write.as

GREAT WAR

Selesai (menumpang) mandi, Atra meminjamkan kaos tanpa lengan miliknya untuk Marcel pakai, ia tidak memikirkan efek yang terjadi pada dirinya, karena sumpah! Sekarang Atra jadi gugup melihat otot Marcel yang begitu… menggoda? Seumur hidup Atra tidak pernah melihat otot laki-laki lain menarik, ya, karena dia bukan homo!

“Tra, sini. Ngapain berdiri disitu?” ia melihat Marcel sudah nyaman duduk di kasur sambil duduk bersandar pada kepala tempat tidur sementara dirinya masih enggan untuk naik ke sana karena takut gedup jantungnya terdengar oleh sang lawan.

“Hah?”

“Sini.” Marcel mengulurkan tangannya bak menyambut Atra kedalam pelukan, tidak tahu sihir darimana, Atra membawa langkahnya naik ke kasur, tenggelam dalam dekap Marcel.

Untuk beberapa saat hanya hening, Atra menikmati tubuhnya yang bersandar sambil mendengar detak jantung Marcel, sementara Marcel sibuk bermain dengan surai milik Atra yang sejak tadi menjadi pujanya karena cokelat yang memanjang itu membuat si manis menjadi lebih cantik.

“Rambut lu panjangan ya.” ia masih setia memainkan jemarinya disana, sambil sesekali menggesekan hidungnya menyesap wangi mintcool yang mengguar.

“Iya, gak sempet ketukang cukur, karena kemarin gua sibuk ngurus festival.” sarkasme

“Maaf deh, gua kemarin beneran ada urusan.” tidak ada jawab, melainkan hanya anggukan kecil.

“Mau ceritain gak urusan apa?” tidak terdengar intonasi menuntut darisana, karena Atra sendiri sudah siap kalau Marcel belum ingin bercerita, mengingat ucapan Karina; Marcel itu tipikal orang yang tertutup.

Lama tidak ada jawab jadi Atra menyimpulkan kalau Marcel enggan untuk bercerita. Alih-alih bertanya lagi, ia mencoba untuk mengganti topik.

“Oh iya, kemarin gua udah dealing harga untuk panggung,”

“Bokap gua abusive, nyokap gua tukang selingkuh.” Atra terdiam, apakah fakta ini tidak terlalu sensitif untuk dibagi dengannya? Ia mendongak, sedikit terkejut melihat tatapan Marcel yang begitu kosong, tidak ada rasa cemas, begitu dingin, bukan Marcel yang penuh guyonan dikesehariannya.

“Kemarin Bokap balik ke Jakarta, setelah enam bulan ngurus bisnis di luar, gua gak bisa ninggalin dia berdua sana Nyokap, ancur, Tra.”

Atra akan langsung menyimpulkan darimana lebam yang Marcel dapat.

Tidak ada kalimat yang mampu membuat kondisi Marcel membaik, alih-alih bersua, Atra memilik untuk menyematkan jemarinnya pada milik Marcel, memberi sedikit kekuatan.

”Bisnis Bokap naik pesat, tahun pertama sampe tahun ketiga masih baik-baik aja, tahun keempat sampe seterusnya dia jarang pulang.”

“Gua yang pertama kali tau kalo Nyokap ada main sama temen bisnis Bokap, mungkin Nyokap gua kesepian jadi gua diem, tapi pas Bokap tau, semua jadi berantakan.”

“Setiap balik ke rumah dia selalu mukulin Nyokap, gua liat pake mata gua Nyokap sujud minta maaf, gua kira bakal selesai tapi setiap Bokap balik bisnis Nyokap selalu main sama laki-laki yang beda.”

“Siklusnya selalu kaya gitu, Nyokap selingkuh, Bokap tau, terus ribut.”

“Menurut lu, gua harus pegangan sama siapa? Gua gak pernah minta orang-orang buat stay sama gua, Tra. Gua tau gua berantakan, tapi mereka selalu dateng, gua bisa apa selain nikmatin semua? Nikmatin perhatian yang gak pernah gua dapet dari orangtua gua.”

Atra menggigit bibirnya, mungkin sebentar lagi akan berdarah.

Marcel terkekeh, “Setiap gua punya gebetan baru, rasanya kaya ada di playground, cuma ada seneng, rasa bergairah, gua satu satunya yang pegang kontrol.”

“Lu tau gak?” Atra menggeleng, “Rasanya puas liat orang lain bergantungan, it’s good so see everyone begging for your attention, fun sampe mereka minta buat hubungan yang lebih serius.”

“Gua gak pernah ada niat buat serius, gua udah cukup berkaca dari Nyokap Bokap, hal klise kaya jatuh cinta itu omong kosong.”

They’re too easy to get, sama kaya Nyokap, ngeliat mereka under control gua kaya liat Nyokap di bawah semua selingkuhannya,”

“Gua tau orang-orang yang deket sama gua cuma mau perhatian, jadi gua kasih apa yang mereka butuhin. Gak lebih.”

Hening. Bungkam. Marcel memejamkan mata berusaha menjernihkan pikiran, dia benci ini, benci perasaannya yang sangat ingin jujur untuk memiliki Atra.

“Cel, lu gapapa?” Atra kembali menangkat kepalanya, bersamaan dengan itu sebuah kecupan mendarat di keningnya.

“Lu tau apa yang gua gak suka?”

“Apa?”

I hate the feeling of wanting someone,” dekapan itu semakin erat, “+Wanting You*.”

Menginginkan seseorang sama saja seperti memupuk sebuah harapan, Marcel tidak pernah menggantung harapannya pada siapapun tapi berdekatan dengan Atra? Sialan, bayangan akan masa depan bersama laki-laki di dalam dekapnya sangat teramat jelas, ia ingin Atra menjadi miliknya, sebuah harap akan masa depan yang lebih indah tampak jelas saat bersama Atra (setidaknya di kepala Marcel) tapi ia terlalu takut, bagaimana kalau Atra pergi?

“Gua takut.” ucapnya dengan bisikan yang hampir tidak terdengar tapi samar ditangkap oleh pendengaran Atra.

Dengan cepat Atra bergerak, merubah posisinya duduk bersila sambil menangkup kedua pipi Marcel, membuat yang lebih besar menyamakan posisi.

“Maaf buat semua yang lu laluin, gua… gak pernah tau.” terdengar nafas Atra yang menghembus berat; hatinya tersentil kalau masih mengingat niatnya untuk menghancurkan Marcel.

“Gapapa, gua emang brengsek sih.” Marcel terkekeh, Atra mendengus.

“Pokoknya Cel, gua disini… jadi,” suaranya tercekat, Atra tidak terbiasa untuk memberikan afirmasi lisan tapi ia ingin Marcel mendengarnya, “Gua gak akan pergi, jadi lu gak perlu takut.”

Yang mendengar cukup dibuat tertegun, siapa sangka kalau Atra akan mengucapkan itu? Laki-laki yang memiliki gengsi setinggi langit, mengucapkan kalimat manis yang sebenarnya memang ingin Marcel dengar.

Alib-alih bersua, Marcel menjatuhkan kepalanya pada pundak Atra, beristirahat disana untuk sekedar menenangkan degup jantungnya. Yang menjadi sanggahan tidak lepas memberi elusan lembut pada rambut Marcel.

“Istirahat dulu, Cel. Pelan-pelan kita coba lewatin ya.” kita, benar, kita yang dimaksud adalah dirinya dan Marcel. Atra ingin membantu Marcel untuk melewati semua, ia ingin berada di samping Marcel, laki-laki ini penuh trauma, bukankah akan menjadi jahat kalau Atra pergi setelah Marcel susah payah membuka diri?

Tentang karma dan segala niat buruk untuk menjatuhkan Marcel, ah, sialan dengan itu. Tuhan sudah membalas Marcel lebih dari seharusnya, lagipula, Atra lebih tertarik untuk membantu Marcel, seperti ia membantu teman-temannya yang lain pada saat mereka membutuhkan pertolongan; tapi kali ini… teman yang sedikit spesial.