write.as

THE END

“Anjing!” Atra tersentak saat sebuah tangan melingkar pada pinggangnya, hal tersebut membuat fokusnya mengatur beberapa menu lauk-pauk di atas meja makan jadi buyar.

Language, Baby.itu Marcel — suaminya. Ya, benar, tidak salah, suami.

Kebetulan hari ini, tanggal 27 Januari menjadi hari ulang tahun pernikahan Atra dan Marcel yang kedelapan. Saat malam itu Atra bilang tidak akan pernah pergi lagi, ia benar-benar menepati janjinya, tidak ada kata putus untuk yang kedua kali, dan kini, mereka berhasil sampai sejauh ini.

“Maaf, aku kaget, kamu pulang gak ada suaranya.” Atra kembali fokus membersihkan alat makan di depannya, sementara Marcel masih setiap memeluk tubuh mungil itu.

“Kamu yang gak denger aku masuk, Sayang. Aku udah teriak dari depan.” iya kah? — Atra tidak dengar, sudahlah ia juga tidak ingin memperpanjang pembahasan itu.

“Geliiii Marcel.” bukannya menyingkir saat Atra menarik lehernya menjauh, Marcel malah semakin mempererat pelukannya dan menciumin leher jenjang itu lebih dalam.

Happy Anniversary, Sayang.oh, sial Atra lupa, tadi pagi sempat ingat tapi karena beberapa pekerjaan yang dilakukan hari ini ia jadi lupa!

“Kamu lupa, ya?” kedua sudut bibir Marcel mengembang saat Atra membalikan badan dan bertemu pandang dengannya; ia sudah maklum, Atra memang jadi pelupa sejak mereka nikah.

“Aku inget tadi pagi,” gerutu Atra; manyun, “Tapi karena hari ini sibuk aku jadi lupa, maaf yaa.” mata bulat Atra masih sama; indah, sampai Marcel tidak kuasa tiap kali tatap itu memohon atau berubah sendu.

“Jangan manyun gitu dong, aku mau marah jadi gak tega.” candanya; bohong, Marcel tidak akan marah untuk hal kecil yang Atra lupakan, hubungan delapan tahun-nya tidak akan ia sia-siakan perkara lupa tanggal pernikahan.

Sorrrrrry.” suara Atra mendayu; tangannya melingkar di leher Marcel sementara yang lebih besar memeluk pinggang ramping itu dengan lembut.

Happy Anniversary, Mas Aceeel.” bibir keduanya bertemu, begitu lembut menempel, menyalurkan kasih.

Bibir Atra masih menjadi candu bagi Marcel tapi sekarang berada diposisi kedua — karena posisi pertama sudah digantikan oleh yang lain, (yang lebih sempit).

Ciuman lembut itu berubah jadi lumatan basah ketika Atra melengkuh, merasakan lidah Marcel bermain dengan miliknya. Atra sudah terbawa suasana merasakan cumbuan sang suami, sampai tidak sadar ketika tubuhnya sudah terangkat duduk di atas sudut meja makan, god, jangan di dapur lagi, batin Atra.

“Eum- jangan disiniiiih, anak-anak-” kalau sudah begini Marcel sepenuhnya tuli, ia tidak memberi jeda yang lama saat melepas bibir ranum Atra untuk kemudian memakan-nya lagi.

Boleh ya, Sayang?” astaga, Marcel menatap Atra meminta izin begitu ciumannya lepas, ia berusaha untuk tidak tergesa walaupun keinginannya untuk itu sangat membuncah; yang ditatap tentu paham kalau suaminya butuh pelepasan.

Atra melirik jam dinding, harusnya cukup, bukan jawaban ya, melainkan ciuman yang kembali bersatu, kali ini begitu tergesa, berantakan, dan menuntut — Atra memberi izin.

“PAPAAAA! ALO SAMA MAS PULANG.” — tapi semesta tidak.

Shitttt.” dengan cepat dan tidak rela Marcel menghentikan aktivitasnya menjamah leher Atra yang sudah memiliki sedikit tanda merah akibat ulahnya; membantu si manis turun dari atas meja, kemudian menyeka bekas saliva yang tertinggal pada bibir ranum itu.

Atra sama paniknya.

“DADDDDDDYYYYY!” Marcel berbalik, sedikit berjongkok sambil membuka tangannya ketika mendapati gadis mungil itu berlari dan berhambur kedalam peluknya.

“Halo, Cantik. How’s your day?” gadis kecil dalam gendongan Marcel namanya Alodia.

Today was really good, masakan Papa enak, teman-teman Alo suka!” walaupun bukan anak kandung — mata bulat milik Alodia sama persis seperti Atra, mereka bagaikan copy.

“Oh iya? Daddy belum cobain masakan Papa hari ini.” Alodia mendengus, Marcel terkekeh.

Atra yang menjadi penonton interaksi antara Ayah dan Anak di depannya hanya bisa tersenyum; tidak bisa dibantah, keluarga kecil yang mereka bangun benar-benar menjadi titik balik hidup Marcel, setelah mereka memutuskan untuk mengadopsi anak, Marcel benar-benar memberikan seratus persen perhatiannya pada anak-anak mereka, (masih ada seratus persen lain untuk Atra, itu berbeda).

Aku gak mau anak-anak ini sama kaya aku, ajarin aku ya, Tra, jadi orangtua yang baik.” itu kalimat yang Marcel ucapkan sebelum akhirnya mereka ketuk palu untuk mengadopsi buah hati, keduanya masih sama-sama belajar menjadi yang terbaik untuk satu sama lain — dan ya, they’re twins!

Baik Marcel dan Atra serta pengurus panti asuahan tempat mereka mengadopsi dua kembar itu tidak ada yang tahu identitas asli Alodia dan Mikael — keduanya sudah berada di depan Panti Asuhan sejak masih merah, tidak tahu juga siapa yang tega menelantarkannya — tapi hal tersebut dapat dikatakan anugerah bagi Marcel dan Atra sehingga mereka bisa memiliki kesempatan untuk merawat dua permata mungil tersebut.

“Loh, Mas kenapa? Kok wajahnya sedih?” atensi Atra beralih pada sosok lain yang masuk ke ruang makan sambil menyeret tas ranselnya — Mikael si Mas kecil, tampak murung tidak seperti biasa.

“Mas Mika kenapa Sayang?” Atra berjongkok, menyamakan posisi dengan tinggi badan si Mas kecil.

Nothing. I’m good, Papa.” bukan hanya Atra yang khawatir, Marcel pun sama.

Berbeda dengan Alodia yang sangat ekspresif; Mikael lebih pendiam dan sangat perasa.

“Mas Mika lagi kesal sama Hanung!” ceplos Alodia yang kemudian mendapat tatapan dingin dari Mikael, mereka sudah janji kalau itu harus menjadi rahasia! Tapi — terjawab sudah.

“Hanung?” Atra mengulang nama itu, “Hanung anaknya Om Harvi?” Atra menatap Alodia untuk mencari jawab — si mungil mengangguk cepat.

“Hanung yang tampaaaaan itu loh, Papa!” ya Tuhan — anak umur tujuh tahun sudah paham arti tampan.

“Hanung jelek.” Mika buka suara, kontra.

“Hanung suka jahil sama Mas Mika, jadi Mas Mika sama Hanung sering berantem kejar kejaran!” Marcel dan Atra sibuk menyimak aduan Alodia — sementara Mikael yang rahasianya dibocori -kalau dia dan Hanung tidak akrab- sudah pasrah.

“Sekarang teman-teman di kelas lagi suka ledekin Mas Mika dan Hanung! Jadi Mas Mika kesal.”

“Mas Mika diledekin apa?” Atra sedikit khawatir — berharap bukan ledekan yang menyakiti Mikael.

“Diledekin pacaran sama Hanung! Karena katanya benci bisa jadi cinta.”

Atra bungkam, Marcel juga bungkam.

“Mika gak suka Hanung!” yang menjadi topik buka suara, telinganya memerah.

“Kenapa Mas gak suka Hanung? Hanung tampan! Kalau sudah besar Alo mau jadi pacar Hanung.”

“GAK BOLEH. ALO HARUS CARI PACAR YANG BAIK! JANGAN SAMA HANUNG!”

Deja vu.

Bukan hanya telinga Mikael yang memerah — telinga Atra pun sama, lebih merah malahan. Ia menoleh ke arah Marcel yang sedang berusaha mati-matian menahan tawa.

“Sudah sudah, sekarang Alo sama Mas mandi sore dulu terus ganti baju.” Marcel menengahi, “Mas boleh kesal tapi jangan lama-lama ya? Habis itu harus senyum lagi.” tangan Marcel terulur mengusak rambut Mikael yang kemudian di respon anggukan.

“Nanti kalau Adek sama Mas udah mandi, kita potong cake cokelat. Setuju?” dengan cepat Alodia dan Mikael menatap Marcel; pandangan keduanya berbinar, siapa yang tidak suka cokelat?!

“SETUJUUUU!” Alodia mulai resah dalam gendongan Marcel, ingin segera turun dan berlari ke kamar.

“Ayo, Mas!” begitu kaki mungilnya kembali menapak di tanah, Alodia langsung meluncur; tidak sabar bebersih dan potong cake!

“ALOOO BE CAREFUUUL.” teriak Mikael saat melihat adik kembarnya berlari tanpa rem.

See you, Papa, Daddy!” tak selang lama Mikael ikut berlari; tanpa raut murung seperti di awal, meninggalkan tas ranselnya disana.

“Mikael persis banget sama kamu, Tra.” ujar Marcel melihat dua buah hatinya perlahan penghilang dari pandang.

“Iyalah, anak aku.” bela Atra.

“Anak aku juga.” Marcel tidak mau kalah.

“Cel, emang kita punya cake cokelat?” Atra baru sadar.

“Punya, tadi aku beli, buat rayain anniversary kita bareng anak-anak.” god, Atra sangat mencintai Marcel yang sekarang.

“Kenapa, Sayang?” Marcel salah tingkah melihat manik cantik itu menatapnya tidak berkedip.

Bukan jawaban melainkan sebuah pelukan erat yang Atra beri; yang lebih kecil menenggelamkan wajahnya di dada Marcel, dalam hati mengucapkan beribu syukur atas apa yang ia miliki sekarang.

“Makasih Marceeel,” pelukan itu semakin erat, “Aku sayang kamu!”

Duh ini karena cake cokelat kah? Kalau iya, Marcel akan beli cake cokelat setiap hari agar bisa melihat Atra bertingkah manis seperti sekarang.

“Sayang, boleh gak weekend ini anak-anak nginep di rumah Ibu?” Atra tahu kemana maksud Marcel. ia mengangguk; membuat Marcel bersorak dalam hati.