write.as

Beberapa tahun silam, tepatnya di sebuah cafe di bandara, ia pernah membahas hal ini bersama Sejeong.

“There is NOTHING going on between me and Minhyun,” tegas wanita itu.

Sejeong menjelaskan bahwa ia hanya merasa kasihan pada Minhyun— yang notabene memilih mental lebih lemah dibanding Daniel. Ia tahu Daniel lebih bisa berdiri sendiri, menancapkan pasaknya pada bumi dan tetap berdiri tegar bahkan ketika ada banyak badai yang menghadangnya. Maka ia mengalihkan perhatiannya ke tempat yang ia rasa, lebih membutuhkan. Yang disesalkan adalah ia terlalu hanyut dalam rasa kasihan itu sampai lupa bahwa Daniel juga manusia biasa yang butuh seseorang untuk berpegang.

Saat itu, 90% asumsi dan kecurigaan Daniel terhadap hubungan mereka berdua sudah musnah. Tetapi tak bisa dipungkiri, masih ada sekelibat pertanyaan yang muncul di benaknya— bahwa ada hal yang masih disembunyikan Sejeong darinya.

Dan Sejeong sendiri sepertinya sadar kalau ia tahu, tapi ia hanya tersenyum dan merapatkan bibirnya—menolak secara halus.

Mungkin dari situ insekuritas dan trust issue-nya bertumbuh.

​​

​​

Sore tadi, ada perasaan bergemuruh yang menyeruak di dadanya begitu ia melihat dua sosok itu. Ia kira ia sudah bisa mengendalikan perasaan ini, tapi bahkan menyebutkan nama Minhyun saja masih meninggalkan rasa pahit di lidahnya.

“Kak Daniel harus tau. Saya nggak bisa nyimpen hal ini kelamaan, kak,”

“Iya, Jihoon. Saya mengerti. Kita sudah janji ngomong sama-sama, kan.”

Ia masih ingat betapa frustrasinya wajah Jihoon. Ia juga ingat Minhyun tersenyum tipis dan mengusap kepalanya.

“Tenang saja. Kamu selesaikan sidangmu dulu. Saya akan hadapi dia jika waktunya sudah tepat.”

Baru malam ini rasanya semua kepingan di kepalanya menyatu. Di saat Sejeong dan Jaehwan sibuk mengobrol tentang pekerjaan sembari mengemil kudapan, di saat pesan terakhirnya pada Jihoon tak terbalas dan tak terbaca; Daniel justru mendapat titik terang.

Yang ingin Jihoon bicarakan. Kenapa Jihoon memutuskan untuk keluar dari apartemennya. Kenapa Jihoon sampai sekarang tidak membalas semua ungkapan sayangnya.

Sedari awal, ternyata bukan cuma dia. Ternyata ada orang lain yang tidak kunjung pergi dari hati Jihoon.

Seharusnya ia tahu itu. Semua tanda-tandanya mengarah ke sana. Dari ucapan ibu Jihoon hingga seseorang misterius yang terus membuat Jihoon bersedih dan termangu selama kegiatan mentoring mereka. Entah mengapa butuh waktu begitu lama sampai ia bisa menyadari hal ini.

Mungkin selama ini ia hanya mengelabui dirinya sendiri.

Tapi toh, Daniel yang pernah mengatakan pada Jihoon untuk memberitahunya kalau ia ingin pergi. Jika suatu hari perasaan Jihoon berubah, maka Daniel tidak akan menahannya.

Feelings change, Daniel,” itu kata Sejeong, dulu. “Aku nggak bisa ngejelasin kenapa, it just does..”

Ketika ia sampai di rumah, seluruh penerangan sudah gelap. Di atas tempat tidur, ada sosok yang sedang bergelung nyaman di atasnya, terlelap. Pada akhirnya ia ikut merebahkan tubuh, menghela napas panjang.

Yang lucu dari Jihoon adalah, ia akan secara otomatis bergerak menuju kehangatan. Seperti bunga matahari yang melongok mencari sang surya. Begitupun tiap Daniel berada di atas tempat tidur yang sama, panas tubuhnya membuat Jihoon langsung bergerak mencarinya. Belum beberapa hitungan detik, dan Daniel bisa merasakan ada tangan-tangan yang memeluk punggungnya.

Ia berbalik, lantas menerima Jihoon dalam dekapannya. Pemuda itu langsung membenamkan wajah di dadanya, bergumam kecil. Mereka pas sekali, tubuh mereka saling melengkapi seperti kepingan puzzle.

“Jihoon..” bisiknya, ibu jarinya mengelus pipi lembut pemuda itu.

“Kenapa harus dia?” bisiknya pedih, “dari semua orang di dunia ini, kenapa kamu harus memilih dia?”

Ia ambil tangan Jihoon yang secara tidak sadar merenggut kausnya. Ia lepaskan perlahan, lalu ia bawa ke bibirnya.

“Kenapa kamu nggak bisa cinta sama saya aja?”

Pemuda di dekapannya mengerutkan kening, seolah perkataan Daniel mengganggunya bahkan di dalam mimpi sekalipun. Daniel menghela napas lagi, mencium keningnya lama, sampai kerutan di dahi Jihoon menghilang.

Ia lelah. Sungguh lelah.

Yang ia inginkan hanya seseorang untuk mencintainya dan memilih untuk tetap bersamanya.

(Malam itu, ia merengkuhnya erat. Rasanya ia tidak ingin hari esok menghampiri. Rasanya ia ingin mengkapsulkan momen ini, di mana hanya ada dirinya dan Jihoon berdua, tanpa rasa takut bahwa semuanya akan berakhir.

Ia tidak ingin semuanya berakhir.)