Bedugul and You Don’t Love Me


Matahari kembali bersinar dengan cerah, meskipun tidak banyak tidur semalam, Rora tetap bangun pagi dan menyantap sarapan bersama di villa. Seperti biasa, sarapan pagi ini disiapkan oleh Hailee dan Olla. Rora memilih bersih-bersih villa dan membangunkan para lelaki daripada harus memasak di dapur demi menghindari hal tidak diinginkan terjadi, seperti salah memasukkan garam ke dalam kopi Jerri. Sarapan pagi ini terlewati tanpa ada huru-hara, mereka kemudian bersiap untuk melanjutkan destinasi wisata mereka, kebetulan hari ini mereka akan pergi lumayan jauh dari villa, yaitu ke Danau Bedugul. Tempat yang sudah ditunggu-tunggu oleh Rora.

Pukul 09.00 tepat, mereka bersepuluh sudah bersiap berangkat. Hari ini yang mendapat tugas menyetir adalah Jerri dan Marcel. Hayden, Hailee, Jovial, dan Chalvin satu mobil bersama Jerri, dan sisanya bersama Marcel. Sebelum menuju Danau Bedugul, mereka semua terlebih dahulu mampir ke pusat oleh-oleh Joger, hal wajib yang harus dilakukan ketika di Bali.

Sesampainya di Joger, mereka semua berpencar, kalau kedua pasangan bucin itu tentu saja saling mengekor kemana pasangan mereka pergi. Rora berkeliling sendiri dan melihat-lihat pernak-pernik lucu di sana sedangkan urusan membeli kaos ia untuk Mama dan Papa ia serahkan kepada Jovial. Ketika ia sedang fokus melihat-lihat dream catcher yang terpajang di sana, Rendra menepuk pundaknya dari belakang.

“Ra.” Panggil Rendra sambil menepuk pundak Rora.

Rora pun menoleh ke arah Rendra yang berada di sebelah kanannya, “ada apa? Katanya mau cari kaos sama Jov?”

“Iya, udah gue titipin Jovial tadi sekalian bayar.” Jawab Rendra

“Gue dibeliin warna apa sama dia?” tanya Rora

“Putih.” Mendengar jawaban Rendra, Rora hanya mengangguk dan melanjutkan window shoppingnya.

“Mau beli dream catcher?” tanya Rendra sambil mengikuti langkah Rora.

“Lihat-lihat aja, sih.” Kali ini mereka sampai di bagian aksesoris rambut.

Tiba-tiba Rendra memanggil Rora yang sedang sibuk melihat-lihat tali rambut di sana. Rora pun membalikkan badannya demi bisa menghadap ke arah Rendra.

“Apa-“ belum selesai Rora melanjutkan kalimatnya, Rendra sudah terlebih dahulu menyelipkan sebuah jepit rambut berbentuk bunga di telinga Rora. Rora terpaku sebentar dan menatap Rendra tanpa berkedip, diam-diam ia meremas ujung rok yang ia pakai untuk menetralkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdegup lebih cepat.

“Cantik.” Puji Rendra

“Jadian dulu, Bos, baru mesra-mesraan.” Jerri yang tiba-tiba datang kemudian mengacaukan suasana romantis di antara mereka. Rora kemudian berdehem dan melepaskan jepit rambutnya kemudian memasukkannya ke keranjang belanja.

“Ayo bayar dulu.” Ajak Rora. Rendra hanya mengangguk dan mengikutinya menuju kasir.


Setelah semua selesai membayar, mereka melanjutkan perjalanan menuju Danau Bedugul. Perjalanan kali ini memakan cukup banyak waktu sehingga mereka memutuskan untuk makan siang di tengah perjalanan terlebih dahulu.

Sekitar pukul 1 siang, mereka telah sampai di Danau Bedugul, cuaca di sana memang dingin dan diselimuti awan sehingga tidak terasa terik. Mereka bersepuluh kemudian berpencar. Jevan, Olla, Hayden, dan Hailee memilih untuk menaiki boat dan mengelilingi danau. Para lelaki yang belum memiliki cemewew alias Jovial, Chalvin, Jerri, dan Marcel memilih untuk bersantai di tepi danau dan mengambil beberapa foto. Sedangkan pasangan yang tak kunjung jadian yaitu Rora dan Rendra memutuskan untuk mengunjungi Pura Ulun Danu terlebih dahulu.

Pura tersebut terletak di samping danau tempat mereka berada sekarang. Kedua tempat tersebut saling terhubung, akan tetapi Pura Ulun Danu memiliki pintu masuk yang berbeda. Pura tersebut sudah sangat familiar bagi orang Indonesia karena tercetak di uang yang beredar di Indonesia, yaitu uang kertas lima puluh ribu.

Kompleks pura tersebut sangat luas dan terdapat jalan setapak yang dapat dilalui sambil menikmati pemandangan yang ada di sana. Rintik gerimis sedikit turun tetapi tak sampai membuat Rora dan Rendra harus menggunakan payung. Rora saat itu memang hanya mengenakan kemeja dan rok di bawah lutut sehingga dingin mulai mengecupi kulitnya.

“Kok nggak bawa jaket, sih?” tanya Rendra

“Gapapa. Nggak se dingin itu.” Jawab Rora santai. Rendra kemudian melepaskan jaket yang ia pakai dan memakaikannya pada tubuh Rora.

“Malah sekarang lo cuma pakai kaos doang, ini pakai aja gapapa. Kemeja gue panjang.” Rora berniat melepaskan jaket itu tetapi Rendra menahannya.

“Gapapa pakai aja.” Rora menuruti perkataan Rendra. Mereka mengambil beberapa foto berlatarkan Pura Ulun Danu dan kemudian memilih duduk di gazebo yang berada di tepian danau untuk beristirahat sambil melihat orang berlalu lalang. Suasana di antara keduanya hening sampai Rora memutuskan membuka suara. Ia telah memikirkan ini seharian penuh. Ia telah bertekad akan mengungkapkan perasaannya saat ini.

“Ren, lo percaya ngga sih, sama kalimat kalau katanya ngga ada persahabatan yang murni antara cewek sama cowok?” tanya Rora, entah kenapa Rendra mulai tegang mendengar pertanyaan Rora.

“Kenapa, Ra?” hanya itu kata yang bisa Rendra ucapkan. Dalam hati ia berharap agar Rora tak mengucapkan kalimatnya saat ini sedang ada di pikirannya. Jangan bilang lo suka gue, Ra. Batin Rendra.

Rora menoleh ke arah Rendra, saat netra mereka bertemu, Rora mengutarkan perasaannya. “Kalau gue bilang gue ada rasa sama lo gimana, Ren? Sesuatu yang lebih dari temen.” Mendengar kalimat itu, dalam hati Rendra merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan, seperti sesuatu yang telah meledak. Sesuatu yang terasa seperti kebahagiaan tetapi juga sebuah luka.

“Ra..”

“Gue tahu seharusnya gue nggak gini. Tapi, Ren, gue sendiri nggak tahu kapan gue mulai menganggap lo sebagai cowok, bukan sekedar temen gue. Gue ngga nyalahin lo karena selama ini baik ke gue. Mungkin emang gue aja yang nggak bisa ngendaliin perasaan gue.”

“Ra…”

“Lo bilang kan kalau lo harus jadi orang pertama yang tahu ketika gue suka sama orang? Ini gue udah kasih tahu lo, gue suka sama lo Ren, untuk sesuatu yang lebih dari temen.” Rora tetap melanjutkan kalimatnya meskipun Rendra tak memberikan respon lain selain memanggil namanya.

“Ra…”

“Lo.. nolak gue?” suara Rora terdengar putus asa, membuat hati Rendra seperti patah mendengarnya.

Rendra akhirnya menjawab, “Ra, dengerin dulu. Gue udah sering bilang, Ra, friends can not be lover. Karena ketika persahabatan itu udah jadi cinta, ada sesuatu yang hancur, Ra. Dan ketika udah hancur, udah nggak bisa diperbaikin lagi. Nggak bisa balik kaya semula, Ra.”

“Gue nggak paham.”

“Ra, kita sama-sama ngga tahu masa depan bakal kaya gimana. Kita aja masih semester 5, masih jauh dari kata lulus. Jangankan dua tahun lagi, dua bulan lagi aja perasaan bisa berubah, Ra. Kalau kita jadian, terus putus.. enggak, Ra, gue nggak mau kehilangan lo, Ra. Perasaan bisa berubah, Ra.”

Mendengar jawaban Rendra, emosi Rora terpancing. “Lo se nggak yakin itu sama gue? Lo yakin kalo perasaan gue bakal berubah?” Nada suara Rora meninggi.

“Ra. Kita masih bisa temenan…”

Rora buru-buru menyela, “setelah apa yang gue lakukan ini, lo bilang kita masih bisa temenan? Gila ya lo? Terus apa arti semua perlakuan lo ke gue selama ini?”

“Gue sayang sama lo, Ra, tapi kita ngga bisa lebih dari temen, buat saat ini.” Suara Rendra melemah, jujur air matanya ingin keluar saat ini.

“Dengan alasan konyol tadi?” emosi Rora masih belum mereda.

“Ra…”

“Terserah lo. Emang lo ngga pernah, kan, anggep gue sebagai cewek? Bukan sebagi temen lo?” tanya Rora.

Mendengar kalimat Rora, emosi Rendra ikut meninggi, ia pun menjawab. “Ra, kurang jelas apa lagi, sih, perlakuan gue selama ini? Gue sayang sama lo sebagai cewek, Ra, tapi gue ngga ada niatan buat jadiin lo pacar gue untuk saat ini. Kita nggak bisa, Ra.”

“Alasan lo nggak make sense.” Rora mengalihkan pandangannya ke depan, menghindari tatapan Rendra karena air matanya mulai keluar.

Melihat Rora menangis, Rendra jadi ikut menangis, tapi sebisa mungkin ia menahan air matanya. “Ra, kita ngga tahu masa depan. Kalau kita pacaran dan ternyata lo bukan jodoh gue, kita bakal putus dan gue benci fakta kalau gue bakal kehilangan lo. Tapi kalau kita ngga jadian dan kita emang nggak jodoh, seenggaknya gue ngga bakal kehilangan lo sebagai temen, Ra.”

Rora kembali menoleh ke arah Rendra, “kalo jodoh?”

“Kalo jodoh, mau sejauh apa lo pergi, lo bakal tetep balik ke gue, Ra.”

“Kalo emang nggak jodoh dan gue terlanjur pergi?” tanya Rora lagi, air matanya sudah mulai berhenti mengalir.

Rendra menggeleng, air matanya menggenang di pelupuk matanya. “Nggak mau kaya gitu, Ra. Kalaupun ngga jodoh nanti, seenggaknya lo masih bisa ceritain semuanya ke gue, Ra. Soal suami lo nanti siapa, soal gimana dia memperlakukan lo dengan baik, bakal peluk lo saat lo lelah…” ucapan Rendra terhenti karena air mata lelaki itu mengalir keluar.

Stop it!” kata Rora. Air matanya mengalir keluar ketika ia mencoba menutup mata dan menetralkan perasaannya.

Rendra menghapus air matanya dan melanjutkan, “atau soal anak-anak kalian nanti. Gue bakal dengerin semua cerita lo, Ra.”

“Dan lo berharap gue juga bakal dengerin cerita lo dengan cewek lain? Someone you called istri? Lo ngga mikir seberapa sakit hati gue sekarang denger lo ngomong kaya gini?” suara Rora mulai terdengar putus-putus akibat sedu-sedan tangisnya.

“Ra, gue juga sakit hati, Ra. Selama ini gue udah sebisa mungkin nahan perasaan gue. Kasih gue waktu, Ra. Kita bisa jadi apa yang lo mau karena gue juga mau itu, tapi nggak sekarang, Ra. Biarin gue pastiin dulu soal semuanya, ngertiin gue, Ra. Gue nolak bukan karena gue ngga sayang sama lo, buat sekarang mikirin masa depan lebih penting, Ra. Gue maunya serius, jadi gue nggak bisa main-main, Ra.”

Rora menghela napasnya, “Oke kalo itu mau lo. Lupain aja apa yang gue bilang hari ini. Tapi setelah ini, jangan jadi temen gue lagi.”

“Ra, jangan bikin hal yang paling gue takutin beneran terjadi, Ra.” Rendra berusaha meraih tangan Rora tetapi Rora menepisnya.

“Lo aja bisa nolak gue buat jadi pacar lo, kenapa gue nggak bisa nolak buat jadi temen lo? Lo bisa bayangin nggak, gimana hancurnya perasaan gue sekarang? Di depan gue… hiks.. ada cowok yang gue suka…dan hiks suka balik ke gue, katanya mau serius….”

Rendra dengan segera membawa Rora dalam pelukannya, mengusap lembut rambut perempuan itu. Suara tangis Rora mulai terdengar, membuat air mata Rendra ikut mengalir lagi.

“Gue cuma mau lo, Ren, kenapa lo nggak bisa ngasih gue kepastian?” tanya Rora di sela tangisnya.

“Maafin gue, Ra, maaf…” Rendra masih setia mengelus rambut dan punggung Rora agar perempuan itu tenang.

Rora melepaskan pelukan itu. Keduanya berhadapan dengan mata yang sembab.

“Gue mau sesuatu yang pasti, Ren. Pilihan lo cuma dua, bales perasaan gue sekarang, atau… kita nggak usah temenan lagi.”

“Ra…”

“Dan lo pilih yang kedua.” Ada sesuatu dalam hati Rendra yang terasa hancur mendengar kalimat Rora. Rora kemudian bangkit dan melepaskan jaket Rendra. Ia menyerahkan jaket itu sambil berkata, “makasih Ren, maaf selalu ngerepotin lo. Setelah ini nggak bakal ada lagi Rora yang repotin lo. Gue bakal lupain perasaan gue, jadi gue harap lo juga lupain perasaan lo. Gue duluan, kayanya yang lain udah nyusul ke sini.”

Setelah Rora melangkah pergi, Rendra masih terpaku di tempatnya. Ia tak tahu harus bagaimana, semua terjadi begitu saja dan terlalu mengagetkannya. Lama merenung, fokusnya terbuyarkan dengan adanya pesan dari Hayden yang mengatakan bahwa mereka akan segera pergi dari sana. Setelah menghapus jejak air matanya, ia meraih jaket dengan wangi parfum Rora yang masih tertinggal di sana. Ia menghela napas, wangi Rora sudah telalu familiar baginya. Dengan berat, ia melangkahkan kakinya menuju tempat mobil mereka terparkir.


Setelah sampai di mobil, suasana di sana sudah menjadi canggung. Mereka semua melihat Rora dan Rendra secara bergantian, kemudian menyadari bahwa mereka berdua menjadi alasan tangis satu sama lain. Tak ada yang berani bertanya, bahkan Hayden pun diam seketika.

“Gue se mobil sama Jov, ya. Chalvin, tukeran sama gue, ya.”

Setelah berkata begitu, Rora masuk ke dalam mobil. Semua orang paham maksudnya, ia tak mau satu mobil dengan Rendra. Hayden dan Jevan menepuk pundak Rendra sebelum masuk ke mobil masing-masing. Perjalanan pulang hari itu dipenuhi dengan tanda tanya delapan orang di sana, atau mungkin tujuh, karena Jovial jelas paham apa yang telah terjadi. Sepanjang perjalanan pulang hari itu, Rora menyembunyikan wajahnya di pelukan Jovial karena air matanya masih terus mengalir. Sedangkan Rendra memejamkan matanya dan berusaha menahan air matanya sambil mencoba tak memikirkan Rora. Tetapi satu pesan dari Hayden membuat air matanya lolos begitu saja, suara tangisnya pun tak bisa ia tahan. Jevan yang kebetulan berada di sampingnya hanya bisa menepuk punggungnya, mencoba membuatnya tenang tanpa bertanya apapun.

Hayden Rora nangis terus, nggak bisa berhenti.