//sick, sick, i think i'm sick

pemandangan wonwoo di apartemennya adalah sosok terakhir yang mingyu duga akan ia dapati setelah keluar dari kamar. ini adalah pertama kalinya wonwoo mendatangi tempatnya setelah pemuda itu resmi mengakhiri kontrak eksklusif mereka. sudah sangat lama hingga melihat sosok yang dirindukan itu kembali hadir di kediamannya terasa seperti mimpi. tapi semua itu nyata dan jeon wonwoo ada di depan mata. mingyu hanya nggak memahami apa yang sedang pemuda itu lakukan.

“lo kapan datengnya, kak?” sapa mingyu cerah. mengawasi namun membiarkan wonwoo mengacak-acak isi kabinetnya. “kok gue nggak denger.”

laci dibanting tutup adalah jawaban wonwoo. tidak menemukan apa yang dicari, ia bangkit dan kali ini menuju kamar mingyu. melewati si pemilik rumah begitu saja bagai hantu.

“dimana ya...,” wonwoo mulai bicara sendiri yang membuat mingyu khawatir.

“lo kenapa, kak? ada yang ketinggalan?” mingyu mengejarnya dan menemukan wonwoo sedang memeriksa nakas. nihil. wonwoo berbalik dan nyaris menabrak mingyu yang berdiri persis di belakangnya. keduanya terkesiap. bedanya, itu pertama kali wonwoo menunjukkan tanda-tanda menyadari mingyu ada.

wonwoo melengos. matanya menangkap lemari besar di sudut kamar dan memutuskan disanalah pencarian selanjutnya. mingyu masih nggak tahu apa tujuan wonwoo, tapi dia nggak akan membiarkan pemuda itu dekat-dekat sana. panik. dia menarik tangan wonwoo sebelum terlalu jauh.

“lo nyari apa sih!?” tanya mingyu, mulai kesal.

wonwoo memindai mingyu dari kepala sampai ujung kaki, lalu menatap tangan pemuda itu di lengannya, merasa tidak suka pemandangan itu dan menepisnya kasar.

“lepasin. beraninya lo pegang gue.”

dulu sekali, mingyu pernah mendengar nada sedingin es itu ditujukan padanya oleh orang yang sama. dia sangat membenci nada itu. bukan, mungkin takut adalah kata yang lebih tepat.

“lo kenapa sih, kak? cerita ke gue jangan gini—”

“inget amplop besar warna cokelat tempo hari nggak? yang ketinggalan di jok dan lo tawarin sukarela buat dikirim?”

tentu saja mingyu ingat. faktanya, objek yang dipermasalahkan itu aman tersembunyi hanya semeter dari mereka. tidak berdosa dan ada sidik jari mingyu di seluruh permukaannya.

“nggak bisa ngomong kan lo?” wajah pucat mingyu sudah cukup jadi jawaban buat wonwoo. “alasan apa lagi yang bakal lo kasih ke gue selain karena lo emang bajingan.”

wonwoo mengawasi gerak-gerik mingyu. itu mengingatkannya pada mahasiswa dihadapan penguji pada sidang akhir. tapi bohong karena itu hanya sekedar cerita, wonwoo belum sempat merasakan berada di situasi semacamnya dan terancam tetap selamanya seperti itu. dia sudah muak dengan kenyataan pahit, kalimat andai, dan ending prematur yang menjadi rapor akhir pendidikannya. bodoh bila mingyu pikir wonwoo akan diam saja melihat kesempatan sekali lagi lolos dari jarinya begitu saja.

mudah membayangkan mingyu di suatu malam; satu tangan membelit tubuh lelap wonwoo post-orgasme, naif, dan tak curiga, dan satu lagi memegang ponsel yang bukan miliknya. menyusup lancang. dia bahkan bisa menebak apa isi surel yang dialamatkan padanya namun tak pernah dibalas.

dengan hormat, dengan ini kami memberitahukan bahwa saudara diterima dan diharapkan hadir pada hari sekian jam sekian...

dan seterusnya,

dan seterusnya.

mungkin semacam itu bunyinya, dihapus sebelum dibaca. lagi-lagi wonwoo hanya bisa berandai-andai. kesempatan kedua yang diberikan wonwoo pada mingyu tempo hari terasa mahal sekarang dan wonwoo harus membayar semua itu. bicara tentang penyesalan.

“tawaran pekerjaan ini mahapenting buat gue dan lo memperlakukan itu kayak bungkus kacang rebus,” wonwoo histeris sekarang. mingyu nggak pernah melihatnya seperti ini. “orang yang dilahirkan kaya raya dan disuapin dari kecil sampe gede bagong kayak lo nggak bakal ngerti gimana susahnya cari pekerjaan!!!”

wonwoo berhenti untuk menarik napas. orang yang melihatnya sekarang akan mengira dia selesai marathon.

“mungkin dosa gue ke lo terlalu banyak sampe kata maaf nggak cukup. kalo ini cara lo balas dendam—congrats, mingyu, lo berhasil,” wonwoo tersenyum getir. dia memandang mingyu terakhir kali dan beranjak pergi.

“kak, dengerin gue dulu—”

“JANGAN SENTUH GUE!”

mingyu didorong kasar, tubuhnya mendarat di ranjang. wajah memelasnya bisa membuat anak anjing malu. kasihan. tapi wonwoo nggak akan tertipu untuk kali kedua.

mingyu terduduk di tepi ranjang dan menatap kosong pola kayu di lantai kamarnya. kedua siku di lutut, meremas-remas rambutnya; kehabisan akal. langkah kaki wonwoo terdengar semakin jauh. mengancam meninggalkan bukan hanya tempat ini, namun hidup mingyu juga dan dia tidak mampu melakukan apa pun untuk mencegah hal itu terjadi.

“gue takut lo balikan sama rowoon.”

bila ada yang mampu mencegah wonwoo pergi, mungkin itu hanya kejujuran mingyu. terbukti dengan tersendatnya pemuda itu di ambang pintu kamar; wonwoo menatap mingyu aneh.

“apa hubungannya rowoon sama semua ini?”

semuanya. bagaimana pria itu yang mendapat semua yang diinginkan mingyu dari wonwoo, alih-alih dirinya.

“dikenalin ke orang tua, dikasih kerjaan, habis ini apa? dilamar? oh, udah ya? terus nikah. congrats! jangan lupa undang gue ya, kak.”

“mingyu, lo ngomong apa sih, gue sama rowoon udah lama selesai...”

wonwoo seheran itu, tapi nggak ada yang bisa menghentikan nyinyiran pria yang tersakiti.

“is he any good? did he fuck you like me?” tambah mingyu pedas.

seperti ditampar, wonwoo hanya bisa tercengang. nggak ada sosok lain yang wonwoo inginkan menghangatkan ranjangnya selain sosok yang kini menatapnya sengit itu. serendah itukah dia di mata mingyu?

“you know what, at least mas rowoon tuh super baik dan bantu gue, pake privilege dia sebagai orang dalem dan rekomenin gue yang cuma lulusan SMA dan kuliah aja nggak tamat ini. kalo lo?” balas wonwoo tak kalah sengit. “cuma ngentot yang ada di kepala lo!!!”

“JANGAN—,” mingyu bangkit memburu wonwoo yang respon alami tubuhnya adalah mundur. menjulang dan mengancam mirip bahaya, sosok jangkung itu menunjuk-nunjuk wajah wonwoo kurang ajar. “—PERNAH BANDINGIN GUE SAMA MANTAN-MANTAN LO.”

mingyu menjangkau satu sisi leher wonwoo dengan tangannya dan mencakar disana. that neck looks so tempting now...

“coming from a guy yang cuma jadiin gue jongos dan temen bobo doang, bisa-bisanya lo ngomong gitu— ngaca, anjing!”

wonwoo mendorong mingyu sekuat tenaga hanya untuk diempas ke dinding. memori kekerasan yang terjadi di hotel waktu itu datang membayangi lagi.

“sekarang gue tanya sama lo—kalo waktu itu bukan gue yang DM dan nawar lo, apa lo mau nerima mereka?”

jawabannya tidak, tapi mingyu nggak perlu tahu.

“omongan lo mulai ngelantur. ini cuma tentang lo yang bohongin gue, kenapa harus bawa-bawa mantan gue dan masalah DM?!”

“jawab dulu,” mingyu mengguncang tubuh wonwoo kasar.

“fine! jawabannya nggak, karena cuma elo satu-satunya orang di dunia ini yang mikir badan gue bisa dituker pake lembaran duit. lo cuma orang sakit yang punya obsesi balas dendam sama gue—”

“GUE CINTA ELO, BANGSAT!”

kata-kata menyakitkan apa pun yang ada di ujung lidahnya kalah oleh deklarasi itu. diucapkan dengan lantang dan sangat intens, deklarasi itu tampaknya menguras seluruh emosi mingyu. dadanya naik turun namun wajahnya lega. seolah beban di pundaknya hilang separuh bersama kalimat yang susah payah dilepasnya.

sekujur tubuh wonwoo terasa dingin yang kemudian digantikan dengan yang lebih mengerikan, horor. mustahil ada orang yang disakiti dari segala arah namun tetap menolak menukar cintanya dengan kebencian. nggak, wonwoo menolak percaya.

“i fucking love you,” ulang mingyu menyedihkan. “gue udah keabisan akal gimana caranya supaya lo ngeliat gue...”

“nggak—nggak mungkin. jangan ngomong cinta sama gue,” wonwoo menepis tangan mingyu dari lehernya. “kalo itu emang cinta, lo bener-bener payah nunjukkinnya.”

mingyu tidak pernah membayangkan pengakuannya harus terjadi seperti ini— dia selalu membayangkan sinar temaram dan debur ombak di suatu tempat mirip surga. bulan mengintip malu-malu dari balik tirai. mungkin bali. mingyu selalu ingin mengajak wonwoo kesana— bukan seperti ini; saling teriak dan tangannya menemukan jalan ke leher wonwoo. lagi-lagi.

“to hell with it, i'm leaving.”

seperti ini. selalu seperti ini. always belittling his feelings, menganggap perasaan mingyu nggak cukup valid untuk diakui. nggak, setelah sekian lama jadi penonton dan cuma jadi figuran dalam hidup wonwoo, mingyu nggak akan melepasnya. dia tidak akan membiarkan wonwoo pergi.

punggung itu menjauh dan mingyu semakin tergoda untuk melukainya. apa pun yang bisa membuat wonwoo merasakan sakit yang sama yang ada di dadanya sekarang.

gelas kristal berisi air itu pecah di dinding tepat di samping kepala wonwoo. pemuda itu merunduk dan melindungi kepalanya dari hujan air juga kaca, bersyukur tepat waktu. wonwoo nggak mau membayangkan apa yang terjadi bila dia telat sedetik saja. masih merunduk di lantai, wonwoo menoleh dan melihat mingyu, wajahnya tenang.

“gue belum selesai ngomong.”

“lo sakit,” suara wonwoo luar biasa goyah, dia heran masih bisa bicara.

“jangan sampe gue mukul lo lagi.”

mingyu bergerak cepat hingga sudah berada di samping wonwoo dalam sekejap. dia mengangkat sosok gemetaran itu dari lantai dan mendorongnya seperti boneka. monster itu hanya tidur, dan sekarang dia menggeliat bangun.

terjadinya sangat cepat. mingyu nggak melihat kemana mendorong, wonwoo hilang keseimbangan, suara benturan dan mendadak ada darah dimana-mana. mingyu seharusnya mendengar nasehat mamanya yang menyarankan mengganti meja makan kaca yang keempat sudutnya tampak berbahaya itu. mingyu hanya nggak menyangka wonwoo yang harus jadi korban pertamanya.

wonwoo berlutut di bawah meja terkutuk itu. darah menetes-netes dari bibir bawahnya, jarinya meraba kerusakan yang terjadi dan meringis kemudian. sakit. mingyu mengawasi wonwoo bangkit susah payah dengan napas tertahan. niatnya mencelakai menguap kini melihat sasarannya benar-benar celaka.

“kak—”

wonwoo berhasil berdiri dan menyadari ada yang nggak beres. sial, dia mendarat di kaki yang salah. bajunya bebercak merah. dia seperti korban pembunuhan.

“— maaf— gue nggak sengaja— jangan gerak— tissue mana tissue— bangsat— “

wonwoo nggak menghiraukan mingyu dan mencoba berjalan. salah besar, kakinya bagai menginjak duri. mingyu menemukan tissue yang dia cari dan mendekati wonwoo. keliru bila mingyu pikir wonwoo mau dekat-dekat pemuda itu sekarang. wonwoo cepat-cepat menyambar sebuah objek yang tergeletak di meja makan dan mengarahkannya pada mingyu, yang terpaku.

“tinggalin gue.”

“taruh pisaunya.”

“no, you leave me alone.”

“put it down, kak, please...”

keras kepala, wonwoo ganti mengarahkan mata pisau ke arahnya sendiri, ke kulit lengannya yang polos. wonwoo tergoda melakukannya. sedikit goresan nggak akan membunuhnya, kan?

“mundur.”

mingyu tampak kehabisan kata dan mundur selangkah. tangannya menangkup di depan dada, memohon. hatinya hancur melihat wonwoo lebih memilih berdarah daripada disentuh olehnya.

“kak...”

darah masih menetes, meninggalkan jejak merah di lantai apartemen mingyu bagaikan panggung kriminal. perih di bibirnya semakin hebat. berjalan mundur sambil mengawasi mingyu, wonwoo membuang pisau itu ketika sudah mendekati pintu, berkelontangan berisik ketika mendarat di lantai.

“kak! kak wonwoo!”

wonwoo lari secepat kaki cacatnya sanggup membawa. kelak, itu akan menjadi penyesalan terbesar mingyu seumur hidupnya.