write.as

A Time to Face Myself

Sejujurnya, Minghao memang benar-benar terkejut.

And the award goes to.... Xu Minghao!!!”

Gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan sekali lagi kala Seokmin memanggil namanya. Keterkejutan masih memenuhi kepala Minghao setelah mendengar namanya disebut sebagai Best Staff ketika Seungcheol mendorongnya perlahan untuk maju mengambil piala.

“Sahabat gue cuy! Sahabat gue!!” seru Mingyu heboh merangkul pundak Minghao erat, bibirnya tersenyum lebar.

Setiap tahun, bidang film selalu memilih salah satu staffnya untuk dianugerahi titel 'Best Staff' dinilai dari kinerja di program kerja organisasi selama setahun. Biasanya, pemenangnya hanya akan mendapat sebuah piala plastik murah, tapi Minghao tahu sorotan dari penghargaan ini adalah rasa bangga atas pencapaian dan perjalanan pribadi bersama bidang film.

“Ada komentar tambahan dari PI dan BPH tentang Best Staff tahun ini nih! Oke, yang pertama Bang Unyong bilang: 'biasanya kalo udah jadi Best Staff, taun depannya jadi BPH. Ditunggu berkas pencalonannya'. Mantap, penggiringan opini. Yang kedua, dari Kak Ji: 'gue bangga sama lo.' Pendek tapi bermakna, cocok dengan yang nulis. Ahay. Bentar, jangan lempar gue—”

Tentu saja tanpa menghiraukan seruan takut Seokmin, Jihoon sudah melempar bantalan sofa. Minghao tertawa keras melihat ekspresi Seokmin setelah terkena lemparan dari Jihoon.

“Semuanya jangan panik, hidung gue menyelamatkan muka ganteng ini dari cedera oleh bantal sofa. Yak, yang terakhir, dari Bang Seungcheol, yang berbunyi sebagai berikut: 'terus berkarya di manapun lo berada, SVT bangga karena pernah jadi tempat lo berkarya.' Monmaap, ini siapa yang naro bawang di sini, aduh, yang menang siapa yang nangis siapa.”

Setelah menyerahkan beberapa lembar tisu untuk MC yang kini benar-benar mulai berkaca-kaca dan melaksanakan beberapa kali sesi foto bersama dengan PI dan BPH, Minghao dipersilakan untuk memberikan sebuah sambutan atas penghargaannya.

Dengan mic di tangan kanan dan piala di tangan kiri, Minghao mengedarkan pandangan dan mulai berbicara.

“Orang pertama yang gue kenal di ruangan ini adalah Wen Junhui.” Ia berhenti sejenak untuk memberikan salut dua jari kepada kekasihnya, yang dibalas dengan sebuah kiss bye dan kedipan mata. “Kita dari kota yang sama, jauh dari Jakarta, tapi gue kenal dia sebagai mahasiswa hits ibukota. Gue nggak punya temen deket, bener-bener cuma Junhui. Jadi pas dia ngajak gue jadi staff film, gue sebagai maba gapunya arah dan mudah dihasut iya iya aja.”

Minghao tersenyum mengingat masa-masa itu. Ia melanjutkan, “Terus gue kenalan sama BPH film, Bang Unyong dan Kak Jihoon, yang sekarang jadi bagian dari manusia-manusia favorit gue di dunia ini. Dulu gue kira Bang Unyong tuh manusia kantas hits yang gak mungkin peduli sama maba cupu yang baru jadi staffnya, terus Kak Ji galak banget gue sampe takut. Ternyata sama sekali nggak. Mereka orang-orang yang nyadar kalo gue punya potensi bahkan sebelum gue sendiri sadar, dan kalo nggak karena mereka, gue nggak akan berdiri di sini sekarang.”

Di atas sofa, Soonyoung dan Junhui berebut memeluk Jihoon, sementara yang berusaha dipeluk mati-matian mencoba kabur.

“Dua bulan jadi staff, gue dapet proker bareng sama anak seangkatan gue, Mingyu sama Seokmin. Kita sama sekali gak kenal satu sama lain sebelum jadi staff film.” Mingyu adalah salah satu maba terpopuler angkatannya, dan Seokmin merupakan tipikal maba yang sudah akrab dengan kakak tingkat bahkan sejak ospek. Minghao? Ada yang ingat untuk mengajaknya dalam tugas kelompok saja dia bersyukur.

“Terus gatau gimana—” bohong, Minghao masih ingat betul cerita bagaimana ia, Mingyu, dan Seokmin menjadi akrab seperti sekarang, “—kita jadi setali tiga biji. Salam yauds mo gimans, my frens.”

“Salam yauds mo gimans!” seru Mingyu dan Seokmin berbarengan, membuat yang lain tersentak kaget.

“Gue mau lanjutin ceritanya gimana gue kenal kalian satu-satu dan pengaruh kalian di hidup gue, tapi kasian kalian nanti terharu. Jadi, malem ini, gue mau bilang makasih sama 12 orang yang ada di ruangan ini karena bikin gue merasa punya rumah sama kalian. Gue sayang kalian.”

Minghao memulai tahun ini sebagai seorang maba canggung tanpa teman. Tahun ini sudah akan berakhir, tapi ia sudah bukan lagi maba, ataupun canggung, apalagi tanpa teman.

Karena di sinilah ia menemukan rumah, lebih dari teman, yaitu keluarga.

(Dan mungkin ia akan terus menjaga rumah ini untuk waktu yang lebih lama.)