write.as

Surat dari Yang Terus Mengingat

Untuk Yang Terus Diingat

Adisa,

Apa kabar?

Sebenarnya saya bisa dengan mudah tahu kabar kamu, takdir kita masih saling terikat walaupun bukan dengan cara yang awalnya saya harapkan.

Saya bisa dengan mudah menghubungi kamu atau membuka media sosial kamu dan melihat senyumanmu dalam bentuk foto.

Senyuman yang selalu saya semogakan supaya tidak hilang dari wajah kamu.

Saya bisa saja mengajakmu bertemu, dalam rangka merayakan tahun demi tahun satelah saya merelakan kamu, setelah saya sengaja menghilang dan menaruh diri saya seakan berada di dimensi yang berbeda dengan kamu.

Tapi saya tidak melakukannya.

Saya memutuskan untuk merangkum pertanyaan kabar dalam surat ini, beserta cerita untuk kamu.

Saya tahu kamu akan suka membaca cerita saya.

Adisa,

Butuh waktu sepuluh tahun buat saya memahami maksud kehadiran kamu dalam hidup saya.

Setelah ego, mengalah, menyerah, dan merelakan.

Saya baru paham.

Biar saya ceritakan.

Pertama, komik. Mungkin kamu gak pernah tahu tapi pertama kali saya berani mengirimkan komik saya ke redaksi mading jurusan adalah karena saya lihat kamu baca komik di perpustakaan kampus. Saya tahu komik itu koleksi kamu sendiri karena di perpustakaan kampus kita gak ada komik Gals. Hari itu seandainya saja saya gak terlalu pengecut, saya pasti akan menghampiri kamu dan mengajak kamu mengobrol soal komik itu. Saya baca banyak komik, Adisa. Komik apapun. Dalam maupun luar negeri, genre apa saja, dan saya juga tahu komik yang kamu baca waktu itu. Belakangan, saya baru mengerti, saya bukan tertarik karena komik di tangan kamu, saya memang ingin bicara dengan kamu saja, melihat mata kamu dalam jarak dekat.

Kedua, Jepang. Mengingat berapa banyak hari yang kita lewatkan di sana bersama kamu, gak heran kalau sudut-sudut beberapa tempat di sana selalu punya sedikit diri kamu. Seperti kamu tahu, saya melanjutkan kuliah lagi di sana dan tidak ada satu hari pun terlewatkan di sana tanpa mengingat kamu. Sepeda kamu yang rantainya putus di hari pertama kita kuliah waktu itu, kebiasaan kamu memesan cokelat panas di kafe obaa-san tidak peduli cuaca yang bagaimanapun, matamu yang berkelana ke luar kaca jendela kereta, dan banyak lainnya. Kota itu menjadi kota Adisa buat saya.

Saya juga akhirnya pergi ke aquarium Osaka yang pernah kamu ributkan itu, saya berlama-lama di sana, mengingat-ingat di kepala, bahwa beginilah tempat favorit kamu, yang waktu itu kamu datangi bersama orang yang kamu sayangi. Lalu saya membatin saya tidak lagi iri dengan orang itu karena bisa ke aquarium ini bersama kamu, saya lebih iri pada ikan-ikan di dalam replika lautan di balik kaca, yang kamu pandangi dengan mata itu, sepasang mata yang bagi saya seluas lautan, dan pada keduanya saya tenggelam.

Ketiga, mimpi di ayunan. Ingat kan percakapan kita malam-malam? Waktu kamu pilek dan saya memberanikan diri mengajakmu bicara tentang mimpi. Berkat malam itu, saya juga berani dalam banyak hal sampai sekarang. Ketika kamu baca surat ini, saya sudah jadi ilustrator sekaligus pengajar mata kuliah budaya manga, menjalani profesi yang saya inginkan. Untuk itu, saya berhutang banyak terima kasih kepada kamu, karena meyakinkan saya bahwa cerita yang datang dari hati akan selalu punya tempat, bahwa mimpi yang besar akan selalu punya ruang. Kamu akan senang mendengarnya, karena dari dulu kamu sering bilang, melihat seseorang menjalani yang mereka sukai, mendatangkan kebahagiaan sendiri.

Keempat,

Adisa, saya lihat foto dan video anak-anakmu. Anak sulungmu memiliki garis senyumanmu, anak tengahmu punya matamu, dan anak ketigamu punya tawamu. Mereka anak-anak yang lucu, yang beruntung punya ibu yang menyayangi mereka seperti kamu. Seandainya saya bisa meminjam sedikit waktu mereka, saya ingin sekali menceritakan tentang lautan luas di mata ibu mereka, betapa mengagumkannya ibu mereka dan betapa mudahnya menyayanginya, namun rasanya tidak perlu, karena tanpa cerita itu pun, mereka akan tahu.

Empat hal yang saya ceritakan di atas menggambarkan bagaimana hidup kita berjalan bersamaan dari awal saya melihat kamu sampai akhirnya saya merelakan kamu.

Poin pertama dan kedua, saya masih mencintai kamu dengan ego saya, menahan kamu di ingatan saya dengan anggapan bahwa Tuhan mencurangi saya, sehingga saya tidak pernah bisa bersama kamu.

Poin ketiga dan keempat, saya mencintai dan mengingat kamu dengan hati yang lebin lapang, saya memahami bahwa saya tidak sedang dicurangi, karena sejak awal ini bukan soal kalah atau menang. Bukan soal dibalas atau diabaikan.

Memang sudah seharusnya seperti ini. Saya salah kalau mengharapkan takdir mengembalikan investasi perasaan saya terhadap kamu, karena bukan begitu semesta bekerja, iya kan?

Kamu ada di hidup saya untuk kebahagiaan yang lain, memang bukan kebahagiaan yang awalnya saya harapkan, tapi kebahagiaan inilah yang merupakan milik saya, bukan milik orang lain dan bukan hasil dari menyakiti orang lain.

Sejak awal saya melihat kamu di perpustakaan, kamu memberikan kebahagiaan itu sampai sekarang. Karena kebahagiaan itu tidak melulu soal berjodoh dan bersama selamanya. Ternyata semesta selalu punya pilihan kebahagiaan lain.

Kebahagiaan menjalani profesi yang saya raih lewat mimpi dan keberanian, kebahagiaan melihat orang yang saya sayangi tersenyum lebar dikecup anak-anaknya.

Kebahagiaan yang seperti itu.

Kini saya mengingat kamu tanpa merasa dicurangi, tanpa sakit hati.

Saya juga ingin minta maaf kepada suami kamu dan juga istri saya yang sedang tidur di tempat tidur selagi saya menulis surat ini, maaf karena saya masih ingin mengingat kamu.

Kali ini mengingat dengan pemahaman bahwa kamu adalah salah satu alasan saya bahagia, dan akan terus begitu.

Untuk gambar-gambar yang tidak pernah sempat saya berikan, ucapan-ucapan selamat dan terima kasih yang tidak pernah benar-benar saya sampaikan, dan perasaan yang sebelumnya tidak pernah bisa saya jabarkan, surat ini adalah ringkasannya.

Adisa,

Selamanya mata kamu adalah lautan dan senyumanmu adalah langit sore, dan saya, ujung sepatu yang menyaksikan keduanya menyatu.

Irham.