write.as

GETAWAY CAR

“A’a, kenapa buru-buru begitu? Sarapan dulu atuh.” tanya Ibu sambil terheran saat melihat Atra menuruni anak tangga dari lantai dua kediaman Rajasa dengan tergesa.

“Sena belum bangun, Bu?” ia menghampiri meja makan, mengambil satu tempe mendoan di atas piring yang masih dikepul asap panas, mengabaikan pertanyaan Ibu.

“Belum, masih pagi ini, A. Tumben A’a udah siap?” jarum jam masih menunjukan pukul enam lewat dua puluh, tidak heran kalau Ibu bertanya seperti itu.

“Ada janji sama temen, jadi A’a mau berangkat lebih pagi.” Atra melihat kerut di dahi Ibu muncul saat mendengar jawabannya, ia sadar kalau saat ini Ibu sedang terheran karena kebiasaannya dua hari belakang yang berangkat lebih pagi dari biasa.

“Siapa temennya? Harpi? Cristian? Karina? Claire? Rendi? Ajak sarapan dulu atuh, A.” Ibu tahu semua teman Atra tanpa terkecuali, “Udah dua hari loh A’a berangkat pagi sekali, masakan Ibu sampai gak dimakan.”

Atra mengangkat tempe mendoan yang tinggal tersisa setengah, “Ini, A’a makan.” ujarnya membuat Ibu yang melihat hanya bisa menggeleng.

“Bukan, bukan sama mereka. Janjian sama temen A’a yang lain.”

Temen yang lain itu punya banyak arti di kepala Ibu, alih-alih fokus pada ongsengan tumis pokcoy di wajan, Ibu berbalik menatap Atra penuh selidik, seperti sedang bertanya: HAYO ITU TEMEN APA TEMEN? ⎯ Ia tahu betul arti tatapan Ibu, hal tersebut lantas membuatnya kikuk; bukan, bukan karena tatapan penuh selidik yang dilayangkan untuknya tapi karena ia menyadari beberapa detik lalu baru saja menyebut Marcel sebagai ‘teman’. CUIH. TEMAN DARIMANA?

“A’a udah mup on dari si cantik? Siapa itu nama mantan A’a nu geulis, Jijel? Jisel?” satu lagi, Ibu sangat tahu sebesar apa sayang Atra pada sang mantan kekasih dan betapa hancurnya ia saat putus cinta.

“Gisel, Bu.” koreksinya, “Ini cuma temen biasa kok, A’a berangkat yaa ini udah telat nih.” satu kecupan mendarat di pipi Ibu, sebelum Atra membawa langkahnya pergi keluar rumah.

“A! GAK BAWA MOBIL?”

“GAK!! A’A DIJEMPUT.”

Teriakan Ibu dan Anak menggema dalam ruangan saling bersahutan sebelum tenggelam karena jarak.


Mobil sport sedan berwarna hitam sudah terparkir di depan pintu pagar rumah bernuansa semi hutan karena desain kayu dan tanaman rimbun menjadi main point di rumah tersebut. Keberadaan kendaraan beroda empat yang terparkir dengan kondisi mesin menyala membuat pemilik rumah terheran, pasalnya kaca hitam yang tidak terawang membuat si pemilik hunian sulit untuk melihat sosok yang tengah duduk di balik kemudi — sampai kaca bagian depan terbuka.

“ANJRIT!” buru-buru Atra masuk ke mobil setelah memastikan tidak ada yang melihat — kekhawatirannya akan Ibu yang mungkin keluar dari rumah sangatlah besar, jadi ia harus waspada, Ibunya itu kepo maksimal, kalau sampai tahu ada yang menjemput Atra (selain kelima temannya) pasti Ibu akan menanyakan identitas si penjemput dengan rinci, tidak mungkin ‘kan kalau ia cerita yang menjemputnya hari ini Marcel?

“Kenapa jemput di depan rumah?! Kalo yang tadi keluar Sena gimana atau Ibu?!” tidak ada ucapan good morning atau secuil sapaan hai melainkan semprotan murka yang sebenarnya sudah diantisipasi Marcel karena nekat menjemput Atra di depan rumah.

“Hai.” Marcel menyapa dengan senyum, posisi badannya setengah condong ke arah Atra sementara tangan kanan bertengker pada setir mobil.

“Tenang Tra, ‘kan yang keluar sekarang bukan Sena atau Ibu.” suaranya teramat lembut membuat emosi Atra sedikit malu kalau dituruti untuk keluar — tidak menjawab, ia memilih diam. Walaupun entah mengapa hatinya terasa kesal setiap melihat Marcel.

Mobil melaju meninggalkan pekarangan rumah — sebenarnya lucu kalau dipikir-pikir, kenapa juga Atra harus khawatir Marcel menjemputnya di depan rumah?

“Gua udah ngomong-” / “Ibu ngira-” keduanya terdiam menunggu siapa yang akan lebih dulu melanjutkan ucapan, hitungan ketiga tidak ada satupun yang membuka suara sampai Marcel berdehem.

“Gua udah ngomong sama Theo masalah temen-temen lu, dia bilang sih bakalan lebih profesional lagi kalo dalem forum.” Atra mendengar penjelasan Marcel, ia sedikit tidak menyangka kalau Marcel benar-benar membahas hal tersebut dengan Theodore, tapi ia tetap memilih bungkam membuat laki-laki disampingnya terheran.

“Kok diem? Masih kesel ya.”

“Ibu ngira lu pacarnya Sena.” Atra sendiri tidak tahu kenapa mengatakan hal tersebut, tapi hatinya berkata untuk mengatakannya.

Marcel menyerngit, “Gua gak pacaran sama Sena. Kok Ibu bisa ngira gitu?”

“Lu ngasih sate ke Sena, ya Ibu jadi ngira lu pacaran sama Sena.” ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada, enggan untuk melihat sosok yang ada di belakang kemudi.

“Yaaaah, harusnya gua ngasih satenya langsung ke elu aja ya kalo gitu.” ucap Marcel kelewat santai membuat Atra memincingkan mata.

“Maksudnya biar gak salah paham.” lanjut Marcel, “Kalopun salah paham ya gua mah rela, jadikan Ibu bakal ngira elu yang pacaran sama gua.”

“SINTING.” tangannya terulur mendorong pipi Marcel; hasil reaksi dari ucapan laki-laki di sampingnya yang amat sangat nyeleh. Dengan respon spontan Marcel menahan tangan Atra — ia bisa merasakan jemari Marcel yang bergerak cepat mengisi ruas jarinya, aneh — Atra tidak keberatan sama sekali untuk hal itu, ia membiarkan Marcel menggenggamnya selama perjalanan, sesekali merasakan ibu jari Marcel bermain pada punggung tangannya.