//remember when we first kissed?

“jujur ya, hasil foto lo tuh nggak ada yang jelek. bagus semua asli.”

puji wonwoo dari samping mingyu. perhatian penuh tertuju pada kamera si pemilik. jarinya bergulir kanan kiri demi mengagumi kumpulan hasil tangkapan mingyu.

mayoritas foto lanskap; langit, gunung, pantai. semua dalam citra gelap dan hitam putih. ada juga beberapa objek acak; pensil, daun, bumper mobil kuno, bahkan sepatu. dan yang membuat wonwoo tersenyum, seekor anak anjing.

kemudian seolah dibawa ke dunia yang sama sekali berbeda. cerah, berwarna, dan segalanya yang lembut dan manis. ada wonwoo dalam berbagai ekspresi; wonwoo tersenyum, wonwoo tertawa, wonwoo berlari, wonwoo melamun, wonwoo tidur, wonwoo makan, lalu wonwoo yang marah karena mingyu iseng mengabadikannya. bila foto anak anjing tadi mampu membuatnya tersenyum, maka yang ini sukses membuat pipi wonwoo menyemu merah.

dan mingyu mengagumi betapa cantiknya warna itu di kulit wonwoo. mingyu akan mengabadikannya saat itu juga andaikan dia memegang kamera. maka dia melahap pemandangan indah itu dengan rakus. memindai profil wajah wonwoo dari samping; dari bulu matanya yang tipis pendek ke hidung lancipnya. tulang pipinya yang tinggi. lalu jatuh ke bibir yang sedang tersenyum itu. kedua sudutnya naik. lucu, seperti kucing.

andai wonwoo menoleh sedetik saja dan tidak terlalu fokus pada si kamera, maka dia bisa menyaksikan bagaimana cara mingyu menatapnya pada saat itu; mereka lapar, intens. nyaris memuja.

“i love your skill, mingyu. kayak profesional loh. you got taste. kalo istilah jaman sekarang, estetik,” tambah wonwoo lagi. kali ini nadanya menggoda. semua itu dan pujian dari pujaan membuat mingyu ingin terbang.

what about me? do you love me too? hati mingyu serasa ingin menjerit.

di luar, hujan gerimis masih memukuli mobil dimana mereka tadi berlarian untuk berteduh. rintiknya berlomba-lomba menciptakan jejak halus pada kaca di sebelah kiri wonwoo. langit mendung di atas kepala dan jalan kosong beraspal membentang di hadapan dan punggung mereka. kanan kirinya padang rumput, semak perdu, serta pohon yang terisolasi satu dengan lain yang daunnya rontok terancam gundul. mereka tampak kesepian. perbukitan tak bernama melatari semua itu serupa benteng kokoh. wonwoo masih penasaran bagaimana mingyu tahu tempat ini.

“makasih, kak. my skill's just fine. amatir. good, but not the best,” jawab mingyu, kakinya baru saja mendarat lagi ke bumi.

“kenapa harus jadi yang terbaik kalo lo udah jadi the best version of yourself?” celetuk wonwoo, tangannya merogoh saku celananya. “eh, kemarin gue nemu info kompetisi fotografi deh. bentar gue cari linknya—”

“eh, nggak usah, kak. ini cuma hobi kok. lagian pasti banyak yang lebih bagus dari gue.”

“hmm kalo mikirnya gitu, kapan dong mulainya?” wonwoo menggumam, jarinya menari gesit di atas layar ponselnya. tak diragukan lagi mencari link yang dimaksud. “orang lain boleh bagus, tapi alih-alih sebagai pembanding, kenapa nggak jadikan itu sebagai motivasi lo? tapi pernah nggak sih lo liat karya orang lain dan mikir, ah bagus banget gue nggak bakal bisa...ujung-ujungnya jadi self-loathing. ya udah, nggak usah diliat. kesannya emang ignorant dan bisa membatasi kreativitas karena nggak boong, kadang karya orang lain itu bisa jadi sumber inspirasi— tapi kalo itu bikin lo berdamai dengan diri sendiri ya sah-sah aja menurut gue. mental health lo lebih penting.”

mingyu melahap semua itu dengan senyum di wajah. sungguh, dia suka segala sesuatu tentang wonwoo. dia tahu maksud pemuda itu baik. namun, sudah diijinkan merekam kehidupan wonwoo bukan hanya dalam bentuk ingatan saja itu sudah lebih dari cukup bagi mingyu dan nggak ada kebahagiaan apa pun yang setara dengan semua itu.

“tarik nafas dulu, kak,” goda mingyu. “semangat banget kayaknya. diangkat dari kisah nyata ya?”

“hahaha sial, kok lo tau sih?” wonwoo tertawa dan meninju bisep mingyu. mingyu ganti menangkap tangan wonwoo dan menggenggamnya aman. ibu jarinya membelai punggung tangan pemuda itu. wonwoo membiarkannya dan senyum mingyu semakin lebar hingga pipinya sakit. orang akan mengira ada bintang di mata wonwoo apabila melihat cara mingyu menatapnya sekarang.

“lo bener dan itu sempet bikin gue down. tapi kapan majunya kalo gue gitu terus? akhirnya gue gas aja. bagus jelek kalah menang urusan nanti. dengan lo berani memulai dan ngambil langkah pertama itu aja lo udah jadi pemenang dengan ngalahin musuh terbesar, yaitu hal negatif yang ada dalam diri lo sendiri.”

“first step or baby step is still a step. gitu kan, kak?” mingyu menimpali yang dibalas anggukan.

“mereka bisa ini itu, fine. itu mereka. tapi coba deh dikasih task beda-beda, belum tentu mereka bisa eksekusi sebagus versi yang lo buat. semua punya ciri khas sendiri.”

“yes, we're all stars and we do shine our own way,” ujar mingyu, jelas berbicara tentang bintang yang lain.

“udah paham kan? nih link-nya udah ketemu, gue share ke lo ya—”

untuk menyebutnya ciuman adalah terlalu membesarkan. bibir mingyu di bibirnya tak lebih dari kecupan. mereka polos dan tak buru-buru. malu-malu bak kekasih kemarin sore. mengetuk dan menyapa pelan seolah berkata; i'm here, notice me.

wonwoo mengakui bahwa segalanya terlalu cepat. kecupan mingyu di bibir wonwoo harusnya terasa asing, namun apabila demikian, lalu mengapa rasanya justru seperti bertemu kekasih lama? mengapa bibir mingyu terasa begitu pas dan benar di bibirnya? apabila demikian, mengapa jantungnya jadi seberisik ini...

“mingyu, stop—”

mingyu merasakan bahunya didorong menjauh sementara pemuda yang diciumnya itu membungkuk. yang terlihat olehnya saat itu hanya tengkuk wonwoo dan rambut tebal yang menutupi matanya. mingyu berusaha tertawa yang justru terdengar canggung.

“sorry, kak. too soon ya?”

idiot, did he scared him?

“bukan—” jawab wonwoo. kedua tangannya meremas kain di bahu mingyu, masih menunduk. mingyu baru menyadari telinga pemuda di hadapannya itu merah sekali.

“jantung gue mau meledak.”