Your Eyes Tell

Suara knalpot motor KLX 250 milik Hazen terdengar memasuki garasi apartemen milik Marvin. Hari sudah larut malam, tadi Hazen dan Golden Boyz berkumpul di asrama Raden, kumpul untuk terakhir kalinya. Sebetulnya, besok pagi mereka juga akan mengantar Raden ke Stasiun. Namun dasarnya anak-anak itu sedikit berlebihan atau karena terlalu menyayangi Raden hingga ingin menghabiskan sisa waktu yang ada bersama. Entahlah, sepertinya dua-duanya benar.

Setelah mencabut kunci motornya, Hazen melangkah lesu, saat ia akan memasukkan password, pintunya justru terbuka dahulu. Hazen terkesiap dan mendongakkan kepalanya, di depannya ada Marvin yang berdiri menjulang sembari tersenyum hangat menyambut Hazen.

“Akhirnya lo pulang juga. Do you need my hug, honey?” Ucap Marvin merentangkan tangannya lebar, siap menyambut sang kekasih ke dalam pelukannya.

Hazen yang sudah lesu karena hatinya sangat sedih pun tak kuasa, bibirnya melengkung ke bawah dan mata nya mulai berkaca-kaca. Lantas dengan cepat, ia menghambur ke pelukan Marvin setelah pintunya tertutup. “Kak Marvin hiks Raden hiks Raden pergi hiks hiks, pergi jauh hiks, ninggalin gue hiks.”

Marvin menumpukan dagunya di atas kepala kecil Hazen, tangan kirinya mengusap punggung sang kekasih sedangkan tangan kanannya mengusap lembut kepala Hazen. “Iya, gue tau. Udah pamitan baik-baik kan?”

Hazen tidak menangis kencang, ia hanya menangis sesenggukan. “I-iya, baik-baik kok hiks, besok gue anter dia ke stasiun sama yang lain juga. Gue hiks sebenernya nggak sanggup anter Raden pergi, tapi hiks gue nggak mau kesempatan gue untuk lihat Raden yang terakhir kalinya hilang gitu aja hiks. Gimana dong hiks, Kak?”

Pelukan Hazen mengerat, ia mendusal di dada Marvin, menumpahkan tangisnya di kaos putih tipis yang Marvin gunakan. Marvin menghela nafas lalu merenggangkan pelukannya, kemudian menangkup wajah mungil Hazen, menatap kedua manik hazel yang sembab itu. “Ngobrol di kamar gue aja mau nggak? Hevin udah tidur, kalo lo masih terusin nangis, yang ada malah ganggu Hevin.”

“Mauuuu, hiks gue masih mau nangis hiks. Dari tadi gue nahan buat nggak nangis di depan temen-temen gue. Rasanya sesek banget liat Raden ketawa tadi bercanda sama mereka, padahal gue tau Raden hatinya hancur juga karena harus ninggalin mereka besok.” Hazen menarik ingusnya, membuat Marvin terkekeh gemas.

“Keliatan kalo lo pengen nangis kejer, suara tarikan ingus lo kenceng, pasti banyak ingusnya tuh di dalem.”

Hazen mencubit lengan Marvin cuma-cuma, si empunya teriak kesakitan.

“A aduh aduh Zen ampun ampun, jangan dicubit duh, sakit bener anjir.”

“Rasain! Gue lagi sedih bisa-bisanya malah dikatain. Pacar laknat.” Ucapnya melepaskan cubitan mautnya dari lengan Marvin.

Marvin mengusap bekas cubitan itu kemudian membalasnya dengan mencubit kedua pipi gembul Hazen. Lebih ke menguyel-uyel pipinya Hazen sih...

“Kak Marvin ih, jangan digosok-gosok pipi gue. Bukan ale-ale loh ini.” Hazen berusaha melepaskan jemari Marvin yang menguyel-uyel pipinya.

“Aduh gemes banget pacar gue kalo ngambek haha. Gue tuh lagi hibur lo, bukan ledekin. Nggak lucu ya emang?” Katanya melepaskan jemarinya dari Pipi Hazen, lantas berganti mengusap pipi Hazen lembut.

“Sedikit lagi lucu, tapi gue sedih nya kebangetan, jadi nggak lucu.”

Marvin tersenyum simpul lalu berjongkok memunggungi Hazen. “Ayo naik, nggak capek apa berdiri terus?”

Hazen mengernyitkan dahinya. “Lo mau gendong gue gitu maksudnya?”

“Ya iya anjir, lo kira gue jongkok gini mau ngapain?”

Hazen menarii ingusnya lagi lalu mendekati Marvin. “Gue berat, nanti punggung lo encok.”

“Nggakpapa, bisa pake koyo nanti.”

“Serius Kak, gue berat kayak sapi.”

Marvin menepuk jidatnya. “Iya, mau lo berat kayak gajah juga nggakpapa, Hazen.”

“Nanti lo patah tulang, ya kali lo mau gendong gue buat naik ke lantai 2? Yang bener aja anjir kak?”

Habis sudah kesabaran Marvin. Ia berbalik dan menghadap Hazen, tanpa aba-aba ia memeluk pinggang ramping Hazen dan mengangkatnya, membuat Hazen terkejut setengah mati.

“Aaa Kak Marvin, gue hampir aja jatuh, bego!” Protesnya dan tangannya spontan memeluk leher Marvin sedangkan kedua kakinya mengapit pinggang Marvin. Karena Marvin mengangkat tubuh Hazen untuk digendong koala.

Marvin tergelak tawa. “Bawel sih, dibilang suruh naik dari tadi pake ngong ngang ngong ngeng segala. Lama.” Katanya, mengeratkan pelukannya di pinggang Hazen dan mulai berjalan.

“Kak, gue jalan sendiri aja deh ya? Gue berat, tadi abis makan Gurame Bakar, nasinya 2 porsi.”

Marvin tak peduli, ia terus berjalan menuju tangga. “Lo nggak berat-berat amat, masih berat Jay.”

“Lo pernah gendong Kak Jay?”

“Jay yang tetiba naik ke punggung gue, kurang ajar emang, nggak sadar diri beratnya kayak kerbau.”

Hazen tertawa, sudah berhenti sesenggukan, air matanya juga sudah berhenti meski masih berkaca-kaca. “Hahaha, kalian berdua lucu ya? Udah sahabatan dari lama ya?”

“Lama banget, dari jaman SD.”

“Kak Jay SD nya di Kanada juga dong?”

“Iya, waktu dia tau gue pindah ke Indonesia, dia ikutan nyusul. Kasian, nggak punya temen kayaknya dia tuh, mangkanya nyusulin gue.” Kedua kaki Marvin perlahan menaiki anak tangga hingga setengah tangga.

Hazen terlihat nyaman saja dalam gendongan Marvin, karena anak itu menyandarkan kepalanya di ceruk leher Marvin. Hazen memang lelah seharian bermain di pantai, menyetir pulang pergi, sehingga ia terasa lemas juga sekarang, tenaga nya terkuras buat menangis dan bergerak.

“Zen, lo tidur?”

“Hm, nggak.”

“Jangan tidur dulu, kalo lo tidur, gue gelindingin dari sini nih.” Marvin menepuk pantat Hazen.

“Ishhh jangan tepok-tepok, bukan gendang ini bang.” Hazen menggigit cuping telinga Marvin sebagai balasan.

“Aw, kok di gigit sih? Nanti kalo telinga gue putus gimana?”

Hazen mengerlingkan matanya. “Lebay, nih gue obatin deh.” Lalu Hazen mengecup cuping telinga Marvin yang baru saja ia gigit.

Marvin terhenyak, sampai menghentikan langkahnya. Ia merinding jujur saja, hembusan nafas Hazen yang menggelitik telinga dan area lehernya membuat ia menjadi—meremang.

“Kenapa berhenti Kak? Gue berat ya?” Hazen menatap iris gelap sang kekasih yang posisinya lebih rendah darinya.

Marvin mendongak lalu menggelengkan kepalanya. “Nggak, bukan itu. Ada semut nyebrang tadi.”

“Hah?”

Marvin tersenyum lalu melanjutkan jalan menaiki anak tangga. Shit, hampir aja gue kelepasan mau nerkam Hazen. Huft sabar, ini cobaan.” Batinnya menggerutu.

Hazen kembali menyamankan posisinya seperti semula, meletakkan kepalanya di bahu Marvin dan menghidu aroma kekasihnya dalam-dalam. “Seperti biasanya, lo wangi banget. Gue suka.”

Ceklek

Marvin membuka pintu kamarnya karena sudah sampai, kemudian menutupnya dengan kaki.

“Gue selalu wangi, kapan gue pernah bau?”

“Nggak pernah sih hehe.”

“Udah sampe, turun lo.”

Bukannya menurut, Hazen malah mengeratkan pelukannya di leher serta pinggang Marvin. “Nggak mau!” Katanya dan mendusalkan wajahnya di leher Marvin.

“Hazen, turun sayang.”

Hazen menggelengkan kepalanya. “Nggak mau, mau dipeluk Kak Marvin.” Bibirnya melengkung ke bawah, menatap Marvin dengan puppy eyesnya.

Marvin memejamkan matanya sebentar, mengambil nafas dalam dan menghembuskannya. “Lo kalo sedih, jadi manja banget.”

“Mangkanya hibur dong, kan pacarnya lagi sedih, harusnya dimanjain kek, apa kek.”

Marvin mendudukkan tubuhnya di tepi kasur, masih dengan Hazen yang ada di gendongannya. “Ya udah, tapi gue duduk ya? Capek berdiri.”

“Okeeee.” Hazen mengangguk dan kembali memeluk Marvin masih dalam pelukan koala nya. Marvin memeluk pinggang Hazen, menumpukan dagunya di bahu Hazen juga.

“Jadi nangis nggak?”

“Jadi, sebentar.”

Ada jeda beberapa saat, sampai terdengar isakan dari Hazen. Spontan, kedua tangan Marvin mengusap punggung serta kepala Hazen. “Nangis yang kenceng nggakpapa sayang, keluarin semuanya malam ini, dan besok lo nggak boleh nangis lagi, lo harus senyum lebar waktu anter Raden ke stasiun. Gue bersedia meluk lo kayak gini sambil duduk berjam-jam sampai lo berhenti nangis.”

Makin kencang isakan Hazen, terdengar pedih dan memilukan.

Yuk, putar lagunya juga bestie, biar makin awesome :) “Sayap Pelindungmu by TheOvertunes”

https://www.youtube.com/watch?v=B73IlZdhUUM

“Hiks Kak, gue ini jahat banget sama Raden ya? Emang nggak bisa apa kalo gue sayang banget sama dia tanpa perlu mencintai? Salah ya kalo gue sayang Raden sebagai sahabat yang paling gue sayang, paling berharga. Nggak boleh gitu emang? Hiks hiks gue jahat ya hiks udah sakitin hati Raden?”

“Nggak salah Zen, sayang bukan berarti harus cinta. Sayang sama cinta itu beda definisi dan penerapannya. Sayang sama cinta punya kesamaan, yaitu universal dan bebas. Bisa ke benda mati, hewan, manusia, tanaman atau hal goib kayak Tuhan, Bapa, Dewa, Malaikat, Nabi, Rasul, dan sebagainya. Kalau cinta otomatis sayang, tapi kalo sayang belum tentu cinta, nah maksud gue disini adalah, maknanya beda.”

Hazen mendengarkan dengan masih menangis, membasahi leher Marvin karena lelehan air matanya yang deras.

“Kalo cinta itu sebuah emosi kompleks yang didalamnya ada afeksi, devotion, kelembutan, dan sensitivitas. Mau berusaha buat saling melengkapi kekurangan, ingin melakukan yang terbaik untuk seseorang meski dirinya sendiri harus berkorban, istilahnya rela mau ngapain aja asalkan dia bahagia meski bahagianya dia nyakitin lo. Dan bisa disebut ketertarikan seksual alias pengen milikin, artinya dia tertarik dan punya perasaan sama lo. Itu yang dinamakan cinta.”

“Contoh gampangnya, kayak gue ke lo. Gue tertarik sama lo, suka sama semua yang ada sama lo. Nggak cuma fisik, melainkan pribadi lo, karakter lo, sifat lo, itu ngebuat gue jatuh cinta sama lo. Karena gue jatuh cinta sama lo, udah dipastikan gue sayang banget sama lo, gue nggak mau kehilangan lo, gue bisa lakuin apa aja buat lo asal lo bisa ketawa, senyum, bahagia. Gue siap jagain lo dan jadi pelindung buat lo dari kejamnya dunia ini. Nggak ada yang boleh jahatin lo, siapapun yang berniat jahat sama lo bakal gue hadepin, gue nggak akan biarin siapapun berani jahatin lo.”

Hazen makin menangis keras, dadanya naik turun sesenggukan mendengarkan kejujuran Marvin yang begitu gamblang, namun sejujurnya Hazen juga ingin tertawa, karena Marvin yang bilang, maka ini terdengar aneh. Meski begitu, Hazen tidak bisa untuk tidak menangis, karena ia sangat bersyukur punya Marvin ada di sisinya.

“Sedangkan sayang itu, bukan ketertarikan seksual. Hanya perasaan tulus seseorang, murni tanpa adanya perasaan ingin memiliki dan meminta balasan. Respon dalam diri seseorang untuk nunjukin kepedulian, empati, perhatian, dan rasa untuk melindungi.” Katanya masih mengusap kepala Hazen.

“Oh ada lagi perbedaan yang mencolok. Prioritas. Kalo cinta, dia pasti orang yang lo prioritasin daripada orang lain, bahkan daripada diri lo sendiri. Semuanya harus dia dulu, baru yang lain. Cinta itu dikasih ke orang yang spesial, alias bukan untuk banyak orang, spesifik. Buat kekasih, suami, istri. Kalo sayang jangkauannya luas, bisa ke banyak orang dan nggak ada yang lebih spesial, tahta nya sama rata. Nggak ada yang lebih di prioritasin.”

“Contohnya kayak lo sayang sama sahabat-sahabat lo. Diantara Raden dan yang lainnya, sayang lo sama rata kan? Nggak pilih-pilih? Harus utamain Raden daripada Nathan, Jendra, Leo ataupun Jidan? Nggak gitu kan?”

Hazen menggeleng. “Gue sayang hiks semuanya hiks, nggak ada yang lebih hiks bgue bprioritasin diantara mereka ber 5 hiks.”

“Nah, lo naksir mereka nggak?”

“Ya enggaklah hiks, kalo naksir ya udah gue jadiin pacar hiks.”

“Ya udah, itu bedanya. Sayang belum tentu naksir, cuma mau beri perhatian yang tulus ataupun rasa pengen jagain dan ada buat dia kalo dia butuh. Beda sama cinta, kalo cinta udah jelas naksir dan pengen jadiin dia miliknya, jadiin teman hidupnya sampe seumur hidup.”

“Intinya, lo ataupun Raden nggak ada yang salah, perasaan Raden ke lo juga nggak salah, apalagi rasa sayang lo ke Raden, nggak salah. Wajar sayang sama temen, sahabat, keluarga. Kita manusia, diciptain dengan dikasih perasaan untuk menyayangi makhluk lain. Jadi lo jangan merasa bersalah gitu, karena lo nggak nyakitin Raden, lo cuma menjalani apa yang jadi kehendak lo sebagai sahabat, sayangin dia, kasih perhatian, perlindungan dan kenyamanan. Cuma aja, emang hukum alam, kalo nggak bisa handle perasaan, jadinya ya gitu, jatuh cinta. Apalagi cinta datangnya bisa karena apa dan kapan aja. Memang bukan rejeki Raden buat dibales perasaannya, artinya lo bukan orang yang ditakdirin buat Raden.”

“Satu lagi, kalo cinta itu tiap lo liat dia atau mikirin dia, di deket dia juga, perasaan lo kerasa membuncah, berdebar, seneng, tremor, tegang jadi satu. This is called fall in love.”

“Hiks kak Marv hiks, berarti gue bukan sekedar sayang sama lo hiks. Karena yang gue rasain ke lo beda sama yang gue rasain ke Raden dan sahabat-sahabat gue. Ke mereka gue nggak ada rasa tremor, berdebar ataupun membuncah gitu hiks, tapi kalo sama lo, kayak gitu hiks, sekarang contohnya hueeeee.”

Marvin terkekeh lalu menangkup kedua pipi Hazen, menyeka air mata yang terus mengalir dari wajah si manis. “I know, your eyes tell me everything. I can see it from the look in your eyes. That you love me, I can feel how your heart beats when you're with me, or your nervousness when you're around me. We're same, cause, i feel that when I'm with you, Zen. I love you so much, can you see or feel that?”

Hazen ,menatap sendu sang kekasih lalu mendekatkan wajagnya hingga hidung keduanya bersentuhan. Kedua tangannya mengusap rambut Marvin, maniknya beradu tatap begitu dekat dengan Marvin, sama-sama saling mengunci pandangan. “Bisa, gue bisa lihat dan rasain itu. Sekarang, gue bisa dengerin detak jantung lo yang kenceng, sama kayak gue. And also, your eyes tell me if you really love me. I can see it, I can feel that. Kak Marv, gue cinta sama lo, dan rasanya gue nggak pengen jauh dari lo, gue beneran takut kalo tetiba lo pergi gitu aja ninggalin gue hiks gue hiks nggak tau harus gimana kalo sampe itu terjadi hiks gue nggak mau dan nggak akan pernah siap bu—”

Ucapan Hazen terhenti begitu saja karena akses bicaranya baru saja dibungkam oleh bibir Marvin. Dipagut lembut bibir semanis cherry itu oleh Marvin tanpa meminta izin. Bukannya ia sebal karena Hazen banyak bicara, ia tidak ingin mendengar ketakutan Hazen yang jelas tidak akan terjadi. Marvin tidak akan pernah pergi dari Hazen begitu saja, meski takdir nantinya memisahkan mereka, Marvin akan pamit sebelum pergi. Hazen memiringkan kepalanya dan memejamkan mata lalu membuka mulutnya lebih lebar lagi untuk membalas ciuman sang kekasih, sama-sama memagut bergantian atas bawah.

Tangan Marvin yang semula mengusap punggung Hazen pun beralih mengusap pipi Hazen yang masih basah karena air mata, mengusap dengan ibu jarinya. Kepala keduanya bergantian miring ke kanan dan kiri, mencari posisi yang nyaman untuk memperdalam ciuman mereka, yang tadinya hanya saling memagut dan melumat bibir atas bawah, kini Marvin menggigit bibir kenyal Hazen, si empunya mendesis kenikmatan. Hazen mengeratkan pelukannya di leher Marvin.

Tempo ciuman itu berubah menjadi lebih agresif dan memacu adrenalin, membuat udara di sekitar terasa panas, keringat mulai muncul di pelipis keduanya. Lidah mulai ikut andil dalam mengeksplor rongga mulut keduanya, beradu saling menukarkan saliva untuk dicicipi. Nafas mereka perlahan mulai naik turun, sesak dan membuat kepala pening.

Hazen mencengkram bahu Marvin ketika lidahnya digigit Marvin saat sedang menyesap saliva yang berhasil ditukar. “Kak Mmmaaamhhh, udah huh....” Racau Hazen dengan suara seraknya.

Bukannya mendengar racauan Hazen, Marvin justru berdiri dan memeluk pinggang Hazen erat lantas berbalik dan membanting Hazen dikasur masih dengan sibuk melumat bibir Hazen yang bagai candu untuknya.

Brukk

Hazen terbaring di kasur dengan Marvin yang mengungkung di atasnya, tak hentinya ia melumat bibir Hazen bak orang kesetanan.

“Ssshhh Kak mmmhhhmaarvv umhhh.”

Hazen meremat rambut Marvin kuat, ia ingin Marvin menghentikannya sebelum ia kehabisan nafas dan berakhir pingsan atau parahnya bablas tinggal nama aja.

“Euungggmmmhh Kakhh u-udahh, gue mau matii bangsattthhh ughh.”

Barulah Marvin melepaskan pagutan itu, masih dengan posisi mengungkung Hazen. Si manis terlihat sangat berantahkan, bibirnya sangat basah, bahkan bengkak dan mengeluarkan darah sedikit. Wajahnya dipenuhi keringat serta sisa air mata nya tadi, kedua pipi dan telinga nya memerah, kedua matanya berkaca-kaca, nafas tersengal-sengal.

Sungguh, pemandangan yang indah untuk Marvin.

Marvin menatapnya lembut, menyisir helaian rambut Hazen yang berantahkan, merapikannya agar tidak menutupi wajah manis Hazen. Ia juga menyeka keringat Hazen. “Jangan pernah ngomong kayak gitu lagi Zen, lo harus percaya sama gue, kalo gue nggak akan ninggalin lo apapun alasannya. Gue udah janji sama lo, kalo kita besarin Hevin bersama, bahagiain anak kita bersama. Trus menurut lo, gue bakalan pergi gitu aja Zen? Enggak sayang, gue punya tanggung jawab sebagai Papanya Hevin, sebagai calon tunangan lo. Nggak akan gue pergi ninggalian kalian berdua, meski kita nggak tau masa depan kayak apa, tapi gue bakalan lawan takdir itu, gue nggak mau ikutin skenario Tuhan kalo misalnya skenario itu misahin gue dari lo dan Hevin.” Ucapnya begitu lembut dan menatap dalam Hazen.

Hazen memeluk leher Marvin dan menariknya hingga Marvin terjatuh di sampingnya. Hazen memeluk Marvin seperti guling, mendusalkan kepalanya di dada sang kekasih. “Maaf, gue cuma takut Kak, bukannya maksud gue meragukan lo, tapi ini gue beneran takut yang takut banget. Apapun yang terjadi nanti Kak, gue nggak akan lepasin lo gitu aja, gue bakalan pegang lo erat-erat ketika takdir membawa lo pergi dari gue dan Hevin.”

Marvin memiringkan tubuhnya sehingga berhadapan dengan Hazen lalu menarik Hazen ke dalam pelukannya. Menciumi seluruh permukaan wajah manis Hazen. “Gue nggak akan kemana-mana Zen, gue sayang banget sama lo dan Hevin. Jangan pikirin yang enggak-enggak ya? Karena nggak semuanya yang datang itu akan pergi, contohnya gue. Gue nggak akan pergi ninggalin lo, kecuali kalo Tuhan ambil nyawa gue, itu udah di luar kehendak gue Zen, mau nggak mau, gue harus ninggalin lo.”

“Kak Marvin! Jangan ngomong gitu hiks, nanti gue nangis lagi hiks.” Katanya memukul dada Marvin.

“Hahaha bercanda. Sekarang gimana? Udah lega belum?”

“Lumayan, tapi gue kalo keinget Raden rasanya mau nangis lagi Kak.” Cicitnya lirih.

“Ya udah nangis lagi aja, gue bilang kan malam ini terakhir lo nangisin Raden, gue bilang, besok lo harus anterin dia dengan senyuman.”

Hazen menghela nafasnya, memeluk Marvin makin erat. “Raden dulu anaknya pendiem, suka menyendiri, nggak punya temen. Nggak ada yang mau temenan sama dia karena orang-orang tau Ibu Raden um—aktris film dewasa yang terkenal waktu itu. Kalo lo pernah denger, aktris Wilona Arunika, itu Ibunya Raden.”

Marvin memilih bungkam ketika Hazen tetiba menceritakan tentang Raden.

“Waktu malam natal lo nolongin gue, ada 12 orang disana kan? Mereka yang bully Raden waktu SMP, yang menguak identitas Raden sebagai anak dari aktris Wilona.”

“Sejak saat itu, satu sekolah jahatin Raden, cemooh, nge bully sampe kekerasan fisik juga. Gue nggak satu kelas sama Raden, jadi gue nggak kenal Raden saat itu kalo nggak berita tentang Raden tersebar di seluruh sekolah.

“Dan mulai saat itu, gue deketin Raden dan menawarkan diri buat jadi temennya. Satu-satunya temen di sekolah. Dan mulai saat itu, gue yang jadi tameng buat Raden, karena semua tau gue atlet Judo, nggak ada yang berani lawan gue. Tapi Asahi, ketua geng nggaj jelas itu nantangin gue buat berantem. Gue jabanin, karena janji dia nggak akan gangguin Raden lagi kalo gue menang. Dan akhirnya dia babak belur sampe masuk rumah sakit waktu itu, gue disidang di BK, hampir gue dikeluarin dari sekolah. Kalo aja Raden nggak bilang semuanya bahwa Asahi dan gengnya itu kelompok pembully di sekolah. Karena emang gak cuma Raden yang jadi bahan bully mereka.”

“Berkat Raden, gue cuma dihukum skorsing 2 minggu, Asahi dikeluarin dari sekolah dan pindah ke Paris sama keluarganya. Sekolah jadi tentram, nggak ada yang nge bully Raden lagi karena gue selalu ada 24/7 buat Raden. Dikit-dikit, dia gue ajarin bela diri. Dan gue masih tetap satu-satunya temen dia di SMP, meski Raden nggak di bully lagi, itu nggak memperbaiki keadaan yang kenyataannya Raden anak dari aktris Wilona. Semua jauhin Raden, cuma gue yang mau temenan sama dia.”

“Gue tuh nggak habis pikir sama anak sekolah gue, emang kenapa sih kalo Ibu nya aktris film dewasa? Kan nggak ngerugiin mereka juga, padahal Raden anaknya kalem, pendiem, sopan, baik lagi. Sampai waktu masuk SMA, Raden daftar bareng gue, dia bilang nggak mau pisah, takut dia nggak punya temen lagi di SMA. Lalu kita ketemu Jendra, Nathan, Leo sama Jidan pas MOS satu kelompok. Ya, lalu kita berteman. Bahkan mereka ber 4 nerima Raden setelah tau kenyataan siapa Ibu nya Raden. Gue bersyukur banget mereka welcome sama Raden.”

“Raden jadi anak yang periang saat SMA, banyak ketawa dan senyumnya, karena mereka berempat peduli dan perhatian banget sama Raden. Tapi sejak saat itu juga, Raden yang kalem, pendiem, sopan dan santun nya ilang ditilep Jeki. Dia jadi berani, barbar dan bisa mengekspresikan diri karena mereka berempat. Hahaha kalo gue inget-inget lucu juga, Raden berubah 180 derajat. Gue bersyukur karena Raden bisa bebas, lepas kayak gitu.”

“Mangkanya Kak, gue sayang banget sama Raden. Gue ngerasa kayak negrawat Raden dari kecil sampe sekarang, gue jagain dia selama 6 tahun, hampir 7 tahun berjalan. Ngerasa liat tumbuh kembangnya Raden dari SMP sampe sekarang. Sesayang itu gue sama Raden Kak, karena dia pun orang yang bijak, dia sering nasehatin gue ini itu kalo gue salah dan gegabah. Intinya gue sama Raden tuh saling melengkapi, gue merasa kayak punya abang sekaligus adek sekaligus temen kalo bareng Raden.”

“Terlalu complicated kan ya hubungan gue sama Raden? Hahaha.” Tawanya hambar, rasanya Hazen ingin menangis lagi.

“Raden hebat Zen, apalagi lo. Jagain Raden selama 6 tahun. Dan Raden tumbuh dengan baik juga, hubungan kalian emang nggak bisa di deskripsikan dengan kata-kata. Jadi kalian nggak ada yang salah disini, ini hanya perihal pihak mana yang nggak bisa jaga perasaannya sendiri untuk nggak jatuh cinta, dan Raden pihak yang nggak bisa jaga itu dan berakhir cinta sama lo. Oleh karena itu, Raden udah bilang kan kalo dia relain dan lepasin lo?”

Hazen mengangguk.

“Maka semuanya sudah selesai Zen, lo juga harus rela lepasin Raden. Biarin dia cari bahagianya sendiri, karena lo, udah jadi bahagianya orang lain, bahagianya gue sama Hevin. Bukan punya Raden lagi.”

“Gue udah ikhlas Kak, gue relain Raden kok. Gue seneng banget dia bisa gapai cita-citanya buat jadi seniman terkenal, gue saksi bisu gimana Raden dari SMP sampe sekarang hobinya coret2 kanvas sama kertas dan jadiin yang kosong mlompong menjadi sebuah karya seni yang indah dan artistik. Raden pantes dapat beasiswa ini, dia berbakat. Gue egois kalo nggak bisa lepasin dia.”

Marvin menepuk pucuk kepala Hazen lalu mengecup keningnya. “Bagus, ini namanya bijaksana. Hazen yang gue tau, bukan orang yang egois dan mikirin diri sendiri. Lo hebat, kesayangan gue hebat.”

Hazen tersenyum namun air matanya keluar lagi. Ia bahagia memiliki Marvin sebagai support system nya. Hazen sangat mencintai lelaki di pelukannya ini, sungguh.

“Makasih Kak, lo beneran penyembuh buat gue. Dan gue juga bakalan jadi sayap pelindung buat lo. Bukan cuma lo yang harus lindungin gue, tapi gue juga mau jagain lo. Kita saling menjaga aja ya Kak? Siapapun yang jahatin lo harus berhadapan sama gue. Dunia nggak boleh jahat sama lo, cukup di masa lalu dunia membuat lo sedih dan hancur, sekarang waktunya lo bahagia Kak.”

Marvin terkekeh gemas lalu mencium hidung Hazen. “Iya iya, nanti kalo dunia jahat sama gue, gue ngadunya ke lo aja ya?”

“Harus tuh! Hehehe.”

Keduanya tertawa dan berbagi afeksi menenangkan malam itu. Berbagi ucapan-ucapan menenangkan hati. Hazen yang sedih pun bisa tersenyum lagi berkat Marvin.

@_sunfloOra