Saat Marvin dan Hazen sampai di Angkringan Pak Joko pukul 6 lebih 25 menit, keadaan Angkringan sedikit sepi, karena ini hari produktif, lagipula di bagian selatan yang luas sudah di booking oleh Marvin untuk rapat.

Teman-temannya duduk lesehan di atas karpet yang disediakan oleh Angkringan tersebut. Di tengah-tengah mereka sudah banyak makanan, minuman dan snack. Marvin sudah memperingati teman-temannya untuk tidak merokok atau nge vape karena ada Hevin. Biasanya kalau rapat di luar begini, mereka selalu merokok dan nge vape.

Marvin bukan maniak rokok ataupun vape, namun ia akan nge vapor jika nongkrong seperti ini, jika di apart ia tidak melakukannya karena ada Hevin. Sedangkan Hazen, anak itu merokok jika merasa stress saja, itupun dua batang cukup. Kalau tidak stress, Hazen menghindari rokok bahkan minum, ia memiliki pola hidup sehat.

“Wah pasusu kita sudah datang guyssss.” Sambut Ben terkekeh melihat Marvin dan Hazen yang berjalan menuju arah mereka, dengan Hevin yang digendong oleh Marvin. Di punggung Hazen ada ransel, yang berisi beberapa mainan Hevin, susu, dot, botol minum dan termos mini.

Hazen mendengus sedangkan Marvin mengerlingkan matanya karena teman-temannya ikut bersorak setelah Ben.

“Vibes pasusu nya udah keliatan banget nggak sih? Cocok dah kalian berdua.” Ujar Keenan.

Mereka menggeser tubuh dan memberikan ruang untuk Marvin dan Hazen agar bisa ikut duduk. Hevin di dudukkan di tengah-tengah Papa dan Mama nya. “Hevin, bilang halo dulu ke kakak-kakak nya.” Titah Hazen, mengajari sang anak untuk menyapa.

“Bilang apa sayang? Halo kakak, gitu ya?” Ucap Marvin.

Hevin diam beberapa detik kemudian tangannya diangkat dan melambai heboh. “Alooooo kakkkkkkk hihihihikkk.”

“Halo Hevin.” Jawab para lelaki disana kompak. Ada yang teriak kegemasan.

“Aduh aduh, lucu bangettttt. Vin, boleh ya gue pegang pipinya sebentar?” Tanya Willy.

“Pegang aja, jangan diuyel-uyel, awas lo!” Marvin mengizinkan dan sedikit menyingkir saat Willy menghampiri Hevin.

“Jangan dicubit pipinya Kak, ntar nangis anaknya.” Peringat Hazen.

“Iya, pegang doang yaelah, posessif amat lo berdua.” Kata Willy dan mengusap lembut pipi Hevin sembari tersenyum.

“Hai Hevin, ini Kak Willy.” Ucap Willy memperkenalkan diri.

“Aloo kak lliyyyy.” Sapa Hevin sembari terkekeh.

“Lucunyaaaaa.” Willy hampir saja mencubit pipi Hevin namun tidak jadi saat Marvin berdeham. Willy nyengir lebar dan undur diri setelahnya.

“Hevin, main ini dulu ya? Papa sama Mama mau rapat dulu.” Ucap Hazen menyerahkan patung plastik berbentuk hewan-hewan serta ring donat yang disusun menjadi menara.

Kemudian setelah Hevin mulai fokus dengan mainannya, rapat pun dimulai. Serius namun santai.

Event nya 25 Mei. Tepat 4 bulan dari sekarang.” Kata Tristan memulai.

“Susunan acaranya berubah, bukan podcast sama talk show lagi, tapi jadi marketing event yang ada kompetisi startup nya. Nanti di event marketing, setiap pembelian produk bakalan dikasih surat, jadi bisa kirim tuh produk sebagai hadiah buat seseorang. Nah, ntar itu barang sama suratnya di kasih ke stand broadcast buat sampein pesan yang tertera, biar diambil sama targetnya itu barangnya.” Jelas Marvin.

“Mau jualan apa aja di event marketingnya emang?” Tanya Jay.

“Banyak, jadi rencana gue nanti acaranya ada di aula terbuka, trus bangun beberapa stand, untuk apa yang dijual, gue udah hubungin beberapa sponsorship sih, nanti sisanya jualan dari anak-anak manajemen. Yang dari jurusan kita sendiri mau buka toko buket bunga, ada toko boneka, buket sama parsel snack, ada lukisan, patung sama buka stand kafe buat jualan dessert sama minuman ala kafe gitu sih. Oh sama sediain photobooth.” Kata Hazen.

“Berarti nanti stand lainnya yang dari sponsorship gitu kan?” Tanya Tama.

“Iya bener, ngomong-ngomong, lo udah hubungin apa aja Zen?” Tristan bertanya sembari mengunyah Potabee.

Skincare sama kosmetik, t-shirt distro, sepatu, jaket, kamera, ponsel sama aksesorisnya, tas.”

“Mereka mau kan? Kalau mau kita tinggal ajuin proposal ke mereka.” Tanya Juan.

“Mereka bilang mau, katanya kalo sponsorin Neo Dream sih nggak mungkin ditolak.” Hazen terkekeh mengingat jawaban email dari sponsorship yang ia hubungi.

“Anjay, oke oke. Nanti lo list aja ya Zen apa aja yang jadi sponsorship biar gue buat proposalnya gampang.” Kata Deon selaku sekretaris.

“Oke Kak.”

“Oh ya, Wil berarti lo paham kan tema posternya nanti kayak apa? Harus segera dibuat dan disebar. Soalnya kompetisi startup nya itu butuh waktu lama juga persiapannya.” Ucap Ben.

“Paham Bang, beres itu mah, besok udah jadi poster nya, bisa disebar ke base.” Ujar Willy.

“Nah untuk masalah hadiah pemenang startup gimana?” Johan yang sejak tadi hanya pihak pendengar pun ikut berbicara.

“Dari sponsorship, itu kan barang-barang mahal dan mewah juga sponsorship nya, nah nanti yang dapet hadiah dari sponsorship yang juara 1 sampai 3. Untuk yang peserta dikasih gift dari produk-produk anak manajemen aja.” Kata Marvin.

“Bener, trus nanti dikasih sertifikat juga, buat semua peserta kompetisi startup nya.” Tambah Hazen.

“Setuju sih gue, nanti juara 1 bisa tuh dikasih kamera satu-satu untuk satu grub nya. Yang juara 2 bisa dikasih ponsel untuk tiap anggota grubnya, yang juara ke 3 dikasih kayak jaket, t-shirt, sepatu dan kosmetik/skincare kalo ada ceweknya di grub itu.” Usul Yudha.

“Bisa banget sih, sponsorship nggak akan keberatan kalo kata gue. Lagian per grub ada berapa orang rencananya?” Tanya Keenan.

“4 orang aja sih, nanti kalau banyak-banyak waktu presentasi startup nya nggak efektif, kalau 4 kan bisa kebagian semua buat presentasiin bisnis plan nya nanti.” Jawab Tristan.

“Hm menarik, gue liat drakor start up itu beneran kagum anjir. Ngebayangin masa depan gue dalam berbisnis dan merintis usaha.” Ucap Jay.

Hazen mengangguk. “Ya teknis nya kayak gitu sih, bedanya kita nanti langsung lihat hasil presentasinya, nggak lihat proses kerja mereka kayak gimana.”

“Maaaa Paaaa innnn.” Hevin menepuk paha Hazen dan Marvin.

“Inn Maaa Paaa innn.” Ulangnya lagi.

“Kenapa? Mau main?” Tanya Marvin dan memangku sang anak.

“Yaaa Paaa innn tuuuu.” Hevin menunjukkan kolam mandi bola.

Hazen terkekeh. “Oh, mau mandi bola ya?”

Hevin mengangguk lucu. Perhatian teman-teman Marvin pun teralih kepada sepasang orangtua dan anak gemasnya itu.

“Ya udah ayo main, Hevin bosan ya main sendiri?” Tanya Marvin mencium pipi kanan sang anak.

“Sann Paaa.” Hevin memeluk leher Marvin dan mendusal ke ceruk leher sang Papa.

Marvin menatap teman-temannya. “Kalian lanjutin ya rapatnya, gue mau ajak main Hevin dulu, nanti nangis kalau nggak diturutin.”

“Oke santai, kita tinggal bahas beberapa aja kok.” Kata Ben melirik jam tangannya menunjukkan pukul 7 malam.

Thanks bro gue kesana dulu.” Marvin menggendong Hevin dan pergi dari perkumpulan lesehan rapat.

Kemudian rapat pun berlanjut.

“Untuk yang jaga stand broadcast siapa? Kita angkatan 21 kan?” Tanya Yudha.

“Iya, sama yang panitia startup competition nya.” Jawab Tristan.

“Angkatan 22 yang jaga stand event marektingnya berarti?”

Hazen mengangguk menjawab pertanyaan Tama. “Iya Kak gitu, hari Kamis sih gue mau adain kumpul angkatan buat pembagian jaga stand ini.”

“Oh ya udah bagus sih itu, lebih cepat lebih baik. Kalo gitu posternya bisa disebar besok aja kan? Biar cepet banyak yang daftar juga.” Kata Juan.

“Ada batasan berapa nggak peserta nya? Gue yakin banyak yang daftar kalo nggak dibatesin.” Ujar Johan.

“15 kelompok aja ya? Jadi dikasih waktu daftarnya untuk 15 kelompok tercepat yang daftar, nah abis itu langsung tutup pendaftaran.” Usul Ben.

“Boleh Bang, segitu aja. Soalnya nanti 15 kelompok itu aja kita kewalahan buatin sertifikat sama seleksi pemenangnya nanti. Liat 15 kelompok presentasi lieur pasti.” Kekeh Tristan.

“Contac person* nya ke siapa ini? Tristan? Deon?” Tanya Willy.

“Marvin sama Hazen aja, ini acara angkatan soalnya. Ide Marvin sama Hazen juga lagian.” Ucap Deon.

Hazen tersenyum. “Iya ke gue sama Kak Marvin aja nggakpapa Kak Wil.”

Willy mengacungkan jempolnya. “Oke deh.”

“Hihihihik Paaa niii innn.”

Suara Hevin yang tertawa riang membuat para lelaki yang sedang rapat itu menoleh.

Disana, Marvin duduk di dalam kolam bola bersama Hevin. Papa dan anak itu saling berhadapan, Hevin melemparkan bola-bola plastik ke arah Marvin sedangkan Marvin mengguyur tubuh Hevin dengan bola-bola kecil itu, si kecil tertawa terbahak-bahak.

Pemandangan seperti itu otomatis membuat siapapun yang melihatnya merasa bahagia juga.

Hazen tertawa kecil, Marvin dan Hevin sangat lucu. Bahkan teman-teman Marvin pun ikut tergelak tawa.

“Marvin banyak berubah ya.” Ujar Jay tiba-tiba.

“Bener, belum pernah gue liat Marvin yang kayak gini, bener-bener soft and warm, gue jujur aja masih nggak percaya kalo di hadapan gue itu Marvin temen gue yang kayak gunung es.” Kata Yudha.

“Ternyata bener pepatah yang bilang kalo cinta bisa merubah segalanya. Liat Marvin sekarang, dia menjadi Marvin yang penyayang dan banyak senyumnya. Keliatan manusiawi daripada dulu.” Tambah Ben.

“Sebenernya gue ngerasa perubahan Marvin kayak gini tuh setelah ospek. Itu Hevin sudah dateng belum Zen?” Tanya Deon.

“Belum Kak, Hevin datang 3 bulan setelah ospek selesai.”

“Tadinya gue ngira perubahan Marvin yang kayak gini karena Hevin, tapi kayaknya sih ada faktor lain yang memacu perubahan dia ke arah positif begini.” Ucap Juan.

“Hahaha, roommate nya sih kalo kata gue.” Johan tertawa sembari melirik Hazen.

“Udah pacar kali, bukan sekedar roommate tinggal nunggu undangan pernikahan aja sih kita.” Keenan ikut menimpali.

Hazen tersenyum tipis kemudian ikut tertawa juga memikirkan asumsi katingnya ini. “Gue nggak lakuin apa-apa, Kak Marvin aslinya emang orang yang hangat dan lembut kok. Cuma ya—tertutup karena suatu hal. Dan sekarang karena adanya Hevin, Kak Marvin yang sebenernya kembali. Hevin bener-bener kayak pembawa berkah dan kebahagiaan buat Kak Marvin begitupun juga gue.”

“Kalian emang nggak capek apa rawat Hevin dari masih bayi sampai sekarang? Udah berapa bulan dia sama kalian?”

“Udah 6 bulan ini, sejak Hevin umur 6 bulan dia ada sama gue dan Kak Marvin. Kalau merasa capek sih pasti Kak, di awal-awal kedatangan Hevin tuh bener-bener struggle banget buat gue sama Kak Marvin, harus ngesampingin ego masing-masing demi Hevin. Yang tadinya gue sama Kak Marvin nggak pernah satu tujuan pun berakhir memiliki satu tujuan yang sama. Membesarkan Hevin dan ngebuat dia bahagia, merasa dicintai dan memiliki sosok orangtua.”

Teman-teman Marvin mendengarkan dengan saksama, tersentuh dengan kata-kata Hazen. Mereka tidak menyangka jika Marvin dan Hazen rela mengesampingkan ego demi orang asing seperti Hevin.

“Gue rasa emang benar kalo Hevin pembawa kebahagiaan buat kalian berdua, gue seneng banget liat Marvin kayak gini Zen. Belum pernah gue denger dia ketawa lepas, senyum lebar dan banyak omong kayak sekarang. Setiap gue liat interaksi dia sama Hevin tuh—gue beneran kagum kayak—wow, ini beneran Marvin temen gue? Hahaha, sampai sekarang aja gue masih speechless.” Kata Jay.

“Jangankan lo Kak, gue aja kaget banget. Dulunya gue beneran gedeg deh sama Kak Marvin, tapi perlahan gue sadar, Kak Marvin yang sebenernya bukan orang yang dingin, cuek, acuh tak acuh. Dia tuh tsundere banget jadi orang, geregetan dah gue. Dia mau bantuin gue urusin Hevin aja bimbang, kebaca banget ekspresi dia khawatir sama gue tapi gengsi.”

Lelaki disana tergelak tawa mendengar cerita Hazen.

“Sekarang udah nggak tsundere kan? Gue makin kaget perubahan Marvin yang super bucin gini sama lo. Kayak gue tuh nggak nyangka, dimana image Marvin yang acuh, cuek, dan masa bodo sama orang sekitar? Ilang ludes abis pacaran sama lo.” Tristan terkekeh.

“Marvin kalo udah jatuh cinta kayak gitu kalo udah jatuh cinta. Dia beneran ngasih segalanya, berusaha kasih yang terbaik buat pasangannya, memberikan kebahagiaan sebisa mungkin selama dia bisa kasih, kalo nggak bisa, dia bakalan cari cara apapun untuk membuat pasangannya merasa lebih baik, dia menawarkan diri buat direpotin sewaktu-waktu asalkan pasangannya bahagia, prioritasin orang yang dicintainya daripada dirinya sendiri. Dan gue liat itu semua ke lo Zen, iya nggak?” Tanya Yudha.

Hazen jadi malu, ia mengangguk sembari tersenyum simpul. “Bukan ke gue aja Kak, ke Hevin dia juga melakukan semuanya. Bener apa kata lo, dia ngasih segalanya ke orang yang dicintainya. Gue bersyukur banget Kak Marvin menerima Hevin sepenuhnya, mau janji sama gue buat rawat Hevin bersama sampai besar nanti. Bahkan tadinya gue nggak kepikiran Kak Marvin bakalan bilang gitu duluan ke gue.”

“Semoga kalian bahagia selalu ya? Ada rencana mau nikah kan kalian?” Ini Tama yang bertanya.

Hazen menggigit bibir dalamnya. “Nggak tau, gue ikutin apa kata takdir aja sih Kak. Kalo emang jodoh kan nggak akan lari kemana.”

“Maaa Mamaaa niii.” Hevin berteriak memanggil Hazen. Akhirnya Marvin menggendong Hevin dan berjalan menghampiri Hazen.

“Mamaaa iinn yoooo.”

“Loh kan ada Papa, seneng kan main sama Papa?” Tanya Hazen.

“Nengg, Maaa inn gaaa.”

Marvin terkekeh. “Diajakin main juga Zen, lo yang peka ngapa, nggak seru main berdua kayaknya ya?”

“Tapi rapatnya—“

“Nggakpapa Zen, temenin anak kalian main aja. Kasian, dia pasti bosen cuma dengerin kita rapat dari tadi.” Ujar Tristan.

Hazen menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Beneran nih Kak? Tapi rapatnya belum selesai.”

“Yang inti kan udah kebahas semua, nggakpapa Zen. Kita mau santai dulu juga, nanti dibahas lagi kalau kalian udah selesai main.” Tambah Tama.

“Mereka aslinya pengen nyantai Zen, kan ini kita emang rapat sambil nongkrong. Nggakpapa ada jedanya.” Ucap Marvin meyakinkan Hazen.

“Ah gitu ya? Ya udah deh, kita ajak Hevin main sebentar. Kak, turunin anaknya. Biar dia jalan sendiri, nanti dia males jalan kalo digendong terus.”

Marvin menurunkan Hevin, anak itu berdiri dan berpegangan di celana Marvin dan Hazen.

“Yuk jalan kesana sayang.” Ajak Hazen menuntun sang anak jalan dengan menggenggam tangan kiri Hevin sedangkan Marvin menggenggam tangan kanan Hevin.

Let’s go, mau main ayunan nggak?” Tanya Marvin sembari jalan bersama Hazen dan sang anak meninggalkan kerumunan teman-temannya.

Di depan 10 lelaki itu, Hazen dan Marvin tengah bermain ayunan. Lebih tepatnya Hazen yang naik ayunan dan di pangkuannya ada Hevin yang ia peluk koala erat sekali sedangkan Marvin yang mendorongnya dari belakang. Tawa Hevin terdengar nyaring dan ceria, membuat rongga telinga siapapun yang mendengar bisa ikut merasakan kebahagiaan si kecil.

“Hihihi Paaaa gii giii.” Ucap Hevin sambil tepuk tangan menatap sang Papa.

“Peluk Mama yang erat ya, biar nggak jatuh.” Jawab Marvin.

Hevin memeluk leher Hazen makin erat, sedangkan Hazen mengusap punggung sang anak sembari tertawa. Marvin juga ikut tertawa mendengar si kecil yang ceria sembari tepuk tangan.

“Hahaha Kak, agak kencengan dikit ayoo.” Hazen berseru, ia ikut senang bermain ayunan.

Marvin mendorong ayunan itu lebih kencang lagi, Hevin terlihat senang sekali karena anak itu tersenyum lebar dan tergelak tawa.

“Kak, naik ayunan sebelah situ, kita main bareng aja.” Teriak Hazen dan mendongak untuk melihat sang kekasih yang ada di belakangnya.

“Iya, sebentar.” Marvin pun beralih duduk di ayunan sebelah Hazen.

“Paaa iinn tuuu.” Hevin menunjuk perosotan pendek yang ada di sebelah kolam mandi bola.

“Eh jangan sayang, nanti jatuh.” Peringat Hazen.

“Iya, jangan ya? Nanti kalau udah 2 tahun baru boleh.” Tambah Marvin. Hevin mengerjapkan matanya dan mengangguk saja.

Di sisi lain…

“Gue lagi liat gambaran kalo Marvin sama Hazen udah menikah, bakalan se gati itu sama anak kali ya?” Kata Johan tiba-tiba.

“Belum nikah aja udah se gati itu sama Hevin, gimana nanti kalo udah nikah?” Timpal Willy.

“Nggak tau kenapa, gue tetep kagum dan selalu kagum sama parental servicenya Marvin dan Hazen ke Hevin. Kayak—nggak semua orang bisa sekuat mereka berdua di tengah kesibukan kuliah masih harus urusin bayi yang usia aktif-aktifnya. Nggak kebayang se capek apa mereka berdua.” Ucap Jay.

“Gue penasaran banget siapa orangtua Hevin sebenernya, kenapa harus Marvin sama Hazen yang jadi target orangtuanya buat jagain Hevin? Kalo kayak gini sih pasti dia orang yang kenal Marvin dan Hazen kan? Apalagi sampe bisa masuk asrama Marvin tanpa ketauan cctv.” Opini Deon dimulai, membuat yang lain berpikir.

“Jelas sih ini, kalo nggak kenal nggak mungkin bisa senekat itu naruh anak di asrama orang asing. Lagian kalo emang niatnya membuang, bukannya lebih baik ke panti asuhan? Kenapa harus di titipin ke Marvin sama Hazen?” Ujar Juan.

“Entahlah, misteri ilahi ini mah. Marvin sama Hazen keliatan udah sayang banget sama Hevin, kayaknya mereka bakalan sedih misalnya suatu saat nanti orangtua kandung Hevin datang dan ambil anaknya.” Kata Tama.

“Jangan mikirin yang belum tentu terjadi, mendingan kita main UNO, gue bawa nih hehe.” Yudha mengeluarkan UNO kartunya.

“Anjir mantap, ayo dah gas.” Seru Keenan bersemangat.

Mereka pun bermain UNO dengan heboh sebanyak 10 orang.


“Maaa cuuu cuuuu.” Hevin menguap dan memukuli dada Hazen.

“Udah ngantuk? Jam berapa sih emangnya Kak?”

Marvin melihat jam tangannya. “Jam 9, ya maklum kalo gitu dia ngantuk. Ya udah kita balik ke sana aja, bikini Hevin susu.”

Akhirnya Marvin dan Hazen kembali ke perkumpulan teman-temannya yang tertawa terbahak-bahak dan heboh sekali karena bermain UNO.

“Bro, rapatnya masih di lanjut nggak?” Tanya Marvin tetiba duduk, begitupun juga dengan Hazen yang di gendongannya ada Hevin.

“Yang inti sebenernya udah kebahas semua, ini tadi sambil sedikit-sedikit bahas beberapa pas main UNO.” Kata Ben.

“Anak gue ngantuk, kalau rapatnya masih di lanjut, ayo lanjutin.”

“Dikit lagi aja yuk kita lanjutin, abis ini lo sama Hazen bisa pulang. Kasian Hevin.” Ucap Tristan.

Lalu rapat pun berlanjut dengan santai karena mereka juga sembari makan, baru saja pesan roti bakar dan martabak, sedangkan Marvin tengah membuatkan susu untuk Hevin. Hazen tengah menimang sang anak dengan menepuk-nepuk pantat dan mengusap punggung Hevin.

“Cuuuuu Maaaa cuuu.”

“Iya sayang sebentar ya, susunya masih dibuatin Papa.”

Teman-teman Marvin makan sambil memperhatikan kegiatan kedua orangtua muda itu. Sampai terbengong-bengong mereka melihatnya.

“Ini susunya udah jadi, sekarang bobok ya?” Marvin memberikan dot nya kepada Hazen dan Hazen memasukkan dot itu ke mulut sang anak yang langsung disesap.

“Pinter banget, waktunya bobok malam.” Hazen mecium pipi dan kening Hevin.

“Zen, mau cium juga.”

“Hah? Jangan gila please Kak.” Hazen memelototi Marvin dan melirik teman-teman Marvin yang sama bengong nya mendengar ucapan Marvin.

“Apa sih? Mau cium Hevin maksudnya.” Sebelah alis Marvin terangkat.

Tawa canggung terdengar dari Hazen sedangkan teman-teman Marvin cekikikan melihat ekspresi Hazen.

“Kalo ngomong yang lengkap ngapa si, ambigu banget.” Hazen mendengus lalu memundurkan wajahnya agar Marvin bisa menunduk untuk mencium sang anak.

“Kalo sama lo nanti aja, di apart.” Bisik Marvin di telinga Hazen sambil tersenyum jahil lantas mencium kening Hevin untuk pengantar tidur.

Hazen mengerjapkan matanya dan seketika telinganya memerah, untung saja malam hari, jadi tidak terlalu terlihat bagaimana salah tingkahnya Hazen sekarang.

“Selamat bobok anak Papa.” Ucap Marvin.

Kemudian Hazen menyanyikan lagu ‘Lihat Kebunku’ sebagai pengantar tidur Hevin yang tak kunjung menutup mata. Sedangkan Marvin juga ikut bernyanyi untuk sang anak, menyamakan irama dengan suara Hazen.

Belasan mata disana saling lirik melihat adegan yang tersaji di hadapan mereka.

“Kita transparan guys.” Kata Juan yang mengundang gelak tawa dari yang lain.

“Brisik, anak gue nggak tidur-tidur nanti!” Marvin memberikan tatapan tajam kepada teman-temannya, seketika mereka kicep dan memilih untuk berbicara dengan berbisik, makan dan minum dengan tenang.

Hazen terkekeh melihatnya dan menggelengkan kepala. “Papa kamu galak.” Bisiknya kepada Hevin yang perlahan memejamkan mata masih dengan menyesap dot susu nya.

@_sunfloOra