Loop

Ia menatap pria di hadapannya dengan penuh afeksi. Mengikuti setiap gerakan tangannya yang tak mau berhenti selagi ia berbicara dengan antusias, pantas saja ia dijuluki Bang Bang-i. Aksen Satoori-nya yang begitu ketara membuat Younghyun secara tak sadar tersenyum mendengarnya. Dan entah karena efek alkohol atau udara yang sedikit lebih dingin dari malam-malam biasanya, Sungjin kali ini tak keberatan ketika Younghyun berdiri dekat dengannya, menempelkan sisi tubuhnya pada lengan Sungjin yang hangat.

Di ruangan terbuka itu, beberapa rekan kerja mereka terlihat sedang berbincang, ada pula yang menikmati makanan penutup sambil berdiri atau sekadar meminum segelas wine perlahan. Pesta yang diadakan oleh atasannya dalam rangka kesuksesan besar perusahaan mereka dalam penjualan akhir tahun terlihat simpel namun cukup meriah. Sementara ia menyesap minuman di tangannya, beberapa kali Younghyun mendapati Jae dan Wonpil yang sengaja melempar seringai pada mereka berdua, meskipun ia yakin Sungjin pasti tidak sadar kalau ada maksud lain di balik aksi mereka.

“Kang Bra,” panggil Sungjin dengan suara baritonnya. Perhatian Younghyun seketika kembali terpana pada pemuda di sampingnya. Pipinya bersemu ketika ia baru sadar jarak di antara mereka terlampau dekat. Refleks, Younghyun mundur selangkah, memberikan Sungjin jarak personal seperti biasanya, khawatir kalau sedari tadi Sungjin merasa tak nyaman.

“Ya?” tanya Younghyun atentif.

“Sebenernya udah lama pengen nunjukin ini,” ujarnya. Younghyun sedikit memiringkan kepalanya, bingung dengan apa yang dimaksud, sedangkan Sungjin merogoh saku jasnya. Ia mengeluarkan kotak yang dilapisi beludru merah. Dengan perlahan Sungjin membukanya.

Netra Younghyun langsung tertuju pada cincin di hadapannya. Kilau berliannya terlihat sangat sempurna di bawah kirana rembulan. Begitu pula momen saat itu, terasa sangat sempurna. Tetapi Younghyun belum siap untuk memproses semuanya. Sedetik kemudian ia menaikkan pandangannya, kembali pada Sungjin yang tengah tersenyum lebar. Sungjin yang tampan. Sungjin yang tidak pernah marah kepadanya meskipun kadang Younghyun lalai akan pekerjaannya. Sungjin, satu-satunya lelaki, yang ia inginkan untuk menghabiskan sisa hidup bersamanya.

“Jadi?” desaknya. “Menurutmu gimana?”

“Ya,” Younghyun mengabaikan tenggorokannya yang tercekat saat ia merespon pertanyaan Sungjin. Dan alih-alih membuang muka, Younghyun membalas senyumannya. “Dia bakal suka kok, pasti.”

Sesaat kemudian ia memeluk Younghyun singkat sebagai tanda terima kasih telah menyampaikan pendapatnya dan pergi untuk mencari keberadaan seseorang di tengah kerumunan rekan kerjanya yang sedang berpesta di rooftop, meninggalkan Younghyun sendirian, bergumul bersama perasaannya yang campur aduk dan keinginannya untuk mengasihani diri sendiri.

Nyatanya, Younghyun tahu betul kalau memang sedari awal Sungjin tak pernah memiliki perasaan yang sama seperti dirinya. Ia bahkan yakin kalau Sungjin tidak pernah sadar akan semua perhatian dan segala perlakuan lebih dari teman yang Younghyun tunjukkan hanya di hadapannya. Meski begitu Younghyun persisten, bukan karena ia tetap berharap kalau suatu saat nanti Sungjin akan membalas perasaannya. Namun karena ia tahu kalau pada akhirnya mereka tidak akan pernah bisa bersama, Younghyun berusaha mengumpulkan sebanyak-banyaknya memori bersama Sungjin sebelum kemudian ia harus merelakannya pergi. Seperti sekarang.

Maniknya bergulir, mengikuti punggung lebar Sungjin yang berjalan kian menjauh darinya. Menciptakan bentang jarak yang cukup panjang di antara mereka, menyadarkannya kalau memang ia tidak bisa menggapai dan mendekap tubuh besar itu dengan jangkauan lengan-lengannya yang pendek.

Pemandangan Sungjin yang sedang berlutut di hadapan perempuan itu, menggenggam sekotak cincin berlian yang tadi sempat ditunjukkan padanya beberapa menit lalu, membuat Younghyun harus meneguk gelas wine-nya sekali habis. Menelannya bulat-bulat bersama dengan rasa pahit yang kian menempel di rongga mulutnya. Matanya terasa panas dan rahangnya mengeras. Setiap detik seakan mengingatkannya kalau ia tak pantas berada di sini. Kalau ini bukanlah tempatnya untuk bersedih ketika jelas-jelas semua orang yang menyaksikan mereka berdua turut senang. Namun tungkai kaki Younghyun terlalu lemas untuk membawa tubuhnya menjauh dari situ.

Perasaannya pada Sungjin masih sama seperti kemarin, atau seperti bertahun-tahun yang lalu ketika ia pertama kali bertemu dengannya. Walaupun sekarang ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa perempuan itu mendapatkan kecupan ringan di punggung tangannya dari Sungjin— dari Park Sungjin yang ia cintai.

Sungjin yang biasanya tidak membiarkan Younghyun pulang sendiri, yang selalu siap membawa dua helm dan memboncengnya di jok belakang vespanya. Sungjin yang selalu rela menemaninya bermalam-malam di kafe demi menyelesaikan pekerjaannya sebelum tenggat waktunya habis. Sungjin yang selalu siap sedia tablet obat maag di meja kerjanya untuk Younghyun kalau sewaktu-waktu penyakit maag Younghyun kambuh karena terlalu sering mengonsumsi kafein.

Dan Sungjin yang kala itu memandang lurus pada langit lapang ketika Younghyun bertanya apa arti cinta padanya, seakan menyerahkan dirinya untuk dinikmati, namun menolak untuk dimiliki. Sungjin yang berbeda dari lainnya. Sungjin yang selalu memaku pandangannya jauh melewati batas kemampuannya. Sungjin yang tidak pernah melihatnya dengan cara yang sama seperti Younghyun melihatnya.

Setelah hari itu, Younghyun hanya dapat berusaha sekuat tenaga untuk melalui kesehariannya. Namun tampaknya keping-keping kesedihan selalu menemukan cara untuk tinggal bersamanya. Kesedihan itu tertinggal pada kaktus pemberian Sungjin di hari ulang tahunnya yang kini ia letakkan di bingkai jendela tak jauh dari tempat tidurnya, begitu pula pada draf pesan Younghyun pada Sungjin yang menumpuk dan sengaja tak pernah ia kirim, pun di dalam lemarinya yang terdapat beberapa jaket dan kaos milik Sungjin yang sengaja ia tinggalkan di sana kalau saja suatu saat Sungjin bermalam lagi di apartemennya. Kesedihan ada di setiap sudut kota di mana Younghyun dan Sungjin pernah singgah.

Dan untuk sekali saja, Younghyun ingin mendekap sesuatu yang dapat ia gapai selain dari kesedihan ini.

Berbulan-bulan telah berlalu semenjak kejadian itu dan setiap harinya ia menyibukkan dirinya sendiri dalam pekerjaan, berusaha melupakan tanggal krusial pernikahan Sungjin dan orang lain yang bukan dirinya itu. Dan dengan mudahnya, ia sudah terobsesi dengan pekerjaannya. Mengisi setiap waktu lengang dengan mengoreksi kembali dokumen-dokumen yang sebenarnya sudah tak perlu ada lagi revisi. Sebegitunya ia tenggelam dalam dunianya sendiri sampai ia tak tahu lagi rasanya untuk merasa benar-benar hidup.

Satu hari di Rabu sore, beberapa minggu sebelum pernikahan Sungjin berlangsung, pria bermarga Kang itu baru menyadari kalau hatinya layu– kalau dirinya kosong. Dan saat itu juga ia berjalan menghampiri kubikel meja Sungjin dan mengatakan kalau ia akan berhenti dari pekerjaannya.

Sungjin kaget mendengarnya, “Kenapa keluar?”

Jujur, aku pun tak tahu, Sungjin.

Ia hanya mengendikkan bahunya. “Baru sadar aja ini bukan pekerjaan yang gue pingin,”

Ada sirat kekecewaan di mata Sungjin, namun ia tetap mengangguk mengerti. Menghargai setiap keputusan yang Younghyun tentukan dalam hidupnya. “Udah bikin surat pengunduran diri?”

Younghyun menggigit bibir bawahnya, “Belom,”

Tentu saja ia belum mempersiapkan apa-apa. Ini semua keputusan dadakan.

Sungjin menghela nafas panjang, dan Younghyun harus meyakinkan dirinya sendiri kalau itu bukanlah cara Sungjin untuk mengatakan padanya kalau ia tidak ingin Younghyun pergi.

“Kabarin ya kalo udah dapet kerjaan baru. Jangan lupa kirim alamat kantor yang baru, biar aku bisa main ke sana nyamperin kamu,”

Younghyun hanya meringis mendengarnya.

Kamu bisa ga, sekali aja berhenti bersikap manis gini?

Younghyun tahu ia harus segera melupakan Sungjin karena sebentar lagi ia akan legal secara hukum menjadi milik orang lain. Tapi sikap Sungjin terlalu baik, terlampau manis baginya untuk semudah itu dilupakan. Dan ia merutuki dirinya sendiri untuk menjadi segampang itu jatuh ke lingkaran repetisi mencintai Sungjin yang tidak bisa ia lihat di mana ujungnya.

Ia menoleh sekali lagi pada pria asal Busan itu sebelum beranjak kembali ke mejanya. Butuh beberapa detik baginya untuk memberanikan diri bertanya, “Sungjin, kamu bahagia?”

Ia dapat merasakan pandangannya kabur. Pria yang ditanya seketika menghentikan gerakan jemarinya di atas tuts keyboard dan kembali mengangkat kepalanya, menatap Younghyun dengan mata besarnya yang indah. Ia tersenyum– senyuman lembut yang dengan jelas menjadi batas pemisah antara Younghyun dan kewarasannya yang hampir hilang.

“Iya, bahagia kok.”

Saat itu lah, Younghyun yang belum menemukan bahagianya merasa iri pada puan yang mendapatkan Sungjin tanpa harus melakukan apa-apa. Suaranya hampir terdengar parau saat ingin merespon, tapi Sungjin lagi-lagi tidak sadar akan hal itu.

“Oh, bagus deh,” ia menyeringai, menahan agar air matanya tidak tumpah saat itu juga. Sebenarnya ia sangat ingin merasa senang juga kalau Sungjin bahagia kendatipun rasa sesak di dadanya mengatakan hal sebaliknya.

“Aku juga,” tambah Younghyun. Lagi-lagi berbohong tentang perasaannya.

Fin


Maaf ya Younghyun, kamu kubuat patah hati di sini :( Ini hasil aku gabut banget gegara buntu gatau kudu mulai belajar dari mana + jiwa-jiwa indieku tetiba dateng, jadinya bikin begini dah ahaha. Maaf kalau misal tidak sesuai selera pembaca atau kalau bahasanya aneh (?). But anyway, terima kasih banyak buat yang udah mau baca dan meluangkan waktu buat kasih komentar, kritik maupun saran. Sampai jumpa di AU berikutnya! ^^