dering telepon yang keempat kalinya itu tetap tidak dihiraukan oleh jisung. pemuda berwajah mirip tupai itu tetap fokus dengan tugas (yang seharusnya dikumpulkan 3 jam ke depan).

ia menghembuskan napas dengan kasar saat melihat handphone-nya berbunyi untuk ketujuh kalinya. ternyata dari changbin, kakak tingkatnya. ia segera mengangkat panggilan tersebut.

sorry bang, gue lagi ngejar deadline—“

”jisung, tolong gua!”

jisung mengernyitkan dahinya, “berisik banget di situ. lo lagi di bar ya?”

”iya, please jangan tanya apa-apa, gua share loc terus lo dateng ke sini ya, sung. tolong banget inimah,”

“tapi bang—“

”makasih ya, sung!”

belum saja jisung menyelesaikan kalimatnya, telepon sudah dimatikan sepihak oleh lawan bicaranya. ia duduk termenung sambil melihat notifikasi dari changbin yang berisi membagikan lokasi terkini dari kakak tingkatnya. apakah jisung dapat menyelesaikan tugasnya setelah membantu changbin? apakah jisung harus menolak permintaan changbin?

pikiran dan perasaannya terus bertengkar. namun yang menang ialah perasaan, jisung harus menolong kakak tingkatnya itu. apapun masalahnya.

———

“hyunjin dari tadi mabok, sung. makanya gua telepon lo daritadi,” ujar changbin sambil menatap hyunjin yang duduk sambil meracau.

“tapi hyunjin bukan urusan gue lagi, bang. lo tau itu kan?”

“gua tau, sung. tapi yang daritadi dia omongin cuman lo doang. Semenjak dia putus, dia jadi kayak gitu.”

jisung mengacak rambutnya frustasi. ia lelah menghadapi mantan kekasihnya yang belum sampai seminggu dari kejadian putusnya itu.

namun tetap saja yang keluar dari mulutnya adalah, “yaudah deh, gue aja yang handle dia. lo pulang aja bang, gapapa.”

thanks ya, sung. dia gak bawa mobil kok, jadi lo aja yang anterin dia pulang. duluan ya,” ujar changbin sambil menepuk pundak yang lebih muda, lalu meninggalkan jisung yang berdiri terdiam menatap hyunjin di ujung sana.

jisung menghampiri hyunjin dan duduk di depannya. lelaki bersurai abu itu tetap meracau tidak jelas, sampai ia menatap jisung di depannya.

“dih, bang changbin jadi jisung. hahahaha jadi jisung, sama-sama cebol sih.” adalah sambutan hyunjin saat ia melihat jisung.

jisung melotot lalu menampar pipi hyunjin, “omongan lo dijaga, anjing.”

yang ditampar tetap cekikikan, membuat jisung lebih menyesal karena telah memacari lelaki bermarga hwang itu.

“sakit, ji. tapi lebih sakit lagi pas lo mutusin gue waktu itu,”

“iya, gue tau. gue juga sakit hati habis liat lo berduaan sama ryujin.”

hyunjin tertawa, “Iya sih, guenya juga kayak anjing.”

“itu lo tau.” ujar jisung secara singkat, lalu mengalihkan pandangannya kepada keramaian. ia tiba-tiba teringat peristiwa pertengkarannya bersama hyunjin.

———

”aku cuman mau kamu komitmen sama hubungan kita! buat apa pacaran tapi kamu masih nempel sana-sini sama orang lain?” teriak jisung.

“apaan sih, ji? aku juga gak bakal naro perasaan sama mereka, jangan larang-larang aku dong! kamu gak percaya sama aku?”

“percaya, kata kamu? setelah kamu rangkulan sama mantan, aku masih bisa percaya, gitu?”

“ji, kamu gak tau kejadian sebenarnya!” hyunjin memukul meja, ia tak dapat menahan amarahnya lagi.*

selalu saja begini, hyunjin yang keras kepala dan jisung yang selalu terbawa emosi, tidak dapat menyelesaikan masalah dalam hubungan mereka. biasanya selalu jisung yang mengalah, namun kali ini ia tidak bisa menahan egonya demi melawan hyunjin dan sifat egoisnya.

“iya, hyunjin, gue emang gak tau apa-apa tentang lo. mending udahan aja ya?”

hyunjin terkesiap. tak pernah jisung melontarkan kalimat seperti ini. “ji? kamu cuman kebawa emosi.”

“kan memang gue yang selalu terbawa emosi! selalu gue juga yang harus mengalah dengan ego lo yang begitu tinggi.”

hyunjin merasakan sesak di dadanya karena harus melihat jisungnya menangis, untuk pertama kalinya. jisungnya yang ceria, menggemaskan, dan selalu melontarkan candaan ketika mereka sedang berduaan, berbanding terbalik dengan keadaannya saat ini.

“jiji...”

jisung mengusap wajahnya kasar, “udahan aja jin, gue udah nggak kuat. jaga diri baik-baik.”

jisung melangkahkan kakinya menuju pintu apartemen hyunjin dan keluar meninggalkan pemiliknya yang terdiam.

———

jisung tersadar dari lamunannya, hyunjin yang tadinya ada di depannya, sekarang sudah berada di sebelah jisung sambil menarik ujung jaketnya. “jijiii, ayo pulang~ hyunnie pusing, mau dipeluk jiji sampe bobo.”

ia kaget dan refleks mengangkat tangan kanannya, “anjing! gue tampar lagi nih?”

bukannya menjauh, hyunjin malah memeluk lengan yang lebih muda. “jiji gak boleh ngomong kasar. Kalo ngomong kasar nanti hyunnie bilangin bunda,” ucapnya sambil memanyunkan bibir.

jisung bergidik ngeri dan segera menarik hyunjin ke mobilnya. untungnya, hyunjin bukanlah tipe orang yang mabuknya merepotkan seperti muntah atau mengamuk. jadi, tanggung jawab jisung hanyalah mengantar hyunjin sampai apartemennya, lalu pergi seakan mereka tak pernah bertemu.

hyunjin masih merengek sedari tadi. “jijiii, hyunnie aja yang nyetir biar jiji duduk aja.”

“gila lo. ntar kita ketabrak, anjing.”

rengekan hyunjin malah makin kencang. jisung bingung, sebenarnya ia membawa pemuda 20 tahun atau 2 tahun sih? tanpa menjawab rengekan hyunjin, ia bergegas melajukan mobilnya keluar dari parkiran bar.

———

jisung menggendong hyunjin menuju unit apartemennya. di belakangnya hyunjin sudah memeluk lehernya sambil mencium rambutnya.

“jijinya hyunnie selalu wangi, jijiku wangiii~“

“berisik. nanti tetangga lo bangun.”

“biarin aja. waktu itu pas kita hohohihe juga mereka gak peduli.”

ingin rasanya jisung banting orang yang ia gendong, tapi beberapa langkah lagi ia sudah sampai di unit apartemen hyunjin.

“passwordnya masih yang lama kan?”

“masih, jijiii.”

ia menyusun password apartemen hyunjin— ya, masih dengan angka ulang tahun jisung. hal itu membuat perasaan jisung campur aduk, mengingat pertengkaran mereka waktu itu.

sesampainya mereka di dalam, jisung disambut oleh pemandangan berantakan yang sangat mengganggu penglihatan. namun jisung teringat tanggung jawabnya sudah selesai.

“turun, jin. gue mau pulang.”

hyunjin merengek (lagi), walaupun tetap diturunkan oleh jisung. jisung merapikan bajunya dan bergegas menuju pintu apartemennya yang tertutup.

belum saja ia menggapai gagang pintu, jisung sudah dicegat hyunjin menarik tangannya agar berhadapan dengan pemuda hwang tersebut. jisung terdiam sampai hyunjin mendekatkan wajahnya.

“ji.. may i have a last chance to kiss you?” hembusan napas hyunjin yang berbau alkohol itu membuat pikiran Jisung semakin blank, ia tak tahu harus berbuat apa.

bukannya tolakan yang ia ucapkan, yang keluar dari bibirnya malah, “iya, boleh.”

hyunjin memiringkan kepalanya dan mengecup bibir ranum milik jisung. tak ada rasa nafsu, melainkan yang jisung rasakan adalah air mata hyunjin yang mengalir di pipinya.

***

bang bin, kalo besok hyunjin nanya dia dianterin siapa, jangan bilang sama gue ya. makasih.

message sent.

jisung mengantongkan handphone-nya dan menatap hyunjin yang sedang berada di alam mimpi. teringat tentang tugasnya, ia langsung beranjak dan pergi meninggalkan hyunjin.