write.as

EXTRA XVII

Atra menenggelamkan wajah pada perpotongan tangan yang ia lipat di atas meja makan — niatnya untuk berangkat ke kampus akhir-akhir ini selalu berada di titik paling rendah alias tidak ada semangat.

“Ada paket buat lo.” suara yang familar; yang sangat Atra rindukan menyapa indera pendengarannya, dengan cepat ia mengangkat kepala — di hadapannya, sudah ada Sena yang berdiri memeluk sebuah map cokelat.

“Nih paket buat lo,” Atra terdiam, tidak merespon ucapan Sena. Astaga, bagaikan mimpi — kembarannya kembali bicara. “Kok diem? Ini paket loo.”

“Oh, oke, thanks.” dengan cepat ia mengambil map berwarna cokelat tersebut, oh, paket yang Sena berikan sebuah dokumen yang dititipakan Bunda.

“Dari Ibunya Mas Acel.”

“Huh?”

“Tadi yang nganter paket bilang itu dari Ibunya Mas Acel.” Sena mengulang kalimatnya, Atra terdiam.

“Isinya apa, Tra?” Atra yang melihat map coklet itu tersegel hanya bisa menggeleng, kalau dilihat dari tebalnya map tersebut, mungkin saja isinya terdapat beberapa lembar dokumen seperti yang Bunda maksud lewat chat kemarin.

“Gak tau.”

“Mas Acel itu maksudnya Marcel?” Sena sudah duduk di kursi kosong tepat di samping Atra.

“Iya…”

Mata Sena membola, “Please don’t tell me… selama lo pacaran sama Marcel, panggilan sayang lo ke dia Mas Acel? No way.”

“ANJIR YA ENGGAK LAH!” — tapi kadang-kadang sih — tawa Sena meledak saat mendengar jawaban Atra, belum lagi ekspresi kecut yang diterima, astaga.

GOD kalopun iya gapapa Tra, sounds cute too!” ucapan Sena tidak sejalan dengan tawanya yang tampak puas mengejek Atra.

“Anjir diem, Sen.”

Sorry sorry” perlahan tawanya mereda berganti dengan senyum tipis, Atra bisa melihat Sena menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.

Hening beberapa saat, sampai yang lebih muda satu menit angkat bicara.

“Maaf ya, Tra. Kalo ucapan gue kemarin udah nyakitin hati lo.” Sena mengigit bibirnya.

“Gue gak tau kenapa ngomong kaya gitu, maaf banget, gue malu…” kepalanya menunduk.

“Gua tau, gua juga salah.” tangan Atra terulur membelai surai milik Sena, bagaimanapun mereka sedarah, tidak ada yang bisa memisahkan ikatan itu.

“Maaf udah bohongin lu. Karena gua takut, gua ngebohongin banyak orang, Sen. Maaf ya.” tidak perlu banyak penjelasan dari Atra, Sena sudah paham — teramat paham.

“Baikan?” kelingking mungil Sena terulur di depan wajah Atra.

“Baikan.” kelingking milik Atra mengikat yang lebih mungil — pinky promise.

Tanpa ada kata yang terucap, baik Atra maupun Sena paham betul — bungkamnya mereka kemarin, sangat menyiksa satu sama lain.

“Oh iya, Sen.” pandangan Atra jatuh pada map cokelat di hadapnnya. “Gua boleh nitip ini? Tolong kasih ke Marcel.”

“Kenapa gue yang kasih?” Sena tahu status hubungan kembarannya dan mantan gebetannya; sedang tidak baik-baik saja.

“Kasih sendiri dong.”

“Gua gak tau,” kalimat Atra menggantung; bagaimanapun masih ada rasa tidak enak, ada sesuatu yang membuatnya resah, terlebih — sepertinya Marcel baik-baik saja tanpa dirinya.

Do you still love him?” pandangan Atra bertemu dengan Sena, kata tidak seakan hilang dari kepalanya.

I know it’s a Yes.” senyum Sena terukir, sangat tulus, seperti senyum yang selalu Ibu berikan untuk Atra agar membuatnya merasa lebih tenang.

“Tra, I’m fine. Kalo lo putus sama Marcel karena ucapan gue kemarin, I’m really sorry, maaf ya?” tangan mungil itu terulur menggenggam milik Atra.

“Lo masih punya kesempatan untuk jelasin semua ke Marcel, gue tau selama ini lo gak baik-baik aja, putus sama Marcel karena terpaksa gak akan bikin lo tenang, Tra.”

“Tapi gua udah kasar banget sama Marcel, I don’t think-”

“Ssst, don’t think. Jangan mikir apapun, yang lo pikirin belum tentu semua bener.”

Benar, selama ini, Atra dan pikirannya; terlalu rumit.

“Lo udah pernah cek keadaan Marcel setelah putus?” Atra menggeleng.

“Coba lo liat dia sekarang, temuin Marcel go talk with him.”

“Kalopun akhirnya lo berdua mutusin untuk gak balikan, at least Marcel tau kalo lo pernah sayang beneran sama dia. You know him better than anyone.