Trigger the Fever

Marvin menoleh ke belakang, melihat Hevin yang duduk di infant car seat sembari menggigiti teether semangka kesukaannya. Marvin menghela nafas panjang.

“Gue harus ngomong apa sama Daddy nanti begitu tiba di Hawaii? Bawa Erin sebagai calon tunangan sih nggak masalah, tapi buat Hevin? Gue mau bilang apa? Adiknya Erin? Tapi aneh banget bawa adik ke acara pernikahan, ntar malah ditanya-tanya lagi sama Daddy dimana orangtua nya Erin.”

Pppaaa paaaaa hihihihi

Marvin terkekeh mendengarnya. “Kenapa Bi Mina pas banget pulang kampung waktu begini sih? Kan jadinya gue juga yang agak repot. Dan kenapa lagi acara Hazen sama keluarganya pas banget sama pernikahan Daddy juga? Kayak aneh dan disengaja.”

Paaaaaa paaaaaa bbbrrrrmmmm hihihi

“Hevin, nanti disana jangan panggil Papa ya? Coba panggil ka—kak.”

Bayi itu mengerjapkan matanya lalu terkikik. “Papa pppaaaa paaaaa”

“Kakak. Ka—kak. Bukan Papa, okey?”

Papa, papa, ppaaabbbrrrmmm hihihi Papa

Marvin menghela nafas dan mengusap wajahnya kasar. “Duh, Hevin masih 7 bulan, susah eja kata selain Papa sama Mama. Semoga Daddy maklumin itu nanti, namanya juga masih bayi.”

“Sudahlah, kita berangkat sekarang ya? Kita jemput Kak Erin dulu.” Ucapnya pada sang anak dan mulai menancapkan gas mobil nya menuju Kafe yang telah disepakati Marvin dan Erin untuk bertemu.

Sesuai janjian Marvin dan Erin, ia menemui Erin di kafe Senja Kopi. Ia mengirim dirrect message kepada Erin untuk memberitahukan bahwa Marvin sudah sampai.

Menunggu selama 5 menit, tak lama kemudian kaca mobilnya diketuk. Marvin menurunkan kaca mobilnya, di luar sana Erin melebarkan senyumnya sembari menunduk. “Gue Erin, lo nggak lupa muka gue kan Vin?”

Marvin menelisik sebentar lantas mengangguk. “Nggak lupa, masuk Rin.”

Kemudian Erin membuka pintu mobilnya dan duduk dengan anggun.

Ppppaaaa papa mmmaaa hihihihi

Erin terkejut mendengar suara bayi, lantas ia menoleh ke belakang dan membulatkan matanya. “Lo bawa adek?”

“Anak gue. Tapi Rin, gue boleh minta tolong nggak?”

Erin langsung menatap Marvin dengan tatapan syok nya. Demi apa Marvin sudah mempunyai anak? Lalu kenapa Marvin tidak mengajak istrinya saja untuk datang ke acara perikahan daddy nya sendiri?

“Bentar deh, gue nggak paham. Lo mau minta tolong apa?”

Marvin menghela nafasnya. “Nanti, saat daddy atau siapapun yang nanya bayi itu siapa, lo bilang aja ini adek lo ya?”

“Kenapa gitu? Ini kan anak lo? Jangan bilang keluarga lo nggak ada yang tau kalo lo punya anak?” Erin menaikkan sebelah alisnya, menatap sanksi kepada Marvin.

“Iya, nggak ada yang tau. Mangkanya gue minta tolong ya Rin? Lo bisa minta apapun sebagai imbalannya.”

Erin terkekeh lantas tersenyum. “Gue bukan cewek matre kok Vin, gue aja bisa ada disini karena Sandra sahabat gue, gue mau bantuin dia. Eh nggak taunya lo adek tirinya Sandra, cowok yang gue suka waktu SMP.”

Marvin tersenyum kaku. “So?, lo mau bantuin gue kan?”

Erin mengangguk sebanyak tiga kali. “Sorry to ask your privacy, but—where's his mom?”

“Hahaha, nggak tau Rin.”

“Maksudnya? Kata lo dia anak lo?”

“Iya, bukan anak kandung gue. Tapi sekarang dia anak gue.”

Erin memperhatikan ekspresi Marvin yang terlihat tak nyaman dan ingin menyudahi percakapan ini, akhirnya Erin menghela nafas lalu mengangguk dan tersenyum simpul. “Oke, gue bantu lo.”

Thanks Rin, lo emang cewek baik dari dulu sampai sekarang.”

“Kalo baik kenapa lo nggak suka sama gue?”

“Gue terlalu sibuk buat urusan perasaan, lagian itu jaman SMP. Lebih baik buat belajar kan daripada ngejalin hubungan asmara?”

“Hm, kalo sekarang? Lo bisa?”

“Bisa apanya?” Marvin mengernyitkan dahinya menatap Erin.

“Ngejalin hubungan.”

“Nggak tau, gue masih belum mikirin itu sampai sekarang, mangkanya gue nggak bisa bawa siapa-siapa sebagai tunangan buat dikenalin ke daddy.”

“Errr—Vin, gimana kalo kita coba aja?”

“Coba ngapain?”

“Daripada gue jadi calon tunangan pura-pura lo, gimana kalo kita mencoba menjalin hubungan? Siapa tau gue beneran bisa jadi tunangan lo? Dan lo nggak perlu takut ketahuan daddy lo kalo kita ini pura-pura.”

Ada hening yang menyelimuti keduanya, Erin mengigit bibir dalamnya menunggu jawaban Marvin.

Pppapaaaa papa ppaaaaa mmama mama ppaaa

Marvin terhenyak dari pikirannya yang terbang kesana kemari karena celotehan Hevin, ia menoleh ke belakang, melihat sang anak yang tengah bermain dengan piano favoritnya, memandanginya dengan tatapan sendu begitu lama, tetiba muncullah suara kambing dan kucing dari piano tersebut. Membuatnya menjadi teringat sesuatu.

“Gue ada Hevin, gue nggak ada waktu buat kencan. Lo nggak akan betah lama-lama sama gue karena gue lebih prioritasin anak gue daripada lo.” Ucapnya masih fokus menatap Hevin.

“Gue bisa jadi Mama nya Hevin, dan gue siap ngerawat dia kayak anak gue bersama lo. Ngebesarin dia, gue bisa Vin.” Ucapnya mencoba meyakinkan lawan bicaranya.

“Mbeeekkk itu suaranya kambing. Suara kam???”

ingggg hihihikkk ingggggg

“Aduh pinter banget anak Mama, mau cium dulu dong sayang, sini.”

Mama mmmaaa mamama tuuu

“Kenapa? Hevin laper? Mau susu?”

Tuuu tuuu mmmaaaa bbrrrmmm hihihihi

“Sebentar ya, Mama bikinin susu dulu. Hevin disini dulu main sama Papa. Oke?”

Bayangan Hazen dan Hevin seketika terputar di otaknya begitu saja tanpa diminta. Gambaran Hazen dan Hevin yang berbicara dan bermain, serta tertawa bersama pun terlintas di memori otaknya.

“Vin!” Erin menepuk pundak Marvin, membuat sang empu menoleh.

Sorry Rin, tapi posisi Mama nya Hevin udah ada yang isi, dan itu nggak bisa digantiin siapapun. Hevin—cuma mau dia buat jadi Mama nya.”

Pundak Erin merosot. “Pacar lo?”

Marvin menggelengkan kepalanya. “Bukan, dia adalah orang yang membantu gue buat jagain Hevin selama ini. Dan Hevin suka manggil dia Mama.”

“O-oh, oke. Kenapa lo nggak ajak dia buat lo kenalin jadi calon tunangan lo?”

“Kalau bisa, gue juga pengen bawa dia aja buat gue kenalin sebagai calon tunangan gue. Tapi gue nggak bisa, karena gue yakin ini nggak akan berjalan dan nggak akan meyakinkan daddy.”

Erin terdiam, membuat Marvin kembali duduk tegak di bangku kemudi. “Udah sore, pesawat kita berangkat 2 jam lagi. Kita berangkat sekarang aja ya?”

“Iya.” Jawab Erin lirih dan menyandarkan diri sembari melihat jalanan dari kaca mobil di sebelahnya.

Marvin melajukan mobil aston martin nya menuju Bandara Soekarno Hatta untuk penerbangan ke Hawaii, Amerika Serikat.


Hazen menatap gumpalan awan di balik jendela pesawat pribadinya. Menggerakkan jari telunjuknya secara abstrak, mengukir nama Hevin disana. Ia merindukan anaknya, padahal masih 1 hari ia tidak melihat Hevin tapi Hazen sudah sangat merindukan sosok kecil itu.

“Huft, kangen Hevin. Dia lagi apa ya sama Bi Mina?”

“Apa dia rewel karena nggak ada gue sama Kak Marvin?”

“Trus tidurnya nanti gimana?”

“Kalo nangis nyariin gue sama Kak Marvin atau enggak ya?”

Pertanyaan-pertanyaan itu terus muncul di pikirannya, menyiksa batinnya.

“Zen, kenapa ngelamun?” Sang Bunda menepuk pundaknya, membuat kesadaran Hazen kembali.

Ia menoleh dan mendapati Bunda nya tengah duduk di sebelahnya sembari tersenyum lembut.

“Hehe nggakpapa Bun, bosen aja.”

Kirana mengusap rambut halus putranya. “Kayak lagi kangen seseorang. Hm, anak bungsu Bunda lagi kangen Sandra ya?” Goda sang Bunda sembari terkikik.

“Ih siapa yang kangen Sandra? Enggak kok, cuma lama nggak terbang jadi pengen ngeliat awan aja.”

“Iya deh percaya. Kamu sama Sandra baik-baik aja kan selama ini?”

Hazen mengangguk, setengah tersenyum kecut bahwa keadaan mereka memang baik-baik saja tapi tidak untuk hubungan perjodohan mereka yang kandas.

“Bagus deh kalo baik-baik aja. Nanti disana temenin Sandra terus ya? Jangan kemana-mana.”

“Kalo aku mau pipis masa nggak boleh Bun?”

Kirana terkekeh lalu mencubit pipi tembam putranya. “Ya boleh, maksud Bunda tuh jangan ditinggalin lama atau kabur kemana gitu.”

Hazen menghela nafasnya. “Nggak kabur Bun, aku bukan anak kecil yang suka kabur-kaburan tau.”

Kirana mengacungkan jempolnya lalu beranjak berdiri. “Ya udah, Bunda tinggal ya? Nanti Ayah kamu nyariin lagi.”

“Iya, pacaran aja terus di kamar. Jangan keras-keras ya tapi teriaknya Bun, aku nggak mau punya adek.”

Kirana memukul pelan lengan Hazen. “Sembarangan aja kamu ngomongnya, Ayah lagi istirahat aja, Bunda mau mijetin Ayah.”

“Iya deh iya, nanti juga keterusan abis pijet.” Ledeknya sembari menjulurkan lidah.

“Dasar kurang ajar.” Kata Kirana terkikik geli lalu pergi dari hadapan Hazen.

Hazen juga tertawa, saat sosok Bundanya sudah tidak kelihatan, ia menghentikan tawanya. Membuka galeri nya yang sudah banyak terisi oleh foto-foto keseharian Hevin di apart Marvin atau saat di asrama dulu.

“Hevin... Mama kangen...” Lirihnya sembari menatap satu persatu foto sang anak.


Perjalanan dari Jakarta menuju Hawaii membutuhkan waktu 2 hari. Selama dalam pesawat, Hevin rewel mencari Hazen, menyebutkan 'Mama' berkali-kali dan menangis.

Marvin kewalahan mendiamkan Hevin, ia sangat sungkan kepada penghuni pesawat lainnya, karena Marvin dibantu oleh ibu-ibu untuk menenangkan Hevin. Karena saat Erin mencoba mendiamkan Hevin pun tidak berhasil dan memberontak dari gendongan Erin, memeluk erat Marvin sembari terus memanggil Hazen—Mama nya.

Akhirnya setelah 2 jam menangis, Hevin bisa diam dan tertidur ketika digendong oleh ibu-ibu dan meminum susu dari dotnya. Untung saja Marvin sekarang sudah jago membuat susu formula.

Marvin memandangi wajah merah sembab sang anak yang ada di gendongannya. Susunya telah habis, Hevin tertidur pulas sehabis capek menangis. “Maafin Papa ya sayang, nanti waktu pulang kita naik pesawat pribadi aja biar cepat sampai rumah dan ketemu Mama.”

Erin tersenyum miris, melihat Marvin begitu menyayangi anak dan sosok Mama yang disebut-sebutnya, ia sedikit cemburu. Namun ia tak bisa melakukan apapun selain diam, karena Marvin memang bukanlah miliknya, dan sepertinya sampai kapanpun tak akan pernah menjadi miliknya, mengingat situasi Marvin sekarang yang sudah memiliki anak dan Mama anak tersebut.

“Vin, kalo lo capek tidur aja. Biar gue yang gendong anak lo.”

“Nggak perlu Rin, nanti kalo dia nangis lagi malah susah. Lo aja yang tidur, masih 8 jam lagi kita sampe Hawaii.”

Akhirnya Erin mengangguk pasrah dan memejamkan matanya, karena kini langit sudah gelap. Ia akan sampai di Hawaii esok pagi. Marvin memasang earpods nya dan memutar playlist lagu yang sudah ia download dari youtube.

Kali ini bukan lagu-lagu 90 an favoritnya yang ia putar seperti biasanya, karena akhir-akhir ini ia suka memutar lagu-lagu lokal. Yang menggaungkan suara selembut kapas dan semanis madu yang sudah 3,5 bulan ini familiar di telinganya.

Lagu itu terputar, yang berjudul 'Atas Nama Cinta'. Marvin memejamkan matanya dan mendengarkan dengan hikmad suara Hazen yang menyapa indra pendengarnya.

Play lagu nya yuk, “Hazen – Atas Nama Cinta”. Biar meleyot baper sampe sumsum tulang T_T pake earphone sih aku sarannya bestie

https://www.youtube.com/watch?v=hqdgzDojmwM

Marvin terkekeh. “Hazen kenapa cocok banget nyanyi lagu melankolis gini ya?” batin nya.


Hazen sudah tiba di hotel Kahala and Resort, tempat dimana pernikahan Om Noah dan Om Jagat akan berlangsung. Tadi juga, Hazen sudah bertemu dengan keluarga Sandra dan calon suami Om Noah.

Saat ini, Hazen dan Sandra sedang duduk bersantai di tepi pantai yang ada di resort ini. Bahkan sudah ada dekorasi pernikahan di tepi pantai ini. Benar, pernikahan Noah dan Jagat bertemakan outdoor dengan pemandangan pantai Kahala Resort.

“Om Noah romantis ya San, nikahnya aja aesthetic banget di tepi pantai.” Ucap Hazen yang memandang lurus ombak pantai yang kecil di depannya.

Sandra terkekeh. “Papa cinta banget sama Om Jagat, jadi ya gitu lah biasa. Orang kalo bucin mah apa aja bisa dilakukan. Iya nggak?”

Hazen ikut tertawa dan mengangguk setuju. “Hm, Om Noah sama Om Jagat pasangan yang serasi, sama sama tampan dan berwibawa. Gue jadi nggak heran sih lo bisa suka sama adek tiri lo, pasti adek tiri lo juga cakep banget kayak Om Jagat kan?”

“Banget sih Zen, bayangin aja gue suka sama dia dari awal kali ketemu dan lagsung dikenalin sebagai calon adek tiri gue. Nggak syok gimana gue? Udah tau bakalan jadi adek gue, tetep aja gue cinta sama dia.”

“Bukan salah lo sih San, cinta juga nggak salah. Kita cuma manusia, nggak bisa prediksi gimana takdir kita yang udah ditulis sama Tuhan. Termasuk dengan kepada siapa hati kita berlabuh, itu juga diluar kehendak kita. Kita nggak bisa milih mau suka sama siapa.”

“Nanti, gue kanalin sama adek gue.”

“Terserah sih, gue juga penasaran kayak apa adek ipar gue yang gagal ini hahaha.”

Sandra melirik Hazen dengan ekor matanya, Hazen tengah memejamkan kedua matanya. Angin sepoi-sepoi pantai menyapu poni nya yang menutupi kening. Sandra tersenyum simpul, tampan dan manis. Itu yang selalu Sandra pikirkan tentang visual Hazen yang sangat candu untuknya.

“Termasuk gue jatuh cinta sama lo. Itu bukan salah gue ataupun perasaan gue kan Zen?”

Hazen membuka matanya dan menoleh, yang ternyata Sandra juga menatapnya. “Maaf San, gue—”

“Hahaha nggakpapa, udah jangan merasa bersalah gitu kali Zen. Kita udah sepakat juga kan untuk selesai?”

“Soal Om Noah, lo udah ngomong tentang ini?”

“Nanti, gue bakalan omong langsung. Teralu beresiko kalo gue ngomong duluan sebelum pernikahan Papa.”

Hazen menghela nafas. “San, kita bisa kan?” Cicitnya sedikit lirih.

“Bisa, gue udah janji sama lo buat akhirin ini semua. Gimanapun caranya, gue akan usaha buat Papa setuju tanpa rugiin keluarga lo, Zen.”

“Gue juga akan berusaha, kita berdua ya San?” Ucapnya sembari menyunggingkan senyum tulusnya kepada Sandra.

“Um, kita berdua.”

“Zen, lo berdiri di sana deh, pemandangannya bagus.”

“Ngapain gue berdiri disana? Mau jadi patung pancoran?”

“Hahaha sialan, bukan gitu bego. Gue mau foto lo.”

“Eitsss, lo ngefans banget sama gue kalo kata gue sih.”

“Iya, fans berat lo. Nah, mangkanya kasih fans lo privilege dengan bebas ambil potret lo dong.”

Hazen terkekeh lalu berdiri sesuai instruksi Sandra. “Nih, gue disuruh gaya gimana?”

“Hmm, itu lo copot blazer lo, terus lo angkat buat jadi pelindung kepala lo.”

“Kayak orang lagi berteduh kehujanan?”

“Haha anjir, iya iya kayak gitu maksud gue.”

Hazen pun menuruti perintah Sandra dan bergaya dengan aesthetic nya.

“Nah bagus, tahan bentar ya, jangan gerak kalo belum ada bunyi kamera dari hp gue.”

“Iya iya bawel, cepet foto gih. Malu gue dilihatin orang-orang.”

“Ya biar sih, mereka terpesona sama lo kali mangkanya pada liatin.”

Hazen mengerlingkan matanya. “Cepetan Sandra, tangan gue pegel nopang blezer nya tau.”

“Iya sabar, oke gue hitung ya, 1....2....3...!”

Cekrek

Hazen memakai blezernya lagi lalu melihat hasilnya. “Kirim dong San, hasilnya bagus, gue cakep soalnya.”

“Hm ya pangerannnnn.”

“Hahaha, eh lo duduk di semak-semak daun itu deh. Gue fotoin.”

“Nanti gue digigit serangga dong anjir.”

“Nggak akan San, yaelah. Cuma duduk atas batu doang, lagian semaknya gak lebat cuma ada daun2 pohon daun kelapa yang jatuh.”

“Yaaa tuan, fotoin yang bagus. Awas kalo jelek!”

“Ya putriiii.”


Marvin dan Erin tidak menginap di hotel Kahala. Ia tidak ingin membuat syok daddy nya sekarang dengan meihat Hevin. Akhirnya ia membawa Erin dan Hevin ke hotel yang tidak jauh dari Kahala Resort.

“Rin, ini kunci kamar lo. Besok jam 8 pagi kita berangkat.”

“Iya, nanti mau jalan-jalan nggak Vin?”

“Enggak deh gue mau istirahat, nanti Hevin rewel juga. Gue mau temenin Hevin aja seharian di kamar. Lo kalo mau jalan-jalan terserah aja sih. Kalo butuh mobil, lo dateng aja ke kamar gue, nanti gue kasih kuncinya.”

“O-oh, oke deh. Gue masuk kamar dulu kalo gitu. Selamat istirahat Vin.”

“Ya, selamat istirahat juga Erin.”

Kemudian Erin berjalan memasuki kamarnya, begitupun juga dengan Marvin yang di gendongannya ada Hevin yang masih tidur.


Suasana Kahala Resort dan Hotel sangat ramai, disewa sehari penuh oleh Noah dan Jagat untuk pernikahan mereka. Tamu undangan mereka dari berbagai manca negara, yang jelas adalah mereka merupakan kolega bisnis dari Noah dan Jagat.

Marvin dengan kemeja hitam satin dan dilapisi oleh white suit, celana putih yang senada serta dasi kupu-kupu yang menghiasi, membuatnya sangat sangat tampan. Sedangkan Erin juga menggunakan gaun putih panjang dengan lengan hanya sebatas lengan atas. Rambutnya ia gulung memperlihatkan leher jenjang nan putihnya, tak lupa gelungan rambut itu ia hiasi dengan pita bunga mekar berwarna putih.

Hevin memakai kaos warna kuning yang dilapisi long coat warna putih, tak lupa ditambah dengan kupluk kuning yang ada telinga beruangnya, menambah kesan menggemaskan untuk seorang Hevin. Baju itu, yang dibeli Hazen waktu itu, dan memang benar, Hazen tidak mengambil 5 setel saja, melainkan 10 setel baju. Dan Marvin lah yang membayarkan. Termasuk dengan car seat yang ada di mobilnya sekarang.

Semua mata tertuju kepada Marvin, Erin dan Hevin. Karena demi apapun, mereka bertiga sangat kompak dengan outfit putih bersih itu. Terlihat seperti keluarga kecil bahagia. Sampai tak terlihat bahwa itu settingan. Karena Erin juga mengamit lengan kiri Marvin, sedangkan tangan kanan Marvin digunakan untuk menggendong Hevin.

“San, lo emang gila, tapi ya nggak sekarang juga sih anjir.” Bisik Hazen kepada Sandra.

“Kenapa sih emang?”

“Baju lo, kenapa transparan begini anjrit. Sumpah deh San, mata orang-orang liatin dada lo terus, bego.”

Sandra melirik sekitar, dan benar saja apa kata Hazen. “Ya di pantai kan panas, enak juga begini sejuk.”

“Duh tapi ini acara resmi San, pernikahan Papa lo anjir. Ganti baju aja gih mumpung belum mulai.”

“Nggak mau, males kemana-mana. Enak duduk gini juga.”

Hazen berdecak, lalu melepaskan black suit nya dan mengulurkannya ke Sandra. “Pake, atau gue paksa seret lo ke toko baju sekarang juga?”

Sandra mendengus dan mengambil paksa jas hitam milik Hazen. “Yaaa, gue pake nih.”

“Pake yang bener, dikancingin semua. Dada sampe perut lo ke eskpos bebas kalo nggak dikancingin semua.”

“Iya bawel, nih udah kan? Udah syar'i kan?”

Hazen terkekeh lalu mengangguk. “Jangan dicopot sampe acara selesai. Awas lo!”

“Iya Zen ya ampun, posesif amat.”

“Posisif pala lo bleduk. Gue kebelet pipis, gue ke toilet bentar ya?”

“Hmm ya, mau gue anterin nggak?”

Hazen mengerlingkan matanya. “Ngaco, udah lo diem anteng disini aja. Tungguin gue balik ke sini.”

“Iya oke.”

Lalu Hazen berdiri dari duduknya dan berjalan menuju toilet.

Saat ketiga orang itu sudah menapakkan kakinya di area tepi pantai, Marvin menghentikan langkahnya tiba-tiba. Ketika kedua manik matanya menangkap sosok Hazen berjalan menjauh dari area pernikahan.

“Rin, lo masuk duluan aja ya? Lo samperin Sandra, dia duduk disana tuh. Gue ada perlu sebentar.”

“Eh, ini Hevin nya lo bawa juga?”

“Iya, nanti dia nangis kayak di pesawat lagi kalo sama lo.”

Erin mencibir lalu mengangguk. “Ya udah gue samperin Sandra duluan.”

Lantas Marvin segera pergi mengikuti Hazen setelah Erin pergi meninggalkannya.


Hazen membuka pintu toilet dan ingin mencuci tangannya. Namun begitu ia membuka pintu, seseorang menariknya keluar begitu saja, membuatnya hampir terjungkal jika Hazen tidak mencengkram baju orang yang menariknya.

Mama! Maaaa maaaaa hihihihi

Hazen langsung mendongakkan kepalanya begitu suara Hevin terdengar memanggilnya. “Loh? Kak Marvin ngapain disini?”

“Yang ada lo ngapain disini? Kata lo 4 hari lalu, mau hadirin pernikahan om lo di Amrik. Kok malah disini?”

“Ya kan Hawaii di Amrik kak, gimana sih lo?”

Marvin menepuk jidatnya, iya juga ya. Dia mendadak lupa.

“Dan lo belum jawab pertanyaan gue. Lo bilang, lo ada acara perusahaan sama daddy lo. Dan ini tempat pernikahan om gue, ngapain lo disini?”

Marvin meghela nafasnya, “Zen, gue mencoba merangkai semuanya apa yang terjadi. Lo jawab jujur ya?”

“Apa?”

“Lo kenal Sandra? Gue liat lo akur banget sama Sandra.”

“Kenal, kenapa emang? Dia anak kolega Ayah gue.”

“Eh tunggu, lo kenal Sandra juga?” Hazen mengerutkan dahinya, begitu menyadari Marvin menyebutkan nama Sandra.

“Ini pernikahan daddy gue sama Papa nya Sandra.”

Duarrr

Hazen mendadak blank mendengar jawaban Marvin. Jika Daddy nya Marvin menikah dengan Om Noah, berarti, berarti—

“Jadi, lo ini adek tirinya Sandra, kak???”

Marvin mengangguk. “Kalo lo bisa tau gue, harusnya gue curiga sama lo. Please lo jujur sama gue Zen. Lo kenal Sandra bukan sebatas hubungan anak kolega doang kan? Karena gue yakin Sandra nggak akan ceritain tentang gue ke sembarang orang. Dan gue juga teringat, Sandra pernah bilang ke gue, kalo dia punya temen cowok satu di Indonesia—

dan dia adalah calon suami Sandra.”

Deg

Hazen terkejut untuk kedua kalinya, dia benar-benar tidak menyangka jika Sandra bahkan cerita dengan adek tirinya yang tak lain dan tak bukan adalah Marvin. Orang yang sangat dekat dengan dirinya selama 3,5 bulan ini.

“K—kak Marv, gue—”

“Kalian batalin ikatan perjodohan kan?”

“Lo tau juga? Sandra cerita ke lo?”

“Semuanya, dia cerita semuanya sama gue, bahkan dia patah hati karena lo juga cerita ke gue.”

“Oh my God, sumpah gue nggak bisa berkata apa-apa lagi kak Marv. Ini semua—terlalu mengejutkan. Alias gue nggak percaya, takdir gue lucu banget, gue mau ketawa tapi nggak bisa.”

“Hazen gue mau—”

“Coba lo bayangin kak, ternyata lo itu calon adek ipar gue. Seumpama, gue sama Sandra gagal batalin perjodohan ini, kita bakal jadi keluarga. Gue beneran nggak bisa bayangin, lo—jadi adek gue kak.”

Marvin mencekal pergelangan tangan Hazen, menariknya sedikit kencang hingga Hazen menubruk dada nya. Di peluknya Hazen erat. “Zen, liat gue.”

Hazen mendongak, menatap kedua manik segelap langit malam itu. “Lo nggak cinta sama Sandra?”

Hazen menggelengkan kepalanya.

“Lo masih mau perjodohan kalian batal?”

Hazen mengangguk.

“Zen, lo sayang sama Hevin?”

“Sayang banget, kok pake nanya?” Ucapnya menggebu-gebu sembari menatap Hevin yang mengigiti jarinya.

“Lo masih inget janji lo waktu malam itu? Di ruang tamu.”

Hazen mengerjapkan kedua matanya lantas mengangguk. “Ingat.”

“Masih mau nepatin nggak? Buat ngejaga dan ngebesarin Hevin sampai dia diambil orangtuanya, bahagiain Hevin kayak anak sendiri? Masih mau nepatin itu nggak?”

“Ma-masih kak...” Ucapnya lirih.

“Hazen, demi Hevin gue bisa bantu lo buat batalin perjodohan lo sama Sandra.”

“Hah? Gimana caranya? Gue sama Sandra juga masih bingung cara ngomong ke Om Noah sama Ayah gue.”

“Lo percaya sama gue kan?”

“Maksudnya?”

“Jawab aja, lo masih mau terus sama Hevin nggak?”

“Mauuuuu.” Rengek Hazen mengerucutkan bibirnya.

Marvin sedikit terkekeh. “Kalo gitu berarti lo percaya sama gue. Apapun yang terjadi setelah ini, ikutin gue ya Zen? Demi Hevin.”

“Sebentar, kasih tau gue dulu lo mau apa. Biar gue nggak kaget dan gagal acting nantinya.”

Marvin mengerlingkan matanya. “Hari ini gue udah janji sama Daddy buat kenalin calon tunangan gue ke Daddy. Dan gue bakalan kenalin lo sebagai calon tunangan gue, dengan begitu perjodohan lo batal, Hevin bisa bersama kita selama mungkin.”

“APA??? LO JANGAN GILA KAK MARVIN!!!”

Ooeeeekkkkkk oeeeekkkkk hiks hiks mmaaaa maaa

“Hazen astaga, jangan teriak-teriak kenapa sih? Nangis kan anaknya.”

Hazen meringis dan mengambil alih Hevin dari gendongan Marvin. “Cup cup sayang, maafin Mama ya tadi kekencengan suaranya. Sssttt anak baik nggak boleh nangis. Diem ya?” Ucapnya menepuk nepuk punggung Hevin.

Hiks hiks mama mmaaaa hiks hiks

“Iya, ini Mama. Jangan nangis ya sayangnya Mama, nanti jelek kalo nangis.”

Hevin memeluk erat leher Hazen, tidak rela melepaskan. Anak itu merindukan Mamanya, 3 hari tak ketemu membuatnya merindukan Hazen.

“Zen, gimana? Terserah lo mau nerima tawaran gue atau enggak. Gue lakuin ini demi Hevin. Dia butuh kita Zen, Hevin rewel dan cengeng nyebut Mama terus, 3 hari doang nggak ketemu lo, dia sedih banget.”

Hazen melihat wajah bulat sang anak yang sembab karena habis menangis. “Hevin...” lirihnya.

Ia menatap Marvin lagi. “Tapi kak, bukannya resiko besar? Kalo gue pura-pura jadi tunangan lo padahal nantinya kita nggak akan tunangan?”

“Bisa dipikir belakangan Zen, ada 1001 cara yang bisa kita lakuin di masa depan. Untuk sekarang, bukannya lo pengen perjodohan ini berakhir?”

“Iya. Oke, gue mau. Demi Sandra, demi Hevin, gue mau.”


Marvin dan Hazen kembali ke area pernikahan dengan terpisah. Hevin sudah berada di gendongan Marvin. Hazen menghampiri Sandra. Sedangkan Marvin memilih tidak bergabung, ia akan muncul nanti disaat waktunya ia muncul.

Ucapan janji suci antara Noah dan Jagat pun terucap, kemudian saling memasangkan cincin dan berakhir berciuman setelah dinyatakan pendeta bahwa mereka sah menjadi sepasang suami suami.

Riuh tepuk tangan bahagia dan ucapan selamat berdatangan menghampiri pasangan baru menikah itu. Sandra dan Hazen maju untuk mengucapkan selamat.

Marvin menghampiri Erin. “Rin, sebelumnya makasih atas bantuan lo. Tapi sekarang, lo nggak perlu pura-pura lagi untuk jadi calon tunangan gue.” Bisiknya.

“Eh? Kenapa begitu? Daddy lo nggak nanyain emang?”

Marvin tersenyum simpul. “Mama nya Hevin ada disini, gue bakalan ngenalin dia sebagai calon tunangan gue.”

“Apa? Bukannya lo bilang lo nggak bisa sama dia?”

“Tadinya gitu, tapi Hevin meyakinkan gue buat nggak misahin dia dari Mama nya.”

Erin menghela nafas, lalu menatap sendu keramaian di depannya. Semua tamu berkerubungan mengucapkan selamat kepada pengantin. “Jadi? Gue harus ngapain sekarang?”

“Lo duduk aja, nggak perlu temuin Daddy. Maaf Rin.”

“Nggakpapa, gue anggep gue liburan kesini hahaha. Gue boleh keluar nggak? Gue mau nyari udara seger.”

Marvin menganggukkan kepalanya. “Boleh, nanti gue dm kalo acaranya udah selesai.”

“Iya.” Lantas Erin pergi dari area pernikahan itu, keluar mencari udara segar menelan kekecewaannya dalam-dalam.

Marvin menarik napas dalam dan menghembuskannya sebanyak tiga kali. Kemudian menatap bayi gembul di gendongannya yang sedang menggigiti teether Strawberry nya. “Kita jemput Mama ya? Hevin nggak akan kehilangan Mama, Mama nggak akan diambil orang lain, oke?”

Si kecil hanya menatap sang Papa dengan kerjapan matanya.

Hihihihi papa papaaaaa mmmaaa mama!

Dengan langkah kaki mantap, Marvin maju membelah kerumunan untuk bertatap muka dengan Daddy dan Papanya.

Jagat langsung me notice kedatangan sang putra. “My son! Dari mana aja? Kok baru keliatan? Eh? Ini siapa Vin?” Tanya nya menunjuk Hevin.

Noah ikutan menimbrung, sedangkan Hazen yang berada di samping Bunda nya sudah merinding.

“Dad, maaf aku baru kelihatan. Karena aku lagi mikirin cara gimana ngomongnya sama Daddy.”

“Ngomong apa? Mana calon tunanganmu? Katanya kamu mau bawa kesini dan kenalin ke Daddy?”

“Iya aku bawa dia kok, dia ada disini.”

“Mana? Sini kenalin sama Daddy.” Alis Jagat naik sebelah, menantang sang putra.

Dan secara tiba-tiba, Marvin berjalan mendekati Hazen yang tak jauh darinya. Membuat berpuluh-puluh pasang mata menatap heran. Hazen tak bisa berkutik, tubuhnya seakan lunglai dan hanya bisa mengikuti Marvin. Sandra mengerutkan dahinya tak mengerti dengan apa yang dilakukan adek tirinya itu. Sedangkan Kirana dan Kaisar juga hanya diam, bingung dengan apa yang terjadi.

Marvin kini berdiri di depan Jagat dan Noah, menggenggam erat tangan Hazen yang juga menggenggamnya sedikit gemetar.

Daddy, Papa. Aku mau kenalin ke kalian siapa calon tunanganku. Namanya Hazen Aditya Buana. Dan anak ini, adalah anakku dan Hazen.”

Hazen meremat tangan Marvin semakin keras, Marvin sedikit meringis merasakan remasan di tangannya yang kencang. Ada hening yang terjadi, seperti kaset rusak, ucapan Marvin terus berdengung di telinga orang-orang disana.

Plakkk

“Kak Marvin!” Teriak Hazen.

Oooeeeekkkk papa ppaaa papa hiks hiks papaaa

Jagat baru saja menampar Marvin kencang, sampai Hevin kaget.

“Bicara apa kamu? Dimana letak otakmu Marvin? Dia, yang kamu sebut calon tunanganmu adalah calon suami kakakmu! Dia calon suami Sandra, Marvin.” Bentaknya menggebu-gebu.

“Zen, tenangin Hevin dulu ya?”

“Tapi kak—”

Marvin tersenyum simpul. “Nggakpapa Zen, biar gue yang urus ini semua. Kasian Hevin, dia takut.”

Akhirnya Hazen menurut, menggendong Hevin dan membawanya menjauh dari suasana mencekam itu tadi.

“Ssstt udah sayang, ini Mama. Jangan nangis lagi ya?”

Mmaaama mama hiks hiks hiks Papaaa hiks

Kirana dan Kaisar langsung menghampiri Hazen.

“Hazen, apa maksudnya ini? Jelasin ke Ayah sekarang juga.”

“Hazen, ini beneran anak kamu? Tapi—gimana bisa Zen?” Tanya sang Bunda tak percaya.

“Ayah, Bunda maaf. Tapi Kak Marvin benar, dia anak aku sama anak dia.”

“Bagaimana bisa? Kamu sama Marvin hamilin 1 cewek?”

“Bunda, enggak gitu. Hevin anak aku sama Kak Marvin, seseorang ngasih amanah untuk besarin Hevin ke aku sama Kak Marvin. Dan sejak saat itu, aku sama Kak Marvin sepakat buat besarin dan jaga Hevin, menjadi orangtua buat dia.”

“Lalu? Tentang calon tunangan itu?” Tanya sang ayah mencoba sabar.

“Ayah, maaf. Aku mau Ayah nepatin janji Ayah dulu. Aku nggak cinta sama Sandra Ayah, aku dan Sandra sudah sepakat untuk membatalkan perjodohan. Niatnya hari ini kami akan memperjelas semuanya. Tapi aku baru tau Kak Marvin adalah adek tirinya Sandra, aku—aku nggak mau pisah sama Hevin Ayah.”

“Ini masih 3,5 bulan Zen. Wajar kalo kamu belum cinta sama Sandra. Tapi kenapa kamu udah sepakat kayak gitu sama Sandra? Ayah janji lepasin kamu kalo kamu udah ketemu orang yang kamu cinta, bukan seperti ini.”

Hazen menghela nafas, ia harus bohong dan mengatakan ini agar orangtuanya mau melepaskan dirinya dari ikatan perjodohan ini. “Sudah Yah, aku udah ketemu orangnya.”

“Siapa? Bawa kesini.”

“Papanya Hevin, Kak Marvin.”

Marvin beradu tatap dengan Jagat dan Noah, di sampingnya sudah ada Sandra yang menemani Marvin sembari menengakan sang Daddy.

“Apa? Sekarang apa Marvin? Kamu tega sama Jelita? Dia kakak mu Marvin...” Jagat memijat pelipisnya.

“Marvin, karena sekarang kamu anak Papa juga, Papa berhak marah dan mukul kamu kan?” Tanya Noah.

“Papa! Jangan! Kalo sampe Papa mukul Marvin, aku nggak mau ketemu Papa lagi!” Ancam Sandra berdiri di depan Marvin sembari merentangkan tangannya.

“Minggir kamu Sandra, Papa harus menghajar Marvin biar sadar.”

“Papa, dengerin Sandra. Aku mau bicara sesuatu, hal penting yang pengen aku sampein ke Papa sejak beberapa minggu lalu. Tapi aku terlalu takut buat bilang, dan sekarang aku mau bilang.”

“Apa? Bilang ke Papa.”

“Aku sama Hazen udah sepakat buat batalain perjodohan ini, karena kami nggak cocok, kami nggak bisa bersama. Kami nggak punya perasaan untuk masing-masing. Kami ingin perjodohan ini batal.”

“APA MAKSUD KAMU SANDRA??? KAMU MAU MELINDUNGI ADIKMU?” Noah murka.

“Nggak, aku nggak lindungin Marvin. Aku berkata sejujurnya. Kalo Papa nggak percaya, Papa bisa tanya Hazen.”

Noah menggertakkan giginya lalu menghampiri Kaisar dan Kirana yang sedang berbicara dengan Hazen. Diikuti oleh Sandra serta Marvin.

“Hazen, om mau bicara.”

Hazen terkejut dan menoleh. Hevin menyaringkan tangisnya.

Papaaaa pppa ppaa hiks hiks Hevin meraih raih ingin digendong Marvin. Hazen pun menyerahkan Hevin kepada Marvin.

“Iya sayang, Papa disini. Jagoan kecil kenapa nangis? Jangan nangis yaa, Papa disini nggak kemana-mana.”

Interaksi itu dengan jelas dapat didengar oleh orangtua Hazen, orangtua Marvin dan Sandra.

Hiks papa pppaaa papaaa mmmaa mama hiks hiks

“Iya, Mama juga disini. Nggak akan pergi, jadi anak pinter udahan ya nangisnya?” Kata Marvin lembut.

Noah menghela nafas, Jagat makin pusing dan mengusak rambutnya.

“Hazen, om mau tanya. Benar jika kamu sama Sandra sepakat batalin perjodohan?”

“Iya om.” Jawab Hazen mantap, ia tidak boleh ragu. Ia tersentuh melihat perjuangan Marvin mempertahankan Hevin dan dirinya.

“Kenapa? Kalian nggak saling cinta?”

Hazen menatap Sandra dan mendapat anggukan serta senyuman hangat Sandra. “I-iya om, kami nggak saling cinta.”

“Apa kamu nggak pengen kasih Sandra kesempatan lebih lama lagi?”

“Maaf Om, tapi Ayah sudah janji akan melepaskan ikatan perjodohan ni kalau aku sudah menemukan orang yang aku cinta, Om.”

“Dan sekarang kamu menemukannya? Siapa?”

“Kak Marvin, aku cinta sama dia.”

Marvin membulatkan matanya dan menatap Hazen penuh selidik.

“Marvin?”

Ia kaget karena Daddy memanggilnya.

“Ya Dad?”

Daddy mohon kamu jawab dengan jujur, apa kamu mencintai Hazen?”

Hazen mengigit bibir dalamnya, ia takut Marvin akan jujur jika Marvin tidak mencintainya, dan kebohongan ini akan segera berakhir.

Marvin melirik Hazen dan menatapnya sembari tersenyum. “Cinta, aku mencintai Hazen, Mama dari anakku.”

Deg

Rasanya jantung Hazen merosot hingga usus 12 jari. Semua orang juga syok mendengarnya disana. Sandra tersenyum miris, ternyata Hazen akan menjadi adiknya. Kenapa orang yang disukai Sandra harus berakhir menjadi adiknya? Menyedihkan.

Noah dan Jagat saling pandang, Kirana dan Kaisar mendekati Noah dan Jagat.

“Noah, Jagat, jika kalian menentang hubungan ini, kami akan berusaha menyadarkan Hazen, agar bisa kembali bersama Sandra, kami—”

Ucapan Kirana terpotong karena Noah mengangkat telapak tangannya. Meminta Kirana berhenti bicara.

“Cukup.”

“Marvin, Hazen. Jika kalian memang saling mencintai, Om nggak bisa berbuat apa-apa. Itu hak kalian untuk saling mencintai, Om juga nggak akan rela jika Sandra menikah dengan Hazen karena terpaksa, Om nggak mau liat Sandra sedih.”

Jagat mengghela nafas lalu menarik Marvin mendekat, begitupun juga dengan Hazen. “Daddy sama Noah akan merestui kalian, dengan syarat ini semua bukanlah rekayasa kalian semata. Jika ini hanya sebuah drama yang kalian buat, Daddy nggak akan tinggal diam. Daddy akan kirim Marvin ke Canada dan Hazen nggak akan bisa nemuin Marvin lagi.”

Marvin dan Hazen kompak megangguk.

“Aku nggak akan kecewain Daddy, trust me Dad.”

“Om Jagat, terimakasih.” Ucap Hazen.

“Om Noah, orang yang sangat baik, maafkan aku Om sudah mengecewakan Sandra dan Om.”

Noah terkekeh lalu menepuk pundak Hazen. “It's okay, lagian sekarang kan Marvin juga anak Om. Apa bedanya? Kamu tetap akan jadi menantu Om kan?”

“Tapi balik lagi ke orangtua kamu, tanya mereka. Apa mereka merestui kalian?”

Hazen menatap Bunda dan Ayahnya. Kaisar menghela nafas setelah berkode mata dengan istrinya. “Asalkan Hazen bahagia, kami setuju. Jangan kecewakan Ayah sama Bunda ya Zen? Seperti kata Om Jagat, kami harap ini bukan sebuah drama yang kalian ciptakan.”

“Iya Ayah, Hazen nggak akan kecewain kalian.”

Papaaaa Mamaaaa pppaaa mmmaaaaa

“Papa disini sayang.”

“Mama juga disini, senyum lagi yuk anak ganteng.”

Hihihihi ppaaa papa mmma mama!

Marvin dan Hazen saling tatap dan melempar senyum. Itu bukan senyum kepura-puraan semata karena rencana mereka berhasil. Melainkan senyum tulus yang benar-benar melegakan hati keduanya.

Bahkan orangtua Marvin dan Hazen juga ikut tertawa gemas melihat Hevin. Sepertinya Sandra perlu menenangkan diri setelah ini mengobati rasa syok nya.