Endless Night

Raden dan Marvin duduk di kursi yang ada di timezone itu menunggu Hazen. “Kak Marv, Hazen kok lama sih ke toilet doang?”

“Coba hubungin.”

“Hp gue mati Kak, ga bawa power bank juga.”

Marvin menghela nafasnya, ia juga tidak membawa power bank untuk dipinjamkan kepada Raden.

“Bawa charger nggak?”

Raden menggelengkan kepalanya. “Nggak kak, gue kelupaan.” Ia melirik Marvin yang juga diam melihat orang-orang di timezone. “Kak, hubungin Hazen dong.”

Marvin menoleh, “Gue nggak punya kontak Hazen.”

“Gue hafal nomernya, please ya kak? Gue━tetiba ngerasain nggak enak aja, gue khawatir.”

Mau tak mau Marvin memberikan ponselnya kepada Raden agar anak itu bisa menghubungi Hazen. Dengan cepat, Raden mulai mengetik i-message kepada Hazen secara bertubi-tubi. Jangankan membalas, pesannya saja tidak dibaca.

“Kak, gue cek ke toilet dulu aja ya? Hazen nggak nge read i-mess nya.”

“Gue ikut.”

Raden mengangguk saja, ia kepalang khawatir dengan Hazen. Maka saat itu juga, pukul 23.20 Marvin dan Raden mencari Hazen ke toilet yang ternyata hasilnya nihil, tidak ada Hazen disana.

Raut muka Raden sudah basah karena keringat yang muncul di pelipisnya, memutari Mall kesana kemari bersama Marvin.

“Hazen anjinggggg, lo kemana sih bangsat?”

“Coba gue telpon.” Putus Marvin kemudian setelah lelah berkeliling dan duduk di kursi depan toko.

“Lah iya ya bangsat, kenapa gak telpon daritadi sih?? Arghhh.” Raden ngamuk sendiri, saking paniknya ia lupa mengusulkan itu pada Marvin.

Marvin sendiri juga baru kepikiran, karena ia ikut panik melihat Raden yang lari-larian kesana kemari seperti orang kemalingan.

“Gimana kak? Diangkat gak? Nyambung gak?”

“Nyambung, tapi gak diang━”

“Halo.”

“Hazen? Lo dimana?”

Raden langsung merebut ponsel Marvin dengan tak sopannya begitu Marvin berbicara. “Hazen bangsat lo dimana anjing? Kalo sampe lo ketemu, gue tonjok lo sampe mampus ya jancok!”

“Weitss, is that you, Raden?”

Raden mengernyitkan dahinya, ia melihat layar ponsel Marvin. Benar, itu nomor Hazen tapi kenapa ini bukan suara Hazen?

“Lo siapa bangsat? Hazen dimana?”

“Oh oh, jadi Raden sekarang udah pinter ngumpat ya? Wow, gue terkesan sama perubahan lo hahahaha.”

Raden menganga, ia sedikit ingat suara ini. Lelaki yang paling ia benci semasa SMP nya. “Lo━lo? Kenapa hp Hazen sama lo anjing? Dimana temen gue? Lo apain temen gue?”

Marvin melihat sekitar, orang-orang mulai berbisik karena teriakan Raden. Ia pun menyeret Raden ke tempat lebih sepi, lebih tepatnya di toilet pria.

“Ck, kak lepasin gue kenapa sih?”

“Ini tempat umum, jangan mancing keributan atau kita diusir security.

Raden menghela nafas dan menutup pintu toilet, Marvin menyandarkan tubuh di sampingnya sembari melipat kedua tangannya di dada. Membiarkan Raden berbicara sepuasnya dengan sosok dibalik sambungan telepon itu.

“Santai dong, ah gue jadi pengen ketemu lo deh Den. Apa nggak mau reunian sama gue, lo?”

“Nggak sudi jancok, sekarang lo bilang dimana Hazen? Lo apain dia? Gue gorok leher lo sekarang kalo sampe Hazen kenapa-kenapa ya bangsat.”

“Duh, yang sabar dong Den. Hazen gak gue apa-apain, cuma gue ajak reunian dan seneng-seneng di malam natal kok. Mau join nggak? Gue kirimin alamatnya nih.”

Share loc sekarang, gue hajar lo sampe mampus ya anjing.”

“Zen, sahabat lo nih misuh-misuh muluk ke gue. Coba lo bilang ke dia.”

“Hazen, lo disitu? Jawab gue! Lo dimana? Gue kesana sekarang!”

“Raden━jangan kesini...”

“Hazen? Lo diapain sama si babi ini hah? Lo nggakpapa kan? Gue mau kesana, gak mau tau!”

“Gue nggakpapa Raden, lo pulang aja ya? Besok masih ospek, Kak Marvin masih disana kan? Tolong minta dia buat anterin lo.”

“Tapi Zen, gue mau hajar tuh co━”

“Raden... please, kalo lo mau gue nggak kenapa-napa, lo pulang ya? Gue janji, gue nggak kenapa-napa.”

“Hazen...” Ucap Raden lirih, menahan gejolak hatinya dan embun di pelupuk matanya.

“Kak Marvin, tolong anterin Raden sampai rumah ya?” Suara Hazen melirih dan semakin menjauh, namun Marvin ataupn Raden masih bisa mendengarnya. Belum sempat Marvin menjawab, sambungan itu terputus begitu saja.

Tutt tutt tuttt

“Aghhh jancok!!! Berani-beraninya dia usik kehidupan Hazen setelah sekian lama? Kenapa dia nggak hajar gue aja sih? Masalah dia kan sama gue anjinggg!”

Marvin pusing sendiri mendengar umpatan yang begitu lancar dari adik tingkatnya ini. Marvin melupakan masalah sopan santun disini, ia tidak akan protes dengan kelakuan minus Raden. Karena sekarang keadaan pun sedang tidak baik-baik saja.

“Raden, gue anter lo pulang sekarang. Udah hampir jam 12 malem, besok lo masih ospek, buat urusan Hazen, biar gue aja yang cari. Lo percaya sama gue kan?”

Raden menatap kedua iris gelap Marvin kemudian mengangguk. Ia hanya bisa berdoa agar Hazen baik-baik saja dan Marvin membawa nya pulang dengan selamat tanpa luka sedikitpun.

“Kak Marv, hati-hati. Firasat gue, Hazen lagi dihajar sama dia.”

“Kak Marvin harus bawa pulang Hazen, pastiin dia baik-baik aja. Tolong bilang ke gue ya kak kalo Hazen sampe babak belur?”

Marvin tidak tau harus menjawab seperti apa, jadi ia hanya bisa mengangguk.

Sorry ya kak kalo gue jadi repotin lo masalah Hazen, gue nggak ngira orang sinting itu bakalan ganggu Hazen sekarang.”

No problem, Hazen secara harifah itu adik tingkat gue, masih anak didik gue karena gue pembimbing kelompoknya. Siapapun, pasti akan nolong Hazen kalo keadaan kayak gini.”

Raden akhirnya bisa sedikit lega, ia mengangguk. “Thanks Kak gue udah save nomer gue di hp lo, nanti kalo udah ketemu Hazen langsung chat gue ya kak?”

“Iya. Sekarang gue anter lo pulang dulu ya? Biar gue bisa cepet nyari Hazen.”

“Iya Kak.”

Malam itu, Marvin mengantar Raden dengan selamat. Setelah Raden masuk ke dalam rumah, Marvin menelpon seseorang.

“Halo Vin, kenapa? Tumben malem-malem lo nelpon?”

“Gue butuh bantuan lo.”

“Tau gue mah, lo pasti butuh bantuan kalo nelpon gue. Hahaha.”

“Anjing, gue serius Wil.”

Iya iya ah elah, jadi━ada apa?”

“Cariin gue lokasi orang, nomernya udah gue i-mess ke lo.”

“Oke bentar gue cek.”

Marvin menunggu temannya itu sebentar, angin malam bertiup menerpa wajah nya. Namun itu tak membuatnya kedinginan sedikitpun.

“Vin, dia siapa sih? Kok lo mau nyariin dia?”

“Ck, gak usah banyak nanya deh. Ntar gue jelasin, sekarang dimana dia?”

“Ini penculikan atau gimana sih anjing? Dia ada di tempat lumayan terpencil dari kota, ada di bekas pabrik gula jalan XXX, tau kan lo?”

“Bangsat! Lumayan juga jauhnya. Lo beneran yakin disitu Wil?”

“Lo meragukan hacker? Anak IT pula, lo meragukan gue?”

“Oke. Lain kali gue traktir lo. Thanks Willy.”

“Yoit sama-sama, kalo lo butuh pasukan cepet hubungin Yudha sama anak-anak yang lain ya?”

“Gue bisa sendiri, nggak perlu bantuan anak-anak. Sekali lagi thanks.”

Tutt━

“Zen, tunggu gue. Lo harus baik-baik aja.”


“Apa-apaan lo? Lo sengaja nggak ngelawan gue hah?”

Hazen menatap lawannya datar. “Buat apa gue ngelawan? Tujuan lo balas dendam ke gue kan? Yaudah hajar aja gue sepuas lo, dan habis itu nggak usah nampakin muka menjijikkan lo di depan Raden ataupun gue.”

“Gue nggak terima anjing! Lo ngerendahin gue? Lo anggep gue cupu gak bisa hajar lo? Gitu?” Ia meludah di samping Hazen.

“Gue ngasih lo kesempatan buat hajar gue, gue bukan ngerendahin lo, gue mau bales dendam lo tercapai, itu aja.”

“Lawan gue anjing! Gue nggak akan puas kalo lo diem aja seolah olah lo remehin kemampuan gue bangsat!”

“Nggak, gue udah janji sama Raden buat nggak berantem sama siapapun kalo nggak buat nolongin orang yang butuh bantuan gue.”

Lelaki itu tertawa sarkas, diikuti teman-teman lainnya. “Lo suka sama Raden? Mangkanya dulu lo sok jadi pahlawan kesiangan dia?”

“Bukan urusan lo, hubungan antara gue sama Raden itu nggak penting buat lo.”

“Apa yang lo liat dari anaknya aktris bo━”

“Jaga mulut lo ya asu! Nggak usah bawa-bawa ibunya. Raden itu Raden, beda dari ibunya. Kenapa lo urus hidup orang lain sih? Sok suci banget lo!”

“Hahaha dih ngamuk, jangan-jangan lo udah nyicipin Raden? Gimana-gimana? Bohai dan mulus kayak wajah cantiknya nggak? Atau dia bukan cowok? ” Tanya nya sambil terpingkal-pingkal.

Hazen sudah tidak tahan lagi, sedari tadi ia diam karena ingin lelaki itu agar puas membalas dendam pada dirinya. Namun kali ini ia tidak bisa diam jika sudah membawa-bawa Raden apalagi menyebut sosok Ibu Raden.

“Bangsat, mati aja lo anjing!”

Bugh bugh bugh

Hazen menghajarnya tanpa ampun dengan sarung tinju yang membungkus kedua tangannya. Ia tidak peduli lagi dengan pembalasan dendam lelaki itu padanya, ia murka kembali mengingat perlakuan lelaki itu kepada sahabatnya. Raden, sosok sahabat berharganya, sahabat yang paling ia sayangi, menanggung banyak cemooh dan pem bully an semasa SMP karena lelaki sialan yang dihajarnya saat ini.

Maka Hazen tidak akan diam lagi, dia jago bela diri. Dia atlet Judo, buat apa dia takut dengan lelaki lemah seperti Asahi.

Asahi juga tak tinggal diam, ia melanggar kesepakatan untuk tidak memukul Hazen di area wajah. Asahi hanya boleh memukulnya di area badan. Selain alat vital dan wajahnya. Ia membabi buta memukul kedua pipi Hazen dengan sarung tinju yang melekat pada kedua tangannya, beradu jotos dengan Hazen.

Suara sorakan dari anak buah Asahi yang terhitung ada 12 orang terdengar meramaikan, seperti gala adu tinju sungguhan. Cahaya yang remang-remang di bekas pabrik gula ini turut menyinari gelapnya aura dua pemuda yang saling memukul tanpa ampun.

Darah mengucur dari kedua wajah lelaki itu, tak membuat urung keduanya untuk berhenti dan justru semakin membara untuk menghajar satu sama lain. Pergulatan itu terus berlanjut hingga━

Dorr

Bohlam lampu yang ada di pojok itu meledak karena tembakan, membuat kedua lelaki yang beradu jotos itu mendadak berhenti. Begitupun sorakan 12 lelaki disana.

“Berhenti, atau lo semua bakalan jadi bangkai disini.”

Dengan pandangan yang sedikit kabur karena cahaya yang remang-remang serta keringat dan darah yang menetes, Hazen menajamkan telinganya untuk mengenal suara itu.

Nafasnya terengah, begitupun juga Asahi. Keduanya berjongkok karena kaget mendengar suara tembakan tadi.

“Marv━vin...” batinnya lirih dengan dada naik turun mengais oksigen dengan rakus.


“Zen, kita pulang. Lo nggak baik-baik aja sekarang.”

“Kak... jangan bilang Raden kalo gue gini ya?” Ucapnya meringis dalam papahan Marvin menahan remuk di seluruh tubuhnya. Apalagi bibirnya terasa kebas hanya untuk berbicara.

“Hm, tenang aja.”

Sebelum Marvin dan Hazen meninggalkan bekas pabrik itu, Marvin menoleh. “Kalian gue ampuni saat ini, pergi dari hidup Hazen dan Raden selamanya, kalo sampai kalian balik, gue beneran cari lo semua dan bikin kalian jadi bangkai.”

Asahi dan teman-temannya meremang mendengar deep voice Marvin yang menyapa telinga mereka, terasa seperti perintah mutlak yang tidak bisa dibantah. Oleh karena itu, 13 lelaki disana hanya bisa mengangguk patah-patah. Takut Marvin akan nekat meloloskan peluru ke kepala mereka jika melawan.

Thanks, gue bisa lawan Asahi sampe mampus sendiri tanpa bantuan lo. Tapi gue juga sangat berterimakasih sama lo karena gue jadi hemat tenaga buat ospek besok.” Bisiknya lirih sembari berjalan keluar dari pabrik gula itu.

“Gak usah sok jagoan lo, masih bocah. Bukannya fokus ospek, malah adu jotos. Lo pikir keren? Apa kata kating besok liat muka lo biru biru ungu bengkak begini hah?”

Hazen terkekeh. Untuk pertama kalinya Hazen mendengar Marvin berbicara sedikit manusiawi karena ada emosi dibalik perkataannya. “Gampang, gue atlet Judo udah biasa berantem juga. Poles concelar tebel aja udah beres.”

“Serah lo aja.”

“Er━kak, lo nggak akan laporin gue ke pihak kampus kan karena kejadian ini?”

“Bukan urusan gue, selama lo gak bawa-bawa nama almet buat nakal, gue nggak berhak laporin lo ke kampus.”

Hazen menyunggingkan senyum lalu mengangguk. “Lo orang baik ternyata.”

Marvin tidak menanggapi lagi setelah keduanya sampai di depan motor Ninja merahnya. “Gue bawa motor, lo masih kuat duduk kan?”

“Masih lah, gue nih nggak pingsan, gue masih kuat jalan balik ke rumah asal lo tau.”

Marvin merotasikan matanya lalu menaiki motor dan memasang helm full face nya.

“Naik, udah malem. Lo masih harus bangun pagi besok.”

Hazen menaiki boncengan di belakang Marvin, berpegangan pada kedua pundak Marvin yang terlapisi jaket kulit Hitam nya.

“Gue mau ngebut, rumah lo jauh dari sini kalo lo lupa.”

“Ya ngebut aja sih, gue nggak ada bilang apa-apa?”

Marvin berdecak, ia tidak suka bertele-tele seperti ini.

“Pegangan, disini. Gue bukan tukang ojol.” Ucapnya meraih kedua tangan Hazen yang ada di pundaknya dan melingkarkan ke pinggangnya dengan erat.

Hazen sempat blank beberapa detik, sampai suara knalpot motor Marvin membuyarkan semuanya. Hazen mengeratkan pelukannya di perut Marvin. Merapatkan tubuhnya yang sedikit kedinginan. Long coat yang ia pakai terasa percuma saja, karena ini benar-benar dingin jika terkena angin malam secara langsung seperti ini.

Terasa Hazen sudah siap dibawa pergi, Marvin melajukan gas nya meninggalkan pabrik gula itu dengan kecepatan tinggi.

Flo ·ᴥ·