Sorak Sorai. (Katanya akhir bahagia.)

Kini keduanya duduk di tepi pantai, seperti biasa hoodie Wilga yang selalu dijadikan alas untuk sang kekasih duduk. Langit jingga yang menemani keduanya serta hamparan pasir dan pasang surut air pantai, baik Wilga maupun Karin keduanya terdiam sibuk dengan pikirannya masing-masing tak ada yang memulai obrolan lebih dulu.

“Indah ya, Rin? Seperti kamu, keindahannya gak pernah bosan untuk dilihat dan gak bisa di definisikan cuman pakai kata indah aja.” Wilga memecahkan keheningan, netra legannya tak lepas menatap sang kekasih.

Karin tak bergeming setelah Wilga melontarkan ucapan itu kepadanya, hanya senyuman manis sebagai jawaban.

“Senja itu indah memang, tapi gak bisa digapai.” Lanjut Wilga.

“Karena itu terlalu jauh untuk dijangkau, Wilga.” Jawab lembut Karin, gadis itu tersenyum hangat.

“Seperti kamu, Rin. Senja seperti kamu, indah tetapi itu mustahil dan terlalu jauh untuk dijangkau seperti apa yang kamu bilang.” Perkataan Wilga berhasil membuat Karin terdiam.

Karin masih terdiam, entah ia tak mengerti dengan maksud ucapan kekasihnya.

Helaan nafas lembut dari lelaki di sampingnya terdengar oleh Karin tapi terasa berbeda seperti helaan nafas gusar, ada apa dengan kekasihnya? Seperti ada hal yang mengganggu pikiran Wilga yang dapat Karin rasakan juga.

Begitu pula dengan perasaan Karin saat ini, ada yang berbeda. Kenapa ia merasa tak senang, padahal melihat langit jingga dan matahari terbenam salah satu kesukaannya yang tidak pernah bosan untuk ia lakukan bersama sang kekasih.

“Semuanya akan baik, Wilga. Aku percaya semuanya akan baik-baik aja. Seperti kata kamu.” Lengan Karin bergerak menggenggam tangan sang kekasih, menyatukan jari jemari keduanya. Karin seperti tengah menenangkan dan mengusir perasaan gundah yang mengganggu Wilga saat ini hanya dengan sentuhan lembut lelaki ini merasa sedikit lega.

“Kata orang kita ini akhir bahagia, Rin. Kamu percaya itu?”

Karin pun mengangguk sebagai jawaban. “Tentu, aku percaya. Memang benar kan akhirnya kita bahagia?”

Wilga kembali menghela nafas lalu tersenyum. “Hum... kamu benar Rin. Kita akhirnya akan bahagia, dengan jalan masing-masing nantinya.” 

Karin mengernyitkan alisnya mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Wilga, banyak pertanyaan dan tanda tanya di kepala Karin sekarang.

“Wil, maksudnya?” 

“Mereka terlalu terburu-buru untuk menyimpulkan akhir bahagia kita, Rin. Yang katanya akhir bahagia itu aku sama kamu, Wilga dan Karin.”

Gadis disampingnya ini seperti belum paham dari perkataan yang Wilga berikan kepadanya, Wilga sadar ucapannya terlalu sulit untuk kekasihnya cerna.

“Ya kan memang apa yang mereka katakan benar, Wil? Seperti sekarang, satu persatu angan-angan dan impian kita terwujud, jadi memang benar itu akhir bahagia untuk kita?” 

“Tapi gak dengan angan-angan kita untuk bersama, aku terlalu gegabah dulu melawan kehendak Tuhan.” Tutur Wilga lembut dan langsung membuat Karin sedikit tertegun, ia masih belum mengerti maksud dari Wilga.

“Kita berjalan terlalu jauh, Rin. Memaksakan kehendak, dunia punya aturan dan norma.” Lanjutnya, Wilga menatap wajah Karin dari samping dengan senyuman hangat yang selalu membuat hati Karin ikut menghangat, tetapi kali ini berbeda. Karin tidak nyaman dengan senyuman itu, aneh. 

“Kita berjuang lawan aturan dan norma itu sama-sama ya, Wil?” Suara lembut Karin terasa seperti menusuk hati Wilga, ia tahu kekasihnya ini tengah menyembunyikan perasaan pilu dengan senyuman yang tak lepas dari paras juwitanya itu.

“Bagaimana dengan aturan yang sudah Tuhan tetapkan, Rin?” Tanya Wilga serius, Karin terdiam gadis itu bingung harus menjawab apa.

“Kita bukan berjuang, kita memaksakan Rin. Memaksa kehendak. Kita terlalu egois terus bertekad untuk berjuang melawan Tuhan, Tuhan itu seperti pijar, Pijaran hidup. Jika nanti salah satu dari kita ada yang mengalah dan meninggalkan Tuhannya. Bagaimana dengan Tuhan kita, Rin? Kamu selalu bilang Gereja rumah ternyaman seperti dekapan Ibumu ketika kesedihan datang, kamu selalu mengadu pada Tuhanmu kan? Begitupun dengan aku. Sajadah selalu jadi tempat yang bikin aku tenang, apa jadinya hidup kita tanpa pijaran hanya karena kita egois memaksakan kehendak? Bagaimana dengan Tuhan kita, jika nanti salah satunya ada yang menyerah?” Lanjutnya.

“Kita berjuang, Wilga. Bukan memaksakan. Kita cari jalan keluarnya, ya?” Tukas Karin, ia merasa tak terima dengan pernyataan dari kekasihnya ini.

“Karin, dengar. Apalagi yang mau kita perjuangin? Sekeras apapun kita berusaha, hasilnya akan sama aja Rin. Tuhan mana lagi yang harus kita lawan? Kita satu amin tapi tak satu iman, kita berbeda Karin.” Wilga membalikan tubuh Karin untuk menghadap ke arahnya, tatapan keduanya bertemu. Sama-sama menyiratkan perasaan sendu.

“Aku menyerah, Rin. Menyerah paling serius, tembok agama bukan untuk dijangkau. Gak ada yang harus ninggalin Tuhannya, Tuhan itu pijaran.” Wilga mengusap pucuk kepala Karin dan mengelus surai hitam milik Karin yang menjadi kesukaannya dengan lembut.

Karin tertawa hambar, pandangannya kosong ke arah hamparan pasir yang terseret ombak. Ruang di hatinya seketika sepi, apa penghuninya sudah pergi? 

“Mereka bohong ya, Wil? Yang katanya akhir bahagia itu kita.” Bibirnya bergetar, Karin merasa sesak hanya sekedar untuk bicara saja rasanya ia tak mampu. Semuanya sulit untuknya, sulit untuk ia cerna dan pahami.

“Bohong, memang bohong nyatanya kita berakhir juga.” Lanjutnya dengan suara sedikit bergetar.

“Rin, perjalanan kita yang sudah sangat terlampau jauh ini selesai sampai disini ya? Maaf jika akhir ceritanya nggak terlalu menyenangkan untuk kamu. Jadi, kamu cari jalan yang baru dengan orang yang baru, buat cerita baru dan cari yang lebih pantas dari aku ya? Karna aku ini nggak layak untuk kamu yang sangat layak di mata Tuhanmu. Rin, hati-hati di jalan semoga menemukan yang lebih layak untuk kamu dengan pijaran yang sama.”

Wilga menatap tangan keduanya yang masih saling bertautan, menggenggam erat satu sama lain seakan tak ingin lepas dan dipisahkan begitu saja.

Karin mengangguk meski hatinya sakit seperti dihantam dengan batu besar, ia tetap memaksakan senyumnya. Senyum paling sempurna dari semua senyum yang pernah ia berikan kepada Wilga. “Terima kasih, ya? Ini ucapan terima kasih yang paling serius untuk segala rasa bahagia dan sakitnya. Wilga, terima kasih.”

Wilga menangis dalam diam, tak bersuara hanya cairan bening yang keluar dari kedua netra legam miliknya yang menandakan bahwa lelaki itu tengah menangis.

Seharusnya Karin juga menangis, tapi Karin terlalu pintar menyembunyikan perasaannya. Ia hanya akan menangis ketika tengah malam, setelah orang-orang tertidur pulas, kamarnya lah yang selalu menjadi saksi betapa lemahnya Karin yang terus berpura-pura menjadi gadis tangguh.

Berbeda dengan Wilga, lelaki itu selalu bebas mengekspresikan perasaan yang ia rasakan. Lagi pula ia bukan lelaki baju besi, yang harus dituntut mempunyai emosi dan perasaan yang stabil setiap saat. Wilga hanya manusia biasa, ia bisa menangis jika dia ingin.

Lalu tangan Karin bergerak mengusap cairan bening yang sialnya terus keluar dari pelupuk mata lelaki kesayangannya ini, tangannya bergerak lembut mengusap pipi Wilga yang sedikit berisi dengan lembut sebelum akhirnya terlepas.

“Maaf, Rin. Maaf, ini permintaan maaf dari segala permintaan maaf yang paling serius, maaf untuk semua rasa sakitnya. Kita kalah, Karin. Semesta terlalu bajingan untuk kita lawan.”

“Entah semesta yang memang bajingan atau kita yang lemah?” Tanya Karin.

“Kita yang lemah, semesta bajingan untuk semua orang. Kita yang terlalu lemah.” Ucapan pelan keluar dari mulut Wilga, senyuman manis Wilga tidak sinkron dengan isi hatinya. Hatinya sakit, seperti tengah tertusuk pisau belati yang amat sangat tajam. Sampai rasa sakitnya saja sudah tak bisa Wilga jabarkan, bahkan kata menyakitkan itu saja tidak cukup. Ini lebih menyakitkan, sakit. 

“Angan-angan kita berhenti sampai disini ya, Wil? Maaf seumpanya untuk segala rasa sakit yang ada. Maaf aku berhenti buat wujudin angan-angan tentang kita.” Karin menatap langit yang awalnya berwarna jingga itu perlahan di gantikan dengan langit malam, terasa hampa dan sepi. Karin tidak suka dengan langit malam. Seperti tengah melambangkan kesedihan yang mendalam.

Seperti saat ini, pikirnya.

“Menyesal?” Netra legam Wilga menatap manik indah Karin, ia tak pernah berbohong Karin memang definisi sempurna. Semua yang ada di dalam raga dan hatinya itu indah, tetapi tidak untuk dijangkau olehnya.

“Untuk apa?” Jawab Karin bingung.

“Untuk semuanya, untuk segala rasa sakit dan waktu yang terbuang sia-sia dan jatuh cinta dengan Wilga Dhartama Januarta. Rin kamu menyesal?” Lanjut Wilga memberi pertanyaan yang paling serius untuk Karin.

Karin menggelengkan kepala sebagai jawaban, gadis itu kembali tersenyum meski netra hitam indahnya tidak melakukan hal serupa. Menyiratkan banyak perasaan yang dipaksa bungkam.

“Sedari awal jatuh cinta sama kamu hal yang gak pernah aku duga, kamu datang seperti kejutan banyak hal yang gak terduga setelah kita bersama dan itu adalah hal yang gak pernah aku sesali bahkan sampai aku mati sekalipun. Aku gak pernah menyesal punya dunia berdua bersama kamu dan mengemban cinta, Wilga.”

Perjalanan dan perjuangan keduanya sudah berakhir, akhir cerita dari pemuda dari tanah Pasundan dan Nona Batavia epilognya sudah selesai. Akhir ceritanya tidak terlalu menyenangkan, ya? Yang katanya mereka berakhir bahagia, nyatanya berakhir nelangsa karena takdir Tuhan yang tak mengizinkan mereka bersama bahkan jauh dari kata bahagia.

“Perjalanan kita terlalu panjang hari ini, waktunya untuk kita pulang. Mari Nona, pemuda ini akan mengantarkan Nona Batavia pulang kembali pada sang Tuan dengan selamat.”

“Kita pulang ketika langit jingga pun digantikan oleh kelabu nya malam, ya? Pulang paling serius, pulang ke rumah masing-masing. Rumah yang kita tinggali bersama sudah runtuh itu karena bentengnya sudah ambruk, bukan begitu?”

Wilga mengangguk lalu terkekeh pelan diikuti dengan Karin karena ucapan sok puitis keduanya barusan.

“Ayo, saya antarkan pulang, kak. Saya bawa kak Karin nya udah terlalu lama, waktunya kita pulang ke rumah masing-masing.” Wilga kembali terkekeh dan Karin hanya tersenyum tipis menyadari panggilan yang biasa Wilga gunakan semasa ia masih menduduki bangku sekolah menengah atas kembali ia gunakan lagi. Sudah hampir dua Tahun lebih itu berlalu, Wilga sudah beranjak menjadi lelaki dewasa sekarang. Ia rindu tapi itu terdengar aneh sekarang, tidak cocok untuk ia gunakan kembali meski Karin sadar jika umurnya lebih tua dari Wilga, ia merasa geli sendiri.

“Kamu udah gak cocok buat manggil aku dengan sebutan ‘kak’, Wilga dulu sama Wilga sekarang udah beda. Ayo pulang ke rumah?” 

Karin beranjak bangun lalu memberikan hoodie yang dijadikan alas untuk ia duduk kepada pemiliknya, keduanya pulang. Pulang yang paling serius, pemuda yang selalu teguh penuh ambisi kini benar-benar kalah dan mengantarkan Nona Batavia-nya pulang kepada sang Tuan. Lebih tepatnya mengembalikan anak gadis kecil yang ia bawa untuk bahagia kembali kepada ayahnya, karena ia gagal. Dan setelahnya ia juga akan pulang ke rumah. Tidak ada rumah yang ditepati bersama lagi, yang dinamakan hubungan dalam ikatan romansa, itu sudah berakhir. Yang ada hanya rumah masing-masing yang dijadikan tempat untuk berpulang sekarang. 

Akhir kisah kita itu sebuah perpisahan ya, Rin? Perpisahan yang paling indah, merelakan satu sama lain. Ikhlas, sadar akan Tuhan yang lebih tahu. Mana yang lebih baik untuk kita. Tapi aku berharap ini bukan epilog akhir dari kita, atau mungkin akan ada epilog lagi setelah ini? Yang menjadi epilog sebenarnya, yang katanya bahagia.