write.as

I always thought it will be difficult to find someone who will love me when I’m always scattered in a thousand pieces

it’s like trying to complete a puzzle when you don’t even know if you have all the right pieces

but then you showed me that every piece doesn’t have to be in place to create something beautiful

that love can exist in the most imperfect, lost and broken people

and I promise you that love will be just as beautiful, if you’re in a thousand pieces or just one.

Dan akhirnya, air mata yang selama satu jam yang lalu saya tahan membuat jalannya sendiri menelusuri wajah saya setelah mendengar janji indah pria itu, senyum mengembang di bibir saya. Dan tidak ada selain kata Amin bergema dalam hati saya sekarang. Indah sekali bagaimana dia mengatakan janjinya di depan khalayak dan bapa pendeta, saya bahagia.

Saya begitu mencintainya…

20 Februari 2019

“Kak mytha ih ayo berangkat”

“lha? kok sama kakak? kamu biasanya kan diantar mami,”

“Mami lagi ada urusan tadi katanya suruh kak mytha nganter, udah cepetan siap-siap nanti aku telat latihannya!”

Dan begitulah bagaimana saya terpaksa mengantar anak 7 tahun yang berstatus adik kecil saya ini ke tempat dia melatih kemampuannya berenang. Sebuah waterpark di tengah kota, malas sekali sebenarnya. Seharusnya hari ini saya bisa menikmati bagaimana rasanya bisa seharian merebahkan diri di kasur tercinta. ternyata, tidak semudah itu walupun tidak ada kerjaan yang terburu untuk diselesaikan tapi masih ada kejutan yang membuat libur saya kali ini tetap saja menikmati suasana jalanan yang tidak ramai tidak juga bisa dibilang sepi.

“kamu nanti kakak jemput jam berapa?” tanya saya kemudian setelah memasuki lahan parkir yang tersedia

“ya ga usah di jemput”

akhirnya….

“kan kakak nemenin aku sampai selesai”

oh tidak…

“ngapain harus nemenin sih? kamu di dalam juga ada pelatih, ada yang ngejagain pasti terus ngapain perlu ditemenin kan nanti bisa telfon kalau udah selesai” oceh saya setelah mematikan mesin mobil

Maksud saya, untuk apa saya harus duduk diam di depan kolam renang di tempat yang disediakan untuk para penunggu anak-anak yang biasanya latihan. Selain saya tidak bisa begitu dengan mudah menjalin keakraban, saya yakin yang berada di tempat itu sebagian besar ibu-ibu sosialita yang begitu antusias jika membahas tentang sesuatu diluar ilmu saya, begitulah. simplenya, saya malas.

“Mami biasanya nemenin kak, aneh aja kalau ga ada yang nemenin, akunya jadi ga percaya diri tau. Nanti ada kakaknya Alyssa kok yang kayaknya seumuran sama kak mytha jadi bisa gabung sama dia aja”

Seakan bisa membaca alasan yang ada di pikiran saya, anak kecil ini begitu mudah mempengaruhi saya untuk ikut turun dari mobil dan mengantarnya latihan sekaligus menemaninya sampai sesi latihan berakhir.

Setelah berbasa-basi dengan pelatih renang Sinta, adik kecil saya, secepat itu saya mencari tempat untuk duduk yang tidak begitu dekat dengan ibu-ibu yang tadi saya imajinasikan. Sesi latihan berlangsung selama 2 jam. yang bisa saya lakukan sekarang hanya menatap ponsel dan sesekali memperhatikan bagaimana perkembangan gerakan renang Sinta.

“gue boleh duduk sini kan?”

Suara itu membuat fokus saya beralih, suara serak husky yang ditimbulkan membuat saya tidak sadar tersenyum dan mengangguk tanda mempersilahkan.

“Arga”

“hah?”

“iya kenalin nama gue Arga, nama lo siapa?”

“Oh, Mytha”

Begitu perkenalan singkat kami yang dilanjutkan dengan obrolan-obrolan kecil tidak jauh dari Sinta dan Alyssa, adik nya. Dia pria yang mengasyikkan, tidak terlalu serius jika membangun sebuah obrolan dan mungkin mengerti apa yang harus dibicarakan di suatu tempat yang seperti ini. Jujur, saya tidak begitu kecewa mengantar Sinta hari ini, bertemu Arga salah satu alasan kekecewaan tadi hilang.

“Kak Arga sampe ketemu hari sabtu!” Pamit Sinta pada arga setelah berpelukan dengan Alyssa tentunya, iya mereka begitu dekat satu sama lain.

Dan Arga melempar senyumnya untuk saya, untuk mengatakan sampai jumpa.

“Kak Arga ganteng kan?” todong Sinta sesaat setelah memasang seatbeltnya saya hanya menatapnya dengan penuh heran.

“Jadi, mulai sekarang kak mytha aja yang nganterin Sinta les renang ya? Kan lumayan bisa ketemu Kak Arga.” Katanya mengguncang badan saya tanda memaksa.

dan diakhiri anggukan saya yang tidak terpaksa.

Memang benar, setelah hari itu saya rutin nganterin sinta untuk les renang, mami saja sampai heran bagaimana begitu bersemangatnya saya di hari selasa dan sabtu. Saya bisa ketemu Arga. Tidak perlu ada yang disembunyikan, bagaimana Arga begitu merubah pandangan saya terhadap sekeliling. Bagaimana pernyataan-pernyataan yang keluar dari mulutnya terasa begitu jelas dan beralasan, tak sanggup dibantah atau saya mungkin sudah terlalu dalam menyukainya, menyukai semua yang dia tampilkan jika bertemu dengan saya.

Kami bertukar nomor telefon, melanjutkan obrolan yang selalu tidak ada ujung tetapi sudah harus dihentikan karna sesi latihan sinta dan Alyssa sudah berakhir. begitu menyenangkan bagaimana obrolan dengan Arga menjadi alasan hari saya lebih baik daripada sebelumnya. Aneh sekali.

“kamu besok ada acara myth?” tanyanya di sambungan telfon kami malam ini,

“ga ada sih, kenapa?”

“aku jemput jam 4 ya, kamu kasih alamat kamu kita jalan.”

Tidak ada penolakan dari saya. Sore itu, Arga benar menjemput saya jam empat lebih sepuluh. Katanya, dia harus membeli bensin terlebih dahulu saat perjalanan ke rumah saya. Tidak ada protes yang saya layangkan, apalagi dia datang dengan begitu tampannya kali ini, iya sangat tampan.

“mau berangkat sekarang?” tanya saya

“Mami papi kamu ada di rumah kan? Aku mau pamit dulu, mau ngajak anak gadisnya jalan” jawabnya singkat lalu tersenyum menggoda.

Setelah berpamitan dengan mami dan papi bonus dengan Sinta yang memandang saya begitu menggoda layaknya dia sedang berbicara “Kak Mytha, semoga cepat jadian ya”. Iya, itu imajinasi dalam pikiran saya saja mungkin.

“Mau kemana?”

“Sebenarnya sih aku ga punya rencana yang pasti hehe, kamu mau kemana? Nonton? Makan? Main? atau mau muterin Jakarta aja?” Kata arga agak terkekeh di akhir masih fokus dengan kemudinya.

Lucu sekali, rasanya berlama-lama duduk di mobil berdua dengannya saja cukup buat saya. Tidak, tidak mungkin fakta itu saya utarakan saat ini di depannya langsung, bisa besar kepala dia nanti. Tapi, memang benar saya menyukainya. Hari itu kami habiskan dengan berbagai macam kegiatan, mulai dengan bermain di timezone bergabung dengan anak-anak kecil dan remaja lainnya, mencoba berbagai macam makanan dengan nama yang tidak biasa, dan makan malam di tempat favoritnya, itu yang dia bilang ke saya.

Seperti belum ingin menyudahi hari, Arga membelokkan setirnya menuju kawasan perumahan yang menampilkan sebuah Taman yang cukup luas dan mulai dipenuhi dengan orang-orang yang bersantai disana.

“Yuk turun, disana ada jual roti bakar enak” katanya sambil membuka pintu mobil

saya mengikuti, setelahnya kita hanya duduk di salah satu bangku panjang yang kebetulan sekali belum ada penghuninya, sambil menunggu roti bakar pesanan arga tadi.

“makin malam makin ramai ya?”

“iya, disini kayak tempat nongkrong gitu jadinya. gratis sih nyaman lagi.”

Saya diam,

“oh….myth kamu ga suka tempat ramai ya?” tanyanya

“iya, malah ga nyaman” jawab saya jujur

Saya tidak suka dengan keramaian, itu juga alasan kenapa saya bekerja di tempat yang bisa memberi saya 1 ruangan tersendiri tanpa bilik-bilik yang membuat saya tidak nyaman. Saya lebih suka berdiam diri di rumah ketika libur datang. Lebih suka memesan makanan, daripada harus datang dan menyantapnya langsung di tempat. Saya suka ketika saya sendiri, tapi mungkin sekarang tidak lagi.

“yaudah nanti abis roti bakarnya dianter, kita balik ke mobil aja kalau gitu ya. atau kamu mau ke mobil duluan?” dia menoleh ke arah saya, terlihat begitu memikirkan dengan pernyataan jujur saya tadi.

“kamu gak papa kalo kita balik?” saya balik bertanya

“ya gppa lah, selama kamu nyaman aku juga jadi nyaman” jawabnya tanpa jeda.

Begitulah malam kita akhiri berdua di mobil dengan sebungkus roti bakar kesukaannya, dan suasana yang menjadi kenyamanan untuk saya.

22 Mei 2019

3 bulan setelah pertemuan saya dengan Arga dan 3 bulan berjalan saya mengenal Arga. Banyak sekali yang saya kagumi dari sosok dia. Bagaimana dia juga begitu fokus dengan kerjanya di salah satu perusahaan saham terkenal. Bagaimana dia begitu sopan dengan siapapun, dan yang terpenting bagaimana dia begitu sangat menyayangi keluarganya.

Kami menjadi lebih dekat, banyak sekali obrolan yang saya lebih suka membicarakannya dengan Arga, kami jadi sering sekali jalan berdua atau sekedar Arga yang menjemput saya di tempat kerja, makan malam bersama dan kembali pulang. Saya beberapa kali bertemu dengan keluarganya begitupun sebaliknya walaupun hanya sekedar bertukar sapa dan senyum sebelum melanjutkan rencana kami sendiri.

“Myth, jadian yuk?”

pertanyaan itu muncul dalam malam kesekian yang kami habiskan bersama di dalam mobil dan tawa terdengar setelahnya, begitu cara dia menyampaikan perasaannya yang sebenarnya juga saya tunggu. Saya pernah bilang bahwa saya begitu menyukainya bukan? Jadi, mungkin sudah bisa ditebak apa jawaban dari pertanyaan Arga diatas. Bibirnya menyapa bibir saya setelah itu, menyatukan perasaan kami. Ah, hari saya akan menjadi lebih menyenangkan setelah ini,

Tidak banyak yang berubah, dia tetap Arga yang sama hanya saja lebih terasa bahwa dia menunjukkan rasa sayangnya terhadap saya. Saya menerimanya, dengan sangat senang hati. Dia selalu bertanya telebih dahulu apa yang saya inginkan, atau memberi pernyataan apa yang dia inginkan, dan dia ingin itu dilakukan bersama saya.

“Makan seafood yuk?”

“Mythaaaa, jangan makan pedes terus!”

“beli roti bakar taman komplek yang waktu itu yuk?”

“kamu kelar jam berapa yang? aku udah kelar, aku otw kantor kamu ya”

atau

“kamu lagi mau makan apa?”

“mytha kangen”

“aku di depan rumah kamu, keluar cepet mau ngasih martabak”

Ya itu Arga, pria yang saya pilih mengisi hari-hari saya. Banyak sekali kejutan demi kejutan yang dia berikan. Misalnya, waktu itu sedang jam makan siang dan tiba-tiba dia muncul dengan sekotak pizza favorit saya, memberikannya dan langsung hilang setelahnya karna ada meeting yang harus dia kejar dalam 15 menit. Atau saat dia tiba-tiba menelfon saya jam dua belas malam, meminta saya keluar rumah hanya untuk memberi sebuah buku catatan bergambar abstrak dengan hiasan warna pink pastel dipadu biru muda yang katanya dia beli karna keinget saya. Dan atau saat dia berkata di sambungan telfon kalau dia membeli unit apartment untuk dirinya sendiri.

Dan disini kami, di tempat barunya.

“emang kenapa sih mau pindah? toh rumah kamu juga ga jauh dari kantor?” saya bertanya dengan fokus yang masih tertaut pada dua gelas kopi di hadapan saya.

“biar bisa berduaan sama kamu lebih lama, kalo di rumah kamu atau rumah aku kan ada anak kecil ga baik” jawabnya sambil tertawa

Tapi juga katanya itu alasan yang paling utama, selain alasan kebutuhan yang mendesaknya untuk membeli apartement ini. Katanya, dia sudah bosan berduaan di dalam mobil tidak luas. Saya hanya tertawa mendengarnya.

24 Desember 2019

“Sayang, rencana kamu tahun depan apa?” tanya Arga selepas misa tengah malam kami berdua.

“banyak, mau beli rumah mau naik jabatan, mau lebih baik, mau jadi lebih patuh sama Tuhan banyak banget ga” jawab saya,

“Mau nikah sama aku masuk jadi salah satu rencana kamu ga?”

“it always be my plan since first, I think.”

“oke deal, lets do it next year.”

“Aminn”

percakapan itu usai, kami kembali menyibukkan diri dengan memasang beberapa hiasan di apartement arga untuk perayaan natal esok hari. Dalam diam, semua itu saya aminkan. Semoga saya dan Arga bisa menjadi pasangan lebih baik di hadapan Tuhan dalam ikatan yang disucikan.

Kalau saya pernah berkata bahwa Arga adalah cermin dari hari-hari yang begitu baik dalam kehidupan saya, saya serius. Bagaimana saya tidak pernah lupa bersyukur dipertemukan Tuhan dengan sosok seperti Arga dalam hidup saya. Menjadi yang paling berharga saat ini.

22 Februari 2020

Saya dan Arga bukan pasangan yang begitu dieluh-eluhkan. bukan pasangan yang tidak pernah disinggahi rasa cemburu, emosi, marah dan sedih. Semua kami alami begitu saja, kami bertarung dengan besarnya ego kami berdua, kadang kami tidak mengobrol selama sepekan hanya karna menganggap diri masing-masing yang paling benar. Atau saat kami dalam keadaan tidak bisa memahami kesibukan masing-masing. Lalu pertengkaran itu tidak terhindarkan, tidak ada yang mengalah, tidak ada yang ingin mengutarakan maaf terlebih dahulu. Begitu kami saat sedang tidak bersikap dewasa.

Tapi kali ini Arga yang mengubur dalam semua egonya meredam itu semua dan menemui saya terlebih dahulu.

“Maaf,” dia memulai “aku sudah sedikit keterlaluan kemarin tidak sengaja menaikkan nada bicaraku saat itu.”

“I did wrong also, ga seharusnya aku marah karna hal kecil kayak gitu.”

dan untuk kesekian kalinya kami berdamai.

Tapi tidak setelahnya, begitu sulit untuk berdamai dengan semua yang saya dan dia akan hadapi.

20 Maret 2020

“aku mau dengar, janji pernikahan yang kamu buat kemarin. cepat bilang”

“Janji pernikahan hanya dikatakan saat kita berada di altar pernikahan myth. So lets wait.”

“Arga…”

“No…”

“Please, aku mau dengar.”

Tidak menjawab dia hanya mengeluarkan buku catatan yang sama dengan buku catatan yang dia berikan saat tengah malam, waktu itu. Dia membaca kalimat demi kalimat janji yang dia buat untuk saya.

“Besok, kamu ulangi lagi janji ini di depan semua tamu yang hadir dan bapa pendeta. Tanpa kamu ubah dan tanpa ada tambahan apapun. Ini sudah sempurna.” kata saya dengan senyum,

Dia mengangguk.

22 Maret 2020

………….. and I promise you that love will be just as beautiful, if you’re in a thousand pieces or just one. ………….

Dan Arga menepati janjinya, dia mengucapkan semua yang dia tulis dan ucapkan kepada saya, di depan keluarga, teman dan di depan saya. Arga begitu lantang mengucapnya, terlihat satu tetes air mata yang saya yakini itu pertanda kebahagiaan menetes dari matanya.

Arga begitu tampan dibalut jas berwarna abu dan style rambut yang begitu rapi, dia begitu tampan. Begitu serasi dengan yang berada di sampingnya, menjadi istrinya kini, Tania saya mengenalnya.

Iya, Arga mewujudkan impiannya di tahun ini untuk menikah. Bukan dengan saya, tapi dengan Tania, pilihan ayahnya yang tidak bisa dia tolak. Dan saya harus menerimanya. Saya dan Arga berbicara tentang ini 2 minggu yang lalu, seminggu setelah ayah yang dicintainya pergi untuk selamanya.

Tidak ada yang mudah untuk saya, begitupun untuk Arga. Dia tidak pernah mau semua terjadi seperti ini, sama halnya saya yang tidak sepenuhnya percaya rencana Tuhan begitu tidak bisa saya terima. Tapi kami mengerti, setiap yang kami usahakan tidak akan pernah berarti jika Tuhan tidak mengijinkan. Kami mengakhiri segalanya.

Di tempat ini, tempat yang menjadi impian saya dan Arga, kini menjadi tempat Arga dan kehidupan barunya bersama Tania dimulai.

Arga, terimakasih atas semua yang kamu lakukan untuk memberi saya alasan bahagia setiap harinya. Terimakasih telah membacakan janji itu walau tidak untuk hidup bersama saya. Saya bahagia, dan kamu juga harus merasakan itu dengan wanita yang kamu ikat menjadi seorang istri di hadapan Tuhan.

Tidak, buat saya mengikhlaskan tidak pernah menjadi tepat, karena sebenarnya Arga tidak pernah sepenuhnya menjadi milik saya.

10.30 PM Arga sent you a message. “Terimakasih telah datang, terimakasih untuk tidak menangis. Aku berharap kamu selalu bahagia myth. I love you.”

‘Saya mencintai kamu, Arga’ Batin saya berteriak.