write.as

Bel(ove)ieve

by ; risa adrina

“Gue bawa mainan yang lagi trend di media sosial itu, lho! Tau, nggak?” “Mana? Coba-coba liat.” Aku mengerling malas ketika mendengar pembicaraan yang sama sekali tidak beredukasi. Aku memiringkan badanku menghadap ke tembok dan mulai memejamkan mata. Sampai akhirnya sebuah teriakan kembali meracuni indra pendengaranku. “Sel! Sel!” panggil temanku menggucang bahuku. Namanya Ganesh, aku biasa memanggilnya Gani—panggilan khusus yang spesial, kalau kata orang-orang, sih, panggilan kesayangan. “Sel, itu si Sena mau mulai kampanye di lapangan. Nggak ikut?” “Ikut?” beoku setengah sadar. Aku masih mengantuk. “Maksud—” “Chisel! Ada yang cariin lo!” Tiba-tiba Keysha datang dan menyembulkan kepalanya dari balik pintu kelas. “Buruan, Sel! Dia berisik banget.”
Aku mendengus seraya menguap lebar. Pasti Sena. “Sebentar.” Aku berdiri dan merapikan rokku sebelum beranjak menemui orang yang mencariku. Begitu bertemu dengannya, aku langsung bersedekap dan menatapnya datar seraya menaikkan dagu menantang. Sedangkan, yang ditatap hanya mengeluarkan ekspresi cengiran tak berdosa. “Nggak usah banyak gaya.” “Ish.” Aku berdecak. “Katanya kampanye? Mana? Nggak ada umbul-umbulnya juga, tuh.” “Kita mau kampanye bukan mau 17-an,” sungut Sena menatapku kesal. “Ngapain masih di kelas? Lo harusnya ikut kampanye.” “Oh, harus?” tanyaku. “Pasti lo nggak baca pengumuman di grup OSIS. Nimbun chat, ‘kan, lo?” Aku segera tersadar lalu menepuk dahi. “Ayo, buruan!” Aku berjalan lebih dahulu meninggalkan Sena. Kampanye yang mengangkat tema tentang bullying dan cyber-bullying rasanya sudah seperti perebutan tahta kerajaan saking banyaknya orang, yang ramai-ramai menulis opini mereka tentang bully di sebuah spanduk putih besar, beberapa juga memberikan tips and trick terhindar dari bully di media sosial, ada juga yang curhat sampai memberi semangat. Sebenarnya ini hanya kampanye biasa dengan tujuan menyuarakan suara anak muda, pihak sekolah juga menurunkan petisi—yang temanya sudah divoting sejak minggu lalu—tentang hukuman pantas untuk kasus pembullyan di luar batas. Program kerja yang satu ini selalu ramai ketika direalisasikan karena selain puas mengungkapkan opini, mereka bisa mengungkapkan apa yang dirasakan secara rahasia dengan adanya sesi konselling dan webinar. Ada juga sebuah film pendek yang diputar menggunakan proyektor seperti layar tancap, bercerita tentang seorang anak yang mengalami gangguan mental akibat pengaruh bully. “Hai, Sel,” sapa Chitta yang membuatku mengerjap sadar. “Hai.” Aku menoleh ke sebuah tenda. “Itu tenda apa?” Chitta megikuti arah pandangku. “Oh, tenda buat bazar, deh, kayaknya.” “Emang mau ada bazar juga?” “Waktu rapat, sih, ada yang bilang gitu. Panas banget, Sel, butuh jajan yang seger-seger, hahaha.” Chitta tertawa renyah. Aku ikut tertawa samar, menatap Chitta yang lebih tinggi dariku. Dia sekretaris OSIS, salah satu alasan kenapa Chitta sangat dekat dengan … Sena? Ah, dia memang gadis yang cantik, seharusnya aku tidak perlu membandingkan diri dengannya. “BTW, nanti kapan-kapan hangout bareng, yuk. Kata si Sena lo anak rumahan, nggak pernah mau diajak jalan. Kalau rapat OSIS aja kayaknya lo yang duduk paling belakang,” ajak Chitta. “Nggak bisa,” jawabku cepat. “Lo nggak ada kendaraan? Gue jemput nanti.” “Bukan itu.” Aku menghela napas. “Pokoknya nggak bisa.” Aku meninggalkan Chitta saat itu juga. Sebenarnya itu adalah kesempatan emas bagiku untuk memperluas relasi, mengingat Chitta juga salah satu anak yang punya banyak teman karena circlenya luas. Namun, aku terlalu malu dan tidak percaya diri karena tubuhku yang pendek dan wajahku yang sedikit berjerawat.


Aku memetik gitarku perlahan seraya menikmati angin sepoi-sepoi. Rintikan gerimis membuat suasana di balkon saat ini sangat sejuk. Aku memilih untuk bermain gitar sembari mengabadikan suasana langka ini dengan mengambil foto selfie yang tentunya tidak akan aku posting di media sosial. Aku mengintip notifikasi yang masuk di ponsel. Ternyata itu Sena, ia tampak mengirimiku beberapa pesan singkat. Aku meletakkan gitarku dan beralih bermain ponsel untuk membalas pesan dari Sena.

Sena : Nanti malem jalan jalan yuk. Sena : Tidak menerima penolakan. Masa lo tega biarin gue pusing abis ngurusin kampanye

​Aku mendengus membaca pesan terakhirnya, memangnya dia doang yang urus kampanye? Ia seperti sudah bisa membaca pikiranku kalau aku pasti akan menolak ajakannya—karena memang selalu begitu. Mataku beralih menatap rumah tingkat di seberang rumahku, itu rumah Sena. Kami memang bertetangga sejak SMP. Sena selalu sibuk, sibuk, dan sibuk. Padahal kami berada di organisasi dan ekskul yang sama, tapi aku tidak sesibuk dia.


“Mau ngomongin apa?” tanyaku saat Sena baru selesai memesan makanan. “Nggak mau ngomongin apa-apa. Bosen, mau cari suasana.” Sena menyenderkan badannya. “Oh, ya, katanya si Chitta ngajakin lo jalan bareng, tapi lo nolak?” Aku meliriknya sebal. “Ya, elah. Lo juga tau alasannya. Nggak usah basa-basi.” “Masih gara-gara itu?” “Sen, kalau lo udah tau nggak perlu nanya-nanya. Padahal lo sering banget—” Perkataanku terputus karena makanan pesanan kami sudah datang. Sena hanya memesan roti lapis dan es teh manis. “Makan, Sel,” tawarnya yang membuatku mendelik.
“Nggak lapar,” jawabku. “Cuma roti lapis doang.“ Sena menyodorkan sepiring roti lapis kepadaku. “Katanya mau tinggi, tapi nggak mau makan.” Tuh, ‘kan! Dia mengejekku! “Gue, tuh, mau tinggi bukan mau gemuk, Sen.” Sena tertawa. “Lo mau kayak siapa, sih? Kayak Chitta?” “Mungkin. Gue iri kalau lihat dia. Gue pengin kayak dia. Banyak yang suka, banyak yang muji-muji, banyak yang pengin dekat sama dia. Gue tau, sih, kalau dia cantik, pintar, baik hati. Gue lihat dia kayak hebat banget, punya banyak fans.” “Duh, galaunya,” cibir Sena. “Jadi diri sendiri aja, Sel. Lo juga cantik, pintar, masa cuma gara-gara pendek jadi nggak percaya diri begini? Apalagi jerawat, semua orang juga pasti ngalamin. Itu normal, nggak perlu insecure.” “Ya, ya, ya.” Aku mengangguk malas. “Sel, dengerin.” Sena mengerling malas dan memutar badannya menghadap ke arahku. “Rumusnya itu cuma ada dua. Satu adalah believe, yaitu percaya. Percaya sama diri sendiri kalau lo bisa tanpa harus jadi orang lain. Lo mampu menampilkan diri tanpa harus insecure dengan keadaan orang lain yang lebih dari lo. Kedua adalah love, maksudnya love yourself, cintai diri lo sendiri, terima semua kekurangan dan kelebihan. Kalau lo percaya diri, tapi lo nggak cinta sama diri sendiri, semuanya juga pasti sia-sia karena nggak seimbang. Di satu sisi pasti lo tetap akan mikir sesuatu yang negatif tentang diri lo. Yang perlu diinget, semua orang punya harga diri dan pantas dihargai, mereka pantas dapat pujian nggak harus tentang fisik.” Ucapan Sena membuatku terdiam. Detik berikutnya, Sena mengeluarkan secarik kertas dan menuliskan sesuatu di sana. Sena memberikan kertas itu kepadaku setelah ia selesai menuliskan sebuah kata-kata yang membuatku menahan senyum dan tawa sekaligus. BELIEVE + LOVE = BEL(OVE)IEVE “Lucu banget.” Aku memandang tulisan tersebut. “Makasih banyak, ya, Sen. Beneran, deh, mungkin gue bakal terus insecure kalau nggak ada lo.” “Diterapin jangan cuma makasih-makasih doang,” balas Sena, kembali sewot. Aku yang melihat raut wajah menyebalkannya tentu saja langsung mendelik tak terima. Baru saja dia berubah menjadi Mario Teguh, sekarang sudah kembali ke asal mulanya. “Nggak janji, ya.” Sena mendengus. “Udah, lah. Percuma juga gue kasih lo nasihat panjang lebar kalau ujungnya juga jadi angin lalu.” “Ih, bercanda,” ujarku. “Pasti gue lakuin, kok. Doain aja, ya, semoga gue berhasil.” Sena mengedik acuh. “Serem banget lo udah kayak mau bunuh orang.” Aku kembali menatap kertas tersebut dan tertawa geli. Itu rumus paling indah yang pernah aku temukan. Aku mendongak menatap wajah Sena. Terima kasih, Sena.