Who Are You, Baby?

Dengan kecepatan tinggi, Hazen menancapkan gas pada motor KLX kesayangannya menuju asrama. Ia tak habis pikir, ini Marvin sedang mengajaknya bercanda agar dirinya pulang cepat atau memang betulan ada bayi di asrama mereka?

Pikiran Hazen bercabang, berpikir betapa anehnya jika memang ada bayi di dalam asrama mereka. Secara, Hazen dan Marvin selalu mengunci pintu dari luar, hari ini seingat Hazen, Marvin bilang akan berada di kampus sampai malam untuk mengerjakan tugas kelompok juga seperti dirinya.

Tapi kenapa Marvin sudah kembali ketika ini masih pukul 3 sore?

Dan lagi, kenapa bisa ketika pintu dikunci, ada yang bisa menerobos masuk ke dalam asrama mereka untuk menaruh bayi? Bukannya asrama Neo Dream itu pengamanannya ketat? Tidak ada yang bisa masuk asrama tanpa tanda pengenal asrama.

Benar, setiap penghuni asrama diberi kartu identitas asrama, ketika masuk gerbang asrama, satpam akan meminta kartu identitas nya untuk mengecek, jika tidak memiliki, maka tidak diperbolehkan masuk demi menjaga keamanan.

Kecuali, jika penghuni asrama datang menjemput orang itu sampai gerbang dan bilang bahwa orang itu memang disuruh datang oleh penghuni asrama, satpam akan meloloskannya. Setidaknya ada konfirmasi dari pihak penghuni asrama jika orang luar itu memiliki kepentingan dengannya.

Maka dari itu, Hazen ingat betul, ia tidak memiliki janji dengan siapa-siapa untuk bertemu orang di asrama. Lagian, sudah tercatat di dalam peraturan asrama 119 bahwa Hazen tidak boleh membawa orang masuk ke asrama tanpa seizin Marvin.

Atau memang Marvin punya janji dengan seseorang? Tapi jika iya, kenapa Marvin pun panik melihat bayi itu di dalam asrama mereka?

Ah tidak tahu, Hazen mulai pusing sekarang menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. Ia mempercepat laju gas nya agar cepat sampai, ia sudah sangat penasaran dengan peristiwa apa yang datang kepadanya tiba-tiba seperti ini.


Hazen menyandarkan tubuhnya di pojokan lift yang mengantarkannya menuju lantai 3—tempat tinggalnya sejak satu bulan lalu.

Ting

Bunyi pintu lift terbuka membuat Hazen segera melangkahkan kakinya sedikit tergesa menuju ruangan 119.

Ketika ia sampai di depan pintu 119, ia mencoba memutar knop pintunya, barangkali tidak dikunci oleh Marvin karena Marvin ada di dalam.

Dan benar saja, pintu itu langsung terbuka setelah Hazen memutar knop nya. Hazen membulatkan mata dan membeku di tempatnya berpijak, ketika pertama kali ia masuk, gendang telinganya langsung menyerap bunyi tangisan bayi yang begitu keras dan memilukan.

“What the fuck? Jadi ini beneran? Kak Marvin nggak lagi kibulin gue kalau ada bayi disini?” Batinnya masih mencerna suara tangisan bayi yang memenuhi indra pendengarnya.

“Duh, bisa diem nggak? Gue nggak ngerti kenapa lo nangis? Jangan protes dong kalau misal emang gue gendong nya nggak enak! Gue nggak pernah gendong bayi tau!”

Please, lo diem dong bayi, gue pusing banget ini udah 30 menit dengerin lo nangis dan gendong lo! Pegel buset tangan gue, lo agak berat juga anjay.”

“Arghh, Hazen mana si? Kok lama banget nyampenya. Awas aja kalo itu bocah tengik nggak balik dalam 10 menit, gue buang semua baju dan kopernya ke sungai belakang asrama!”

Begitulah yang di dengar Hazen di tengah tangisan bayi, yang sudah bisa Hazen tebak itu pasti suara Marvin yang sedang mengomeli bayi.

Hazen mendadak pusing, ia memijat pelipisnya dan menggerakkan kembali kedua kakinya yang terpaku di ambang pintu untuk menghampiri Marvin setelah mengunci pintu.

Tap tap tap

Oeeeek oeeeek oeeekk

Oh My God, Hazen makin pusing saat kini dirinya ada di belakang Marvin beberapa meter. Karena suara tangisan bayi itu makin kencang dan merusak gendang telinganya.

“Gue bilang jangan nangis, susu nya kurang enak? Kok nggak lo minum sih? Ya maap kalo susunya nggak enak, gue nggak ngerti caranya buat susu bayi!”

Marvin masih belum tersadar jika Hazen sudah ada di belakangnya, mungkin karena suara tangisan bayi itu sangat kencang sehingga seluruh atensi Marvin ada pada bayi itu dan tidak menyadari jika Hazen pulang.

“Ya Tuhan, gue harus balik ke kampus buat nerusin kerja kelompok, please lo berhenti nangis dan tidur ya? Tunggu Hazen pulang, kalo dia udah pulang lo boleh nangis lagi sepuas lo, minta gendong sama Hazen.”

Hazen menganga seketika mendengar monolog Marvin kepada sang bayi. “Kurang ajar, bisa-bisanya lo mau tumbalin gue dengan sengsara sendirian? Apa gue keluar aja dan nggak usah pulang sampe besok? Biar Marvin urus tuh bayi sendirian?”

Pikiran jahat Hazen melalang buana setelah mendengar ucapan Marvin beberapa detik yang lalu.

Tapi sekali lagi, Hazen orang yang baik. Hatinya terlalu baik dan tidak akan pernah tega untuk melihat orang lain menderita ketika dirinya bisa menolong. Meski Hazen juga sama-sama 0 tentang ilmu menjaga bayi, tapi dengan modal nekatnya, ia akan membantu Marvin.

Kasihan sekali kakak tingkatnya itu, semester 3 sudah lumayan hectic dengan tugas menumpuk, tidak seperti dirinya yang tugasnya bisa dikebut dalam semalam dan tak terlalu banyak karena masih maba.

Menghela nafas dalam, akhirnya Hazen memutuskan untuk mengalah dan membantu Marvin. Ia mendekati Marvin dan menepuk pundak lelaki yang lebih tua.

“Kak Marv!”

Marvin terlonjak sedikit dan menoleh, ia tampak terkejut dengan kehadiran Hazen yang tiba-tiba sudah ada di belakangnya. “Lo kapan datengnya? Kok gue nggak denger ada orang masuk?”

Oeekkkk oooeeekkk oooeekkk

Hazen berdecak, sungguh demi Tuhan, suara tangisan bayi itu sangat kencang. Bahkan Marvin sampai bergidik ngeri.

“Gimana mau denger kalo aja yang lo gendong nangis sekenceng ini dari tadi?”

Marvin menghela nafas lelah, “Tangan gue kesemutan, cepet gendong dia. Gue udah 30 menit kayak gini dan dia masih aja nangis, udah gue kasih susu tapi nggak mau diminum sama dia.”

“Zen, gue harus balik ke kampus. Juan udah mencak-mencak dari tadi karena gue ijin balik buat ambil flashdisk, bukan buat urusin bayi nangis.” Tanpa meminta persetujuan Hazen, Marvin langsung menyerahkan sang bayi itu ke dada Hazen.

Dengan spontan, Hazen pun memeluk bayi yang ada di dekapannya. “Heh jangan gila, kalo ini bayi jatuh gimana? Bilang dulu dong kalau mau ngasih bayinya!”

“Lo lama, dibilang gue buru-buru juga.” Ucap Marvin memijati kedua lengannya bergantian karena kebas menggendong bayi itu selama 30 menit.

“Kenapa ini bayi ada disini Kak?”

Marvin yang sedang berjalan menuju kamarnya pun diekori oleh Hazen yang menggendong bayi menangis.

“Mana gue tau? Gue masuk asrama tetiba udah ada nih bayi di sofa abis itu tetiba nangis pas liat gue.”

“Lo ada janjian sama orang nggak sebelumnya? Siapa tau ini anak orang yang ada janji sama lo?”

“Nggak ada, gue nggak pernah ijinin siapapun bertamu di asrama gue kecuali Tristan and the genk.”

Marvin berhenti di ambang pintu kamarnya lalu menoleh ke belakang. “Ngapain?”

Hazen menaikkan sebelah alisnya. “Apanya yang ngapain?”

“Ngapain lo ngekorin gue kayak anak ayam sampe kamar? Lupa aturan?”

“O-oh, ya nanya aja sih karena penasaran.”

“Gue nggak tau ini anak siapa, lo urus dulu dia sampai gue pulang. Langkah selanjutnya apa biar kita pikir abis gue pulang.”

“Anjir kak tapi gue juga ada tugas dan belum selesai, gue udah bilang ke Yosa kalo ntar malem udah gue kumpulin!!!”

“Ya udah, lo sambil ngerjain tugas aja kalo gitu.”

“Hah? Gimana bisa fokus gue kalo dia nangis terus????”

“Ntar kalo capek dan suaranya mau habis juga diem sendiri.”

“Bangke, nggak berperi kemanusiaan banget lo!”

Marvin menendang pintu kamarnya sedikit kencang.

Brakk

Hazen terlonjak kaget dan tangisan bayi di gendongannya makin kencang.

Ooeekkk oeeekk oeeeekkk

“Kak! Kenapa pake nendang-nendang pintu segala sih? Liat, bayinya kaget dan makin nangis, brengsek.”

“Zen, please turutin apa kata gue tadi. Gue beneran harus balik ke kampus, besok gue ada praktek dan kerjaan kelompok gue belum jadi untuk praktek besok, tolong ngertiin gue. Hari ini gue hectic banget Zen, gue capek. Jangan buat gue makin marah karena lo yang nggak mau nurut dan toleransi sama keadaan gue.”

Hanya ada suara tangisan bayi yang masih kencang yang mengudara di suasana mencekam ini. Hazen tidak marah kok, ia hanya kesal karena kelakuan Marvin tadi membuat bayi ini makin tidak bisa diam. Hazen kasian melihat bayinya yang sudah memerah hampir biru mukanya karena lama menangis, bahkan suaranya pun sudah serak-serak. Dan seenak jidatnya, Marvin membuat bayi ini makin nangis.

Fine, nggak usah pulang sekalian nggakpapa, gue urus bayi ini sendirian. Lo urus aja tuh tugas penting lo.” Ucap Hazen akhirnya meninggalkan Marvin berdiri sendirian di depan pintu kamar.

Seusai kepergian Hazen, Marvin terdiam sebentar. “Gue salah? Apa salahnya gue lebih mentingin tugas yang emang buat kebaikan gue? Arghh udahlah bodoamat, Hazen pundung juga nggak ada pengaruhnya buat gue.”


Hazen sedang duduk di sofa, di lengannya ada sang bayi yang masih sesenggukan sembari meminum susu formula dari dot. Serta telapak tangan kirinya yang menepuk-nepuk pantat si bayi agar bisa lebih tenang.

Seingat Hazen, Bunda nya pernah cerita dulu bagaimana nakal dirinya yang susah berhenti menangis saat bayi jika tidak ditepuk-tepuk pantat, lengan, punggung atau kepalanya. Ingatan itu membawa keberuntungan untuk Hazen saat dimasa-masa ini.

Karena berkat perkataan Bundanya, Hazen bisa menidurkan si bayi rewel ini meski masih tersisa sedikit sesenggukan.

Semua tangannya bekerja, tangan kanan nya ia gunakan untuk membalas pesan-pesan penting yang masuk, serta digunakan untuk mengetik keyboard laptop demi meneruskan tugas kelompok bagiannya.

Hazen itu jenius, dia bisa mengetik hanya menggunakan 5 jari kanan nya. Meski tidak bisa secepat saat menggunakan 10 jarinya, tapi Hazen tidak terlalu kesusahan untuk mengetik dengan 5 jari saja.

Ngomong-ngomong soal susu formula, Hazen membuatkan yang baru. Karena si bayi tidak mau minum yang dibuat oleh Marvin, setelah Hazen perhatikan susu formula itu, ternyata memang bukan seperti susu, karena Marvin terlalu sedikit menuangkan bubuk susunya sedangkan airnya sampai penuh. Tentu saja rasanya hambar, mana mau si bayi meminumnya?

Hazen menghela nafas kasar. Benar-benar gila, orang gila mana yang menaruh bayi di asrama Marvin? Apa orang itu ingin bayi ini wafat dengan cepat setelah berada di tangan Marvin?

Tubuh Hazen lelah, ia menunduk untuk memperhatikan wajah si bayi yang tengah tertidur lelap. Wajah nya sudah tidak memerah karena si bayi sudah tidak menangis.

“Ini bayinya cewek apa cowok ya? Lucu banget, cantik lagi. Putih bersih juga.”

“Kira-kira ini umurnya berapa? Kok rambutnya udah lebat dan udah nggak pakai gedong bayi.”

“Um—6 bulan deh kayaknya. Soalnya mirip foto-foto bayi gue pas umur 6 bulan. Gedenya juga segini.” Ujarnya mengingat album foto masa kecilnya yang disimpan oleh Bunda.

Bundanya itu, suka sekali menunjukkan foto-foto bayi Hazen kepada dirinya. Kata Bunda begini, “Zen, kamu waktu bayi loh gembul banget kayak bakpao itu. Mana nggak punya hidung karena hidungmu ketutup kedua pipi kamu yang tumpah-tumpah. Tapi bibir kecil kamu cantik banget Zen, bentuknya hati gitu haha. Pas udah gede gini, hidung kamu maju, pipi kamu ngempes dikit tapi bibirnya masih tetep bentuk hati. Ih gemes banget pokoknya kamu waktu bayi, sekarang udah ganteng dan dewasa aja bayi nya Bunda”

Begitu kata Bunda kepada Hazen beberapa kali saat Bunda menunjukkan foto-foto masa kecilnya.

“Tangan gue tremor duh, capek juga gendong bayi. Padahal beratnya kek nya gak ada 5kg tapi kenapa capek banget ya? Jadi gini yang dirasain Bunda dulu waktu rawat gue?”

Hazen jadi merindukan Bundanya, kangen cuddle bersama sang Bunda jika begini. Hazen ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada Bunda karena sudah membesarkan Hazen hingga saat ini.

“Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali. Bagai sang surya menyinari dunia.”

Hazen tetiba bersenandung lagu itu dengan lirih, dan yang ia dengar selanjutnya adalah hembusan nafas teratur bayi di gendongannya, sudah tidak ada sesenggukan lagi, alias benar-benar tidur terlelap karena dot nya pun terlepas dan jatuh di lantai.

“Lah, cepet banget pulesnya, tadi perasaan masih sesenggukan.” Ucapnya sembari melihat fitur wajah sang bayi.

Hazen mengambil dot yang jatuh lalu berdiri dan berjalan menuju kamar miliknya. Ia capek menggendong bayi itu selama satu jam lebih, karena bayi nya sudah tidur nyenyak, maka Hazen akan membaringkan si bayi di kasur saja agar tidurnya lebih nyaman.

Hazen meletakkan bayi nya di tengah-tengah, lalu menghalangi sisi kanan dan kirinya menggunakan bantal agar si bayi tidak jatuh saat bergerak. Kepala sang bayi, Hazen ganjal dengan selimut yang ia lipat kecil membentuk bantal.

“Huft, nidurin bayi aja deg-deg an banget. Kayak gini bukan sih cara nidurin bayi biar aman? Harusnya aman, bantal kanan kiri ini lebih berat daripada bayinya.”

Selesai menidurkan sang bayi, Hazen meregangkan tangan dan pinggang nya. Sampai leher pun ia lakukan peregangan. Karena jujur saja, tubuh Hazen rasanya macam remuk redam.

“Oke, sekarang aman. Saatnya gue balik ngambis, atau ntar Yosa bakalan mukul gue kalo nggak selesai ntar malem.” Hazen keluar dari kamarnya tanpa mengunci pintu, agar jika sang bayi menangis, Hazen bisa mendengarnya.

Saat Hazen ingin duduk kembali di sofa mengerjakan makalahnya, ia tidak sengaja tersandung sesuatu hingga ia jatuh tersungkur dengan tidak aesthetic nya di lantai.

Tidak terlalu keras sih, jadi Hazen tidak merasakan sakit kebangetan, ya—hanya nyeri dikit di lutunya. “Bangsat, siapa yang jegal kaki gue sih? Setan asrama? Muncul lo setan! Gue nggak takut sama lo, gue punya Tuhan!”

Ucapnya sedikit menurunkan volume suara, mengingat di dalam sini tidak hanya ada dirinya, ada bayi yang tengah tidur lelap di kamarnya.

Hazen menggaruk tengkuknya, ia merasa gila sekarang. Mana mungkin ada hantu asrama? Harusnya Hazen juga bisa lihat sejak pertama kali datang jika memang ada hantu. Fyi, Hazen anak indihome guys—salah. Indigo maksudnya. Dan hanya keluarga serta 5 sahabatnya yang tahu soal ini.

Ia berdiri dan merunduk untuk melihat benda apa yang menyandungnya tadi. Dan tepat di bawah kaki meja ada sebuh tas besar berwarna abu-abu. Hazen berjongkok dan menariknya keluar dari bawah meja.

“Ini perlengkapan bayi ya?” Tangannya mulai mengeluarkan satu persatu barang yang ada di dalam tas besar itu.

“Wow, hahaha lucu-lucu banget.” Ucapnya ketika ia mengeluarkan beberapa setel baju, sepatu bayi, kaos kaki bayi.

“Eh ada boneka juga. Dikasih perlengkapan mandi sama apaan dah ini? Minyak telon? Parfum? Ooooh skincare bayi tuh gini bentukannya?” Tanyanya pada nyamuk yang terbang di atasnya.

Image

Hazen memembawa tas bayi itu beserta isi-isinya ke dalam kamarnya. Daripada ia dimarahi Marvin karena berantahkan, lebih baik berantahkan di kamarnya saja, Marvin tidak akan melihatnya.

Saat Hazen ingin menata kembali baju-baju dan peralatan bayi yang ada di dalam tas, sebuah amplop jatuh mengenai punggung kaki nya dari celah-celah baju yang terlipat.

Hazen mengernyitkan dahinya dan mengambil amplop itu dan membuka nya. Hazen pikir, ini amplop akan berisi uang tunai atau surat tes DNA mungkin, untuk menunjukkan siapa orangtua bayi ini, namun ternyata Hazen salah.

Bukan itu isinya, melainkan sebuah surat yang ditulis tangan dengan rapi. Hazen membaca nya dengan teliti.

Beberapa menit setelahnya...

“Anjrit, apa-apaan dititipin? Dikira ini asrama panti asuhan?” Cicitnya lirih, takut membangunkan si bayi.

Hazen keluar dari kamar dengan masih membawa surat itu di tangannya.

“Ini udah gila kalau kata gue, orangtua macam apa nitipin anaknya sama orang asing? Dan lagi—dia nitipin ke mahasiswa? Yang nggak pernah megang bayi sama sekali? Heol, beneran sinting in bapaknya.”

“Dia kenal kak Marvin pasti kalau sampe bisa bobol nih asrama. Ck, harus bicarain ini nanti sama Kak Marvin buat langkah selanjutnya.”

Hazen menyandarkan punggungnya di sofa setelah mendudukkan tubuhnya, menatap layar laptop nya yang menyala, menunjukkan deretan kalimat yang belum terselesaikan.

Benar, tugas makalahnya.

“Aish, apa ini feeling yang gue bilang ke Marvin beberapa hari lalu? Seriously? Ya masa dapet bayi si anjir, gue berharapnya tadi dapet emas batangan gitu kek.”

Drrtt Drrt Drrrt

Getaran ponsel di sakunya pun menyadarkan dirinya dari mengomel sendirian, ternyata sahabat-sahabatnya lah yang membuat ponselnya bergetar terus menerus.

ོ ┌ ꒰⍉꒱─ ➤ Flo ༘`⍜´ˎ-