Chaotic Night


Malam ini angin bertiup dengan sedikit kencang, Rora merutuki keputusannya yang hanya memakai midi dress selutut dan lengan yang hanya menutupi sampai sikunya. Diam-diam ia menyalahkan Jovial yang tadi mengajaknya buru-buru sampai ia lupa membawa cardigan. Acara ulang tahun Olla kali berjalan dengan lancar meskipun ia tak banyak mengambil bagian dan meninggalkan sedikit rasa bersalah pada Olla. Mungkin benar apa yang dikatakan Jovial saat kemarin lelaki itu membujuknya. Lo boleh ngga mau ketemu dan menghindari Bang Rendra, tapi bukan berarti masalah lo itu ngasih pengaruh buruk ke hubungan lo sama anak-anak lain.

Sambil menepis rasa bersalah yang muncul, Rora terlebih dahulu berjalan keluar rumah Olla setelah berpamitan dengan anak-anak lain. Ia menunggu Jovial yang tak kunjung muncul sambil mengeratkan pelukan pada dirinya sendiri untuk menghalau dingin. Ia berdiri di samping mobil mereka sambil kakinya menendang-nendang kerikil di bawahnya. Kemudian lamunannya dikagetkan dengan sebuah jaket yang tiba-tiba dipasangkan di pundaknya. Ia mengira itu adalah Jovial sehingga perempuan itu berbalik dan berkata-

“Jov, gue kira lo ngga bawa-“ ucapan Rora terhenti begitu ia tahu siapa yang baru saja memasangkan jaket di pundaknya. Ia lantas melepaskan jaket itu dan memberikannya kepada sang pemilik.

No, thanks. Gue bisa langsung pulang sama Jov.”

Lelaki itu menghela napas. “Jov masih ngobrol dan foto-foto sama Olla dan Hailee, Ra. Dingin, pake dulu aja. Gue tungguin sampe Jov balik.” Lelaki itu kembali memasangkan jaketnya ke pundak Rora.

“Maksud lo kaya gini tuh, apa, Ren?” tanya Rora pada lelaki di hadapannya, Rendra. Lelaki yang sudah tak berkomunikasi dengannya sejak mereka pulang dari Bali.

“Gue cuma ngga mau lo kedinginan. Gue ngga maksud apa-apa. Gue tahu kok, sepanjang acara lo nyoba buat ngehindari gue. Gue tahu lo selalu mengalihkan pandangan ketika ngga sengaja kita bertatapan. Tapi gue juga tahu, Ra, kalau ada sesuatu di hati lo yang mengganjal dan sesuatu di mata lo yang mati-matian lo tahan sambil memalingkan pandangan lo ke arah lain. Terus lo pura-pura lihat hape atau pura-pura senyum ikut nanggepin obrolan anak-anak.”

Rora mengepalkan tangannya mendengar kalimat yang diucapkan Rendra. Ia merasa kesal dengan lelaki di hadapannya meskipun ia memilih untuk tidak melepaskan jaket yang tengah berada di pundaknya. “Ren, cukup. Oke? Gue udah ngga mau bahas soal ini.”

“Mau sampai kapan, Ra? Mau sampai kapan lo ngebiarin hubungan kita berantakan kaya gini?”

“Jadi intinya menurut lo, gue yang menghancurkan semuanya, kan? Fine.”

“Ngga gitu, Ra. We need to talk.”

“Gue ngga mau.”

“Ra, please, kali ini. Kita coba dulu. We can fix it again, Ra.”

Rora menghela napas, mencoba menurunkan ego yang sedari tadi menguasainya.

“Oke. Tapi gue ngga bisa jamin. Hal itu bisa bikin semua lebih baik, atau justru bikin semua makin ngga bisa diperbaiki.”

Setelah berkata begitu, Jovial dan yang lainnya keluar dari rumah Olla. Mereka sama-sama terkejut melihat Rora dan Rendra yang sedang ngobrol bersama dengan jaket Rendra yang tersampir di pundak Rora. Dengan langkah yang sedikit ragu, Jovial menghampiri mereka. Ketika Jovial sudah berada di dekat mereka, Rendra berkata, “Rora pulang sama gue.”

Jovial kemudian melihat ke arah Rora dan bertanya lewat isyarat matanya. Ketika Rora tak menjawab apapun dan berjalan ke arah mobil Rendra, Jovial paham kalau Rora sudah menyetujui ajakan Rendra.

“Jangan melakukan apapun yang bikin kakak gue makin sakit hati, ya, Bang.” Ujar lelaki itu pada Rendra. Rendra hanya membalas ucapan Jovial dengan tepukan di pundaknya kemudian berlalu menuju mobilnya dan segera pergi meninggalkan rumah Olla.


Rendra mengajak Rora ke taman dekat SMA mereka yang sering mereka kunjungi. Taman tersebut sangat sepi karena memang waktu sudah mendekati tengah malam. Mereka duduk di sebuah bangku dekat ayunan di sana dan Rendra memulai pembicaraan.

“Ra, gue minta maaf.”

“Kalau lo cuma mau minta maaf, mending pulang. Lo udah ucapin itu berkali-kali.” Rora memotong ucapan Rendra dengan cepat.

“Dengerin gue dulu, oke?” melihat Rora yang tak merespon apapun, Rendra kemudian melanjutkan. “Jujur, gue ngga tahu Ra, harus gimana lagi. Gue masih mau temenan sama lo, dan perasaan gue buat lo juga masih sama. Gue ngga mau move on dan gue dan ngga mau kita jadi orang asing. Tapi kalau buat saat ini how about let’s take it slow, Ra? Gue ngga ngegantung perasaan lo. Gue cuma minta waktu sambil kita pelan-pelan memperbaiki hubungan kita lagi.”

Rora menghela napas, emosinya sudah tak seperti tadi, ia pun berkata. “Lo tahu ngga sih, Ren, seberapa susahnya gue mengumpulkan keberanian buat bilang soal perasaan gue ke lo. Dan sekarang gue sedang menyesali karena gue udah bikin semua jadi kaya gini. Dulu sebelum gue memutuskan confess ke lo, gue mikirnya gimana ya kalo gue ngga confess ke lo. Tapi sekarang setelah confess dan kaya gini gue jadi mikir, gimana jadinya kalo gue ngga confess, ya? Gue merasa bersalah, Ren. Semakin liat lo, gue semakin merasa bersalah. So, it’s enough, keputusan gue masih sama.”

“Gue harus apa lagi, sih, Ra? Gue ngga mau kaya gini.”

Rora kemudian menolehkan kepalanya dan menatap Rendra yang berada di sampingnya. Tiba-tiba air matanya serasa ingin keluar. “Yaudah gini aja Ren. Let’s move on.”

“Semudah itu lo bilang kaya gitu.”

“Semudah itu juga lo hancurin hati gue waktu itu.”

Emosi Rendra menjadi naik mendengar Rora berkata begitu. “Oke fine. Kalo gitu, mau lo kita jadian, kan? Oke ayo jadian kalo gitu.”

Rora sedikit melebarkan matanya mendengar jawaban Rendra, kemudian ia tertawa hambar. “Ternyata gue semudah dan serendah itu ya di mata lo. Ketika gue confess ke lo, lo nolak gue. Tapi setelah gue ngejauh, trus sekarang lo mau jadian. Sorry, Ren. Kayanya obrolan kita hanya bakal bikin semua makin ngga bisa diperbaiki. Gue pergi dulu.” Rora bangkit dari duduknya tapi langkahnya terhenti karena Rendra mengucapkan sesuatu.

“Gue juga semudah itu, kan, di mata lo? Lo egois, Ra. Lo cuma mikirin di sudut pandang lo. Di pikiran lo, cuma ada Rora yang sakit hati gara-gara Rendra ngga mau pacaran sama dia. Tapi pernah ngga, Ra, lo mikirin sudut pandang gue? Lo ngga tahu, se-menyesal apa gue setelah kejadian di Bali waktu itu? Lo ngga tahu sesakit apa hati gue melihat lo selalu menghindari gue, seakan lo ngga mau napas di udara yang sama dengan gue. Lo ngga tahu seberapa gue ngerasa kalo gue se-ngga berarti itu sampai lo dengan mudahnya bilang kalo kita lebih baik move on dan jadi asing? Gue juga bisa sakit hati melihat lo yang selalu bilang kalo semuanya udah ngga bisa diperbaiki. Lo juga menyimpulkan sendiri kalo keputusan gue adalah let you go. Padahal gue ngga pernah kaya gitu. I’d try to fix you.”

Rora menangis, hatinya terasa tercabik-cabik mendengar pengakuan Rendra. Akhirnya dengan berat hati, ia berkata. “See, Ren. Kita cuma nyakitin satu sama lain. Gue ngerasa lo egois, dan sebaliknya. Buat bikin semua membaik juga butuh banyak emosi dan air mata yang harus dikeluarkan. Daripada makin sakit hati, udah, ya. Gue minta maaf. Kita…” ucapan Rora tertahan seiring dengan suaranya yang terhalang dengan sedu sedan tangisnya. “Kita ngga usah jadi lebih dari teman. Let’s heal diri kita masing-masing, ya. Makasih buat selama ini, lo yang terbaik, Ren. Gue minta maaf, gue bukan yang terbaik. Gue naik taksi aja. I did love you, Ren. But it’s better to stop here. Goodbye, Rendra.”

Rendra meraih tangan Rora, “Sekali aja, Ra. Gue tanya sekali aja. Why it’s goodbye? Why don’t you say see you?”

Because it’s our goodbye, Rendra.”

Dengan begitu, Rendra tak lagi menahan Rora. Ia membiarkan perempuan itu pergi. Rora berjalan dengan cepat karena ia ingin menyembunyikan air matanya dan tak mau mendengar suara tangis Rendra di belakang sana. Malam itu, mungkin menjadi malam yang membuat hati mereka patah dan meninggalkan luka yang dalamnya tak pernah mereka duga sebelumnya. Mereka memilih untuk menangis di sudut kamar masing-masing, ketika mereka bisa saja menangis di pelukan satu sama lain.