write.as

Wen Juan Speaking

Selama ini mungkin orang-orang pikir asyik kali ya punya rumah kayak Istana Buckingham, mobil berjajar-jajar, motor gede tinggal milih, kalau capek tinggal pakai sopir, makan enak tinggal tunjuk, bosen sama Exchange tinggal lari ke tempat makan lain.

Tapi, tahu nggak, sih, aku tuh sebenernya merasa kesepian.

Menjadi satu-satunya anak cowok di keluarga Wen adalah hal yang menyedihkan. Aku nggak bisa join si kembar shopping karena bukan passion, nggak mau ikut mama jalan-jalan karena mager, apalagi pasti disuruh jagain Yiyi. Satu-satunya orang yang bisa kuandalkan adalah Papa—karena kami berdua laki.

Tapi, semakin Papa melebarkan Exchange sampai ke dataran Eropa (bahkan Amerika), dia semakin sibuk. Pulang malam, sering ingkar janji, dan bisa ngelihat wajahnya seminggu sekali aja rasanya udah bersyukur banget.

Aku nggak bilang Papa sama Mama jahat ya, mereka udah berusaha jadi orang tua paling keren sedunia dengan mengusahakan kami hidup berkecukupan dan nggak kurang suatu apa. Cuma, kadang aku ini butuhnya dipeluk, didengerin, dikelonin.

Ejekin dah, nggak peduli. Meskipun umurku sekarang tujuh belas tahun, emangnya aku nggak boleh minta kelonin Papa? Boleh, lah, ya. Aku tuh tetep jagoan kesayangan Papa.

Tapi, lihat hari ini. Chenchen dan Yue ada jadwal kuliah, lalu pergi main sama teman-teman kuliahnya. Mama dan Yiyi pergi ke rumah om Wonwoo; ada urusan sama tante Chorim gitu katanya berkaitan dengan acara New Year's Eve yang bakal digelar Papa di atas Kapal.

Diajakin, sih. Aku yang tolak karena nggak ada Abang Yejun juga di sana, lagi kelas. Sama aja aku bakalan gabut doang, atau main sama Yiyi. Jeon Woori nggak di rumah juga.

“Mas Juan mau makan apa?”

Aku menurunkan tabung Pringles dan menoleh ke kanan, tempat suara barusan berasal dan melihat koki utama rumah berdiri di sana memasang senyum ramah. “Apa aja deh, aku juga bingung soalnya nggak laper-laper banget.”

“Yang enteng aja ya berarti?”

“Iya.” Aku mengangguk dan koki utama tadi sudah bersiap undur diri. Urung ketika aku melanjutkan kalimat. “Tapi aku nggak mau makan sendiri. Siang ini kalian semua makan sama aku ya?”

“Eh, Mas—”

“Kalau nggak, aku nggak makan juga.”

“Tapi kan—”

“Iya, kalian ada makan sendiri tapi aku mulai bosen makan sendirian. Semuanya ya, mulai dari staf keamanan, driver, chef, pokoknya semua makan bareng di halaman belakang.” Aku menutup tabung Pringles dan berdiri, menepuk pundak koki utama tadi sambil mengulas senyum. “Aku tidur dulu, nanti kalau udah siap ketok aja kamar ya? Halaman belakang digelar tikar aja atau apa terserah deh yang penting cukup buat ... buat berapa orang dong?”

“Empat puluh ... kayaknya?”

“Ya. Jangan sampai ada yang ketinggalan ya. Biasanya mbak yang beresin sayap timur ketinggalan kan kalau makan?” •••

Aku terkekeh melihat bagaimana puluhan orang ini memegang piring masing-masing dan makan dengan riang di halaman belakang rumah. Diam-diam mengagumi selera fashion mama karena pekerja di rumah ini tetap terlihat keren dengan seragamnya masing-masing. Alih-alih seragam seperti satpam untuk staf keamanan, mereka terlihat seperti pasukan perang Kerajaan Inggris—lol.

“Mas, nggak dimakan?”

Aku menoleh ke arah koki utama rumah yang berdiri di sebelah kiri, memanggang daging yang baunya sudah kemana-mana. “Dimakan, habis ini. Jangan masak terus, ayo makan juga.”

“Iya nanti gampang.”

“Suapin ya?”

Koki utama rumah tadi terlihat terkejut dan memundurkan tubuhnya ketika aku mengangkat satu tusuk daging dan mendekatkan ke mulutnya. Aku terkekeh—lagi.

“Kenapa, sih.”

“Mas Juan lagi sedih ya?” tanyanya tiba-tiba yang sukses bikin senyumku luntur. “Dari dulu kalau sedih sukanya ngumpet-ngumpet ngajakin makan bareng.”

“Masa, sih?”

“Dulu mas pernah kabur ke basement timur waktu bangun tidur siang dan nggak ada siapa-siapa di rumah. Sebelumnya, mas main ke dapur utama dulu dan narik-narik baju saya minta dibikinin fuyunghai.”

“Umur berapa?”

“Enam? Waktu itu adiknya mas Juan sakit panas, udah dipanggil dokter ke rumah tapi ternyata harus dibawah ke rumah sakit. Jadi Mama sama Papanya mas Juan pergi, lupa pamit. Mbaknya mas Juan juga pada di sekolah.”

“Oh.” Aku tertawa. “Ingat. Habis itu papa minta maaf dengan beliin aku satu set mainan truk pasir.”

“Iya, mas Juan pamer ke saya.”

“Waktu itu kok aku mau-mau aja ya? Sekarang baru sadar nggak semuanya bisa dibayar pakai uang.”

“Mas lagi kangen sama Mama dan Papanya?”

“Sebenernya, hari ini Papa janji mau ngajakin nonton film di luar. Jam sepuluh. Dia bilang mau libur, nggak ke kantor. Tapi nyatanya pas aku bangun udah nggak ada. Kata mama udah berangkat.”

“Mungkin ada masalah penting? Nggak sempat sarapan juga soalnya. Tadi pagi cuma bawa roti lapis dan susu.”

“Nggak ngabarin juga dichat.”

Hening.

Aku nggak menduga kalau detik berikutnya, koki utama rumah ini bakal melepaskan capitan di tangan kanan dan menarikku ke dalam pelukannya. Mengelus pundakku sebentar sebelum kemudian melepaskannya lagi.

Untung aku sigap dan piringku nggak nyempil di antara kami.

“Jangan sedih. Nanti nggak jadi ganteng.”

“Makasih.” Aku tertawa pelan, canggung. Lalu memasukkan sepotong daging ke dalam mulut sebelum memotong daging lainnya dan menyorongkannya ke depan mulut koki utama rumah. “Ini nggak boleh ditolak. Ayo dimakan.”

Detik berikutnya, garpu di tanganku sudah kosong. Dagingnya benar-benar dimakan.

Saat aku menoleh ke kanan untuk mengalihkan perhatian, aku melihat Papa bersandar di pintu kaca yang menjadi batas halaman belakang dengan bangunan rumah. Dia mengulas senyum tipis sebelum mengacungkan kedua jempolnya. •••

“Bau,” kataku begitu meletakkan pantat di tepi tempat tidur kamar utama. Papa memanggilku tadi, beberapa detik setelah daging di piringku habis. “Habis jogging pakai jas gitu?”

“Habis lari-lari dari lantai empat sampai parkiran.”

“Ngapain?”

“Lift di kantor pusat gangguan, Papa baru ingat punya janji sama kamu. Takut kamunya udah marah, jadi papa buru-buru. Lari.”

“Vertical running empat lantai?”

“Yep.” Papa melepas jasnya, rompi, lalu kemeja putihnya dan berjalan menuju walk-in-closet. “Bentar ya, ganti baju dulu. Enaknya pakai kaos sama jeans atau sweater, Ju?”

“Ke mana?”

“Kan mau nonton kita?”

“Hari ini filmnya cuma tayang sekali, udah kelewatan.”

“Oh?”

Papa muncul lagi dari walk-in-closet setelah memilih sweater berwarna krem—sambil menyisir rambutnya ke belakang. Dia berjalan pelan, ke arahku yang sengaja melihat ke arah lain. Aku masih kesal; jujur.

“Ju.”

“Ya?”

“Marah banget ya sama Papa?” tanyanya begitu berdiri tepat di depanku. Lalu, berjongkok untuk mensejajarkan kepalanya denganku. Kedua tangannya papa letakkan di atas pahaku, menepuk pelan. “Maaf ya?”

“Marah, sih. Tapi nggak banget. Kali aja papa ada urusan penting banget tadi di kantor sampai lupa janji. Aku, sih, agak kesel karena nggak ngabarin di chat juga.”

“Ketinggalan.” Papa menelengkan kepalanya ke arah nakas. “Ponsel papa di rumah, Ju.”

“Papa nggak hapal nomor ponselku?”

“Ya udah iya, emang salah kok. Maaf ya? Kita ganti besok gimana? Masih ada nggak?”

“Abis. Hari ini terakhir.”

“Yah. Gimana dong?” Papa mengerucutkan bibirnya, sedikit membuatku luluh—tapi masih kesal. “Bingung juga nih.”

“Ya udah, sih. Udah telanjur juga. Jalan aja ayo kalau mau. Ke mana, terserah. Strolling around, main pump, ke mana aja aku mau kok. Bosen di rumah.”

“Oke.” Papa berdiri, lalu mengacak rambutku asal sebelum menepuk lenganku pelan. “Sana ganti baju. Sepuluh menit lagi ketemuan di carport barat ya?”

“Ya.”

“Ada sweater cokelat nggak?”

“Biar apa?”

“Dad and son goals, couple-an.”

“Not my style,” kataku sebelum beranjak keluar dari kamar utama. “Airport barat ya? Mau naik apa emang? Kok tumben carport barat?”

“Tesla-nya udah lama nggak keluar garasi.” •••