write.as

👨‍👨‍👦

Kali ini Japa berterima kasih kepada kartun kuning tersebut. Setelah makan malam bersama, Jiva memutar video dari Youtube melalui televisinya. Buntalan kartun kuning yang tengah disukai Petir terlihat lebih besar saat berada di layar televisi. Petir berteriak senang, berlari di depan televisi sambil mengikuti gerakan si Dino. Hal tersebut membuat Japa berserta orangtuanya memiliki kesempatan untuk melamar Jiva.

Susana tidak seformal layaknya kedua belah pihak sedang melakukan lamaran. Hanya obrolan santai, namun tutur katanya serius.

Keempat orang dewasa tengah berada di ruang tamu, dan ayah Japa lah yang mulai obrolan.

“Jiva, aku ini ayahmu, yang ini mamamu juga. Udah lama kita mengenal satu sama lain, udah menganggap kamu anak kami sendiri,” jedanya. “Sebelum ke sini, kami sudah ke makam orangtuamu untuk meminta maaf sekaligus meminta izin ....”

“Papi!”

Ucapan ayah Japa terhenti saat Petir yang asyik berjoget tiba-tiba menyerbu ke pelukan papinya.

“Petir mau nonton Dino di sana apa di sini? Kalo di sini diam dulu, ya? Kakek mau ngobrol dulu,” ujar Jiva memberitahu Petir.

“Mau di sini sama Papi aja,” jawab Petir. Namun bukannya bertahan di pelukan Jiva, ia merangkak naik ke atas sofa, lalu mendekati Japa, duduk di pangkuannya, mendongak menatap ayahnya dan berkata, “Aku diam mau dengelin Kakek obrol loh....”

Mereka terkekeh bersama akan pernyataan Petir kepada Japa. Dan setelahnya ayah Japa kembali melanjutkan pembicaraannya.

“Kedatangan kami di sini ingin menyampaikan maksud Japa, anakku sendiri. Japa mau melamar Jiva terlebih dahulu sebelum lanjut ke pernikahan. Mengingat pernikahan tidak bisa langsung dilaksanakan. Japa mau mengikat Jiva dulu. Sementara ayah sama mama sendiri juga ingin menyampaikan maksud lain,” jeda ayah Japa, “Ayah sama mama mau lebih lanjut berhubungan sama Jiva. Yang tadinya menganggap kamu sebagai anak, kami mau lebih dari menganggap. Jiva, ayah sama mama mau kamu menjadi anak mantu kami.”

Jiva mengangguk beberapa kali. Tujuan kedatangan Japa dan orangtuanya sudah diketahui sebelumnya. Jiva suka, bahkan bersorak gembira. Ia menunggu waktu ini tiba. Namun kegembiraannya kali ini disertai air matanya yang menetes tanpa ia sadari.

Jiva menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya, mengusap air matanya yang terlanjur menetes, lalu menjawab maksud kedatangan orangtua Japa.

“Jiva sendiri udah menganggap om sama tante orangtua Jiva sendiri. Terimakasih selalu menyuruh Jiva buat memanggil om tante— mama ayah. Terimakasih udah jagain Jiva, bantuin Jiva saat susah, selalu ada saat orangtua Jiva sudah di surga sana. Jiva mau jadi menantunya mama sama ayah. Jiva menerima lamaran Japa....”

“PAPI NDAK BOLEH NANGIS!” teriak Petir. Melepas pelukan ayahnya, lalu beranjak ke pelukan papinya. “Papi ndak boleh nangis! Aku ndak nakal kok! Huaaaa.... Papi ndak boleh sedih. Aku sayang papi...”

“Ehhh, papi nggak sedih. Papi lagi seneng loh....”

Petir hanya seorang anak-anak yang ia ketahui jika menangis itu hanyalah kesedihan semata.