write.as

“Sudah bangun?” tanya Yosa, dokter spesialis kejiwaan yang menangani Jiva sebagai pasiennya yang baru berjumpa selama dua kali pertemuan.

Jiva pasien yang dibawa temannya, Nata. Jiva sendiri karyawan barunya yang berkerja di Vegas Bar selama satu bulan. Sejak Jiva bekerja sebagai bartender, Nata sering melihat Jiva merenung tanpa sebab, bahkan menangis tanpa suara dan akhir-akhir ini melihat wajah Jiva pucat dan tubuhnya melemah.

Nata sebagai bos yang mempunyai prinsip menyejahterakan karyawannya pun seringkali menyuruh Jiva untuk berobat, tapi Jiva dengan tegas menolak. Hingga akhirnya Nata berpikir jika Jiva tidak mengalami sakit fisik, tetapi kejiwaannya sedang tidak baik. Mengingat daftar riwayat hidupnya, Jiva seorang yatim piatu dan baru satu bulan ini ia datang dari kota sebrang, dan langsung melamar pekerjaan di Barnya.

Setelah itu Nata berbicara kepada Jiva, dan memberitahu jika mempunyai seorang kenalan sebagai psikiater. Jika mau untuk bercerita, Nata akan membawanya untuk sekedar memulihkan semangatnya. Kagetnya, tanpa penolakan Jiva mengiyakan ajakannya.

Tidak banyak pembicaraan saat pertemuan pertama, hanya sekedar pengenalan dan perbincangan sesaat. Setelahnya, pada pertemuan kedua Jiva hanya disuruh tidur sejenak untuk istirahat.

“Baru satu jam, tidak mau tidur lagi?” tanya Yosa kembali.

“Satu jam sudah mengingat banyak hal. Sepertinya saya terlalu jahat jika melanjutkan pertemuan selanjutnya,” jawab Jiva.

“Maksudnya? Coba jelaskan terlebih dahulu.”

Jiva ragu-ragu untuk menjawab. Pikirkannya tidak kosong, tapi penuh dengan mimpi yang baru saja ia mimpikan.

Begitu tertidur, Jiva memimpikan tentang kenangannya bersama Japa. Tidak ada hal romantis yang ia impikan karena segala kenangan terindahnya bersama Japa saat keduanya sama-sama berstatus sebagai teman. Ingatan terakhirnya yang menurutnya jembatan pemisah yaitu saat keduanya sama-sama memutuskan untuk menjalin hubungan sebagai kekasih.

Setelahnya pun tidak banyak yang terjadi. Hubungannya pun masih sama seperti sediakala, seperti pertemanan biasa. Tidur berdua, jalan-jalan tanpa tujuan, juga mengunjungi beberapa candi yang menurutnya banyak mitos, juga berjelajah pantai Parangtritis berdua. Bedanya hanya satu, jika biasanya tidur sekedar tidur, setelah berstatus sebagai kekasih, mereka melakukan hubungan badan terlebih dahulu.

Hingga berjalan delapan bulan menjalin hubungan, tiba-tiba Japa memutuskan untuk berpisah dengan alasan “Ribet banget nggak sih pacaran? Dikit-dikit minta maaf. Ketiduran aja minta maaf, terlambat jemput juga minta maaf.” dan keduanya pun memutuskan untuk mengakhiri hubungan sebagai kekasih.

Tapi semua tidak berjalan seperti yang diinginkan Jiva. Ia menginginkan hubungan keduanya baik-baik aja seperti sebelumnya, tapi yang terjadi tidak sesuai keinginannya. Satu minggu penuh Japa menghilang; tidak ada sapaan, obrolan, makan malam bersama maupun pesan singkat.

Hingga di dua minggu berlalu saat Jiva tengah melakukan pemeriksaan kesehatan untuk syarat bekerja, ia didiagnosa sebagai penyandang male prengant. Tanpa berpikir panjang, Jiva tergesa-gesa menjual rumahnya dan tidak ada perpisahan maupun kabar kehamilannya kepada Japa maupun teman-temannya. Jiva hanya ingin pergi tanpa diketahui kondisinya. Mengingat Japa seperti orang yang tidak mengenalnya.

“Dok,” lirih Jiva.

“Ya?”

“Mimpi terakhir yang saya ingat hanya perubahan status dan keputusan saya pindah ke kota ini. Dok, tidak baik juga jika saya berbohong kepada Nata. Dia bos terbaik, meskipun kami baru kenal selama satu bulan. Saya tidak mau berobat karena sudah pasti dokter umum akan mengetahui kehamilan saya yang jalan tiga bulan. Karena itu saya mengiyakan ajakan Nata menemui dokter Yosa aja.”

“Jiva.....”

“Sebelum datang ke sini tadi saya sudah menyerahkan pengunduran diri. Karena bagaimanapun menyembunyikan kehamilan saya, perut saya tidak bisa disembunyikan.”

“Va, maaf, saya tidak tahu ...”

“Dok, wajah saya pucat, tubuh saya lemah karena efek kehamilan. Pikiran saya masih sehat. Karena bagaimanapun saya tidak ingin menyakiti kandungannya. Dok, pertemuan kita sampai di sini saja, terimakasih.”

[]