write.as

“Belok ke studio, kak.”

Daniel terdiam. Ketika ia melirik jam di dasbor mobilnya, angka sudah menunjukkan hampir jam dua belas malam.

“Udah malem.” balas Daniel hati-hati.

Jihoon tidak menatapnya. Pandangannya dilayangkan ke luar jendela, ke arah langit malam dan bias cahaya lampu jalanan. Ibu jari dan telunjuknya memainkan ujung sweater.

“Belok aja.” suaranya tak ubah bisikan.

Tanpa bicara, Daniel memutar setir.

Perjalanan mereka dilanda keheningan, sama seperti ketika Daniel merangkul pinggang Jihoon dengan protektif saat mereka melangkah keluar dari Beer Garden. Tak ada suara, hanya dentuman emosi yang berusaha diredam sedemikian rupa. Bedanya, kali ini Daniel benar-benar tidak tahu apa yang ada di pikiran Jihoon.

Tapi toh sejak kapan juga ia bisa menebak isi kepala Jihoon.

Begitu mereka sampai, Jihoon langsung membuka seatbelt dan turun dari mobil. Daniel mengikutinya, memperhatikan bagaimana Jihoon meraih satu set kunci dari sakunya dan membuka pintu dengan begitu terbiasa. Studio di malam hari selalu terasa begitu magis—dengan sinar bulan yang merambat dari kaca jendela dan mengiluminasi lukisan-lukisan setengah jadi yang terduduk manis di atas kuda-kuda. Tangan Daniel sudah meraih saklar lampu, tapi dahinya lantas berkerut saat menyadari tak ada perubahan dalam penerangan. Ia menekan saklar itu beberapa kali lagi, dan berdecak pelan. Bohlam-bohlam lampu yang tergantung di atas berpendar lemah, cahayanya redup.

“Mesti diganti,” gumamnya, lebih ke dirinya sendiri. Ia melayangkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, mencari sosok laki-laki yang lebih muda.

Yang dicari sedang berdiri termangu di depan sebuah kanvas; besarnya hampir setinggi tubuhnya. Kanvas itu digeletakkan di lantai, menyandar ke dinding.

Daniel memasukkan tangan ke saku, berjalan menghampirinya.

“Ini yang dibuat waktu sesi live painting?” suara Jihoon memecah keheningan.

Daniel mengangguk. Menyadari kalau Jihoon sedang memunggunginya, ia berdeham, “Iya.”

Tangan Jihoon perlahan terangkat, seolah ingin menyentuh kanvas itu. Lalu ia mengurungkan niat, tangannya kembali ke sisi tubuhnya. Ada helaan napas keras yang keluar.

“Saya gak ngerti,” mulai Jihoon, bersidekap. Ia memalingkan wajah dan menggelengkan kepala, “Saya gak paham gimana Kak Daniel bisa bikin lukisan yang... yang sebegitu..”

Kalimatnya tidak dilanjutkan.

Tangan Daniel terulur, ingin menyentuh bahu Jihoon. Jihoon refleks menjauh, seolah tersengat. Ia balas menatap Daniel dengan pandangan sengit.

“Gimana caranya kak? Kak Daniel selalu bisa bikin lukisan yang begitu hidup. Kayak tiap inci dari kanvas ini punya pori-pori dan mereka semua bernapas. Saya gak pernah paham.”

Pria itu memperhatikan wajah Jihoon yang terlihat begitu frustrasi, dan terkekeh.

“Kita beneran mau bahas ini jam dua belas malem?” tanyanya. Ia bergerak maju, menangkup pipi Jihoon dengan satu tangannya, ibu jarinya membelai kulitnya dengan lembut. “Kamu belum bilang apa-apa soal kejadian tadi,” kata Daniel pelan. ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ (“Oh, ini toh yang katanya jadi muse-nya si Daniel?”) ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ Jihoon menunduk, menjauhkan diri dari sentuhannya. Tangan Daniel masih di udara, merasakan penolakan itu.

“Jawab aja kak,” suaranya kecil.

Tangannya jatuh ke sisi tubuhnya.

Memutuskan untuk baiklah, ia akan menurutinya, Daniel mengambil sebuah bangku dan mendudukkan diri di atasnya. Tangannya menggamit kedua lutut, dan barulah ketika ia merasa nyaman, ia berbicara.

“Kamu tau ngelukis itu bukan sekedar memindahkan apa yang kamu lihat ke atas kanvas, ya kan?” ujarnya. Samar, ia melihat Jihoon mengangguk. “Setiap orang punya persepsi berbeda-beda tentang bagaimana mereka melihat suatu objek. Dan persepsi itu terbentuk dari berbagai hal; salah satunya adalah dengan memiliki pengalaman. Gimana caranya kamu bisa menggambarkan kehidupan? Well, you have to experience life itself,” berusaha membuat suasana lebih cair, Daniel menggoda, “bukannya ini yang saya ajarin ke kamu selama mentoring?”

Jihoon terlihat uring-uringan. Keningnya berkerut.

“Bukan itu maksud saya. Anggeplah saya udah dapet secicip dari kehidupan itu. Trus apa? Kenapa masih belum cukup?” balasnya.

Daniel menggosokkan tangan ke dagunya, berpikir. “Pak Dongwook bilang apa sih ke kamu?”

Mengerang, Jihoon berseru, “Jangan bahas Pak Dongwook.”

“Ini pasti berhubungan sama TA kamu kan? Kalo enggak, kayaknya kamu nggak akan sebete ini.”

“Iya. Saya capek udah revisi berulang kali dan masih aja...”

“Padahal saya udah nawarin berkali-kali untuk bantu dan kasih masukan—”

“Gak bisa, kak. Kak Daniel gak mesti ngerti, pokoknya saya ada alesan sendiri.”

“Trus gimana cara kamu expect saya untuk tau apa yang kamu butuhin?” Daniel menarik napas lelah, “bukannya itu yang dari tadi kamu inginkan? Untuk saya memberikan kamu.. whatever it is that you think you need.” ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ (“Dek, lo tau kan si Daniel ini bakal ngadain satu pameran yang terpusat sama lo? An ENTIRE exhibit, and you're not gonna give it to him?”) ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ Satu langkah maju.

“Saya tau apa yang saya inginkan.” ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ (“Buang-buang waktu banget dia sama lo.”) ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ Daniel menghembuskan napas perlahan.

Ia kenal tatapan ini.

And what is that?

Tangan Jihoon kini berada di bahunya. ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎

(“Kayak, hampir semua artist yang gue kenal tuh selalu sex deprived loh. In a way, ya itu salah satu cara mereka ngeluapin emosi, selain dengan seni.”

“Sumpah dek, kalo lo gamau mending oper ke gue deh.”) ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ “Kak,” tatapannya sayu, redup. Suaranya lirih. “Apapun yang Kak Daniel mau, Kak Daniel boleh lakuin ke saya.”

Ludahnya ditelan.

“Jihoon—”

Bibir mereka bertemu. ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ (“Mana mau dia. Kenal nih gue yang beginian, inosen-inosen di depan tapi aslinya...”

“Lagian kok bisa gitu? Lo nolakin dia apa gimana deh? Kalo gue mah, it would be such an honor to be fucked by THE Daniel Kang—”) ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ Ada desahan tertahan yang muncul ketika lidah mereka saling menyapa dan bertaut. Ada tangan-tangan yang bergerilya, meraba area-area yang jarang dijamah. Ada bunyi derit kursi yang terdorong beberapa senti ke belakang lantaran ada tambahan berat di atasnya. Ada juga akal sehat yang mampir ke benak pria yang lebih tua, untuk berdiri sambil mengangkat tubuh lelaki yang langsung melingkarkan kaki ke pinggangnya.

Begitu Jihoon sadar, punggungnya sudah menyentuh permukaan meja, dan pandangannya terisi oleh sosok pria yang sudah bertelanjang dada—napasnya naik turun dan lengannya mengurung tubuhnya.

“Kalo ini cuma karena kata-kata orang tadi,” mulai Daniel, masih terengah. “Saya gak akan—”

Jihoon menggeleng. Bibirnya merekah. Basah.

“Saya ingin kakak.” ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎

(“Man... what a pretty little thing. Nemu di mana, Niel? Gue iri, must be such a good fuck...”) ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎

Bohong kalau kata-kata itu tidak membangunkan sesuatu di dada Daniel.

Sweater Jihoon dilepas, dibuang sembarang. Entah tangannya atau tangan Daniel yang menggeser seluruh barang di atas meja agar tercipta ruang kosong di atasnya. Napas keduanya saling memburu, dan ada desis tidak sabar saat terlalu banyak waktu dibuang untuk melepaskan kancing celana Jihoon. Bibir mereka kembali saling memagut, lidah mereka bertemu dengan sebuah ciuman yang basah, dan perlahan Daniel turun. Bibirnya menjelajahi setiap ceruk tubuh Jihoon, tangannya ia gunakan untuk menenangkannya karena setiap beberapa inci, Jihoon akan menyentakkan tubuh dengan napas yang terkesiap. Ketika dua tangan Daniel menurunkan celana dalamnya, Jihoon harus menutupi wajah saking malunya. Tangannya sampai gemetaran, tapi lagi-lagi pahanya dikecup lembut.

Pandangan Daniel mengawasi dengan seksama saat tangan Jihoon refleks menutup mulutnya sendiri yang setengah terbuka, desisan keluar dari bibirnya, tapi sebelah tangannya menjambak rambut Daniel; bersamaan dengan naik turunnya gerakan kepalanya. Daniel melumat ujung kemaluan Jihoon, menyesapnya dengan khidmat.

Sedetik sebelum pelepasan, ia menarik diri. Wajah Jihoon merah padam, ada teriakan di ujung lidahnya.

“Kak, saya hampir—”

Daniel mengecup paha dalamnya. “Sabar.”

Lalu ia kembali ke atas, dan seperti otomatis, Jihoon memeluk tubuhnya. Menengadahkan wajah, menagih ciuman. Daniel menurut, memberikan satu dua kecupan sebelum ia menggantikan bibirnya dengan jari telunjuk dan jari tengah. Tanpa disuruh, Jihoon menghisapnya.

Rasanya Daniel begitu keras sampai ingin meledak.

“Belajar darimana sih kamu ini,” erangnya putus asa, menarik kedua jarinya yang sudah berlumuran air liur.

Jihoon tersenyum tanpa dosa, “Banyak referensi.”

“Nakal,” bisik Daniel, membenamkan wajah ke leher Jihoon. Jemarinya sudah sampai ke bagian selatan.

Butuh waktu untuk menyesuaikan diri, tapi dari cara Jihoon mendesah dan menggelinjang dengan setiap gerakan jemari Daniel, rasa sakit yang terlihat di ekspresi lelaki itu kurun berubah menjadi kenikmatan.

Daniel berdiri. Tergesa-gesa, ia membuka celananya. Ia bahkan tidak sanggup untuk menoleh ke atas dan melihat pemandangan indah di hadapannya. Sementara lelaki di hadapannya sudah semerah tomat, matanya membulat melihat ereksi kekasihnya yang melengkung dan memerah pada ujungnya.

Begitu celananya sudah ditendang entah ke mana, Daniel baru mengumpat.

Shit. Saya gak bawa kondom.”

Jihoon masih tidak bisa mengalihkan pandangan. “Perlu?”

“Um. Yes?” Daniel terkekeh geli. Kekehan itu lantas hilang saat Jihoon membuka lebih lebar kakinya.

“Kenapa? Keluar di dalem aja.”

Kalimat itu yang membuat Daniel nyaris kehilangan kewarasan. Ia ambruk di atas tubuh Jihoon, merampas bibirnya, menyatukan kedua tubuh polos mereka. Penisnya terasa berat dan panas, menempel ke paha Jihoon. Sial, kalau saja ia bisa langsung menerobosnya tanpa babibu, sudah ia lakukan dari dulu.

Tapi ini Jihoon.

Berusaha berpikir jernih, Daniel mengangkat tubuhnya, “Sayang, saya nggak mau membebani kamu. Apapun yang mereka bilang tadi, nggak harus kamu ikutin. Percaya sama saya,”

“Tapi mereka bener kak. Ada sesuatu yang ilang—“

“Banyak cara yang bisa dilakukan untuk merasa hidup selain seks, Jihoon...“

“Kak Daniel,” potong Jihoon, wajahnya frustrasi, matanya berair, “Kak Daniel kenapa nggak menginginkan saya?”

Runtuh.

Daniel melayangkan pandangan putus asa padanya.

‏‏‎ ‎‏‏‎ ‏‏‎ ‎

How could you even think that I don't want you when every single one of my painting scream on how I yearn for you?

‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎

Napas Jihoon tersengal. Sesuatu di dadanya tumpah ruah.

“Saya pengen, kak,” ia berbisik, dan untuk mengempasis kata-katanya, ia menarik pantat Daniel untuk mendekat, semakin menggesekkan kemaluan mereka. Keduanya mendesah.

Mungkin karena Jihoon terlihat sebegitu indahnya malam ini, atau mungkin karena ini bentuk frustrasinya yang sudah menahan gairah sejak lama, atau bahkan karena ada rasa takut yang irasional tentang hubungan mereka. Tapi Daniel menyerah. Kemaluannya berkedut di tengah kehangatan lubang yang ketat, dan lenguhan yang keluar dari bibir Daniel hampir sama dengan desahan yang dilontarkan Jihoon.

Pinggulnya terus bergerak, keringatnya jatuh.

Suara ah, ah, ah yang secara ritmik keluar dari bibir Jihoon terdengar seperti melodi di telinga Daniel. Ia menunduk, otot punggungnya menegang, bibirnya mencumbu bibir merah itu.

God, you're so beautiful,” engahnya, “so precious..

Tangan-tangan Jihoon menarik pinggulnya. Meja itu berderit kencang. Matanya berair saat menatap Daniel.

“Cepetan, mmh,” bisiknya, “cepetan dikit.”

Gelengan kepala tidak percaya. Tapi toh ia turuti juga.

I wish I could paint you,” suara Daniel parau, memohon, “kamu kayak malaikat, Jihoon...”

Tak disangka, yang keluar dari mulut Jihoon adalah; “Kalo gitu, tunggu apalagi?”

Ini gila.

Mungkin dua-duanya sama-sama seniman sinting yang berada di ujung tanduk kefrustrasian mereka sendiri, tapi Jihoon betul-betul serius dengan ucapannya.

Kini ia terbaring di lantai yang beralaskan kain kanvas hampir selebar rentangan tangannya setelah ditidurkan di sana oleh Daniel. Rambutnya tersebar, berantakan, tubuhnya telanjang bulat dan mengkilap oleh bekas air liur hasil cumbuan. Pandangannya sayu, dan butuh seluruh kontrol dari pria itu untuk tidak segera memboyongnya ke puncak tertinggi.

Daniel menyeret rak beroda yang berisikan kaleng cat, palet, dan kuas yang sering ia pakai. Ia ambil kuasnya, dicelupkan ke salah satu campuran warna yang telah ia siapkan.

Pose for me.” pintanya serak.

Seperti hal yang natural, tangan Jihoon direntangkan ke atas, mengekspos seluruh tubuhnya. Wajahnya dipalingkan ke kiri, pahanya merapat. Ia menggigit bibirnya, menikmati bagaimana Daniel hampir luluh lantak hanya dengan melihatnya berpose.

Kuas itu mengelilingi tubuhnya. Jihoon hampir berjengit saat merasakan helai kasar kuas hampir menyentuh kulitnya. Napasnya tertahan saat Daniel menunduk, penuh konsentrasi meng-outline garis pundaknya. Setetes peluh mengalir dari dahi Daniel dan jatuh ke dada Jihoon.

“Balik badan kamu,” sahut Daniel kemudian, beranjak dari posisinya.

Jihoon menurut. Ia menoleh, menatap Daniel, menaikkan pinggulnya sehingga pantatnya terpampang jelas. Ada erangan frustrasi terdengar, dan tangan Daniel langsung terulur untuk meremas dan menampar lembut bilah pantat itu.

“Lanjutin, kak,” perintah Jihoon, dan pria di atasnya kembali berdecak tak percaya.

“Kamu gila, sayang,” tapi toh ia kembali menunduk dan mengarahkan kuasnya.

Butuh sekitar tiga posisi yang berbeda sampai Daniel menghela napas puas. Posisi-posisi tersebut menciptakan gerakan sekuensial di atas kanvas, dan benaknya sudah merancang bagaimana ia akan membubuhkan warna di atasnya ketika Jihoon menarik tubuhnya mendekat.

Lidah mereka beradu untuk kesekian kalinya, dan Daniel mesti menahan berat tubuhnya agar tidak sepenuhnya menindih Jihoon. Kuas di tangannya sudah menggelinding entah ke mana. Ada bisikan kecil yang memintanya untuk ”Masukin...”, dan detik itu juga Daniel sadar bahwa Jihoon adalah iblis berkedok malaikat.

Yang terjadi selanjutnya adalah Daniel mengubur dirinya sampai ke pangkal, ke dalam kehangatan yang menghimpitnya begitu erat. Yang terjadi adalah Jihoon yang mendesahkan namanya (selalu Daniel, tidak pernah Niel) dan mencengkram punggung pria itu, tubuhnya bergetar setiap dihantam oleh kejantanannya. Tak sekali keduanya berguling, membuat tubuh keduanya berlumuran cat yang masih setengah basah— tapi tak ada yang peduli.

Malam itu, di setiap deraan napas dan desahan keduanya, Jihoon menyadari sesuatu. Ia menyadarinya saat ia menengadah dan menatap Daniel yang mengerang nikmat di atasnya, ketika bibirnya terasa bengkak dan kerongkongannya sakit karena tak ada lagi suara yang bisa ia keluarkan; ia sadar ketika ada satu titik di dalam dirinya yang begitu sensitif, dihantam berkali-kali sampai pelepasannya keluar dengan begitu intens; dan ia menyadarinya seusai semua kegiatan itu selesai, ketika Daniel menundukkan wajah dan mencium keningnya lama, rasa hangat membuncah di hatinya saat tubuhnya digendong ke kasur dan pria itu membisikkan betapa ia mencintainya. ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ Satukan diri kamu dengan seni. ‏‏‎ ‎

Benamkan diri kamu sedalam mungkin hingga yang bisa kamu rasakan adalah emosi di bentuk yang paling murni. ‏‏‎ ‎

Hanya dengan cara itu kamu bisa paham, betul-betul paham esensi dari apa yang ingin kamu sampaikan. ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎

Ia akhirnya sadar bahwa ini, inilah yang selama ini ia cari.