Willfallsleep

Wilga tersenyum menatap gadis yang berdiri di altar dengan gaun mewah yang membuat pahatan indahnya tampak lebih sempurna, paras juwitanya memancarkan raut bahagia lalu guratan senyumnya masih sama. Itu selalu indah, senyum paling indah setelah delapan tahun berlalu melihat gadis itu tersenyum kembali ada perasaan lega yang menghangat.

Katanya itu akhir bahagia kamu yang paling serius ya, Rin? Sama halnya dengan aku, ternyata benar katanya akhir bahagia itu Karin dan Wilga.

Karin turun dari altar berjalan anggun kearah Wilga yang menampilkan senyuman paling sempurna untuk Nona Batavia-nya yang sekarang menemukan bahagianya, Karin sudah berdiri di hadapan Wilga tangannya terulur mengusap bahu tegap milik Wilga. Ia membenarkan dasinya yang sedikit miring itu, Karin terpesona dengan aura kuat dan lebih dewasa dari Wilga sekarang, lelaki ini sudah banyak berubah. Karin senang mengetahui banyak perubahan dari Wilga, hatinya menghangat.

“Udah siap?” Tanya Karin dengan lembut.

Wilga menganggukan kepala pelan sebagai jawaban, “Aku siap, Rin. Selalu, untuk kamu aku selalu siap Karin.”

Hati Karin kembali menghangat setelah mendengar jawaban lantang dari lelaki dihadapannya, jawaban teguh dan penuh keyakinan yang tersirat di setiap katanya.

“Wilga, terima kasih karna kamu jadi manusia yang lebih baik sekarang. Seperti katamu dulu, Wil. Dan ini ucapan terima kasih paling serius untuk manusia hebat seperti kamu. Terima kasih sudah bertahan.” 

Kedua sudut bibir Wilga tertarik membentuk senyuman simpul, ditatap wajah gadis di depannya dengan netra hitam legam miliknya yang selalu membuat Karin tenang.

“Selamat menempuh kehidupan yang sebenarnya, Rin. Kehidupan kamu baru akan dimulai. Kehidupan kita, sama-sama baru akan dimulai.” Tutur Wilga lembut.

Anggukan kecil serta senyuman bahagia yang terpancar dari paras juwita Karin yang menjadi ucapan terima kasih paling serius untuk Wilga.

“Bahu kamu udah jauh lebih kokoh, Wil. Itu artinya kamu juga udah siap jadi tulang punggung keluarga, ya?” Tangan Karin menepuk pelan bahu kokoh lelaki tampan di depannya.

“Akhirnya menemukan seseorang dengan pijaran dan keyakinan yang sama ya, Rin? Tuhan itu punya banyak kejutan, ini akhir bahagiamu Rin. Selamat, berbahagialah.”

Seakan tidak peduli dengan sekitarnya, mereka berdua sama-sama larut dalam obrolan dan mengabaikan sekitar. Serta banyak orang yang menatap heran Karin yang mendatangi Wilga, itu menjadi tanda tanya di benak mereka.

“Terima kasih, Wilga. Karena kamu nepatin janji untuk datang ke hari bahagia aku. Aku seneng.”

Perasaan senang Karin tak bisa didefinisikan, ia senang mengetahui bahwa lelaki ini kembali datang dihadapannya. Setelah hampir delapan tahun tak bertemu, rasanya seperti mimpi di siang hari.

“Apapun yang buat kamu bahagia, aku juga bahagia. Katanya akhir bahagia itu Wilga dan Karin kan? Benar ini akhir bahagia kita, Karin dan Wilga. Ternyata benar Rin, kamu bahagia dan aku pun begitu. Kita menemukan bahagia kita masing-masing.”

Wilga memejamkan matanya perlahan mengumpulkan keberanian barang sekedar menyentuh tangan gadis di hadapannya ini, sebelah tangannya terulur di hadapan Karin.

“Nona Batavia, mari saya antarkan ke altar. Temui pelabuhan terakhirmu, terima kasih pernah bersedia menumpangi perahu kecil bersama menyebrangi lautan penuh pilu. Sekarang temui Nahkoda barumu.”

Karin mengangguk pelan dan senyumannya sedari tadi tak luntur dari pahatan cantik yang disebut sempurna itu, “Mari.”

Tangan lembut Karin yang terbungkus dengan sarung tangan mewah bertabur manik-manik indah di setiap jahitannya itu meraih tangan lelaki yang pernah memberinya uluran tangan tanpa pamrih, lelaki yang membuat benteng gelapnya runtuh begitu saja.

Keduanya berjalan menuju altar, Wilga tersenyum ke arah ayah dari gadis di sampingnya terlihat gurat keriput yang menandakan bahwa lelaki itu sudah tidak muda lagi. Ayah Karin membalas senyuman Wilga, rasanya baru kemarin ia bermain catur di gazebo belakang rumah Karin dengan lelaki itu. Sekarang rambutnya benar-benar sudah memutih dengan alami bukan karena cat rambut lagi, Wilga terkekeh dalam hati karna momen bersama ayah Karin kembali ia ingat.

Ternyata waktu berjalan sangat cepat, ya.

Lalu netra legam Wilga menatap sosok gagah yang akan menjadi pendamping hidup Karin dan menjadi akhir epilog dari cerita ini, akhir cerita tentang bahagia. Karin sudah menemukan bahagianya, dan Wilga pun.

Memang benar akhir bahagia itu Karin dan Wilga, bukan Wilga dan Karin. Jika apapun yang bisa membuat gadis itu bahagia, Wilga akan lebih bahagia.

Wilga tersenyum, senyum paling serius ikhlas nya. Ikhlas dari segala rasa ikhlas yang pernah ada perihal merelakan. Akhirnya, perjalanan Wilga tentang cerita bahagia benar-benar berakhir, tidak akan ada epilog lagi setelahnya. 

Kamu indah, Rin. Bukti pahatan Tuhan paling serius indahnya. Seperti kata Nadin Amizah, namun bersorai pernah bertemu. Setidaknya kita pernah bersorai bersama, meski tak berujung dengan temu. Kita seperti Sorai yang tak berujung bahagia.

Kini keduanya duduk di tepi pantai, seperti biasa hoodie Wilga yang selalu dijadikan alas untuk sang kekasih duduk. Langit jingga yang menemani keduanya serta hamparan pasir dan pasang surut air pantai, baik Wilga maupun Karin keduanya terdiam sibuk dengan pikirannya masing-masing tak ada yang memulai obrolan lebih dulu.

“Indah ya, Rin? Seperti kamu, keindahannya gak pernah bosan untuk dilihat dan gak bisa di definisikan cuman pakai kata indah aja.” Wilga memecahkan keheningan, netra legannya tak lepas menatap sang kekasih.

Karin tak bergeming setelah Wilga melontarkan ucapan itu kepadanya, hanya senyuman manis sebagai jawaban.

“Senja itu indah memang, tapi gak bisa digapai.” Lanjut Wilga.

“Karena itu terlalu jauh untuk dijangkau, Wilga.” Jawab lembut Karin, gadis itu tersenyum hangat.

“Seperti kamu, Rin. Senja seperti kamu, indah tetapi itu mustahil dan terlalu jauh untuk dijangkau seperti apa yang kamu bilang.” Perkataan Wilga berhasil membuat Karin terdiam.

Karin masih terdiam, entah ia tak mengerti dengan maksud ucapan kekasihnya.

Helaan nafas lembut dari lelaki di sampingnya terdengar oleh Karin tapi terasa berbeda seperti helaan nafas gusar, ada apa dengan kekasihnya? Seperti ada hal yang mengganggu pikiran Wilga yang dapat Karin rasakan juga.

Begitu pula dengan perasaan Karin saat ini, ada yang berbeda. Kenapa ia merasa tak senang, padahal melihat langit jingga dan matahari terbenam salah satu kesukaannya yang tidak pernah bosan untuk ia lakukan bersama sang kekasih.

“Semuanya akan baik, Wilga. Aku percaya semuanya akan baik-baik aja. Seperti kata kamu.” Lengan Karin bergerak menggenggam tangan sang kekasih, menyatukan jari jemari keduanya. Karin seperti tengah menenangkan dan mengusir perasaan gundah yang mengganggu Wilga saat ini hanya dengan sentuhan lembut lelaki ini merasa sedikit lega.

“Kata orang kita ini akhir bahagia, Rin. Kamu percaya itu?”

Karin pun mengangguk sebagai jawaban. “Tentu, aku percaya. Memang benar kan akhirnya kita bahagia?”

Wilga kembali menghela nafas lalu tersenyum. “Hum... kamu benar Rin. Kita akhirnya akan bahagia, dengan jalan masing-masing nantinya.” 

Karin mengernyitkan alisnya mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Wilga, banyak pertanyaan dan tanda tanya di kepala Karin sekarang.

“Wil, maksudnya?” 

“Mereka terlalu terburu-buru untuk menyimpulkan akhir bahagia kita, Rin. Yang katanya akhir bahagia itu aku sama kamu, Wilga dan Karin.”

Gadis disampingnya ini seperti belum paham dari perkataan yang Wilga berikan kepadanya, Wilga sadar ucapannya terlalu sulit untuk kekasihnya cerna.

“Ya kan memang apa yang mereka katakan benar, Wil? Seperti sekarang, satu persatu angan-angan dan impian kita terwujud, jadi memang benar itu akhir bahagia untuk kita?” 

“Tapi gak dengan angan-angan kita untuk bersama, aku terlalu gegabah dulu melawan kehendak Tuhan.” Tutur Wilga lembut dan langsung membuat Karin sedikit tertegun, ia masih belum mengerti maksud dari Wilga.

“Kita berjalan terlalu jauh, Rin. Memaksakan kehendak, dunia punya aturan dan norma.” Lanjutnya, Wilga menatap wajah Karin dari samping dengan senyuman hangat yang selalu membuat hati Karin ikut menghangat, tetapi kali ini berbeda. Karin tidak nyaman dengan senyuman itu, aneh. 

“Kita berjuang lawan aturan dan norma itu sama-sama ya, Wil?” Suara lembut Karin terasa seperti menusuk hati Wilga, ia tahu kekasihnya ini tengah menyembunyikan perasaan pilu dengan senyuman yang tak lepas dari paras juwitanya itu.

“Bagaimana dengan aturan yang sudah Tuhan tetapkan, Rin?” Tanya Wilga serius, Karin terdiam gadis itu bingung harus menjawab apa.

“Kita bukan berjuang, kita memaksakan Rin. Memaksa kehendak. Kita terlalu egois terus bertekad untuk berjuang melawan Tuhan, Tuhan itu seperti pijar, Pijaran hidup. Jika nanti salah satu dari kita ada yang mengalah dan meninggalkan Tuhannya. Bagaimana dengan Tuhan kita, Rin? Kamu selalu bilang Gereja rumah ternyaman seperti dekapan Ibumu ketika kesedihan datang, kamu selalu mengadu pada Tuhanmu kan? Begitupun dengan aku. Sajadah selalu jadi tempat yang bikin aku tenang, apa jadinya hidup kita tanpa pijaran hanya karena kita egois memaksakan kehendak? Bagaimana dengan Tuhan kita, jika nanti salah satunya ada yang menyerah?” Lanjutnya.

“Kita berjuang, Wilga. Bukan memaksakan. Kita cari jalan keluarnya, ya?” Tukas Karin, ia merasa tak terima dengan pernyataan dari kekasihnya ini.

“Karin, dengar. Apalagi yang mau kita perjuangin? Sekeras apapun kita berusaha, hasilnya akan sama aja Rin. Tuhan mana lagi yang harus kita lawan? Kita satu amin tapi tak satu iman, kita berbeda Karin.” Wilga membalikan tubuh Karin untuk menghadap ke arahnya, tatapan keduanya bertemu. Sama-sama menyiratkan perasaan sendu.

“Aku menyerah, Rin. Menyerah paling serius, tembok agama bukan untuk dijangkau. Gak ada yang harus ninggalin Tuhannya, Tuhan itu pijaran.” Wilga mengusap pucuk kepala Karin dan mengelus surai hitam milik Karin yang menjadi kesukaannya dengan lembut.

Karin tertawa hambar, pandangannya kosong ke arah hamparan pasir yang terseret ombak. Ruang di hatinya seketika sepi, apa penghuninya sudah pergi? 

“Mereka bohong ya, Wil? Yang katanya akhir bahagia itu kita.” Bibirnya bergetar, Karin merasa sesak hanya sekedar untuk bicara saja rasanya ia tak mampu. Semuanya sulit untuknya, sulit untuk ia cerna dan pahami.

“Bohong, memang bohong nyatanya kita berakhir juga.” Lanjutnya dengan suara sedikit bergetar.

“Rin, perjalanan kita yang sudah sangat terlampau jauh ini selesai sampai disini ya? Maaf jika akhir ceritanya nggak terlalu menyenangkan untuk kamu. Jadi, kamu cari jalan yang baru dengan orang yang baru, buat cerita baru dan cari yang lebih pantas dari aku ya? Karna aku ini nggak layak untuk kamu yang sangat layak di mata Tuhanmu. Rin, hati-hati di jalan semoga menemukan yang lebih layak untuk kamu dengan pijaran yang sama.”

Wilga menatap tangan keduanya yang masih saling bertautan, menggenggam erat satu sama lain seakan tak ingin lepas dan dipisahkan begitu saja.

Karin mengangguk meski hatinya sakit seperti dihantam dengan batu besar, ia tetap memaksakan senyumnya. Senyum paling sempurna dari semua senyum yang pernah ia berikan kepada Wilga. “Terima kasih, ya? Ini ucapan terima kasih yang paling serius untuk segala rasa bahagia dan sakitnya. Wilga, terima kasih.”

Wilga menangis dalam diam, tak bersuara hanya cairan bening yang keluar dari kedua netra legam miliknya yang menandakan bahwa lelaki itu tengah menangis.

Seharusnya Karin juga menangis, tapi Karin terlalu pintar menyembunyikan perasaannya. Ia hanya akan menangis ketika tengah malam, setelah orang-orang tertidur pulas, kamarnya lah yang selalu menjadi saksi betapa lemahnya Karin yang terus berpura-pura menjadi gadis tangguh.

Berbeda dengan Wilga, lelaki itu selalu bebas mengekspresikan perasaan yang ia rasakan. Lagi pula ia bukan lelaki baju besi, yang harus dituntut mempunyai emosi dan perasaan yang stabil setiap saat. Wilga hanya manusia biasa, ia bisa menangis jika dia ingin.

Lalu tangan Karin bergerak mengusap cairan bening yang sialnya terus keluar dari pelupuk mata lelaki kesayangannya ini, tangannya bergerak lembut mengusap pipi Wilga yang sedikit berisi dengan lembut sebelum akhirnya terlepas.

“Maaf, Rin. Maaf, ini permintaan maaf dari segala permintaan maaf yang paling serius, maaf untuk semua rasa sakitnya. Kita kalah, Karin. Semesta terlalu bajingan untuk kita lawan.”

“Entah semesta yang memang bajingan atau kita yang lemah?” Tanya Karin.

“Kita yang lemah, semesta bajingan untuk semua orang. Kita yang terlalu lemah.” Ucapan pelan keluar dari mulut Wilga, senyuman manis Wilga tidak sinkron dengan isi hatinya. Hatinya sakit, seperti tengah tertusuk pisau belati yang amat sangat tajam. Sampai rasa sakitnya saja sudah tak bisa Wilga jabarkan, bahkan kata menyakitkan itu saja tidak cukup. Ini lebih menyakitkan, sakit. 

“Angan-angan kita berhenti sampai disini ya, Wil? Maaf seumpanya untuk segala rasa sakit yang ada. Maaf aku berhenti buat wujudin angan-angan tentang kita.” Karin menatap langit yang awalnya berwarna jingga itu perlahan di gantikan dengan langit malam, terasa hampa dan sepi. Karin tidak suka dengan langit malam. Seperti tengah melambangkan kesedihan yang mendalam.

Seperti saat ini, pikirnya.

“Menyesal?” Netra legam Wilga menatap manik indah Karin, ia tak pernah berbohong Karin memang definisi sempurna. Semua yang ada di dalam raga dan hatinya itu indah, tetapi tidak untuk dijangkau olehnya.

“Untuk apa?” Jawab Karin bingung.

“Untuk semuanya, untuk segala rasa sakit dan waktu yang terbuang sia-sia dan jatuh cinta dengan Wilga Dhartama Januarta. Rin kamu menyesal?” Lanjut Wilga memberi pertanyaan yang paling serius untuk Karin.

Karin menggelengkan kepala sebagai jawaban, gadis itu kembali tersenyum meski netra hitam indahnya tidak melakukan hal serupa. Menyiratkan banyak perasaan yang dipaksa bungkam.

“Sedari awal jatuh cinta sama kamu hal yang gak pernah aku duga, kamu datang seperti kejutan banyak hal yang gak terduga setelah kita bersama dan itu adalah hal yang gak pernah aku sesali bahkan sampai aku mati sekalipun. Aku gak pernah menyesal punya dunia berdua bersama kamu dan mengemban cinta, Wilga.”

Perjalanan dan perjuangan keduanya sudah berakhir, akhir cerita dari pemuda dari tanah Pasundan dan Nona Batavia epilognya sudah selesai. Akhir ceritanya tidak terlalu menyenangkan, ya? Yang katanya mereka berakhir bahagia, nyatanya berakhir nelangsa karena takdir Tuhan yang tak mengizinkan mereka bersama bahkan jauh dari kata bahagia.

“Perjalanan kita terlalu panjang hari ini, waktunya untuk kita pulang. Mari Nona, pemuda ini akan mengantarkan Nona Batavia pulang kembali pada sang Tuan dengan selamat.”

“Kita pulang ketika langit jingga pun digantikan oleh kelabu nya malam, ya? Pulang paling serius, pulang ke rumah masing-masing. Rumah yang kita tinggali bersama sudah runtuh itu karena bentengnya sudah ambruk, bukan begitu?”

Wilga mengangguk lalu terkekeh pelan diikuti dengan Karin karena ucapan sok puitis keduanya barusan.

“Ayo, saya antarkan pulang, kak. Saya bawa kak Karin nya udah terlalu lama, waktunya kita pulang ke rumah masing-masing.” Wilga kembali terkekeh dan Karin hanya tersenyum tipis menyadari panggilan yang biasa Wilga gunakan semasa ia masih menduduki bangku sekolah menengah atas kembali ia gunakan lagi. Sudah hampir dua Tahun lebih itu berlalu, Wilga sudah beranjak menjadi lelaki dewasa sekarang. Ia rindu tapi itu terdengar aneh sekarang, tidak cocok untuk ia gunakan kembali meski Karin sadar jika umurnya lebih tua dari Wilga, ia merasa geli sendiri.

“Kamu udah gak cocok buat manggil aku dengan sebutan ‘kak’, Wilga dulu sama Wilga sekarang udah beda. Ayo pulang ke rumah?” 

Karin beranjak bangun lalu memberikan hoodie yang dijadikan alas untuk ia duduk kepada pemiliknya, keduanya pulang. Pulang yang paling serius, pemuda yang selalu teguh penuh ambisi kini benar-benar kalah dan mengantarkan Nona Batavia-nya pulang kepada sang Tuan. Lebih tepatnya mengembalikan anak gadis kecil yang ia bawa untuk bahagia kembali kepada ayahnya, karena ia gagal. Dan setelahnya ia juga akan pulang ke rumah. Tidak ada rumah yang ditepati bersama lagi, yang dinamakan hubungan dalam ikatan romansa, itu sudah berakhir. Yang ada hanya rumah masing-masing yang dijadikan tempat untuk berpulang sekarang. 

Akhir kisah kita itu sebuah perpisahan ya, Rin? Perpisahan yang paling indah, merelakan satu sama lain. Ikhlas, sadar akan Tuhan yang lebih tahu. Mana yang lebih baik untuk kita. Tapi aku berharap ini bukan epilog akhir dari kita, atau mungkin akan ada epilog lagi setelah ini? Yang menjadi epilog sebenarnya, yang katanya bahagia.

Kini Karin merasa kesal sendiri, setiap kali ia duduk mendekat Wilga selalu bergeser menjauhi dirinya sejak tadi pun Wilga menanggapi Karin dengan jawaban singkat. Kini wajahnya di tekuk ia merasa diabaikan oleh kekasihnya, saat pulang dari kampus Wilga bersikap tak seperti biasanya, aneh.

“Sayang..” Panggil pelan Karin, yang hanya dijawab dengan deheman dari Wilga.

Wilga menoleh sekilas, lalu fokusnya kembali ke arah tv yang tengah menayangkan serial kartun kesukaan Wilga. “Hum?”

“Ishhhh nyebelin banget emang ya lo.” Tangan Karin bergerak mengambil bantal lalu memukul Wilga dengan keras karena sudah sangat kesal dengan kekasihnya, Karin terus memukuli Wilga dengan seluruh tenaga dalamnya.

“Sakit, Karin. Kamu apa-apaan sih kok tiba-tiba mukul gak jelas gini.” Wilga berusaha menghindar tapi tubuh malah terpojok pada ujung sofa, sementara Karin terus memukulnya dengan brutal.

“Lo yang kenapa monyet, sehabis pulang dari kampus lo diemin gue. Ngeselin, ngeselin, ngeselin.” Karin terus memukuli Wilga dengan bantal, mulutnya tak berhenti mengumpat.

Wilga tak mengerti kenapa kekasihnya tiba-tiba memukulnya, padahal dia tidak merasa melakukan kesalahan. Wilga diam sedari pulang kampus karena ia merasa canggung dengan Karin terlebih ia mengingat pesan terakhir dari Karin tadi.

Dengan sekuat tenaga Wilga berusaha menghentikan pukulan Karin, ia menarik pinggul kekasihnya lalu membalikan tubuh gadis itu hingga tubuhnya terpojok pada ujung sofa. Sementara kedua tangannya dicengkram oleh Wilga.

“Kamu kenapa sih Rin? Aku ada salah ya bilang jangan tiba-tiba aggressive kayak gini, dipikir gak sakit apa kamu mukulnya brutal banget.” Tanya Wilga, ia menahan tubuh Karin dengan tubuhnya yang berada diatas tubuh sang kekasih. Posisi yang sangat ambigu jika ada orang yang melihat mereka di posisinya sekarang pasti akan memikirkan hal yang tidak-tidak.

Karin terisak pelan, sepertinya akhir-akhir ini Karin sedang sensitif gampang sekali menangis dan itu membuat Wilga kelabakan dan langsung melepaskan tangan Karin. Takut ia menyakiti lengan kekasihnya hingga membuat Karin menangis.

“Kamu yang kenapa, dari tadi diemin aku. Kalau aku ada salah bilang sama aku Wilga, jangan diem. Aku gak suka.” Karin memukul dada Wilga dengan kedua tangannya.

Wilga merasa bodoh karena sudah mendiamkan Karin dengan alasan canggung, sekaligus gemas melihat kekasihnya yang kesal hingga menangis dan wajahnya terlihat begitu menggemaskan di mata Wilga.

“Aku deketin kamu, terus kamunya ngejauh, aku tanya kamu cuman jawab seadanya, kamu yang kenapa? Kalau aku salah, jangan diemin aku Wilga... Hiks.” Oceh Karin, gadis itu masih terisak.

Wilga hanya terdiam kedua sudut bibirnya terangkat menampilkan senyuman gemas, bibir Karin menggemaskan ketika gadis itu tengah mengoceh.

“Tuh kan kamu malah diem aja, Wilga jawab. Aku salah ap—mph.” Perkataan Karin terpotong karena ciuman mendadak dari Wilga.

Wilga dibuat gemas sendiri dan tak tahan untuk tidak mengecup bibir ranum sang kekasih yang terlihat menggoda ketika ia sedang berbicara, wajahnya mendekat bibir Wilga menempel tepat di bibir Karin membuat gadis itu langsung berhenti berbicara. Kedua matanya mengerjap karena terkejut dengan tindakan Wilga yang tiba-tiba mengecupnya.

“Udah ngomelnya? Aku minta maaf, jujur aku diemin kamu karna aku canggung gegara kejadian yang semalam. Aku minta maaf, ya? Jangan nangis lagi.” Wilga menatap wajah Karin yang semakin memerah, menyeka air matanya.

Karin menjawab dengan anggukan pelan, “Huum.. asal jangan diemin aku lagi kayak tadi, aku gak suka.” Ucap Karin dengan kedua netranya masih berkaca-kaca.

“Iyaa, iyaa. Gemes banget sih kamu.” Saking gemasnya Wilga mendaratkan kecupan di seluruh wajah Karin terakhir kecupan itu mendarat di bibir ranum sang kekasih.

Karin pun tak merasa keberatan dengan itu malah ia ingin lebih dari sekedar kecupan singkat, kini tangannya bergerak lembut mengusap leher Wilga lalu naik mengalung di leher tegas milik kekasihnya. Wilga seakan dihipnotis oleh tatapan sayu Karin, pikiran Wilga saat ini hanya dipenuhi dengan bibir Karin yang begitu menggodanya ditambah aroma tubuh Karin yang membuat Wilga frustasi ingin segera memagut bibir ranum itu.

Perlahan dan pasti wajah Wilga mendekat sementara tangan Karin menarik tengkuk kekasihnya pelan, Karin merasa deru nafas hangat milik Wilga mengenai wajahnya, bibir mereka semakin mendekat hanya beberapa senti lalu netra keduanya terpejam menunggu di detik selanjutnya bibir mereka yang akan menempel.

“Gue kira gak masuk kuliah karena sakit parah, oh jadi gegara sakit pecah telor ya, Rin?” 

“Anjir si Wiltot udah jauh sekarang mainnya, Jek foto cepet bukti nyata nih.” Ujar Jaysa.

Wilga dan Karin tentu terkejut saat mendengar suara Gista dan teman-temannya, Karin langsung mendorong tubuh Wilga membuat lelaki itu tersungkur ke atas lantai. 

“Awwh... Sakit, Rin.” Wilga meringis karena pantatnya lebih dulu jatuh ke atas lantai lalu Wilga mengusap pantatnya pelan.

Karin mengambil bantal lalu melemparkan bantal tersebut ke arah teman-temannya.

“Bacot lo pada, pecah telor pala lo kotak. Orang gue sama Wilga gak ngapa-ngapain.” Ketus Karin, gadis itu langsung mengubah posisinya menjadi duduk seperti awal wajahnya memerah tapi berusaha menampilkan raut wajah kesal.

“Iya gak ngapa-ngapain cuman lagi silaturahmi bibir aja ya gak guys?” Celetuk Winona yang langsung diangguki yang lain.

“Mana mata gue ternodai banget sama adegan tak senonoh lo sore-sore begini.” Gista menimpali ucapan Winona.

“Lagian gak sopan banget masuk rumah orang tuh ketuk pintu dulu, bukan nyelonong gitu aja.” Ucap Karin sinis menatap satu persatu teman-temannya.

“Yaelah kak tadi kita berlima udah ketuk pintu, gak ada yang nyaut juga. Taunya lagi pada kisseu-kisseu tuan rumahnya.” Jawab Jaysa sembari membantu Wilga untuk bangun.

“Iya kak tadi aku sama yang lain udah ketuk pintu dulu kok, eh ternyata kak Karin nya lagi ciuman sama Wilga makannya gak kedengeran kali.” Goda Nindy, sementara wajah Karin kini sudah merah seperti tomat karna teman-temannya memergoki dirinya dan Wilga hampir berciuman.

Wilga jangan ditanya, wajahnya tak berbeda jauh dengan Karin yang sudah memerah. Terlebih Jaysa dan Jeki terus menggoda Wilga. Rasanya Wilga ingin pergi ke belahan dunia lain karena rasa malunya begitu besar. Wilga hanya bisa terdiam, ia bingung harus mengatakan apa karena sudah tertangkap basah oleh temannya dan teman Karin.

“Wil, gimana rasanya ciuman? Anjir temen kita udah dewasa Jay.” Ucap Jeki pada Jaysa di bersamaan dengan gelak tawa keduanya.

“Sensi amat sih Rin, kayak abis digerebek lagi zina aja lo. Santai aja kali sama kita mah, gak usah malu-malu. Lagian tadi kita mau nengokin lo, yaudah gih lanjut lagi deh ciumannya. Kita disini cuman mau numpang makan.” Ujar Gista, gadis itu berlalu begitu saja ke arah dapur diikuti dengan Winona dan Nindy di belakangnya persis seperti anak ayam yang mengikuti induknya.

Sementara Jaysa dan Jeki duduk di sofa diikuti Wilga yang lebih memilih duduk diatas karpet, Karin menyadari bahwa kekasihnya tidak banyak bicara sejak tadi.

“Wil lu bawa gitar gak? Asik nih sambil ngemil sore gini gitaran.” Tanya Jaysa pada Wilga.

“Ada di mobil, kemarin gua bawa ke Bandung soalnya. Nih kunci mobilnya, lu ambil sendiri aja Jay.” Wilga melemparkan kunci mobilnya ke arah Jaysa yang langsung ditangkap oleh temannya itu.

Jaysa beranjak bangun lalu berjalan keluar untuk mengambil gitar milik Wilga, tersisa Jeki, Wilga dan Karin diruang tv. Karna Jeki yang merasa tak enak mengganggu pasangan kekasih ini, lelaki itu berinisiatif menyusul ketiga gadis yang terlihat tengah mengacak-ngacak dapur Karin.

“Kak gua haus, minta minum yak. Sekalian makan dah sabi sih.” Jeki langsung berjalan ke arah dapur menyusul Gista, Winona dan Nindy.

Kelima teman Karin dan Wilga memang sudah terbiasa menganggap rumah Karin seperti rumah mereka sendiri, memang tidak tahu diri sekali teman-temannya itu. Sudah mengganggu waktu berdua Karin bersama Wilga, dengan tidak sopannya mereka mengacak-ngacak dapur. Karin hanya bisa menghela nafas lalu ia turun dari sofa ikut duduk disamping kekasihnya.

“Sayang.. pasti sakit banget ya tadi? Maafin aku ya, tadi aku reflek dorong kamu. Habisnya mereka tiba-tiba banget datangnya, terus tadi juga aku udah mukul kamu. Aku beneran minta maaf.” Ucap Karin penuh khawatir, matanya kembali berkaca-kaca karena merasa bersalah kepada Wilga.

Wilga tersenyum manis ke arah Karin, sebelah tangannya bergerak menggenggam tangan kekasihnya. Ditatap jari Karin yang terbalut plester, lalu pandangannya kini jatuh pada iris hazel indah milik Karin. “Aku gak apa-apa, sayang. Udah jangan nangis nanti temen-temen kamu lihat kalau ternyata Katherine Gladyna Hermawan aslinya cengeng.”

“Ish, iya deh gak nangis. Aku khawatir tau.” Wilga terkekeh melihat bibir Karin yang mengerucut gemas, lelaki itu melirik kearah sekitar sepertinya teman-temannya sibuk di dapur. Wilga mendekatkan wajahnya lalu mencuri kecupan singkat di bibir Karin. Sementara yang dicium tersenyum senang, Karin memperhatikan Wilga yang terus mengecupi tangannya dengan lembut. Perasaannya kembali menghangat, keduanya seakan tak peduli dengan sekitar fokus pada dunia mereka berdua.

Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam lebih untuk sampai di rumah Karin, kini Wilga sudah tiba di kediaman keluarga Hermawan. Lelaki itu memarkirkan asal mobilnya di depan rumah Karin dan langsung berlari masuk menuju kamar kekasihnya.

“Karin, ini aku Wilga. Please buka pintunya, Rin. Aku disini, jangan takut.” Wilga menggedor-gedor pintu kamar Karin, tidak ada sahutan dari sang kekasih membuat perasaan lelaki itu semakin dilanda resah dan khawatir.

Tentu ini bukan kali pertamanya Karin mengurung diri dikamar selama berhari-hari menyiksa dirinya sendiri dengan tak makan dan minum, dan Wilga sudah tahu betul bahwa gadis itu sedang di keadaan amat yang sangat tidak baik. Hanya ada satu cara membuka pintu kamar Karin dengan mendobraknya, hanya cara itu. Sepertinya Wilga harus merusak pintu kamar sang kekasih untuk kesekian kalinya karena Karin tidak akan membuka pintu begitu saja.

Wilga mundur beberapa langkah tubuhnya sudah berancang-ancang mendobrak pintu, lalu tubuhnya menghantam pintu coklat itu dengan keras beberapa kali berharap pintu itu bisa terbuka. Rasa sakit pada bahunya tidak ia perdulikan yang ia pikirkan sekarang takut jika Karin melakukan hal yang tidak di inginkan di dalam sana, bukan tubuh Wilga yang terlalu lemah tapi pintu kamar Karin yang kuat untuk ia dobrak. Lelaki itu mulai berpikir cara untuk membuka pintu, hanya dengan tangan kosong tentu tidak akan terbuka ia harus benar-benar merusak pintu itu pikiranya.

“Rin kamu dengar aku kan?” Teriak Wilga dari luar, tentu Karin mendengar teriakan dari sang kekasih tetapi dia memilih diam.

Wilga keluar rumah dan berlari ke arah mobilnya lalu membuka bagasi mencari benda yang bisa Wilga gunakan untuk membuka pintu kamar Karin.

Sementara didalam kamar, terlihat Karin yang terisak pelan keadaannya benar-benar sangat kacau. Terlihat kantung matanya menghitam dan matanya begitu sembab menandakan bahwa gadis itu tidak tidur semalaman dan terus menangis tanpa jeda, surai hitam indah miliknya berantakan hampir menutupi sebagian paras juwitanya kemudian kulit putih susunya sudah pucat serta bibirnya terus bergetar mengeluarkan lirihan kepiluan yang ia rasakan. Kamarnya gelap hanya ada suara tangisan penuh sendu dari sang gadis yang tengah memeluk lututnya dilantai yang dingin. Ia tahu Wilga-nya ada disini, tapi ia tak mau jika nanti lelaki itu melihat keadaannya yang sangat kacau.

“Aku butuh kamu, Wilgaa. Tapi aku takut, Wilga aku takut.” Lirih Karin.

Ia sudah tak mendengar dobrakan pintu lagi, pasti Wilga tengah mencari cara untuk merusak pintu itu Karin sudah tahu Wilga tidak akan menyerah begitu saja, tapi sekarang ia benar-benar ingin Wilga tak melihatnya dan berharap lelaki itu pergi. Meski mustahil, dan jauh dalam hatinya ia benar-benar membutuhkan lelaki itu sekarang, ia takut. Karin takut dengan dunia saat ini.

“Wilga, aku takut. Aku takut, Wil. Dunia terlalu berisik, untuk aku yang gak suka di usik. Wilga aku takut, dunia terlalu bajingan untuk aku, Wil.” Karin kembali berucap lirih, ia menutup telinganya dengan kedua tangan berharap suara bising yang memenuhi kepalanya pergi.

Wilga menemukan besi kokoh dari bagasinya yang langsung ia bawa untuk merusak pintu itu, dengan sekuat tenaga Wilga menghantamkan besi itu pada pegangan pintu kamar Karin persetanan dengan rasa sakit di tangannya ia harus bisa membuka pintu itu. Hantaman besi itu terus menumbuk pintu kamar Karin, Wilga mengerahkan semua tenaganya untuk merusak pintu itu yang sialnya sangat keras tapi Wilga tak akan menyerah begitu saja keadaan Karin lebih penting dari apapun.

“Rin, aku disini. Aku tau kamu gak bakalan buka pintunya, jadi tunggu, ya?” Ujar lembut Wilga dari luar.

“Semuanya akan baik-baik aja, Rin. Semuanya akan baik.” Ucap Wilga penuh dengan keyakinan, kini besi itu terlepas dari tangan Wilga dan jatuh begitu saja diatas lantai.

Wilga kembali berancang-ancang mundur dan dengan cepat tubuh tegapnya menghantam kuat pada pintu itu hingga bahunya terasa begitu sakit tapi ia tak peduli, Wilga menghela nafas lega setelah pintu itu berhasil ia dobrak menampilkan keadaan kamar Karin yang gelap.

“Rin?” Wilga langsung masuk kedalam kamar yang gelap, lelaki itu mencoba mencari saklar lampu.

Wilga terkejut bukan main setelah lampu menyala dan mendapati keadaan kacau sang kekasih yang tergeletak di lantai, kedua tangannya berada di telinga, bibirnya tak berhenti mengeluarkan lirihan pelan. Wilga langsung menghampiri Karin dan memeluk gadis itu sangat erat.

“Wilga aku takut, dunia terlalu berisik untuk aku Wil.” Ucap lirih Karin, suara penuh pilu yang berhasil membuat hati Wilga tergores. Ia merengkuh tubuh mungil kekasihnya membiarkan wajah Karin terbenam di dada bidang miliknya.

“Ada aku disini, Karin. Semuanya bakalan baik-baik aja. Trust me everything will be fine.” Wilga mengulurkan sebelah tangannya mengelus punggung Karin dengan lembut berusaha memberi sentuhan yang bisa membuat gadis kesayangannya ini tenang.

“Semua bakalan baik-baik aja, Rin.” Lanjut Wilga mencoba kembali menenangkan Karin.

“Everyone talk shit about me,” Ucap Karin dengan suara yang bergetar.

“dan sialnya apa yang mereka bilang itu bener. I'm sorry, I'm really sorry for everyone saying about me. I'm not as good as you say, I'm don’t deserve you. Aku minta maaf, Wilga.” Lanjutnya, Karin terisak pelan dipelukan Wilga. Ini sisi rapuh dari Karin yang hanya diketahui oleh Wilga.

“Karin, dengarin aku.” Wilga perlahan melepaskan rengkuhan pada tubuh mungil kekasihnya lalu ia menatap lekat wajah Karin.

Kedua tangannya menangkup pipi Karin, menatap netra indah milik gadis kesayangannya dengan lekat. Tersirat pilu pada tatapan yang Karin pancarkan, perlahan tangannya mengusap lembut pipi Karin.

“What they say is not true, everything is not true. They don't deserve to make you sad, I will brush off all their untrue words about you. They can only judge, I know more about you. You are perfect even more than perfect words can describe. Thats fuckin judge, they’re dont deserve your sadness.” Perkataan Wilga membuat Karin terdiam.

“Don't hear anything bad about you okay? They only know that talking about other people is not true, that knows the facts are true or not. It's just bullshit, the truth is they can't be better than you.” Ucap Wilga dengan serius, netra legamnya menilik hazel indah milik Karin, menatap dalam-dalam netra indah Karin.

“You are pure and lots of love surrounds you.” Lanjutnya.

“Do I deserve you?” Tanya Karin.

Wilga menganggukan kepalanya lalu tersenyum kearah sang kekasih. “Of course, you deserve me. You’re perfect and pure, everyone is even jealous of everything you have in you Rin.”

“Tapi aku gak layak untuk kamu, Wilga. Aku gak layak. I'm really sorry, I don’t deserve you.” Tukas Karin, gadis itu langsung menunduk.

“Don’t be sorry for anything about you, I love every part of you.” Jawab Wilga.

“Don't look down, raise your head. And look at on my eyes.” Titah Wilga, ia tak suka jika melihat Karin menunduk.

Karin mendongak, pandangannya bertemu dengan netra legam Wilga. Karin merasa sedikit tenang setelah melihat tatapan teduh dari lelaki dihadapannya. Berbeda dengannya, sorot netra Karin banyak menyiratkan sendu dan kesedihan.

“But I'm a mess at times, and a lot to handle.” Ujar Karin pelan, cairan bening dari pelupuk matanya kembali turun begitu saja membasahi pipi pucatnya.

Karin terus saja melontarkan kata-kata yang membuat Wilga ikut sedih, tapi lelaki ini punya seribu jawaban untuk mematahkan semua pernyataan sang kekasih. Wilga selalu punya jawaban untuk membuat Karin diam, dan Karin tahu itu. Wilga si lelaki penuh ambisi, seperti sekarang.

“You’re my mess and I can handle you all day.” Suara Wilga terdengar penuh keyakinan di setiap kata yang ia lontarkan.

“Don’t be sad please, I love you. Like you’re important so don’t be sad. They don’t deserve your sadness, they don’t.” Lanjut Wilga, ia tak lepas menatap netra indah sang kekasih. Wilga menatap dalam iris hazel cantik milik Karin, sebelah tangannya kembali mengusap pipi Karin menyerka cairan bening yang keluar dari netra indahnya.

“How lucky I am to have you, Rin. You’re just so smart, perfect and beautiful. How did I get so lucky? I don’t understand.” Lanjutnya sambil tersenyum menatap wajah sang kekasih.

“Your mind is so beautiful, like you’re strong and the way you can handle yourself all day is fuckin inspiring honestly.” Wilga menjeda ucapannya.

“I’m not even high, I'm just fall, fall in love with you everyday.”

“Wilga ak—” Ucap Karin terpotong oleh Wilga.

“Kamu sempurna, Rin. Bukti pahatan Tuhan paling sempurna dan paling serius indahnya. Katherine Gladyna, namanya. Kamu indah, kamu cemerlang.” Wilga langsung memotong ucapan Karin, ia tak mau gadis ini terus saja merasa tidak layak. Karin itu sangat layak, layak untuknya. Untuk Wilga.

Hati Karin kembali menghangat perasaan berangsur membaik dan lega hingga guratan senyum manis itu kembali muncul dipahatan paras juwitanya, Wilga ikut tersenyum. Lelaki itu senang bukan main, wajahnya mendekat kearah Karin mendaratkan kecupan singkat di dahi gadis itu.

“Merasa lebih baik?” Tanya Wilga lembut.

Karin mengangguk sebagai jawaban lalu Wilga mengajak Karin bangun dan duduk di ujung ranjang.

“Wilga, terima kasih. Ini terima kasih paling serius untuk segala rasa tenangnya.”

“Terima kasih karena bertahan sejauh ini, Rin. Terima kasih.” Balas Wilga, lelaki itu tersenyum menatap teduh wajah pucat sang kekasih. Meski kulit putihnya itu pucat Wilga tak bohong jika wajah kekasihnya masih terlihat cantik.

“Ish.. Jangan tatap aku kayak gitu. Aku lagi jelek.” Karin yang sadar tengah ditatap dengan intens oleh Wilga segera menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Wilga terkekeh pelan karna tingkah menggemaskan Karin, sisi lain yang ada pada Karin itu sifat menggemaskannya. Wilga tak mengerti bahkan gadis di depannya ketika diam saja sudah terlihat menggemaskan bagi Wilga, entah efek karna Wilga sangat mencintai kekasihnya ini. Wilga seperti diperbudak oleh cinta.

“Kamu selalu cantik, Rin. Apapun keadaannya, kamu cantik.” Tukas Wilga sambil tersenyum.

“Stop doing that.” Ucap Karin penuh penekanan.

Wilga menaikan sebelah alisnya, nampak tengah berpikir. “Stop doing what?”

“Saying things that make me wanna kiss the hell out of you.” Wilga terkejut dengan jawaban Karin yang membuat dirinya kelabakan.

“Hahaha, ngaco. Kamu dari kemarin belum makan kan? Ayo makan dulu, aku yang masakin.” Tawar Wilga kepada Karin, lelaki itu tertawa pelan untuk menghilangkan kegugupannya.

Karin yang melihat telinga Wilga memerah menjadi gemas sendiri dengan pacarnya, pandangannya kini terkunci pada bibir milik sang kekasih. Sangat menggoda, pikirnya. Bibir tipis yang tampak merah namun berisi terlebih ketika lelaki itu sedang berbicara bibirnya terlihat menggemaskan.

Lalu Karin dengan santai mencondongkan tubuhnya ke arah Wilga, sebelah tangan ia gunakan untuk menarik tengkuk kekasihnya kemudian mengecup bibir Wilga yang terasa manis menurutnya di detik kemudian wajahnya kembali menjauh, Karin mengakhirinya dengan kekehan pelan melihat kekasihnya yang terkejut karena tindakan Karin.

Sementara Wilga benar-benar terkejut dengan apa yang Karin lakukan padanya, kedua netranya berkedip beberapa kali. Karin menciumnya tepat di bibir? Ia seperti tengah bermimpi, Wilga masih mencerna kejadian barusan. Karin serius dengan ucapannya, itu membuat Wilga merasa bodoh sekarang. Wilga hanya mampu terdiam, lidahnya seketika kelu. Karin mencium bibir Wilga bukan pipinya. Dan selama hampir dua tahun bersama itu ciuman pertama bagi keduanya.

“Bubs, hey kenapa?” Karin menyadarkan lamunan Wilga, lalu dengan cepat lelaki itu menggelengkan kepala.

“You kiss me on my lips? Rin, aku gak mimpi kan?” Karin dibuat tertawa pelan dengan tingkah sang kekasih.

“Kenapa? Padahal kemarin-kemarin siapa tuh yang selalu semangat minta cium. Eh pas dikasih malah kelabakan sendiri.” Kekeh Karin, tak tahan dengan raut wajah gemas Wilga.

“Can we do it again? Can I kiss you, Rin?” Tanya Wilga ragu, ia menunggu jawaban dari Karin.

Karin mengangguk sambil tersenyum, sebagai izin untuk Wilga menciumnya.

Tangan Wilga dengan tak sabarannya langsung merengkuh pinggul ramping dari gadis kesayangannya ini. Lalu bergerak mengelus pipi Karin hingga tengkuknya dengan lembut, Wilga menarik tengkuk Karin mengikis jarak diantara keduanya. Bibir mereka berdua bertemu, yang hanya menempel kini menjadi lumatan lembut.

Kedua tangan Karin yang awalnya diam pun mulai bergerak mengalung di leher tegas milik Wilga, ia mulai membalas lumatan yang lelaki itu berikan padanya. Perlahan namun pasti keduanya hanyut dalam ciuman lembut saling memberikan lumatan yang membuat perasaan satu sama lain menghangat, netra legam milik Wilga dan netra indah milik Karin sama-sama terpejam tanda mereka tengah menikmati ciuman manisnya.

Karin menarik tubuh Wilga ketika punggungnya lebih dulu jatuh pada ranjang empuk miliknya tanpa melepaskan tautan bibir mereka, Wilga mengukung tubuh mungil kekasihnya. Lumatan lembut itu menjadi gigitan pelan dibibir Karin hingga membuat sang empunya melenguh pelan.

“Eunghh Will...” Lenguhan pertama Karin berhasil lolos begitu saja.

Namun keduanya sama-sama enggan melepaskan ciuman, kini tangan Karin turun mengelus perpotongan leher tegas milik Wilga lalu menarik tengkuk lelaki itu memberi titahan untuk memperdalam lumatannya. Karin semakin dibuat terbuai dengan bibir Wilga, bagaimana bibir itu bergerak melumat serta mengulum bibir bawahnya dengan lembut membuat Karin semakin menarik tengkuk Wilga untuk ciuman lebih dalam.

Lumatan demi lumatan yang Wilga berikan pada bibir ranum sang kekasih terasa lembut namun terasa lebih dalam, Karin reflek menggigit bibir bawah Wilga membuat ciuman yang berlangsung lima menit itu terlepas begitu saja karena Karin yang mulai kehabisan oksigen. Benang saliva diantara bibir Wilga dan Karin menandakan ciuman mereka berakhir, Karin langsung meraup udara sebanyak mungkin mencoba kembali mengatur nafasnya yang terengah. Berbeda dengan Wilga tatapannya tak lepas dari paras cantik sang kekasih, Karin menatapnya dengan tatapan sayu serta bibir ranumnya memerah dan basah.

“Bibir kamu manis dan lembut, rasanya jadi candu baru buat aku, Rin.” Wilga tersenyum melihat wajah Karin yang memerah, lalu kepala Wilga kembali bergerak mendaratkan kecupan pada wajah Karin terakhir ia mendaratkan kecupan di mole milik Karin. Rasanya sudah lama ia ingin mencium mole Karin, dan akhirnya keinginan Wilga terealisasikan sekarang.

Wilga hendak berbicara lagi tapi kini jari telunjuk Karin berada di bibirnya, memberi isyarat untuk diam.

“Shut, hak bicara kamu aku cabut. Jangan bicara aneh-aneh, you should shut up.”

Wilga tersenyum gemas dengan apa yang Karin lakukan padanya, tapi pada akhirnya ia juga memilih menurut lalu membaringkan tubuhnya tepat di samping Karin dan membiarkan sebelah tangannya menjadi bantalan untuk gadis itu tidur. Karin merengkuh tubuh Wilga, rasanya hangat. Bahkan ia sampai lupa jika tadi sempat menangis saking merasa nyaman dan aman dalam dekapan Wilga. Hari ini cukup melelahkan bagi Karin, perlahan kedua netranya terpejam. Karin pergi ke alam mimpi lebih dulu, dan Wilga masih setia menatap wajah tenang milik sang kekasih.

Karin terlihat panik saat sampai di sekolahan Wilga yang sudah sepi hanya beberapa murid yang terlihat akan pulang, dia langsung berlari ke arah lapangan untuk menemui kekasihnya yang sedang pingsan.

“Kak Karin, disini woy.” Suara teriakan Jaysa membuat Karin langsung menoleh kearah sisi lapangan, dan tepatnya ada sang kekasih ya tergeletak pingsan di bawah pohon mangga.  

“Kenapa gak lo bawa ke uks Jay?”

“Aelah kak berat anjir nih bocah, badan doang krempeng dosanya banyak.”

“Lagian nih ya kak, kok lu mau-mauan dah pacaran sama bocak frik macem dia, gua aja jadi temennya malu.” Lanjutnya.

Karin tidak memperdulikan ocehan dari Jaysa, gadis itu memilih mengabaikannya dan mulai terduduk ditanah lalu perlahan mengangkat kepala sang kekasih dan menidurkan kepala Wilga di atas pangkuannya, tangan putihnya bergerak menepuk-nepuk pipi Wilga dengan lembut berharap sang kekasih tersadar dari pingsannya.

“Wilga bangun, jangan bikin aku khawatir.”

Jaysa memasang muka ingin muntah setelah mendengar penuturan dari gadis yang sudah menjadi kekasih sahabatnya ini.

“Anying nyamuk banget gua disini, acting doang nih bocah pasti. Heran pake acara pingsan segala mana nyusahin gua dari tengah lapang harus bawa ke sini mana Jeki gak masuk lagi, eh... Kak maklumin aja ya nih bocah seumur-umur baru punya pacar.”

Tangan Karin masih setia mengusap pipi Wilga penuh sayang dan mengabaikan ocehan sahabat dari kekasihnya. Tiba-tiba Nindy datang dan membuat Karin sedikit terkejut sekaligus gugup jika sepupunya mengetahui dia datang ke sini hanya untuk menemui Wilga, pasti Karin akan ditertawakan karena itu.

“Loh kok ada kak Karin disini? Eh.. itu Wilga nya kenapa pingsan?”

“Eh hehe... Nindy kamu belum pulang? Ini kak Karin kebetulan ada perlu disini.” Nindy terlihat mengangkat alisnya bingung setelah Karin menjawab pertanyaannya.

“Keperluan apa kak? Tumben banget, kok malah disini, itu Wilga pingsan kenapa?” Tanya Nindy.

“Keperluan ketemu pacarnya lah tuh yang pingsan, masa gitu aja kamu gak peka sih cantik.”

Bukan Karin yang menjawab melainkan Jaysa sahabatnya Wilga, berhasil membuat Nindy membuka mulutnya karena terkejut.

“Oh jadi kak Karin sama Wilga sekarang pacaran?” Tanya Nindy lagi untuk memastikan.

Karin mengangguk mengiyakan pertanyaan Nindy, perlahan kedua mata Wilga terbuka yang pertama kali dia lihat adalah wajah cantik dan teduh dari Karin.

“Jay gua udah mati? Sumpah demi apapun gak apa-apa kalau gua harus mati secepat ini terus ketemu bidadari surga.”

“Heh! Mulutnya, Wilga. Kamu ini ngawur.”

Wilga menatap wajah Karin dengan lekat menilik setiap pahatan wajah cantik kekasihnya.

“Dih najis si tolol, lu pikir kalau lu mati bakalan masuk surga orang dosa lu banyak bego.”

“Ishh diem dulu, biarin kak Karin yang ngomong sama Wilga.”

Tangan Nindy terulur untuk mencubit pinggang Jaysa dan berhasil membuat lelaki itu meringis pelan dan diam tidak mengganggu pasangan baru dihadapannya.

“Wilga kamu gak apa-apa kan? Kepalanya pusing gak?”

Wilga menggelengkan kepalanya lalu tersenyum kecil kearah Katherine.

“Saya gak apa-apa, cuman sedikit kaget karena didatangi bidadari secantik kak Karin.”

“Ishh Wilga, jangan mulai. Aku khawatir tau.” Wilga terkekeh gemas melihat wajah Karin seketika memerah, lalu memberi kode kepada Jaysa untuk pergi.

“Dih cacingan lu? Kedip-kedip genit ke gua, jijik bangsat.”

Wilga menatap tajam kearah Jaysa karena kesal temannya tidak mengerti.

“Hehe iya iya anjir gak usah melotot begitu gua paham kok, yaudah yuk Nindy kita pulang. Aa Jaysa anterin sampai rumah dengan selamat.” Ajak Jaysa pada Nindy, mengajak pulang bersama.

“Yaudah deh kak Karin, Nindy mau pulang dulu ya bareng Jaya. Duluan ya Wil.” Pamit Nindy.

“Jay awas lo apa-apain sepupu gue, balikin sampai rumah.” Ancam Karin dengan memberi tatapan tajam ke arah Jaysa.

“Iye kak, gak bakalan gua culik juga Nindy nya.”

Setelah Jaysa dan Nindy pergi meninggalkan keduanya yang masih sama seperti posisi awal, Karin yang tengah terduduk dengan kepala Wilga berada di pangkuannya

“Beneran kepala kamu udah gak pusing?” Tanya Karin, kembali memastikan.

Perlahan Wilga bangun dan duduk disebelah Karin, tidak lupa lelaki itu mengambil hoodie dan tasnya yang sudah tergeletak di tanah.

“Kak Karin udah tanyain itu beberapa menit lalu, dan jawaban saya masih sama kak. Saya gak apa-apa, lihat saya baik-baik aja kan?”

“Just make a sure, aku khawatir tadi pas tau kamu pingsan.” Perkataan Karin berhasil membuat segurat senyum terbentuk di pahatan tampan Wilga.

Jujur Wilga tidak dapat menahan senyumannya saat tahu Karin sempat mengkhawatirkannya ketika pingsan tadi.

“Duduk disini, nanti rok kak Karin kotor.”

Karin mengangguk saat Wilga menyuruh duduk diatas hoodienya yang dibiarkan menjadi alas untuk dirinya duduk.

“Aku percaya sama kamu, Wil. Kamu gak akan nyakitin aku kan?”

Wilga mengangguk sebagai jawaban.

“Saya bakalan jadi orang yang paling bodoh kalau sampai nyakitin hati wanita sebaik kak Karin, saya bakalan berusaha kak. Kakak mau nunggu saya buat jadi manusia yang lebih baik lagi kedepannya?”

Senyuman Wilga tak lepas saat matanya beralih memandangi tangan Karin dan dirinya yang bertautan.

“Saya punya angan-angan tentang kita, saya dan kak Karin. Entah itu bakalan terwujud atau enggak, tapi saya bakalan berusaha buat wujudin angan-angan saya bersama kak Karin. Angan-angan untuk seterusnya kita sama-sama, kak Karin mau bantu wujudin itu bareng saya?”

“Saya juga pengen lihat kak Karin lebih bahagia dari sekarang, bebas ekspresiin perasaan kak Karin. Jangan takut orang-orang bakalan mandang kak Karin buruk, selama itu menurut kak Karin baik. Your feeling is valid, kak. Gak ada salahnya sesekali kakak ekspresiin perasaan yang kakak rasain, entah itu bahagia bahkan sedih. Semua orang punya hak untuk itu, termasuk kak Karin.”

Karin terdiam masih mencerna perkataan yang Wilga lontarkan padanya, ucapan lelaki di sampingnya memang benar. Tapi sangat sulit untuk Katherine lakukan, gadis itu tidak bisa bebas mengekspresikan setiap perasaan yang dialami karena kejadian kurang mengenakan di masa lalu. Ia masih menyimpan banyak trauma untuk itu.

“I trying my best, Wil. Aku bakalan berusaha, asal kamu mau temenin aku untuk itu ya?”

“Tentu, kak. Saya bakalan temenin kakak, Selalu. Kita wujudin semua keinginan kita bersama, ya?”

Gadis kelahiran dua ribu itu mengangguk dengan senyuman hangat yang mampu menghangatkan atmosfer serta hati Wilga pun ikut menghangat. Senyuman itu, senyuman yang tidak sembarangan orang bisa melihatnya. Wilga senang karena hanya dirinya yang menjadi alasan dibalik senyum hangat Karin saat ini.

“Dan sekarang saya gak ngerasain yang namanya resah. Karena kak Karin udah jadi milik saya, dan untuk seterusnya saya bakalan berusaha bikin kakak bahagia.”

Karin terkekeh pelan menatap tak percaya lelaki yang berada disampingnya, Wilga itu teguh penuh ambisi dengan pendiriannya. Karin tahu, Wilga punya pemikiran lebih dewasa jika dibandingkan dengannya, Karin akui itu. Wilga itu seperti kejutan, banyak hal yang tak terduga yang akan dia lakukan untuk Karin.

“Omongan kamu tuh udah kayak mau seriusin aku tau, belajar dulu yang bener sebentar lagi kamu lulus.”

“Kalau Tuhan berkehendak, saya beneran mau kita ke jenjang yang lebih serius kak. Tapi saya masih punya cita-cita dan impian yang belum terwujud begitu pun kak Karin. Kita tunggu waktu yang bicara, ya?”

Karin tersenyum setelah mendengar ucapan Wilga, memang benar lelaki ini memiliki banyak kejutan untuk Karin. Tindakan dan ucapannya selalu tidak terduga.

“Kak Karin itu, seperti Sorai.” Ucap Wilga sembari tersenyum kepada Karin, kini keduanya berada di angkringan. Sementara Wilga tengah memangku gitar pemberian dari mendiang Neneknya.

Sorai?” Tanya Karin bingung, gadis itu menatap lekat netra legam milik Wilga.

“Iya Sorai, lagu kepunyaan dari Nadin Amizah.” Wilga mangangguk dan menjawab pertanyaan Karin, di usap penuh sayang gitarnya itu.

“Aku tau Nadin Amizah tapi belum pernah dengar lagu-lagunya. Memangnya kenapa, Wil?” Lanjut Karin, Wilga nampak berpikir untuk menjawab pertanyaan gadis yang lebih tua darinya itu.

Karena bingung menjawab pertanyaan Karin, akhirnya Wilga memilih menawarkan agar Karin mendengar lagunya secara langsung sebagai jawaban.

“Ingin dengar lagunya, kak?” Ucap Wilga sambil menunggu Karin menjawab.

Karin mengangguk antusias sampai-sampai kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman yang selalu membuat hati Wilga menghangat. “Heem, tapi pengen kamu yang nyanyi untuk aku.”

“Tentu, saya yang akan menyanyikan Sorai kepunyaan Nadin Amizah untuk kak Karin.”

Kini Wilga memposisikan tubuhnya berada di hadapan gadis cantik yang sudah mengambil hatinya ini sejak beberapa bulan lalu, perlahan petikan gitar itu terdengar asing di telinga Karin diiringi suara lembut dari Wilga.

Langit dan laut saling membantu

Mencipta awan hujan pun turun

Ketika dunia saling membantu

Lihat cinta mana yang tak jadi satu

Alunan petikan suara gitar dan suara lembut Wilga seperti melodi indah yang masuk ke indera pendengaran Karin, terdengar syahdu. Senyuman manis tak luntur dari bibir gadis itu.

Karin mengerti di bait lirik pertama ada metafora di dalam kata laut dan langit, yang maknanya dua kesatuan berbeda seperti sebuah hubungan dalam romansa antara kaum Adam dan Hawa yang diharuskan untuk saling membantu satu sama lain. Diibaratkan seperti kesatuan alam yang saling membantu seperti halnya laut dan awan yang membantu menciptakan hujan, alam tampak solid seperti tengah membuat skenarionya. Berbeda dengan manusia yang bervariatif memiliki berbagai sifat yang tak pernah sejalan apalagi saling membantu, bahkan untuk sekadar mengemukakan pendapat saja tak semua sama. Mereka memiliki kebenaran masing-masing, jika itu terlepas dari hubungan antar kekasih. Karin hanya menangkap itu dari bait pertama.

Kau memang manusia sedikit kata

Bolehkah aku yang berbicara Kau

memang manusia tak kasat rasa

Biar aku yang mengemban cinta

Wilga kembali menyanyikan bagian dari reff yang dua kali diulang di dalam lagu Sorai, bagian ini seperti menceritakan tentang kekurangan diri orang lain yang berusaha dilengkapi oleh dirinya sendiri, agar menjadi kesatuan yang utuh dalam sebuah hubungan. Seperti halnya jika pasangan kita tidak banyak bicara atau terkesan memiliki perasaan yang sedikit, harus di pancing dengan obrolan dan rasa sayang lebih. Disetiap hubungan harus ada salah satu yang mengalah, jika hubungan itu ingin berjalan dengan baik.

Karin terdiam setelah mendengar bait dari lirik selanjutnya yang di nyanyikan oleh lelaki dihadapannya ini, ia mengerti sekarang kenapa Wilga menyebut dirinya seperti Sorai, lagu kepunyaan Nadin Amizah. Ia sadar selama ini memang ia tak banyak bicara dan terkesan kaku untuk mengembangkan obrolan bersama Wilga. Berbeda dengan Wilga yang selalu banyak bicara, Karin lebih banyak diam menanggapi dan lelaki yang tengah menyanyikan setiap liriknya dengan indah ini yang selalu membuat suasana hangat dengan pancingan obrolannya. Wilga seperti kebalikan dirinya.

Awan dan alam saling bersentuh

Mencipta hangat kau pun tersenyum

Ketika itu kulihat syahdu

Lihat hati mana yang tak akan jatuh

Senyum Karin tak lepas dari paras juwitanya setelah mendengar lanjutan lirik yang kembali Wilga nyanyikan perasaannya mulai menghangat. Dan tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan di dalam benak Wilga, memang benar jika melihat senyum hangat dari Karin membuatnya berpikir. ‘Hati mana yang tak akan jatuh?’ tentu hati Wilga sudah jatuh lebih dulu hanya karna senyum indah milik Karin. Dan ketika melihat itu terasa begitu syahdu dan candu bagi Wilga, rasanya itu senyum paling indah yang pernah ada di alam semesta.

Kau memang manusia sedikit kata

Bolehkah aku yang berbicara

Kau memang manusia tak kasat rasa

Biar aku yang mengemban cinta

Nyanyian Wilga kembali di bagian reff yang sebelumnya ia nyanyikan, bagaimana rasanya jatuh cinta? Itu yang ada dipikiran Karin saat ini. Orang-orang banyak bilang bahwa Karin tak kasat rasa, mungkin ada benarnya. Karena selama ini Karin selalu dibuat kebingungan dengan perasaannya sendiri, ia tak pernah bebas mengekspresikan setiap perasaannya yang ia rasakan. Bagaimana rasanya mengemban cinta? Karin ingin merasakan itu.

Kau dan aku saling membantu

Membasuh hati yang pernah pilu

Mungkin akhirnya tak jadi satu

Namun bersorai pernah bertemu

Dan kini sampai pada bait terakhir yang Wilga nyanyikan, lelaki itu fokus pada petikan gitarnya. Dan Wilga tahu makna pada bait terakhir Sorai seperti menceritakan kepasrahan seseorang setelah mati-matian merawat hubungannya yang berujung dengan perpisahan. Dan perpisahan itu beragam konteksnya, untuk sekarang Wilga tak siap dengan adanya perpisahan apalagi jika berpisah dengan gadis dihadapannya. Meski ia sadar ada yang tak bisa dijangkau dari Karin, mungkin karena pahatan Tuhan ini terlalu sempurna untuk di gapai. Tapi ia bertekad untuk mencoba perihal epilog akhir nya bagaimana ia akan serahkan kepada Tuhan dan semesta.

“Di setiap liriknya jadi sebuah alunan yang indah ya, Wil? Banyak makna yang tersirat dari Sorai. Tapi aku gak suka lirik terakhir karna maknanya, itu berhubungan sama perpisahan. Aku gak suka itu.” Tutur Karin setelah Wilga menyelesaikan bait terakhir dari lagu Sorai kepunyaan Nadin Amizah.

“Ya memang benar, kak. Di dalam hubungan itu cuman ada dua epilog, akhir bahagia dan akhir tak bahagia yang berujung dengan perpisahan. Tapi walaupun gak berakhir bahagia, seperti kata Nadin ‘bersorai pernah bertemu’ kan? Seenggaknya pernah merasa bahagia, meski berujung juga.” Wilga tersenyum setelah menjawab penuturan dari gadis kelahiran dua ribu ini lalu menyimpan gitarnya.

“Saya suka semua lagu Nadin Amizah, di setiap lagu dan liriknya banyak makna. Semua lagu Nadin indah untuk didengar, kak. Tapi jangan terlalu terbawa suasana, ya? Anggap aja itu sebuah lagu biasa yang memang hanya untuk didengar, jangan terlalu terpaku dengan maknanya.” Lanjut Wilga, kedua netranya seperti tak pernah bosan menatap pahatan Tuhan paling indah yang ada pada Karin.

“Ada yang lebih indah dari senja, bintang-bintang dan lagu Sorai, kak.”

“Apa itu, Wil?” Tanya Karin, alisnya terangkat menunggu jawaban Wilga.

“Kak Karin, pahatan Tuhan yang paling sempurna lebih dari kata indah. Katherine Gladyna, namanya. Indah bahkan kata indah dan semua kata dalam makna dan artian baik di alam semesta ini gak cukup definisiin indahnya kak Karin.”

Karin hanya menanggapi dengan senyuman, ada perasaan aneh yang kini ia rasakan. Seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutnya, perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Jatuh cinta? Karin terlalu bingung untuk menjawab semua pertanyaan yang berada dibenaknya, lagipula Karin tidak pernah berpikir akan jatuh cinta. Ia tidak mau ujungnya akan jatuh karena cinta, itu terlalu rumit pikirnya.

“Kak Karin itu, seperti Sorai.” Ucap Wilga sembari tersenyum kepada Karin, kini keduanya berada di angkringan. Sementara Wilga tengah memangku gitar pemberian dari mendiang Neneknya.

Sorai?” Tanya Karin bingung, gadis itu menatap lekat netra legam milik Wilga.

“Iya Sorai, lagu kepunyaan dari Nadin Amizah.” Wilga mangangguk dan menjawab pertanyaan Karin, di usap penuh sayang gitarnya itu.

“Aku tau Nadin Amizah tapi belum pernah dengar lagu-lagunya. Memangnya kenapa, Wil?” Lanjut Karin, Wilga nampak berpikir untuk menjawab pertanyaan gadis yang lebih tua darinya itu.

Karena bingung menjawab pertanyaan Karin, akhirnya Wilga memilih menawarkan agar Karin mendengar lagunya secara langsung sebagai jawaban.

“Ingin dengar lagunya, kak?” Ucap Wilga sambil menunggu Karin menjawab.

Karin mengangguk antusias sampai-sampai kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman yang selalu membuat hati Wilga menghangat. “Heem, tapi pengen kamu yang nyanyi untuk aku.”

“Tentu, saya yang akan menyanyikan Sorai kepunyaan Nadin Amizah untuk kak Karin.”

Kini Wilga memposisikan tubuhnya berada di hadapan gadis cantik yang sudah mengambil hatinya ini sejak beberapa bulan lalu, perlahan petikan gitar itu terdengar asing di telinga Karin diiringi suara lembut dari Wilga.

Langit dan laut saling membantu Mencipta awan hujan pun turun Ketika dunia saling membantu Lihat cinta mana yang tak jadi satu

Alunan petikan suara gitar dan suara lembut Wilga seperti melodi indah yang masuk ke indera pendengaran Karin, terdengar syahdu. Senyuman manis tak luntur dari bibir gadis itu.

Karin mengerti di bait lirik pertama ada metafora di dalam kata laut dan langit, yang maknanya dua kesatuan berbeda seperti sebuah hubungan dalam romansa antara kaum Adam dan Hawa yang diharuskan untuk saling membantu satu sama lain. Diibaratkan seperti kesatuan alam yang saling membantu seperti halnya laut dan awan yang membantu menciptakan hujan, alam tampak solid seperti tengah membuat skenarionya. Berbeda dengan manusia yang bervariatif memiliki berbagai sifat yang tak pernah sejalan apalagi saling membantu, bahkan untuk sekadar mengemukakan pendapat saja tak semua sama. Mereka memiliki kebenaran masing-masing, jika itu terlepas dari hubungan antar kekasih. Karin hanya menangkap itu dari bait pertama.

Kau memang manusia sedikit kata Bolehkah aku yang berbicara Kau memang manusia tak kasat rasa Biar aku yang mengemban cinta

Wilga kembali menyanyikan bagian dari reff yang dua kali diulang di dalam lagu Sorai, bagian ini seperti menceritakan tentang kekurangan diri orang lain yang berusaha dilengkapi oleh dirinya sendiri, agar menjadi kesatuan yang utuh dalam sebuah hubungan. Seperti halnya jika pasangan kita tidak banyak bicara atau terkesan memiliki perasaan yang sedikit, harus di pancing dengan obrolan dan rasa sayang lebih. Disetiap hubungan harus ada salah satu yang mengalah, jika hubungan itu ingin berjalan dengan baik.

Karin terdiam setelah mendengar bait dari lirik selanjutnya yang di nyanyikan oleh lelaki dihadapannya ini, ia mengerti sekarang kenapa Wilga menyebut dirinya seperti Sorai, lagu kepunyaan Nadin Amizah. Ia sadar selama ini memang ia tak banyak bicara dan terkesan kaku untuk mengembangkan obrolan bersama Wilga. Berbeda dengan Wilga yang selalu banyak bicara, Karin lebih banyak diam menanggapi dan lelaki yang tengah menyanyikan setiap liriknya dengan indah ini yang selalu membuat suasana hangat dengan pancingan obrolannya. Wilga seperti kebalikan dirinya.

Awan dan alam saling bersentuh

Senyum Karin tak lepas dari paras juwitanya setelah mendengar lanjutan lirik yang kembali Wilga nyanyikan perasaannya mulai menghangat. Dan tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan di dalam benak Wilga, memang benar jika melihat senyum hangat dari Karin membuatnya berpikir. ‘Hati mana yang tak akan jatuh?’ tentu hati Wilga sudah jatuh lebih dulu hanya karna senyum indah milik Karin. Dan ketika melihat itu terasa begitu syahdu dan candu bagi Wilga, rasanya itu senyum paling indah yang pernah ada di alam semesta.

Kau memang manusia sedikit kata Bolehkah aku yang berbicara Kau memang manusia tak kasat rasa Biar aku yang mengemban cinta

Nyanyian Wilga kembali di bagian reff yang sebelumnya ia nyanyikan, bagaimana rasanya jatuh cinta? Itu yang ada dipikiran Karin saat ini. Orang-orang banyak bilang bahwa Karin tak kasat rasa, mungkin ada benarnya. Karena selama ini Karin selalu dibuat kebingungan dengan perasaannya sendiri, ia tak pernah bebas mengekspresikan setiap perasaannya yang ia rasakan. Bagaimana rasanya mengemban cinta? Karin ingin merasakan itu.

Kau dan aku saling membantu Membasuh hati yang pernah pilu Mungkin akhirnya tak jadi satu Namun bersorai pernah bertemu

Dan kini sampai pada bait terakhir yang Wilga nyanyikan, lelaki itu fokus pada petikan gitarnya. Dan Wilga tahu makna pada bait terakhir Sorai seperti menceritakan kepasrahan seseorang setelah mati-matian merawat hubungannya yang berujung dengan perpisahan. Dan perpisahan itu beragam konteksnya, untuk sekarang Wilga tak siap dengan adanya perpisahan apalagi jika berpisah dengan gadis dihadapannya. Meski ia sadar ada yang tak bisa dijangkau dari Karin, mungkin karena pahatan Tuhan ini terlalu sempurna untuk di gapai. Tapi ia bertekad untuk mencoba perihal epilog akhir nya bagaimana ia akan serahkan kepada Tuhan dan semesta.

“Di setiap liriknya jadi sebuah alunan yang indah ya, Wil? Banyak makna yang tersirat dari Sorai. Tapi aku gak suka lirik terakhir karna maknanya, itu berhubungan sama perpisahan. Aku gak suka itu.” Tutur Karin setelah Wilga menyelesaikan bait terakhir dari lagu Sorai kepunyaan Nadin Amizah.

“Ya memang benar, kak. Di dalam hubungan itu cuman ada dua epilog, akhir bahagia dan akhir tak bahagia yang berujung dengan perpisahan. Tapi walaupun gak berakhir bahagia, seperti kata Nadin ‘bersorai pernah bertemu’ kan? Seenggaknya pernah merasa bahagia, meski berujung juga.” Wilga tersenyum setelah menjawab penuturan dari gadis kelahiran dua ribu ini lalu menyimpan gitarnya.

“Saya suka semua lagu Nadin Amizah, di setiap lagu dan liriknya banyak makna. Semua lagu Nadin indah untuk didengar, kak. Tapi jangan terlalu terbawa suasana, ya? Anggap aja itu sebuah lagu biasa yang memang hanya untuk didengar, jangan terlalu terpaku dengan maknanya.” Lanjut Wilga, kedua netranya seperti tak pernah bosan menatap pahatan Tuhan paling indah yang ada pada Karin.

“Ada yang lebih indah dari senja, bintang-bintang dan lagu Sorai, kak.”

“Apa itu, Wil?” Tanya Karin, alisnya terangkat menunggu jawaban Wilga.

“Kak Karin, pahatan Tuhan yang paling sempurna lebih dari kata indah. Katherine Gladyna, namanya. Indah bahkan kata indah dan semua kata dalam makna dan artian baik di alam semesta ini gak cukup definisiin indahnya kak Karin.”

Karin hanya menanggapi dengan senyuman, ada perasaan aneh yang kini ia rasakan. Seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutnya, perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Jatuh cinta? Karin terlalu bingung untuk menjawab semua pertanyaan yang berada dibenaknya, lagipula Karin tidak pernah berpikir akan jatuh cinta. Ia tidak mau ujungnya akan jatuh karena cinta, itu terlalu rumit pikirnya.