Bittersweet


Setelah chat mereka di grup, situasi mulai membaik secara perlahan. Meskipun belum sepenuhnya baik, tapi setidaknya Rora sudah mau berinteraksi lagi dengan sahabat-sahabatnya. Sesekali Rora terlihat bergabung dengan Hailee dan Olla makan siang di kantin FK jika sedang tidak ada acara organisasinya. Hari berikutnya Rora bergabung dengan Hailee, Hayden, Jerri di kantin FT. Jovial senang, kakaknya tidak lagi menghindar dari sahabat-sahabatnya.

Di akhir minggu seperti apa yang telah disepakati sebelumnya, Hailee dan Olla bertandang ke apartemen Rora. Sebelum menuju apartemen Rora, Hailee menjemput Olla terlebih dulu, kemudian menyempatkan diri mampir ke drive thru Starbucks untuk membeli minuman.

Jam menunjukkan pukul 4 sore ketika Hailee dan Olla tiba di unit apartemen Rora. Hailee lalu menuju dapur untuk mengeluarkan bawaannya dan menatanya di piring dan mangkuk besar. Olla membantu Hailee menata camilan di piring dan mangkuk, sedangkan Rora sedang mengatur televisi di ruang tengah agar ketika Hailee dan Olla selesai dengan urusannya di dapur, mereka bisa segera menonton ulang tayangan NCT World.

Tidak banyak yang berubah dari terakhir kali Hailee bertemu Rora di Kantin FT, dia masih betah untuk menjadi pendiam akhir akhir ini. Hailee dan Olla belum mendengar apapun dari Rora sejak malam itu, namun keduanya juga tidak ingin memaksa Rora untuk bercerita. Rora yang seperti ini sudah jauh lebih baik daripada beberapa hari setelah malam itu.

Mereka bertiga cukup menikmati tayangan ulang NCT World tersebut, hingga tiba-tiba Rora berujar, “Makasih ya, kalian mau ngertiin gue belakangan ini.”

Hailee dan Olla dibuat heran. Sepersekian detik berikutnya, Rora membawa mereka kedalam pelukan. Agak cheesy kalau kata Hailee. Melihat bagaimana dia dan Rora yang bertengkar hampir setiap saat, dan sekarang tiba-tiba Rora mengajaknya dan Olla berpelukan. Olla yang pertama menjawab ucapan terimakasih Rora saat Hailee masih sibuk dengan isi kepalanya.

No need too, Kak. Aku sama Lilee seneng akhirnya Kak Rora udah nggak sedih lagi. Udahan ya, Kak, sedihnya.”

“Iya tuh, bener kata Olla. Gue udah kangen berantem sama lo lagi.”

Dapat ditebak, setelahnya Hailee dapat jitakan dari Rora. Mereka menyudahi kegiatan berpelukan macam Teletubbies-nya, lalu tertawa bersamaan.

“Kalian kok nggak ada yang nanya sih, gue kenapa. Padahal gue udah nunggu kalian nanya loh.”

“Lah, gue kira sama Olla lo emang nggak mau cerita. Makanya kita juga nggak nanya lo.”

“Yaudah deh, gue cerita sekarang.”

Olla menyambung cepat, “Kalo emang belum siap, nggak usah cerita juga nggak papa, Kak. Aku sama Hailee nggak mau maksa Kak Rora buat cerita.”

Setelahnya, Rora betulan menceritakan kejadian malam itu, versinya. Perlu di garis bawahi, karena Rora yang menceritakannya, maka cerita ini merupakan cerita dari sudut pandangnya. Hailee dan Olla menyimak dengan seksama, hingga pada akhir cerita, Rora menyelesaikan kalimatnya dengan lancar, tanpa terbata, dan juga tanpa air mata. Malah Hailee yang sibuk mencari tisu untuknya. Sambil mengusap air matanya, Hailee mengumpat, menyalahkan Rendra, bagaimana dia bisa bersikap sebodoh itu menurut Hailee. Olla hanya tersenyum menanggapi cerita Rora, sambil sesekali tertawa dan menenangkan Hailee yang masih sibuk menangis sambil mengumpat.

Acara menonton ulang tayangan NCT World mereka tidak selesai, namun mereka cukup senang karena Rora kembali seperti dulu. Tepat pukul 9 malam, Hailee dan Olla pamit pulang meninggalkan apartemen Rora bersamaan dengan kembalinya Jovial dari rumah Chalvin. Sebelum Hailee pulang, dia perlu mengantar Olla terlebih dahulu.


Malam ini angin bertiup dengan sedikit kencang, Rora merutuki keputusannya yang hanya memakai midi dress selutut dan lengan yang hanya menutupi sampai sikunya. Diam-diam ia menyalahkan Jovial yang tadi mengajaknya buru-buru sampai ia lupa membawa cardigan. Acara ulang tahun Olla kali berjalan dengan lancar meskipun ia tak banyak mengambil bagian dan meninggalkan sedikit rasa bersalah pada Olla. Mungkin benar apa yang dikatakan Jovial saat kemarin lelaki itu membujuknya. Lo boleh ngga mau ketemu dan menghindari Bang Rendra, tapi bukan berarti masalah lo itu ngasih pengaruh buruk ke hubungan lo sama anak-anak lain.

Sambil menepis rasa bersalah yang muncul, Rora terlebih dahulu berjalan keluar rumah Olla setelah berpamitan dengan anak-anak lain. Ia menunggu Jovial yang tak kunjung muncul sambil mengeratkan pelukan pada dirinya sendiri untuk menghalau dingin. Ia berdiri di samping mobil mereka sambil kakinya menendang-nendang kerikil di bawahnya. Kemudian lamunannya dikagetkan dengan sebuah jaket yang tiba-tiba dipasangkan di pundaknya. Ia mengira itu adalah Jovial sehingga perempuan itu berbalik dan berkata-

“Jov, gue kira lo ngga bawa-“ ucapan Rora terhenti begitu ia tahu siapa yang baru saja memasangkan jaket di pundaknya. Ia lantas melepaskan jaket itu dan memberikannya kepada sang pemilik.

No, thanks. Gue bisa langsung pulang sama Jov.”

Lelaki itu menghela napas. “Jov masih ngobrol dan foto-foto sama Olla dan Hailee, Ra. Dingin, pake dulu aja. Gue tungguin sampe Jov balik.” Lelaki itu kembali memasangkan jaketnya ke pundak Rora.

“Maksud lo kaya gini tuh, apa, Ren?” tanya Rora pada lelaki di hadapannya, Rendra. Lelaki yang sudah tak berkomunikasi dengannya sejak mereka pulang dari Bali.

“Gue cuma ngga mau lo kedinginan. Gue ngga maksud apa-apa. Gue tahu kok, sepanjang acara lo nyoba buat ngehindari gue. Gue tahu lo selalu mengalihkan pandangan ketika ngga sengaja kita bertatapan. Tapi gue juga tahu, Ra, kalau ada sesuatu di hati lo yang mengganjal dan sesuatu di mata lo yang mati-matian lo tahan sambil memalingkan pandangan lo ke arah lain. Terus lo pura-pura lihat hape atau pura-pura senyum ikut nanggepin obrolan anak-anak.”

Rora mengepalkan tangannya mendengar kalimat yang diucapkan Rendra. Ia merasa kesal dengan lelaki di hadapannya meskipun ia memilih untuk tidak melepaskan jaket yang tengah berada di pundaknya. “Ren, cukup. Oke? Gue udah ngga mau bahas soal ini.”

“Mau sampai kapan, Ra? Mau sampai kapan lo ngebiarin hubungan kita berantakan kaya gini?”

“Jadi intinya menurut lo, gue yang menghancurkan semuanya, kan? Fine.”

“Ngga gitu, Ra. We need to talk.”

“Gue ngga mau.”

“Ra, please, kali ini. Kita coba dulu. We can fix it again, Ra.”

Rora menghela napas, mencoba menurunkan ego yang sedari tadi menguasainya.

“Oke. Tapi gue ngga bisa jamin. Hal itu bisa bikin semua lebih baik, atau justru bikin semua makin ngga bisa diperbaiki.”

Setelah berkata begitu, Jovial dan yang lainnya keluar dari rumah Olla. Mereka sama-sama terkejut melihat Rora dan Rendra yang sedang ngobrol bersama dengan jaket Rendra yang tersampir di pundak Rora. Dengan langkah yang sedikit ragu, Jovial menghampiri mereka. Ketika Jovial sudah berada di dekat mereka, Rendra berkata, “Rora pulang sama gue.”

Jovial kemudian melihat ke arah Rora dan bertanya lewat isyarat matanya. Ketika Rora tak menjawab apapun dan berjalan ke arah mobil Rendra, Jovial paham kalau Rora sudah menyetujui ajakan Rendra.

“Jangan melakukan apapun yang bikin kakak gue makin sakit hati, ya, Bang.” Ujar lelaki itu pada Rendra. Rendra hanya membalas ucapan Jovial dengan tepukan di pundaknya kemudian berlalu menuju mobilnya dan segera pergi meninggalkan rumah Olla.


Rendra mengajak Rora ke taman dekat SMA mereka yang sering mereka kunjungi. Taman tersebut sangat sepi karena memang waktu sudah mendekati tengah malam. Mereka duduk di sebuah bangku dekat ayunan di sana dan Rendra memulai pembicaraan.

“Ra, gue minta maaf.”

“Kalau lo cuma mau minta maaf, mending pulang. Lo udah ucapin itu berkali-kali.” Rora memotong ucapan Rendra dengan cepat.

“Dengerin gue dulu, oke?” melihat Rora yang tak merespon apapun, Rendra kemudian melanjutkan. “Jujur, gue ngga tahu Ra, harus gimana lagi. Gue masih mau temenan sama lo, dan perasaan gue buat lo juga masih sama. Gue ngga mau move on dan gue dan ngga mau kita jadi orang asing. Tapi kalau buat saat ini how about let’s take it slow, Ra? Gue ngga ngegantung perasaan lo. Gue cuma minta waktu sambil kita pelan-pelan memperbaiki hubungan kita lagi.”

Rora menghela napas, emosinya sudah tak seperti tadi, ia pun berkata. “Lo tahu ngga sih, Ren, seberapa susahnya gue mengumpulkan keberanian buat bilang soal perasaan gue ke lo. Dan sekarang gue sedang menyesali karena gue udah bikin semua jadi kaya gini. Dulu sebelum gue memutuskan confess ke lo, gue mikirnya gimana ya kalo gue ngga confess ke lo. Tapi sekarang setelah confess dan kaya gini gue jadi mikir, gimana jadinya kalo gue ngga confess, ya? Gue merasa bersalah, Ren. Semakin liat lo, gue semakin merasa bersalah. So, it’s enough, keputusan gue masih sama.”

“Gue harus apa lagi, sih, Ra? Gue ngga mau kaya gini.”

Rora kemudian menolehkan kepalanya dan menatap Rendra yang berada di sampingnya. Tiba-tiba air matanya serasa ingin keluar. “Yaudah gini aja Ren. Let’s move on.”

“Semudah itu lo bilang kaya gitu.”

“Semudah itu juga lo hancurin hati gue waktu itu.”

Emosi Rendra menjadi naik mendengar Rora berkata begitu. “Oke fine. Kalo gitu, mau lo kita jadian, kan? Oke ayo jadian kalo gitu.”

Rora sedikit melebarkan matanya mendengar jawaban Rendra, kemudian ia tertawa hambar. “Ternyata gue semudah dan serendah itu ya di mata lo. Ketika gue confess ke lo, lo nolak gue. Tapi setelah gue ngejauh, trus sekarang lo mau jadian. Sorry, Ren. Kayanya obrolan kita hanya bakal bikin semua makin ngga bisa diperbaiki. Gue pergi dulu.” Rora bangkit dari duduknya tapi langkahnya terhenti karena Rendra mengucapkan sesuatu.

“Gue juga semudah itu, kan, di mata lo? Lo egois, Ra. Lo cuma mikirin di sudut pandang lo. Di pikiran lo, cuma ada Rora yang sakit hati gara-gara Rendra ngga mau pacaran sama dia. Tapi pernah ngga, Ra, lo mikirin sudut pandang gue? Lo ngga tahu, se-menyesal apa gue setelah kejadian di Bali waktu itu? Lo ngga tahu sesakit apa hati gue melihat lo selalu menghindari gue, seakan lo ngga mau napas di udara yang sama dengan gue. Lo ngga tahu seberapa gue ngerasa kalo gue se-ngga berarti itu sampai lo dengan mudahnya bilang kalo kita lebih baik move on dan jadi asing? Gue juga bisa sakit hati melihat lo yang selalu bilang kalo semuanya udah ngga bisa diperbaiki. Lo juga menyimpulkan sendiri kalo keputusan gue adalah let you go. Padahal gue ngga pernah kaya gitu. I’d try to fix you.”

Rora menangis, hatinya terasa tercabik-cabik mendengar pengakuan Rendra. Akhirnya dengan berat hati, ia berkata. “See, Ren. Kita cuma nyakitin satu sama lain. Gue ngerasa lo egois, dan sebaliknya. Buat bikin semua membaik juga butuh banyak emosi dan air mata yang harus dikeluarkan. Daripada makin sakit hati, udah, ya. Gue minta maaf. Kita…” ucapan Rora tertahan seiring dengan suaranya yang terhalang dengan sedu sedan tangisnya. “Kita ngga usah jadi lebih dari teman. Let’s heal diri kita masing-masing, ya. Makasih buat selama ini, lo yang terbaik, Ren. Gue minta maaf, gue bukan yang terbaik. Gue naik taksi aja. I did love you, Ren. But it’s better to stop here. Goodbye, Rendra.”

Rendra meraih tangan Rora, “Sekali aja, Ra. Gue tanya sekali aja. Why it’s goodbye? Why don’t you say see you?”

Because it’s our goodbye, Rendra.”

Dengan begitu, Rendra tak lagi menahan Rora. Ia membiarkan perempuan itu pergi. Rora berjalan dengan cepat karena ia ingin menyembunyikan air matanya dan tak mau mendengar suara tangis Rendra di belakang sana. Malam itu, mungkin menjadi malam yang membuat hati mereka patah dan meninggalkan luka yang dalamnya tak pernah mereka duga sebelumnya. Mereka memilih untuk menangis di sudut kamar masing-masing, ketika mereka bisa saja menangis di pelukan satu sama lain.


Jovial baru saja memasuki apartemen mereka bersamaan dengan Rora yang juga keluar kamar. Jovial kemudian mendudukkan dirinya di sofa ruang TV yang berada di sebelah kiri kamar Rora. Rora menyempatkan diri mengambil beberapa camilan dari kulkas sebelum bergabung dengan Jovial di ruang TV.

“Kak, ikut gue yuk besok.” Ajak Jovial sambil mengambil beberapa potong keripik dari kemasan yang baru saja dibukanya.

“Kemana?” Rora merebut keripik tersebut dari pelukan Jovial mulai memakannya

“Ngasih kejutan ulang tahun Olla. Lupa lo kalo Olla ulang tahun?” tanya Jovial Rora masih memilih diam dan tidak menjawab pertanyaan Jovial.

Jovial pun melanjutkan, “Gimana? Lo ikut pas udah hari H aja di rumah Olla, ngga usah ikut nyiapin acara gapapa. Biar gue sama anak-anak aja. Anak-anak pasti paham, kok.”

“Ngga mau. Ntar gue nemuin Olla sendiri aja. Kalian duluan.” Rora memfokuskan pandangannya pada TV yang baru saja dinyalakannya untuk mengalihkan hatinya yang tiba-tiba menjadi ragu.

“Kak, jangan terus-terusan begini. Gue tahu lo berusaha menghindari Bang Rendra. Tapi buat kali ini, turunin ego lo dulu. Kasian anak-anak ikut canggung dan bingung juga gara-gara masalah ini.” Ucap Jovial paham akan keraguan yang dirasakan Rora.

“Lo kok jadi belain dia? Padahal gue berharap lo selalu berada di pihak gue, loh” Rora menjawab dengan sedikit ketus

“Kak, bukan gitu maksud gue. Masalah lo sama Bang Rendra ngga seharusnya bikin kita semua jadi gini, kan? Gue rasa lo paham apa maksud gue. Gue ga masalah kalo lo sama Bang Rendra saling menghindar atau apa lah. Tapi, jangan bikin hal itu juga bikin hubungan lo sama anak-anak jadi terpengaruh, Kak.” Rora terdiam. Ia memikirkan kalimat yang baru saja diucapkan oleh adik satu-satunya. Akhirnya dia pun berkata dengan berat hati, “Oke gue datang.”

Jovial tersenyum mendengar jawaban kakaknya dan membalas dengan usapan lembutnya pada rambut sang kakak.

“HEH TANGAN LO ABIS KENA KERIPIK YA JOVIAL. GUE BARU KERAMAS TADI SORE!!!”


Setelah sampai di rumah Olla, Jevan langsung berpamitan untuk pulang. Tampak raut kecewa di wajah cantik Olla. Pasalnya hari ini ia berulang tahun, tapi tak ada ucapan dari kekasihnya. Olla kira tujuan Jevan malam ini selain mengajaknya berbaikan juga akan memberikannya ucapan. Bukan surprise dan kado mewah yang Olla harapkan, tapi sekedar ucapan dari yang terkasih akan membuatnya senang.

Olla turun dari mobil Jevan, ia kecewa apa karena masalah tersebut Jevan sudah capek dan bosan dengan Olla. Apakah semudah itu Jevan melupakan hari penting dihidup Olla. Olla benar-benar akan menangis detik itu juga, tapi ia tahan karena suara panggilan dari Jevan mampu menyadarkan dia dari pikirannya.

“Olla” Jevan turun menghampiri Olla

“Iya kenapa kak?”

“Boleh mampir sebentar ngga? Kayaknya power bank aku ketinggalan di dalem”

“Ooh iya boleh, dicari dulu kak”

Rumah Olla nampak seperti biasa, nampak sepi karena penghuninya yang bersantai, lampu bagian depan menyala, ia membuka pintu yang tidak terkunci.

HAPPY BIRTHDAY!

HAPPY BIRTHDAY OLLA!”

Kaget, Olla sangat kaget sampai ingin menangis, tidak pernah ia pikir akan mendapatkan surprise dari teman-temannya seperti ini.

Happy birthday sayangnya mami papi” ditarik Olla kedalam pelukan kedua orang tuannya.

“Diih kok kakak ngga di ajak pelukan”

“Sini” ucap mami nya.

Happy birthday sayang” Jevan ulurkan bunga yang sedari tadi ia genggam.

“Maaf ya bukannya bujukin biar kamu ngga marah malah aku cuekin kamu beberapa hari ini”.

“Ooh jadi sengaja kirain udah capek bujukin aku, kirain udah ngga sayang aku lagi” Olla menangis mengingat ketika Jevan sangat cuek padanya, ia ulang kembali pikirannya.

“Duuh kok nangis sih, maaf ya sayang maafin aku. Gimana bisa aku ngga sayang kamu lagi, aku mati-matian buat cuekin kamu. Maaf ya maafin kakak” Jevan tarik Olla menuju pelukan nya, ia elus puncak kepala Olla.

“Pi adek udah gede Pi, nikahin aja gimana Pi” celetuk Jerricho.

“Besok nikah gimana Jev?” Tanya Papi Dhoni.

“Siap sih Pi” jawab Jevan sambil melepaskan pelukannya, Seketika Jevan dihadiahi pukulan buket bunga dari Olla.

“Dasar anak muda” Papi Olla cuma geleng-geleng kepala.


Setelah selesai bersiap Olla turun menuju ruang tamu, rupanya sudah ada Jevan yang sedang berbincang dengan papi nya. Mereka nampak akrab, layaknya seorang ayah dan anak kandungnya.

“Duh cantik banget sih anak papi” ucap papi, Jevan tersenyum tanda setuju.

“Bisa aja papi, yuk kak”

“Jevan duluan ya Pi” Jevan pamit.

Sesampainya di dalam mobil keduanya nampak canggung sebab ada masalah diantara keduanya yang belum lurus.

“Udah makan La” tanya Jevan membuka Obrolan.

“Belum kak”

“Yaudah kita cari tempat makan dulu ya”


“Udah selesai makan nya?” Tanya Jevan.

“Udah”

“Masih marah ya sama kakak?”

“Engga”

“Kalo ngga marah masa bales chat nya singkat banget?” Tanya Jevan dengan tersenyum.

“Maaf”

Jevan melihat wajah Olla yang sepertinya merasa bersalah karena telah mendiamkan dia beberapa hari terakhir. Jevan genggam t kedua tangan Olla, ia elus dengan hati-hati.

“Olla, maafin kakak ya. Maafin kakak udah ninggal kamu dan biarin kamu nunggu beberapa jam. Maafin kakak yang ngga bisa nganter kamu pulang. Dimaafin ngga?

“Iya gapapa kak” Olla memaafkan, tapi masih mengganjal dihatinya, siapa perempuan yang Jevan jemput?

“Pasti kamu bertanya-tanya siapa yang aku jemput kemarin kan?” Tanya Jevan seolah-oleh dapat membaca isi hati Olla.

“Dia kakak sepupu aku sayang, dia baru pulang dari Jerman, namanya Luna dia pulang karena mau tunangan. Karena ngga ada yang jemput akhirnya aku yang disuruh jemput sama papanya. Maafin kakak ya Olla udah buat kamu sedih beberapa hari ini”

“Maafin Olla juga kak, maaf ngga dengerin kakak dulu”

“Dimaafin nih berarti?”

“Iya dimaafin”

“Peluknya mana” Jevan melebarkan tangannya.

“Gamau, malu banyak orang”

“Hahahaha.. Katanya Luna besok dateng ke tunangan dia ya, mau kenalan katanya”

“Aku malu”

“Masa cantik dan baik gini malu”

“Diiihh mulai, pulang yuk kak”

“Mari tuan putri”


Hayden bergegas mengambil hoodie dan kunci mobilnya setelah mendapatkan izin dari Jovial, selaku pemilik apartemen. Beruntung dia pergi tengah malam, jadi dia tidak perlu mengantri untuk mendapatkan pesanan Jov. Setelah mendapatkan pesanannya, dia segera menuju ke apartemen Jov dengan perasaan yang campur aduk, di satu sisi dia merasa senang karena akhirnya Hailee meresponnya, di sisi lain, dia merasa was-was jika saja Hailee tidak mau mendengarkan penjelasannya. Jalanan yang lengang membuatnya cepat sampai di apartemen milik sahabatnya itu. Hayden mengambil pesanan Jovial di kursi penumpang sebelahnya, kemudian segera menuju lantai 7 tempat unit Jov berada. Setelah menunggu sebentar diluar karena Jovial sedang menyelesaikan permainannya, akhirnya Hayden masuk kedalam apartemen itu. Mengerti jika Rora mungkin sedang menarik diri dari sahabat-sahabatnya, Hayden memilih menanyakan dimana keberadaan perempuannya.

“Hailee mana deh, Jov?” Tanya Hayden sembari dia menutup pintu dan berjalan mengekori Jovial ke ruang tengah.

“Udah masuk kamar sih tadi bang, sama Kak Rora. Ntar gue chat dia.”

“Orang kamar cuma di situ aja lo segala ngechat. Samperin aja deh, biar cepet nih.”

“Mager, Bang, udah pewe.” Hayden yang mengerti maksud ucapan Jovial hanya menghela napas.

“Nih, titipan lo.”

“Lah beneran dibeliin.. Mana banyak banget lagi. Makasih deh, Bang, maaf gue ngerepotin.”

“Lagak lo minta maaf segala, kaya sama siapa aja.”

Jovial hanya merespon ucapan Hayden dengan senyuman, kemudian sibuk berkutat dengan handphonenya sembari sesekali memasukkan sepotong kentang goreng ke mulutnya.

Mereka berdua sedang bercengkrama saat Hailee keluar dari kamar Rora. Jovial yang menyadari keberadaan Hailee lalu berujar kepada Hayden, “Tuh, orangnya udah keluar. Kalo mau ngomong ke balkon aja. Gue nggak mau pindah pokoknya.”

“Mau marah tapi lo yang punya apart..” Gerutu Hayden sambil berjalan menuju balkon yang diikuti Hailee dibelakangnya. Apartemen ini mempunyai balkon yang bisa dibilang cukup luas jika hanya untuk berdiri memandangi jalanan di bawah sana. Balkon ini dipisahkan oleh sebuah pintu kaca. Jadi mereka tidak perlu khawatir Jovial bisa mendengarkan percakapannya.

Keduanya saling diam selama beberapa saat, hingga Hayden mengawali percakapan diantara keduanya.

I’m so sorry if i hurt you, Lee.”

It’s obviously you hurt me, Kak. Padahal aku berencana ngasih Kakak surprise siang itu, mau ngajak lunch bareng. Eh malah aku liat sesuatu yang harusnya gak aku liat.”

Menyadari nada ucapan Hailee berubah, Hayden merubah posisi berdirinya menjadi menghadap Hailee sepenuhnya.

“Iyaa aku tahu kok. Aku baru mau nyamperin kamu waktu tiba-tiba tanganku ditarik sama Maura.”

“Oh jadi namanya Maura.. Kenal dimana?”

Hayden tidak pernah membayangkan jika seorang Hailee bisa begitu ketus seperti ini. Di lain sisi, dia sedang menahan tawanya mendengar ucapan perempuannya tadi, namun sebisa mungkin dia mengendalikan ekspresinya.

“Udah kenal lama—” Ucapan Hayden terpotong oleh Hailee.

“Oh udah lama ya, dari sebelum kenal aku dong.”

“Ya iya, lebih lama lagi, malah.” Sumpah, Hayden tidak menyangka jika menggoda Hailee sangat mudah. Dia mati-matian menjaga ekspresinya didepan Hailee. Jika tidak, maka semua rencananya berantakan. Memang ini semua adalah bagian dari rencananya, termasuk Marcell yang ikut terlibat didalamnya. Namun perihal overthinking nya tadi sore, itu bukan bagian dari rencana.

“Oh, ya udah. Kalo mau sama dia, gak apa.”

“Dih, apa sih, yang. Aku tuh udah kenal lama sama Maura, lebih lama dari yang kamu bayangin malah. Soalnya, papanya Maura itu adiknya mama..”

Bugh— “Aduh! Sakit tau, yang!” Respon Hayden dengan mengusap-usap lengannya yang tadi sempat dipukul oleh Hailee.

“Tapi kamu lucu kalo lagi cemburu gini, hehehe.” Jangan salahkan Hailee jika detik berikutnya Hayden mendapat cubitan pelan diperutnya.

“Udah belum nih godain aku nya? Kalo udah aku mau masuk lagi. Mau tidur, capek.”

“Yah.. kok gitu sih, yang. Tadi katanya lagi free.” Protes Hayden sambil mengeluarkan smirk andalannya.

“Udahan apa mau aku pukul lagi?”

Pertanyaan Hailee dibiarkan tidak terjawab, karena selanjutnya Hayden memeluk Hailee. Selama beberapa detik, Hayden tidak merasakan adanya respon dari Hailee. Ketika tiba-tiba Hayden merasakan bagian depan bajunya basah, Hayden mengeratkan pelukannya.

“Maaf ya, aku sebenernya nggak bermaksud bikin kamu cemburu, tapi kamu keburu pergi duluan hari itu. Aku mau ngejar juga masih ditahan-tahan sama Maura. Aku juga udah berusaha ngechat kamu, tapi kamu nggak respon sama sekali. Terus besoknya aku liat kamu bareng Jov. Yaudah, aku pikir kamu emang perlu waktu sama Jov. Biar nggak melulu sama aku.”

No need to say sorry, Kak.”

“Jadi, udah baikan ya ini?” Tanya Hayden yang masih setia merengkuh Hailee dalam pelukannya. Yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh Hailee.

“Gini dulu ya, Kak. 5 menit lagi.”

Take your time, sayang. I'm here.”

“Kakak tau gak, liat Kakak sama Maura siang itu, bikin aku cukup takut kalo tiba-tiba Kakak pergi. Tapi juga aku sadar, mungkin Kakak capek ngadepin aku yang ngajak berantem terus tiap hari, jadi ya aku sadar diri aja. Sebenernya juga aku nggak ada niat buat nyuekin chat Kakak, tapi kalo aku paksain bales chatnya pas aku lagi overthinking gitu, pasti bakal jadi lebih rumit. Maaf juga kalo tiba-tiba aku jadi nempel sama Jov beberapa hari terakhir. But it feels different. Nemenin Kakak futsal much better than nemenin Jovial futsal, walaupun aku kadang kangen nemenin dia futsal. Kalo Kakak mikir yang sebaliknya, you’re wrong, honey. Aku cuma pura-pura aja. Soalnya aku sebel liat Kakak sama Maura di tribun depan. Jangan overthinking lagi, we’re just friends, Kak.”

Hayden mendengarkan ocehan Hailee dengan seksama. Menyempatkan mengusap puncak kepala Hailee kala perempuan itu menyelesaikan kalimatnya.

“Dih, siapa juga yang overthinking. Orang aku biasa aja.”

“Nggak usah boong deh. Percuma Kakak boong sama aku.”

“Lagian kamu keliatan seneng banget gitu sama Jov, ya siapa coba yang nggak overthinking.”

Detik selanjutnya, Hailee melepaskan pelukan Hayden dan —cup, Hailee mencium pipi kiri Hayden. Sontak Hayden membeku pada tempatnya, dan Hailee hanya tertawa melihat laki-laki di depannya itu.

“Udah ya, enggak usah overthinking lagi. Maaf juga udah bikin Kakak overthinking tadi sore.”

Suara Hailee memecah keheningan diantara mereka berdua, menyadarkan Hayden atas apa yang baru saja diterimanya. Lalu dengan impulsifnya, Hayden melakukan hal yang sama kepada Hailee dan kembali memeluk Hailee lagi.

“Udah ya, impas kan. Apa mau yang beneran?”

“Hah? Beneran apa deh, Kak?”

“Dih, yaudah deh. Itu aja udah cukup kok.”

“Hadeh.. Yaudah deh, Kakak pulang gih. Udah mau jam satu ini.”

Hayden melepaskan pelukannya, mengajak Hailee masuk dengan menggandeng tangannya tanpa mengucapkan sepatah kata. Setelah menutup pintu balkon dan bergabung bersama Jovial di ruang tengah, tiba-tiba Hayden berkata, “Jov, gue boleh nginep sini gak? Males banget mau balik, udah jam segini.”

“Sumpah lu sadar gak sih, Bang? Kalo lu tuh nyusahin.” Jawab Jovial dengan mata yang masih mengarah ke tv dihadapannya.

“Malem ini doang elah, besok pagi gue juga balik.”

“Kuliah gak besok? Kalo gak nginep aja deh, gak apa.”

“Gue kuliah siang sih. Berarti boleh nih?”

“Nah yaudah, besok lo anterin Lilee balik kalo gitu sekalian lo balik, gue ada kelas pagi soalnya.”

Ay ay captain!” Seru Hayden sambil mengangkat tangannya untuk memberikan hormat kepada Jovial.

Malam itu Hayden habiskan dengan bermain PlayStation bersama Jovial hingga pukul 2 malam. Hailee sudah lebih dulu kembali ke kamar Rora. Pagi harinya, sesuai rencana, Hayden mengantarkan Hailee pulang. Tak lupa untuk berterimakasih kepada Rora dan Jov atas bantuannya semalam, Hayden membeli 2 porsi bubur ayam untuk mereka sebelum dia pulang bersama Hailee.


Beberapa hari setelah kejadian di Kantin FTI, Hailee menghindari Hayden. Hailee lebih memilih membawa mobil sendiri, tidak lagi di antar jemput Hayden. Ada banyak pesan masuk di handphonenya, namun dia abaikan. Dia tahu, jika dia memaksa untuk membalas pesan Hayden, semuanya akan menjadi lebih rumit. Selama itu juga, dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama Jovial dan sesekali bersama Chalvin, seperti dulu saat dia belum mengenal Hayden.

Siang itu Hailee membuat Korean Garlic Cheese Bread. Berhubung besok tidak ada tugas yang menuntut untuk segera dikumpulkan dan dia tidak memiliki agenda lain. Untungnya mami selalu mempunyai persediaan bahan-bahan kue. Jadi sepulang kuliah, dia segera berganti baju dan menuju ke dapur. Mami sepertinya masih bersama teman-teman arisannya, mengingat hari ini adalah jadwal rutin mereka berkumpul. Dan papi jelas masih berada di kantor.

Hailee turun membawa bluetooth speaker nya dari kamar, lalu menyalakan musik untuk menemaninya membuat kue. Dengan cekatan, Hailee menyiapkan bahan yang akan digunakan, lalu mulai membuat adonan. Dia baru selesai membuat rotinya saat jarum jam mengarah ke angka 4. Hailee bermaksud untuk mengirimkan beberapa roti buatannya ke rumah Olla dan apartemen Rora, ketika ada notifikasi pesan masuk ke handphonenya. Setelah membalas pesan tersebut, dia bergegas memasukkan roti-rotinya ke dalam paper box untuk dikirimkan ke rumah Olla, dan membawa sisanya untuk diberikan ke Rora.

Ojek online yang dipesannya untuk mengantar roti ke rumah Olla datang bersamaan dengan sebuah motor sport yang dia hafal siapa pemiliknya diluar kepala. Setelah menyerahkan goodie bag ke driver ojek online tadi, dia segera menutup pagar dan naik ke jok belakang motor yang sudah menunggunya. Tidak butuh waktu lama, mereka berdua sampai di lapangan futsal indoor tempat UKM Futsal biasanya berlatih.

Hailee sempat harap harap cemas ketika menyadari ada mobil yang terparkir tepat di sebelah motor itu. Dia jelas mengenali siapa pemiliknya. Bukan Hailee namanya jika dia tidak nekat dan bodo amat dengan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi nanti. Dia hanya ingin menonton futsal, itu saja. Lelaki di sebelahnya mengerti akan perubahan raut wajah Hailee setelah melihat mobil di parkiran tadi. Tiba-tiba lelaki itu mengalungkan tangan kirinya ke pundak Hailee sembari mereka berjalan ke dalam lapangan futsal.

“Kan udah gue bilang kalo pasti ada tu orang. Lo masih mau-maunya ikutan. Nggak tanggung jawab ya gue kalo ntar ada apa-apa.”

“Lo nih temen gue bukan sih? Tenangin gue kek, bukannya malah nakut-nakutin gue.”

“Ya abisnya lo kenapa dodol ngejauhin Bang Hayden tiba-tiba. Lo gak cerita apa-apa juga ke gue. Gimana gue mau bantu coba?”

“Liat ntar aja, lo pasti bakal tau kenapa gue kaya gini.”

Ya, lelaki itu adalah Jovial. Sejak tempo hari Hailee menghubunginya, dia masih belum mengetahui alasan apa yang menyebabkan sahabatnya itu menghindari pacarnya belakangan ini. Dia juga tidak ingin bertanya karena biasanya Hailee akan bercerita saat dia ingin bercerita. Sesuai permintaan Hailee, akhirnya mereka memilih tempat yang berada di seberang tribun yang biasa ditempati Hailee ketika menunggu Hayden berlatih futsal.

Untungnya Jovial sudah mengenakan jerseynya dari apartemen, jadi Hailee tidak perlu khawatir ditinggal sendirian di tribun. Tebakannya benar, Hailee melihat perempuan itu lagi. Penyebab beberapa hari belakangan dia menghindari Hayden. Jovial mengikuti arah pandang Hailee dan menemukan apa penyebab Hailee menjauhi Hayden dan mengikutinya kemana-mana.

“Oh itu penyebabnya.” Ucap Jovial sembari mengikat tali sepatunya.

“Udah tau kan? Masih perlu cerita gak nih? Apa udah paham?”

“Kalo lo mau cerita mah cerita aja. Gue dengerin. Kalo nggak ya, yaudah, nggak usah.”

“Lo gak penasaran emang?” Tanya Hailee sembari membuka paper box yang berisi Korean Garlic Cheese Bread, dan menawarkan pada Jovial disebelahnya.

“Buset, banyak banget lo bawanya. Mau ngasih makan orang selapangan ini juga bisa nih.”

“Anjir lebay banget lo, Jawab dulu tadi gue nanya ih.”

“Secara teknis sih iya, tapi yaudah sih. Yang penting gue bisa makan roti bikinan lo lagi setelah puasa beberapa bulan gara-gara lo sibuk bucin.” Jawab Jovial sambil memakan sepotong Korean Garlic Cheese Bread buatan Hailee siang tadi.

“Yeuu, kan kemarin di Bali juga gue yang masak, dibantuin Olla.”

“Lo gak pernah bikin kue ya di Bali kemarin, in case lo lupa.”

“Hadehhh, iya deh iyaa. Eh btw jangan diabisin ya, sisain buat Rora. Ntar marah lagi dia.”

“Gue gak serakus itu ya anjir. Gini-gini juga gue masih inget kalo punya kakak yang harus ngerasain kue seenak ini.”

“Halah, lo ada maunya kan pasti, dari tadi muji-muji gue mulu. Ngaku, lo mau apa?”

“Hahaha, nggak ada, Lee. Gue mau muji doang, orang kenyataannya emang enak kok.”

“Hmm iya deh iya. Btw tadi Rora ngechat gue, nitip makan katanya. Soalnya kulkas lagi kosong.”

“Oh iya, gue belum sempat belanja kemarin. Ntar deh kita mampir supermarket dulu sebelum balik.”

“Kok kita? Lo aja nggak sih harusnya?”

“Kan rumah lo searah supermarket dodol, sumpah lo nih ngejauhin bang Hayden jadi kapasitas otak lo berkurang apa gimana deh?”

“Hahaha sorry sorry gue lupa. Mau gue masakin nggak?”

“Bodoh sih gue kalo nolak lu masak buat gue sama Kak Rora. Eh tapi apa lo gak kemaleman baliknya kalo harus ke apart dulu?”

“Gue besok kosong kok, jadi gue bisa nginep di apart. Tadi gue juga udah bawa baju ganti di tas yang sekarang gue tinggal di mobil.”

“Sumpah lo aneh banget deh, Lee. Lo gapapa kan?” Tanya Jovial sambil menempelkan punggung tangan kirinya ke dahi Hailee, memastikan apakah perempuan itu sedang demam atau tidak. Dan ternyata suhu tubuhnya normal, tidak ada tanda-tanda demam sama sekali.

“Anjrit lo kira gue kenapa hah? Modus ya lo pegang-pegang dahi gue?”

“Astaga, Lee. Sumpah deh, lo cepet cepet sana baikan sama Bang Hayden. Capek gue, asli.”

“Iya, ntar kalo mood baikan. Udah lo sana deh, itu udah pada kumpul.”

Tepat setelah Hailee menyelesaikan kalimatnya, Jovial turun ke lapangan, bergabung dengan teman- temannya. Tentunya juga dengan Hayden.

Hayden sempat beberapa kali mencuri pandang ke Hailee. Rasanya tidak adil ketika tiba-tiba Hailee menjauhinya tanpa sebab dan sekarang dengan santainya dia bersama dengan Jovial. Bohong jika Hayden tidak cemburu. Sekalipun Jovial adalah sahabat Hailee, dia juga laki-laki. Tidak menutup kemungkinan Jovial menyukai Hailee. Tawa Hailee saat bersama dengannya dan bersama Jovial terdengar berbeda. Apa selama ini sebenarnya Hailee tidak merasa nyaman dengannya? Perlakuan Hailee kepada Jovial juga terasa berbeda, tidak seperti biasanya. Apa lagi Hailee cukup effort membuat banyak roti entah roti apa untuk dibawa ke lapangan, yang belakangan Hayden ketahui adalah Korean Garlic Cheese Bread. Pikiran-pikiran buruk itu berputar di kepalanya sedari tadi. Mengakibatkan dia kehilangan fokusnya pada sesi latihan kali ini.

Latihan hari itu diakhir dengan cepat. Setelah berganti baju, Jovial menghampiri Hailee dengan membawa sekaleng kopi yang biasa Hailee beli. Di seberang lapangan, Hayden melihat lagi bagaimana Hailee dan Jovial tertawa dan hal itu cukup membuat dia kehilangan kesabaran. Tepat sebelum dia berdiri untuk menghampiri Hailee dan Jovial, tangannya ditahan oleh perempuan disebelahnya. Perempuan itu kemudian mengajak Hayden untuk pulang, sebelum emosi Hayden benar-benar meledak.


Setelah mengantarkan sepupunya, Luna. Jevan lantas bergegas pergi ke rumah Olla, ia takut pacarnya akan marah karena melupakan janjinya tanpa mengabarinya terlebih dahulu. Ia juga mengutuk dirinya sendiri, dengan bodohnya ia membiarkan handphone nya mati padahal ia bisa meminjam charger kepada Luna. Entah lah pikiran Jevan saat ini hanya Olla.

Sesampainya Jevan di rumah Olla, ia memarkirkan mobil nya di halaman depan rumah keluarga Ivander. Ia menekan bel dan mengucapkan salam berkali-kali namun tidak ada yang menjawab atau membukakan pintu. Jam menunjukkan pukul 21.00, belum terlalu larut, tetapi kenapa rumah kediaman Ivander begitu sepi.

Setelah menunggu beberapa menit, suara kenop pintu terbuka mulai terdengar. Jerricho muncul dibalik pintu dengan kaos hitam, kolor rumahan dan jangan lupakan wajah malasnya.

“Ngapain anjir lu malem-malem kesini?” Tanya Jerricho.

“Olla mana Jer?”

“Di kamar dari tadi sore ngga keluar, ngga makan malem juga kayaknya udah tidur. Gue panggil ngga nyaut.”

“Dia ngga mau keluar? Ngga makan malem?”

“Iya, kurang jelas tadi gue bilang?”

“Papi mami kemana?”

“Keluar kota.”

“Lu udah makan Jer?”

“Udah, kenapa sih? Masuk dulu deh Jev.”

“Gue keluar bentar deh, bentar doang ntar gue balik lagi, Jer.”

“Yee, bocah prik.”

Setelah mendengar penuturan Jerricho bahwa Olla tidak keluar kamar dan tidak mau makan membuat dia semakin merasa bodoh. Setelah pergi tak sampai satu jam ia kembali kerumah Olla. Ia menenteng banyak sekali paperbag dan kresek yang berisi makanan di tangannya. Apapun kesukaan Olla yang dia ingat, ia beli. Dan ya tentunya berbagai macam cake dan ice cream.

“Jer, kasih ke Olla ya.”

“Banyak banget astaga, anaknya udah tidur nih gelato keburu cair mending gue makan ga sih Jev?”

“Kan ada 3 Jerr, lu 1 Olla nya 2. Buruan lu kasih deh keburu beneran cair tuh.”

“Kenapa ngga lo kasih sendiri deh?”

“Emang boleh gue masuk kamar Olla? Malem2 gini berdua doang?”

“Yeee pikiran lo, iya, gue kasih. Lu duduk dulu deh, gue panggilin suruh turun anaknya.”

“Eeh gausah gapapa Jer, gw balik aja. Yang penting pastiin dia makan ya Jer.”

“Yaa.. Aneh banget lu.”

“Gue pulang Jer.”

“Yoi, tt dj bro.”

Jevan hanya menjawab tengan acungan jempol.


Siang itu Hailee berencana memberikan lunch box dan juice yang dibawanya kepada Hayden. Matahari cukup terik siang itu, beruntung jalan menuju gedung jurusan Hayden mempunyai cukup pohon yang bisa melindungi Hailee dari sinar matahari yang menyengat itu. Bersama Hayden selama beberapa bulan kebelakang ini cukup membuat Hailee hafal kebiasaan kekasihnya itu. Hailee menuju kelas Hayden sesampainya dia di Jurusan Teknik Informatika.

Merasa tidak menemukan Hayden dikelas, dia lalu bertanya kepada salah satu teman sekelas Hayden. Berdasarkan informasi yang didapatnya, Hayden saat ini berada di kantin. Tanpa menunggu lagi, Hailee beranjak menuju kantin setelah mengucapkan terimakasih kepada orang yang dia tanyai tadi.

Hailee belum sempat bertemu dengan Hayden, namun dia bergegas berbalik arah. Bermaksud untuk kembali ke kelasnya ketika tiba-tiba Marcell menabraknya. Ralat, bukan Marcell yang menabraknya, melainkan dia yang tidak melihat orang didepannya saat berbalik arah. Marcell dengan sigap meraih tangan Hailee sebelum dia jatuh karena telah bertabrakan dengannya.

“Loh, mau kemana, Lee?” Tanya Marcell.

“Hah.. Eh, mau balik, Kak,” cicit Hailee.

“Heh, lo kenapa deh? Gue mau nyamperin Hayden nih,”

“Mmm, boleh nitip ini nggak, Kak?” Tanya Hailee sambil menyerahkan goodie bag yang dibawanya tadi kepada Marcell.

“Loh, kenapa gak ikut kesana aja?”

“Eh, ini, Kak. Aku lupa kalo siang ini harus ke ruang dosen buat nemuin Bu Rere. Nitip ya, Kak. Makasih!” Bohong Hailee.

“Oh ok deh kalo gitu. Hati hati baliknya, Lee.”

Hailee menjawab hanya dengan acungan kedua jempolnya.


Dia baru berencana untuk pulang ketika mendapati notifikasi di handphonenya. Raut wajahnya berubah menjadi panik ketika dia membaca sebuah pesan masuk tadi. Tak butuh waktu lama, setelah berpamitan dengan teman-temannya dia pergi menuju parkiran fakultas dan melajukan mobilnya. Tebakannya tepat, perempuan itu sedang berbincang dengan salah satu satpam penjaga parkiran. Saat dia membunyikan klakson, perempuan itu segera berpamitan dan melangkah menuju mobilnya. Dia berniat membukakan pintu mobil disampingnya sebelum perempuan itu menggeleng, mengisyaratkan dia agar tetap duduk dibalik kemudi.

“Gue nggak mau tanya lo kenapa, tapi gue pastiin lo mau kopi. Jadi sebelum gue anter lo balik, ayo beli kopi.” Katanya tepat setelah perempuan itu duduk di sebelahnya. Iya, perempuan itu Hailee.

“Hehehe, tau aja sih. Take away aja ya. Gue belom lunch soalnya.”

“Lah, kagak kagak. Makan aja kalo gitu. Kita drive thru mcd aja. Gak ada penolakan ya, yang ada gue dimarahin banyak orang kalo ngebiarin lo minum kopi sedangkan lo belom makan.”

Hailee tertawa melihat lelaki di sebelahnya. Sudah cukup lama mereka tidak menghabiskan waktu berdua. Ketika menyadari lawan bicaranya tertawa, dia membuang muka sambil memanyunkan bibirnya persis seperti anak berusia 5 tahun, kembali fokus menatap jalanan di depannya sebelum membelokkan mobilnya menuju drive thru mcd di depan sana.


Matahari kembali bersinar dengan cerah, meskipun tidak banyak tidur semalam, Rora tetap bangun pagi dan menyantap sarapan bersama di villa. Seperti biasa, sarapan pagi ini disiapkan oleh Hailee dan Olla. Rora memilih bersih-bersih villa dan membangunkan para lelaki daripada harus memasak di dapur demi menghindari hal tidak diinginkan terjadi, seperti salah memasukkan garam ke dalam kopi Jerri. Sarapan pagi ini terlewati tanpa ada huru-hara, mereka kemudian bersiap untuk melanjutkan destinasi wisata mereka, kebetulan hari ini mereka akan pergi lumayan jauh dari villa, yaitu ke Danau Bedugul. Tempat yang sudah ditunggu-tunggu oleh Rora.

Pukul 09.00 tepat, mereka bersepuluh sudah bersiap berangkat. Hari ini yang mendapat tugas menyetir adalah Jerri dan Marcel. Hayden, Hailee, Jovial, dan Chalvin satu mobil bersama Jerri, dan sisanya bersama Marcel. Sebelum menuju Danau Bedugul, mereka semua terlebih dahulu mampir ke pusat oleh-oleh Joger, hal wajib yang harus dilakukan ketika di Bali.

Sesampainya di Joger, mereka semua berpencar, kalau kedua pasangan bucin itu tentu saja saling mengekor kemana pasangan mereka pergi. Rora berkeliling sendiri dan melihat-lihat pernak-pernik lucu di sana sedangkan urusan membeli kaos ia untuk Mama dan Papa ia serahkan kepada Jovial. Ketika ia sedang fokus melihat-lihat dream catcher yang terpajang di sana, Rendra menepuk pundaknya dari belakang.

“Ra.” Panggil Rendra sambil menepuk pundak Rora.

Rora pun menoleh ke arah Rendra yang berada di sebelah kanannya, “ada apa? Katanya mau cari kaos sama Jov?”

“Iya, udah gue titipin Jovial tadi sekalian bayar.” Jawab Rendra

“Gue dibeliin warna apa sama dia?” tanya Rora

“Putih.” Mendengar jawaban Rendra, Rora hanya mengangguk dan melanjutkan window shoppingnya.

“Mau beli dream catcher?” tanya Rendra sambil mengikuti langkah Rora.

“Lihat-lihat aja, sih.” Kali ini mereka sampai di bagian aksesoris rambut.

Tiba-tiba Rendra memanggil Rora yang sedang sibuk melihat-lihat tali rambut di sana. Rora pun membalikkan badannya demi bisa menghadap ke arah Rendra.

“Apa-“ belum selesai Rora melanjutkan kalimatnya, Rendra sudah terlebih dahulu menyelipkan sebuah jepit rambut berbentuk bunga di telinga Rora. Rora terpaku sebentar dan menatap Rendra tanpa berkedip, diam-diam ia meremas ujung rok yang ia pakai untuk menetralkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdegup lebih cepat.

“Cantik.” Puji Rendra

“Jadian dulu, Bos, baru mesra-mesraan.” Jerri yang tiba-tiba datang kemudian mengacaukan suasana romantis di antara mereka. Rora kemudian berdehem dan melepaskan jepit rambutnya kemudian memasukkannya ke keranjang belanja.

“Ayo bayar dulu.” Ajak Rora. Rendra hanya mengangguk dan mengikutinya menuju kasir.


Setelah semua selesai membayar, mereka melanjutkan perjalanan menuju Danau Bedugul. Perjalanan kali ini memakan cukup banyak waktu sehingga mereka memutuskan untuk makan siang di tengah perjalanan terlebih dahulu.

Sekitar pukul 1 siang, mereka telah sampai di Danau Bedugul, cuaca di sana memang dingin dan diselimuti awan sehingga tidak terasa terik. Mereka bersepuluh kemudian berpencar. Jevan, Olla, Hayden, dan Hailee memilih untuk menaiki boat dan mengelilingi danau. Para lelaki yang belum memiliki cemewew alias Jovial, Chalvin, Jerri, dan Marcel memilih untuk bersantai di tepi danau dan mengambil beberapa foto. Sedangkan pasangan yang tak kunjung jadian yaitu Rora dan Rendra memutuskan untuk mengunjungi Pura Ulun Danu terlebih dahulu.

Pura tersebut terletak di samping danau tempat mereka berada sekarang. Kedua tempat tersebut saling terhubung, akan tetapi Pura Ulun Danu memiliki pintu masuk yang berbeda. Pura tersebut sudah sangat familiar bagi orang Indonesia karena tercetak di uang yang beredar di Indonesia, yaitu uang kertas lima puluh ribu.

Kompleks pura tersebut sangat luas dan terdapat jalan setapak yang dapat dilalui sambil menikmati pemandangan yang ada di sana. Rintik gerimis sedikit turun tetapi tak sampai membuat Rora dan Rendra harus menggunakan payung. Rora saat itu memang hanya mengenakan kemeja dan rok di bawah lutut sehingga dingin mulai mengecupi kulitnya.

“Kok nggak bawa jaket, sih?” tanya Rendra

“Gapapa. Nggak se dingin itu.” Jawab Rora santai. Rendra kemudian melepaskan jaket yang ia pakai dan memakaikannya pada tubuh Rora.

“Malah sekarang lo cuma pakai kaos doang, ini pakai aja gapapa. Kemeja gue panjang.” Rora berniat melepaskan jaket itu tetapi Rendra menahannya.

“Gapapa pakai aja.” Rora menuruti perkataan Rendra. Mereka mengambil beberapa foto berlatarkan Pura Ulun Danu dan kemudian memilih duduk di gazebo yang berada di tepian danau untuk beristirahat sambil melihat orang berlalu lalang. Suasana di antara keduanya hening sampai Rora memutuskan membuka suara. Ia telah memikirkan ini seharian penuh. Ia telah bertekad akan mengungkapkan perasaannya saat ini.

“Ren, lo percaya ngga sih, sama kalimat kalau katanya ngga ada persahabatan yang murni antara cewek sama cowok?” tanya Rora, entah kenapa Rendra mulai tegang mendengar pertanyaan Rora.

“Kenapa, Ra?” hanya itu kata yang bisa Rendra ucapkan. Dalam hati ia berharap agar Rora tak mengucapkan kalimatnya saat ini sedang ada di pikirannya. Jangan bilang lo suka gue, Ra. Batin Rendra.

Rora menoleh ke arah Rendra, saat netra mereka bertemu, Rora mengutarkan perasaannya. “Kalau gue bilang gue ada rasa sama lo gimana, Ren? Sesuatu yang lebih dari temen.” Mendengar kalimat itu, dalam hati Rendra merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan, seperti sesuatu yang telah meledak. Sesuatu yang terasa seperti kebahagiaan tetapi juga sebuah luka.

“Ra..”

“Gue tahu seharusnya gue nggak gini. Tapi, Ren, gue sendiri nggak tahu kapan gue mulai menganggap lo sebagai cowok, bukan sekedar temen gue. Gue ngga nyalahin lo karena selama ini baik ke gue. Mungkin emang gue aja yang nggak bisa ngendaliin perasaan gue.”

“Ra…”

“Lo bilang kan kalau lo harus jadi orang pertama yang tahu ketika gue suka sama orang? Ini gue udah kasih tahu lo, gue suka sama lo Ren, untuk sesuatu yang lebih dari temen.” Rora tetap melanjutkan kalimatnya meskipun Rendra tak memberikan respon lain selain memanggil namanya.

“Ra…”

“Lo.. nolak gue?” suara Rora terdengar putus asa, membuat hati Rendra seperti patah mendengarnya.

Rendra akhirnya menjawab, “Ra, dengerin dulu. Gue udah sering bilang, Ra, friends can not be lover. Karena ketika persahabatan itu udah jadi cinta, ada sesuatu yang hancur, Ra. Dan ketika udah hancur, udah nggak bisa diperbaikin lagi. Nggak bisa balik kaya semula, Ra.”

“Gue nggak paham.”

“Ra, kita sama-sama ngga tahu masa depan bakal kaya gimana. Kita aja masih semester 5, masih jauh dari kata lulus. Jangankan dua tahun lagi, dua bulan lagi aja perasaan bisa berubah, Ra. Kalau kita jadian, terus putus.. enggak, Ra, gue nggak mau kehilangan lo, Ra. Perasaan bisa berubah, Ra.”

Mendengar jawaban Rendra, emosi Rora terpancing. “Lo se nggak yakin itu sama gue? Lo yakin kalo perasaan gue bakal berubah?” Nada suara Rora meninggi.

“Ra. Kita masih bisa temenan…”

Rora buru-buru menyela, “setelah apa yang gue lakukan ini, lo bilang kita masih bisa temenan? Gila ya lo? Terus apa arti semua perlakuan lo ke gue selama ini?”

“Gue sayang sama lo, Ra, tapi kita ngga bisa lebih dari temen, buat saat ini.” Suara Rendra melemah, jujur air matanya ingin keluar saat ini.

“Dengan alasan konyol tadi?” emosi Rora masih belum mereda.

“Ra…”

“Terserah lo. Emang lo ngga pernah, kan, anggep gue sebagai cewek? Bukan sebagi temen lo?” tanya Rora.

Mendengar kalimat Rora, emosi Rendra ikut meninggi, ia pun menjawab. “Ra, kurang jelas apa lagi, sih, perlakuan gue selama ini? Gue sayang sama lo sebagai cewek, Ra, tapi gue ngga ada niatan buat jadiin lo pacar gue untuk saat ini. Kita nggak bisa, Ra.”

“Alasan lo nggak make sense.” Rora mengalihkan pandangannya ke depan, menghindari tatapan Rendra karena air matanya mulai keluar.

Melihat Rora menangis, Rendra jadi ikut menangis, tapi sebisa mungkin ia menahan air matanya. “Ra, kita ngga tahu masa depan. Kalau kita pacaran dan ternyata lo bukan jodoh gue, kita bakal putus dan gue benci fakta kalau gue bakal kehilangan lo. Tapi kalau kita ngga jadian dan kita emang nggak jodoh, seenggaknya gue ngga bakal kehilangan lo sebagai temen, Ra.”

Rora kembali menoleh ke arah Rendra, “kalo jodoh?”

“Kalo jodoh, mau sejauh apa lo pergi, lo bakal tetep balik ke gue, Ra.”

“Kalo emang nggak jodoh dan gue terlanjur pergi?” tanya Rora lagi, air matanya sudah mulai berhenti mengalir.

Rendra menggeleng, air matanya menggenang di pelupuk matanya. “Nggak mau kaya gitu, Ra. Kalaupun ngga jodoh nanti, seenggaknya lo masih bisa ceritain semuanya ke gue, Ra. Soal suami lo nanti siapa, soal gimana dia memperlakukan lo dengan baik, bakal peluk lo saat lo lelah…” ucapan Rendra terhenti karena air mata lelaki itu mengalir keluar.

Stop it!” kata Rora. Air matanya mengalir keluar ketika ia mencoba menutup mata dan menetralkan perasaannya.

Rendra menghapus air matanya dan melanjutkan, “atau soal anak-anak kalian nanti. Gue bakal dengerin semua cerita lo, Ra.”

“Dan lo berharap gue juga bakal dengerin cerita lo dengan cewek lain? Someone you called istri? Lo ngga mikir seberapa sakit hati gue sekarang denger lo ngomong kaya gini?” suara Rora mulai terdengar putus-putus akibat sedu-sedan tangisnya.

“Ra, gue juga sakit hati, Ra. Selama ini gue udah sebisa mungkin nahan perasaan gue. Kasih gue waktu, Ra. Kita bisa jadi apa yang lo mau karena gue juga mau itu, tapi nggak sekarang, Ra. Biarin gue pastiin dulu soal semuanya, ngertiin gue, Ra. Gue nolak bukan karena gue ngga sayang sama lo, buat sekarang mikirin masa depan lebih penting, Ra. Gue maunya serius, jadi gue nggak bisa main-main, Ra.”

Rora menghela napasnya, “Oke kalo itu mau lo. Lupain aja apa yang gue bilang hari ini. Tapi setelah ini, jangan jadi temen gue lagi.”

“Ra, jangan bikin hal yang paling gue takutin beneran terjadi, Ra.” Rendra berusaha meraih tangan Rora tetapi Rora menepisnya.

“Lo aja bisa nolak gue buat jadi pacar lo, kenapa gue nggak bisa nolak buat jadi temen lo? Lo bisa bayangin nggak, gimana hancurnya perasaan gue sekarang? Di depan gue… hiks.. ada cowok yang gue suka…dan hiks suka balik ke gue, katanya mau serius….”

Rendra dengan segera membawa Rora dalam pelukannya, mengusap lembut rambut perempuan itu. Suara tangis Rora mulai terdengar, membuat air mata Rendra ikut mengalir lagi.

“Gue cuma mau lo, Ren, kenapa lo nggak bisa ngasih gue kepastian?” tanya Rora di sela tangisnya.

“Maafin gue, Ra, maaf…” Rendra masih setia mengelus rambut dan punggung Rora agar perempuan itu tenang.

Rora melepaskan pelukan itu. Keduanya berhadapan dengan mata yang sembab.

“Gue mau sesuatu yang pasti, Ren. Pilihan lo cuma dua, bales perasaan gue sekarang, atau… kita nggak usah temenan lagi.”

“Ra…”

“Dan lo pilih yang kedua.” Ada sesuatu dalam hati Rendra yang terasa hancur mendengar kalimat Rora. Rora kemudian bangkit dan melepaskan jaket Rendra. Ia menyerahkan jaket itu sambil berkata, “makasih Ren, maaf selalu ngerepotin lo. Setelah ini nggak bakal ada lagi Rora yang repotin lo. Gue bakal lupain perasaan gue, jadi gue harap lo juga lupain perasaan lo. Gue duluan, kayanya yang lain udah nyusul ke sini.”

Setelah Rora melangkah pergi, Rendra masih terpaku di tempatnya. Ia tak tahu harus bagaimana, semua terjadi begitu saja dan terlalu mengagetkannya. Lama merenung, fokusnya terbuyarkan dengan adanya pesan dari Hayden yang mengatakan bahwa mereka akan segera pergi dari sana. Setelah menghapus jejak air matanya, ia meraih jaket dengan wangi parfum Rora yang masih tertinggal di sana. Ia menghela napas, wangi Rora sudah telalu familiar baginya. Dengan berat, ia melangkahkan kakinya menuju tempat mobil mereka terparkir.


Setelah sampai di mobil, suasana di sana sudah menjadi canggung. Mereka semua melihat Rora dan Rendra secara bergantian, kemudian menyadari bahwa mereka berdua menjadi alasan tangis satu sama lain. Tak ada yang berani bertanya, bahkan Hayden pun diam seketika.

“Gue se mobil sama Jov, ya. Chalvin, tukeran sama gue, ya.”

Setelah berkata begitu, Rora masuk ke dalam mobil. Semua orang paham maksudnya, ia tak mau satu mobil dengan Rendra. Hayden dan Jevan menepuk pundak Rendra sebelum masuk ke mobil masing-masing. Perjalanan pulang hari itu dipenuhi dengan tanda tanya delapan orang di sana, atau mungkin tujuh, karena Jovial jelas paham apa yang telah terjadi. Sepanjang perjalanan pulang hari itu, Rora menyembunyikan wajahnya di pelukan Jovial karena air matanya masih terus mengalir. Sedangkan Rendra memejamkan matanya dan berusaha menahan air matanya sambil mencoba tak memikirkan Rora. Tetapi satu pesan dari Hayden membuat air matanya lolos begitu saja, suara tangisnya pun tak bisa ia tahan. Jevan yang kebetulan berada di sampingnya hanya bisa menepuk punggungnya, mencoba membuatnya tenang tanpa bertanya apapun.

Hayden Rora nangis terus, nggak bisa berhenti.