write.as

You’re getting better.”

Waktu Jihoon mengangkat kepala, ia disambut dengan seulas senyuman hangat. Daniel mengedikkan dagu ke kanvas berlapis cat kemerahan di hadapannya.

“Kamu bayangin apa sampe galak banget goresan kuasnya?” dia terkekeh.

Alih-alih menjawab, Jihoon malah memalingkan wajah ke jendela. Penerangan di studio Daniel hari ini lebih redup dari biasanya, suasana mendung di luar juga menambah kekelaman yang sebelas dua belas dengan suasana hatinya.

Ketika ia melirik Daniel lagi, pria itu sedang bersenandung pelan, tangannya bergerak luwes di atas kanvas yang dua kali lebih besar dari milik Jihoon. Rupanya dia juga sudah biasa dikacangin, jadi nggak repot nunggu respon Jihoon. Hari ini, dia disibukkan dengan lukisan pemandangan kota, lebih tepatnya scenery Kota Tua yang beberapa hari lalu sempat mereka kunjungi.

Dalam diam, pandangan Jihoon bergulir mengamati gerakan tangan Daniel. Ada semacam perasaan magis ketika dia melihat pria itu bekerja, dan berada di dalam zonanya. Daniel terlihat sangat menikmati kegiatan itu, terkadang sampai ia lupa makan dan tidur. Ada waktu-waktu ketika Jihoon mesti menginterupsinya untuk sekedar beristirahat sebentar, sampai ia memiliki kebiasaan untuk langsung memesan makan karena akan lama kalau nunggu Daniel dengan segala “Sebentar.. bentar, dikit lagi,” yang kerap ia katakan.

Kadang juga, Jihoon iri. Dulu, dia seperti itu. Berdedikasi dan penuh passion. Makin ke sini, dia merasa jadi sekedar usaha untuk bertahan saja, bukan karena cinta. Dasar memang dirinya yang kompetitif, usaha itu membuahkan hasil dengan dia dilabelkan sebagai murid paling berprestasi di angkatannya. Tapi, semua diluluhlantakkan oleh Daniel.

Jihoon mengerjapkan mata.

Mendadak rasanya ia punya ide untuk tugas akhirnya.

Dia menoleh ke Daniel, tidak sabar untuk segera membagi penemuan ini dan meminta pendapatnya. Tapi rasa girang itu mendadak lenyap ketika ia melihat Daniel disibukkan dengan layar ponsel yang menampilkan sosial media yang familar.

Jihoon pura-pura batuk, mendadak kesal.

“Hm?” Daniel bergumam, tapi matanya tidak lepas dari layar.

“Saya udah mesti bikin proposal konsep.” katanya, “sama nentuin dospem.”

“Oh?” Daniel mengetik sejenak, sebuah senyuman di bibirnya. Ia lalu melanjutkan setelah beberapa saat, “Kamu tertarik milih siapa?”

“Kayaknya Pak Dongwook.”

Daniel akhirnya menatapnya, mendengus. “Yakin? Orangnya ribet.”

“Mending ribet di awal daripada pas sidang berabe.”

“Tergantung konsep kamu dulu mau gimana. Pak Dongwook cocok sama orang-orang yang mau bikin instalasi atau performance art. Kalo seri lukisan sih mending sama Bu Shinhye.”

“Tapi kata Kak Minhyun, dia dulu bikin seri lukisan sama Pak Dongwook dan baik-baik aja.”

Daniel menurunkan ponselnya dan menghela napas keras.

“Terserah kamu sih mau dengerin saya apa dia.” ucapnya datar, mengambil kembali kuasnya dan mulai membubuhkan warna.

Jihoon menggigit bibir. Ia jadi tidak tahan.

“Kak Sejeong—“ dia berkata, tertahan. Ragu.

Jeda yang cukup lama itu membuat Daniel menoleh, heran.

“Kenapa sama Seje?”

Ada perasaan pahit di dada Jihoon mendengar nama panggilan itu. Perasaan yang sama ketika dia melihat interaksi di twitter siang tadi. Dia menggelengkan kepala, memalingkan wajah dan ikutan mengambil kuas dengan wajah suntuk, secara agak brutal menyelupkan kuasnya ke palet cat dan menggoresnya ke kanvas keras-keras.

Mengerutkan kening melihat tindakan kekerasan terhadap benda mati itu, Daniel beranjak dari kursinya dan mendekati Jihoon.

Dia berusaha meraih tangannya, “Hei—“

Melihat dia mendekat, Jihoon refleks menyikutnya, dan ditahan lagi oleh tangan kanan Daniel. Menatapnya sengit, Jihoon memberontak. Yang dia lupakan adalah, dia sedang memegang kuas di tangan kanannya.

Jihoon membelalakkan mata.

Daniel cuma tercenung di posisinya, sebelah pipinya tercoreng cat merah terang. Dia terlihat komikal, membungkuk dengan tangan yang mengungkung Jihoon di kursinya, dan ekspresi kaget di wajahnya.

“Kamu,” mulainya setelah beberapa saat, “kamu nih emang diciptain buat bikin saya stress ya—“

Tidak bisa menahan diri dengan kesempatan emas ini, Jihoon menyeringai. Dia menggoreskan kuasnya ke pipi Daniel yang tidak terkena cat, sehingga pria itu mempunyai goresan kembar di wajahnya. Secepat kilat, dia melompat dari kursi dengan tawa yang menggelegar, dan berlari menjauh dari Daniel yang terbengong-bengong.

Begitu sadar, pria itu menggeram. Dia ikutan berlari, dan kakinya yang panjang dengan cepat berhasil menyusul Jihoon yang terbahak-bahak.

“Sini kamu,” seru Daniel, tangannya meraih Jihoon dan sukses menggamit pinggang lelaki itu. Jihoon masih berusaha menahan tawa yang kian meledak, dia berusaha mendorongnya menjauh tapi justru kakinya sendiri yang membuat dirinya nyaris terjungkal. Refleks, tangannya mencari pegangan ke kemeja pria di hadapannya, yang matanya langsung melebar lantas keseimbangannya goyah.

Dengan bunyi duk! keras, keduanya sukses terjatuh ke lantai kayu studio.

“Aduh,” keluh Jihoon, membuka mata yang dia tidak sadar sedang pejamkan erat-erat. Untung kepalanya gak kerasa sakit, karena ditahan oleh sesuatu yang empuk. Sebuah komplen sudah siap diutarakan dan tepat berada di ujung lidahnya, tetapi—

Jihoon merasakan engahan napas hangat yang berjarak begitu dekat dengannya, dan jantungnya seolah berhenti berdetak.

Daniel menatapnya sayu. Satu lengannya menjadi bantal yang melindungi kepala Jihoon dari lantai, dan satunya lagi menopang berat tubuhnya yang hampir menindih penuh lelaki itu. Pandangannya menyiratkan rasa ingin, matanya tidak berkedip.

Pria itu menjilat bibirnya sendiri, tanpa sadar.

Jihoon menelan ludah.

Gemetar, Jihoon memberanikan diri untuk mendongakkan wajah. Tangannya masih mencengkram kemeja Daniel. Ia merasa kecil.

Rasanya dia mendengar dirinya sendiri memanggil nama Daniel; terdengar asing, pelan dan ingin.

Bersamaan dengan itu, Daniel makin mencondongkan wajahnya. Hidung mereka bersentuhan. Kini napas mereka seolah menjadi satu.

“Jihoon,” bisik Daniel.

Rendahnya suara itu membuat sekujur tubuh Jihoon merinding. Dia melihat pria yang lebih tua itu memiringkan wajah, bibirnya setengah terbuka.

Perlahan, mata Jihoon menutup. Menanti.