga, ini adalah amanah, perintah mutlak dari aku. Perjuangin lagi kebahagiaan kalian yang hilang, perjuangin validasi dari orangtua Mark, jangan mundur, be brave, aku yakin kalian pasti bisa melawan dunia yang jahat ini. Aku nggak suka liat kalian menyerah pada takdir, kalian layak diperjuangkan satu sama lain. Hei, wajah kalian jangan kayak gitu. Aku nggakpapa. Mark, Haechan, perasaan kalian masih sama besarnya, lalu buat apa kalian menyangkal dan memilih nyerah? Perjuangin lagi hak kalian untuk bahagia bersama, bangun lagi mimpi-mimpi indah kalian yang tertunda. Jemput bahagia kalian, yaitu jangan berpisah, kalian harus kembali untuk berjuang bersama mendapatkan validasi dunia. Aku restuin kalian, sumpah demi Tuhan, aku bakalan marah dan nangis kalo aku mati nanti, tapi kalian memilih jalan sendiri-sendiri dan mengabaikan perasaan kalian. Tolong, utamain kebahagiaan kalian, jangan mikirin pandangan orang lain. Ya?”

Mark dan Haechan sama-sama terdiam. Tidak tau harus menjawab apa.

“Zel, kamu kenapa gini? Aku nggak mau ya kamu pesimis seakan-akan kamu mau pergi cepet.” Kata Haechan.

No, no, jawabannya cuma iya, nggak ada yang lain.”

“Ya, Mark, Chan?”

Mark dan Haechan saling menatap. “Iya.”

“Yang terakhir, Ody cuma punya aku sama Haechan di dunia ini, kalau aku pergi, dia cuma punya Haechan. Mark, kayak yang aku bilang ke kamu di chat, aku titip Haechan dan Ody ya? Aku yakin Haechan dan Ody bahagia sama kamu, karena aku tau kamu sangat mencintai Haechan sampai detik ini, aku tau kamu pria yang penyayang dan lembut, kamu bisa sayangin Ody seiring berjalannya waktu. Jangan bilang aku berlebihan soal umur, aku ngerasa aku nggak bisa hidup lebih lama lagi, yang tau kadar kekuatan tubuhku seberapa ya cuma aku, dan aku udah nggak kuat lagi, Mark, Chan. Jagain putri kecilku ya? Dia yang paling berharga di dunia ini buat aku, Ody anak yang penurut kok, ceria, lucu, pinter, dia ambisius. And Mark, kalau kamu menyangka Ody adalah anakku dan Haechan, kamu salah besar. Ody adalah anakku dan mantan suamiku, Jung Jaehyun. Dia dipenjara seumur hidup karena kasus pembunuhan berencana. Aku dan Haechan menikah 4 tahun lalu, setelah kami lulus S2 di Oxford. Mark, Haechan sangat mencintai kamu, di hatinya cuma ada kamu. Namaku ngga bisa geser nama kamu di hati Haechan. So, kalian itu harusnya bersama, bahagia, please jangan menyerah sama dunia, kejar bahagia kalian ya? Aku udah ikhlasin Haechan untuk kamu Mark, jangan kecewakan harapan aku ya? Permintaan terakhirku hanya itu, bahagiain Haechan dan Ody ya Mark? Aku cuma percaya kamu, bukan orang lain untuk buat Haechan dan Ody menjadi orang paling bahagia di dunia ini.”

“Zel, kamu— ” Omongan Haechan dipotong oleh Mark.

“Iya, Zel. Terimakasih udah beri gue kepercayaan sebesar itu meski lo nggak kenal siapa gue. Lo perempuan terbaik yang pernah gue temui, gimana bisa lo relain Haechan buat gue Zel? Lo malaikat tanpa sayap, gue berharap buat kesembuhan lo, jangan kalah ya Zel? Haechan masih milik lo sampai saat ini, gue nggak berhak ambil Haechan dari lo. Tapi kalau lo titip bahagianya Haechan dan Ody, tanpa lo minta, gue bisa beri itu. Gue bisa jagain Haechan dan Ody, bukan buat lo aja, tapi buat diri gue sendiri. Karena bahagianya Haechan, bahagia gue juga. Ody adalah bahagianya Haechan, maka gue akan memeluk Ody erat dan jagain dia baik-baik. Gue janji sama lo, Zel. Tapi lo juga harus janji buat sembuh ya? Kita jagain Haechan sama Ody bersama.”

Haechan tak tahan, air matanya sudah mengalir mendengar dua orang terdekatnya ini saling memberi support. Haechan merasa beruntung memiliki Zeline, Ody dan Mark di hidupnya. Mereka bertiga adalah takdir terindah di hidup Haechan.

Zeline tersenyum, lalu menggenggam tangan Haechan dan Mark, kemudian menautkan jemari Mark dan Haechan satu sama lain yang ditangkup oleh tangan Zeline.

“Mark dan Haechan, kalian orang hebat dan baik. Dunia harus baik sama kalian, restu aku seluas langit untuk kalian, semoga dunia mengerti bahwa ada umatnya yang ingin memperjuangkan cinta dan bahagianya. Bahagia selalu ya Mark, Haechan. Aku titip Ody ke kalian. Bilang iya, atau aku nangis?”

“Iya.” Jawab mereka berdua kompak.

Zeline tersenyum lega. Ia menguap karena merasa lelah berbicara sepanjang itu. “Capek juga ya ngomong sepanjang itu, bibir aku agak kram hehe. Aku ngantuk banget, pengen tidur.”

“Iya udah, kamu istirahat aja. Lagian kamu barusan siuman malah ngomong panjang lebar.” Omel Haechan, membenarkan letak bantal Zeline agar lebih nyaman kemudian menarik selimutnya.

“Hehe, soalnya mumpung Mark disini juga sih.”

“Ummm, Mark. Maaf kalau kesannya mengusir, aku boleh berdua aja sama Haechan nggak?”

Mark mengangguk, “Itu hak lo Zel, gue keluar ya? Gue belum mandi juga, mau balik ke hotel buat mandi.”

“Iya, hati-hati ya Mark, jangan lupa balik kesini lagi.” Kata Zeline.

“Oke, gue kesini lagi abis bersih-bersih.”

Kemudian Mark keluar dari ruang inap Zeline. Sisalah sepasang suami istri di ruangan itu.

“Haechan, boleh aku minta sesuatu lagi?”

“Iya boleh, minta apa aja aku turutin, Zel.”

Zeline terkekeh, lalu menggeser tubuhnya sedikit untuk menyisakan ruang di samping nya. “Aku ngantuk banget, boleh nggak aku tidurnya sambil meluk kamu?”

Hati Haechan rasanya ingin mencelos, perasaannya tidak enak. Tangannya gemetar, namun ia tak bisa mengungkapkan betapa kalut, sedih dan takutnya ia. Tak bisa menolak, Haecjan tersenyum tipis dan mengangguk, lantas melepaskan sepatunya dan berbaring di samping Zeline.

“Sini aku peluk, kamu capek banget ya, Zel?”

Zeline meringsut ke dalam pelukan Haechan, tangan besar Haechan mengusap lembut kepala Zeline dengan rambutnya yang sudah tipis sekali, ia dapat merasakan berhelai-helai rambut Zeline rontok di tangannya, namun ia diam saja, menahan sesak d hati, tidak menangis demi Zeline. Ia memendam sakit hatinya sendiri dengan menggigit bibirnya.

“Iya, aku capek. Aku istirahat ya, Chan? Jangan kemana-mana sampai aku tidur pules.”

Mata Haechan sudah berembun, namun ia menahannya untuk tidak menetes. “Iya Zel, istirahat yang nyenyak ya? Semoga pas bangun, sakitnya udah ilang.”

“Heem, makasih Haechan. Sekali lagi, titip jagain Ody ya? Buat dia tersenyum ya?”

“Pasti Zel, tanpa kamu minta, aku udah anggep Ody anakku sendiri. Aku bisa bahagiain Ody, dia juga berlian aku, Zel.”

“Aku lega, makasih banyak ya, Haechan. Aku sayang sama kamu.”

Haechan mengusap lengan Zeline. “Aku juga sayang kamu, Zel.”

“Aku tidur ya, Chan?”

“Heem, sleepwell Zeline.”

Kemudian Zeline memejamkan matanya di pelukan Haechan, menahan rasa sakit yang meremuk redamkan tubuhnya sejak tadi. Zeline menahan sakit di kepala, punggung, dan badannya yang teramat lemas. Ia menahannya agar Haechan dan Mark tidak khawatir.

Namun Dirga tau, bahwa Zeline tengah menahan rasa sakit luar biasa tetapi masih bisa tegar di depan Haechan dan Ody. Bahkan Zeline sudah pamit dengan Dirga, dan memberikan Dirga hadiah berupa satu setel kemeja, jas, celana lengkap dengan sepatu untuk Dirga dan Tara, juga memberikan gaun cantik untuk Prisil.

Dirga sudah menangis tadi saat Zeline memberikan hadiah-hadiah itu dan mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya atas jasa Dirga selama ini untuk merawat Zeline.

Haechan menghela nafas, istrinya tidur nyenyak, deru nafasnya teratur. Haechan menatap langit-langit karena ia tidak bisa tidur saat ini. Jam masih menujukkan sore hari.

Cukup lama Haechan terdiam seperti itu sambil memeluk Zeline, sekitar 20 menit istrinya tidur, Haechan menangis. Sudah tidak dapat lagi tangisnya di bendung, karena dekapan Zeline di pinggangnya mengendur, deru nafas Zeline yang menerpa lehernya pun sudah tak dapat dirasakan, detak jantung Zeline sudah tak bisa dirasakan Haechan yang tengah memeluk erat Zeline.

Zeline Aurora, istrinya beristirahat dengan nyenyak untuk selamanya dan tak akan pernah kembali.

Air mata Haechan turun begitu deras, raganya lemas namun ia memeluk Zeline makin erat. “Zel, sakitnya udah ilang ya? Kamu capek banget ya? Sekarang kamu udah nggak sakit lagi, Zel. Istirahat yang damai, istriku.” Ucap Haechan mengecup kening Zeline.

Ia mengambil sebuah notebook yang ada di bawah bantal Zeline. Sebenarnya Haechan sudah merasa sejak ia berbaring. Namun ia tidak berani mengambilnya karena ada Zeline.

Dibukanya notebook itu, isinya hanya gambar-gambar Zeline. Gambar bunga, gambar Ody dan juga dirinya. Ia terus membuka hingga lembar ke 10, ia menemukan coretan tulisan tangan Zeline. Itu adalah coretan wishlist Zeline. Haechan membacanya dengan lamat-lamat, kemudian ia makin terisak dan merasa sesak setelah membacanya.

“Zel, bahkan kamu udah siap untuk pergi. Kamu keterlaluan Zel, wishlist kamu nomer 3 belum kamu coret Zel, aku coret ya?”

Haechan mengambil bolpoin biru yang ada di kantongnya. Haechan memang selalu membawa bolpoin kemana-mana. Ia pun mencoret wishlist terakhir Zeline; yaitu dipeluk Haechan sampai tertidur selamanya.

“Zeline, aku sayang sama kamu. Maaf dan terimakasih untuk segalanya.” Ucapnya lalu menutup notebook itu, menyimpannya di saku jaketnya dan memeluk Zeline kembali.

Beberapa saat kemudian, pintu ruang inap terbuka.

“Mamaaa.” Panggil Ody dengan nada cerianya, di belakangnya ada Dirga. Haechan yang memunggungi pintu pun melepaskan pelukannya dari Zeline dan menoleh.

“Ody, Mama lagi tidur, jangan teriak-teriak ya?” Mata Haechan sembab.

“Mama tidur lagi? Ih padahal kan Ody mau meluk Mama.”

Dirga bertatapan dengan Haechan, kemudian Haechan menggeleng dan menangis lagi. Dari situ Dirga tau, Zeline sudah pergi dan menyerah melawan takdirnya.

Dirga ikut meneteskan air mata lalu memeluk Ody erat. “Ody anak yang kuat kan? Ody nggak boleh sedih, Ody harus jadi anak yang baik dan hebat setelah ini. Oke?”

“Oke dokter.”

Haechan turun dari brankar setelah membenarkan tubuh Zeline untuk berbaring dengan nyaman, menyelimutinya. Ia berjongkok di depan Ody lalu memeluk sang putri erat. “Ody punya Ayah di dunia ini, Ody jangan sedih ya? Ayah sama Mama sayang banget sama Ody. Tapi Mama udah capek sayang, Mama tidur untuk selamanya. Ody mau meluk Mama?”

Ody masih tidak mengerti. “Tidur selamanya itu apa?”

Haechan terisak lagi, “Ody, Mama udah nggak ada sayang, Mama dipanggil Tuhan ke surga.”

Kalimat itu cukup dipahami oleh Ody yang berumur 7 tahun, karena kata guru sekolahnya, kalau dipanggil Tuhan ke surga artinya tidak bisa membuka mata dan bernafas lagi, atau biasa disebut meninggal.

“Mama? Mama dipanggil Tuhan? Hiks hiks Ayah bohong!!! Hiks, Mama nya Ody nggak dipanggil Tuhan!” Ody menangis sejadi-jadinya.

Mark yang akan masuk ke dalam kamar pun membeku mendengar teriakan Ody. Ia akhirnya memberanikan diri untuk masuk, di hadapannya Haechan dan Ody sedang pelukan dan menangis, sedangkan Dr. Dirga mengusap rambut Zeline sambil menangis juga.

Haechan melihat kedatangan Mark. “Mark...” panggil Haechan lirih.

Langsung saja Mark menghampiri Haechan, berjongkok memeluk Haechan dan Ody bersamaan. Ody makin menangis karena merasakan usapan Mark yang tengah memeluknya.

“Kak Mark hiks hiks Mama udah pergi jauh hiks hiks, Mama nya Ody Kak Mark hiks hiks.”

“Mama pasti bangga punya anak seperti Ody, kata Mama kan Ody harus jadi anak yang kuat, nggak boleh sedih dan penurut. Ody yang kuat ya? Jangan sedih, ada Ayah kamu, ada Kak Mark yang akan jagain Ody dan bahagiain Ody untuk selamanya, ya?” Ucap Mark.

“Huaaaaa hiks hiks Ody kuat kok, hiks hiks kata Mama Ody nggak boleh cengeng hiks hiks, mau peluk Mama hiks hiks.”

Akhirnya Mark dan Haechan melepaskan Ody dan mempersilahkan Ody melihat Zeline. Dirga mengangkat tubuh Ody untuk naik ke brankar. Langsung saja, Ody memeluk Zeline yang sudah tak bernyawa disana.

“Mamaaaa hiks hiks, Mama jahat ninggalin Ody! Hiks, Ody nggak nangis kok hiks hiks cuma sedih hiks, Mama udah di surga ya ketemu Tuhan? Hiks hiks, Mama, Ody sayang sama Mama. Ody janji hiks akan bahagia bersama Ayah hiks hiks. Mama juga bahagia ya? Hiks dada Mamaaa.”

Seruan lugu dari Ody membuat ketiga pria dewasa disana banjir air mata, Mark memeluk Haechan erat dan mengusap kepalanya. Menenangkan pujaan hatinya yang tengah berduka.

“Haechan, kamu nggak sendiri di dunia ini untuk menjaga Ody. Ada aku yang selalu siap sedia lawan dunia untuk kamu dan Ody. Aku akan perjuangin bahagia kita bersama Ody. Haechan, will you allow me to be a part of you and Ody's life?

Haechan mengeratkan pelukannya, menangis dan membasahi leher Mark. “Hiks, of course I will, Mark. Let's fight together for our happiness and Ody.

Mark menangis haru, ia mendapatkan amanah dari mendiang istri Haechan. Maka, ia tak akan keberatan untuk melakukannya. “Together with me, Haechan.”

Dirga memanggil susternya untuk mencatat riwayat kematian Zeline dan membawanya ke kamar mayat

“Haechan, yang tabah ya? Zeline perempuan yang kuat, dia udah nahan ini selama 1 tahun. Kamu harus bahagia biar Zeline tidak punya penyesalan dalam hidupnya. Saya izin bawa Zeline ke kamar mayat ya, Chan?”

Haechan mengangguk. “Hiks terimakasih banyak dokter Dirga sudah membantu Zeline selama ini, terimakasih banyak.”

“Zeline sudah saya anggap seperti adik kandung, saya turut berduka cita, Chan.”

“Terimakasih Dok.”

Dirga melirik Mark, “Kamu Mark Lee?”

“Iya, Dok saya Mark.”

“Zeline memilih orang yang tepat. Kamu harus tepatin janji kamu untuk Zeline, bahagiakan Haechan dan Ody ya, Mark?”

“Pasti Dok, saya akan membuat Haechan dan Ody bahagia, saya mencintai mereka, Dok.”

I know this, Zeline tell me everything about you and Haechan. Dunia jahat ya sama kalian? Selamat berjuang kembali, buat dunia merestui kalian. Bahagia kalian ada di depan mata, usaha tidak akan mengkhianati hasil. Saya dan Tara mendukung kalian berdua.”

Haechan dan Mark sama sama mengucapkan terimakasih. Kemudian Dirga dan timnya memindahkan Zeline ke ruang mayat. Ody berlari memeluk Haechan dan Mark.

“Ody, mulai sekarang, Kakak Mark akan menjaga Ody. Boleh?” Tanya Mark.

Ody mengangguk dalam tangisnya. “Hiks hiks bo-boleh hiks hiks.”

Haechan dan Mark saling menatap, lantas tersenyum tipis. Di tengah dukanya, ada kebahagiaan lain yang seiring waktu menghampiri dirinya.


Zeline dimakamkan beberapa jam kemudian, Haechan tidak ingin istrinya itu lebih lama di rumah sakit, ia ingin Zeline segera mendapatkan peristirahatan yang layak. Gaun putih yang dipakai foto wedding kemarin yang dikenakan oleh Zeline sekarang, lengkap dengan riasan natural di wajah cantiknya.

Pemakaman Zeline dibantu oleh staff dan karyawan HM Entertainmet kepercayaan Haechan.

Entah bagaimana, setelah beberapa jam dari pemakaman Zeline, berita akan Haechan, Zeline, Ody bahkan Mark sekalipun muncul di berita dan media.

Sebenarnya Haechan sudah bisa menebak, pasti ada satu dua staff dan karyawan yang handal yang memang suruhan wartawan, sehingga berita akan kematian Zeline dan kehidupan pribadi keluarganya pun terkuak, termasuk masa lalu Haechan yang berkaitan dengan Mark.

Mulai sekarang, Haechan akan berani, ia akan menunjukkan diri di depan publik. Ia tidak akan menyembunyikan identitasnya lagi. Sepeti kata Zeline, Haechan harus berani melawan dunia yang bajingan ini, ia akan berjuang demi bahagianya bersama Mark dan Ody.

“Zeline, I will fight for my destiny. Thank you so much, rest in peace my beautiful wife...”