wqwqwq12

Winter membuka matanya perlahan. Kemarin sore kedua orang tuanya pulang; sudah seminggu mereka tinggal bersama Winter untuk “menghibur” anaknya yang sedang gundah gulana karena permasalahan kekasihnya.

Dua hari lalu, Krystal memberi kabar bahwa Reinhart sudah berhasil ditangkap setelah sebelumnya disembunyikan oleh orang tuanya di rumah sakit. Harapan mereka tentu saja siapapun yang terlibat harus segera diberikan hukuman yang setimpal.

“Sepi juga rumah kalo gada Umma sama Mamah,” gumam Winter pada dirinya sendiri. Setelah melakukan rutinitas pagi seperti mencuci muka dan sikat gigi, dirinya melangkah ke dapur. Sepertinya Mamahnya meninggalkan beberapa bahan makanan karena prihatin melihat isi kulkas anaknya yang sangat sepi.

Betapa kagetnya Winter ketika melihat sosok lain di dapurnya, terlihat sibuk dengan pancake yang barusan dia buat. Winter mengucek matanya berkali-kali, memastikan bahwa dirinya tidak sedang bermimpi

“Karina…?”

Yang dipanggil Namanya menghentikan aktivitasnya, meletakkan piringan pancake terakhir dan tersenyum kecil kepada yang punya rumah

“Pagi, Winter.”

Winter bergegas menghampiri Karina. Terdiam sesaat sebelum menangkup kedua pipi gadis berambut hitam panjang itu. Pandangan mata Winter mulai kabur, air matanya menyeruak ingin keluar. Jemari Winter bergetar ketika mulai menelusuri wajah Karina, mengingat perlahan betapa cantiknya gadis itu.

“Karina…”

“Iya Winter, Karina pulang. Karinamu sudah di sini…”

Winter menarik kekasih hatinya itu ke dalam pelukan yang erat, seolah tidak akan melepaskan Karina lagi. Mata Karina mulai memanas, dalam pelukan Winter, dirinya menangis sesenggukan.

“Kok nangis…” Winter melonggarkan pelukannya dan mengusap air mata Karina dengan jempolnya. Wajah mereka begitu dekat, bahkan Karina bisa merasakan hembusan nafas Winter yang memburu. Tanpa ragu, Karina mengecup bibir yang dia rindukan. Kecupan-kecupan kecil tersebut berubah menjadi lumatan yang sangat intim. Winter menarik pinggang Karina dan memeluknya erat, memperdalam ciuman mereka. Winter makin mendominasi dengan mengangkat tubuh Karina ke meja makan, terus mecumbui bibir merah kekasihnya itu. Tangannya tidak bisa diam, terus menjelajahi setiap lekuk tubuh indah Karina.

“Buseet!” celetuk Jaehyun, mengagetkan kedua insan yang masih mabuk dengan ciuman panas mereka. Karina reflek membenamkan wajahnya ke dalam ceruk leher Winter; pipinya memerah karena malu. Sedangkan Winter berdecak dan memutar bola matanya malas

“Ganggu aja sih.”

“Hey, udah jam 6 pagi ya. Gue mau berangkat kerja ini mau sararan, eh ada yang udah makan duluan,” goda Jaehyun, membuat wajah

Karina semakin memerah, “Tenang aja, gue tau lo ga tahan tapi bentar ya, gue mau sarapan trus berangkat kerja.”

Winter mengangguk dan membantu Karina untuk turun dari meja serta merapikan bajunya yang entah sudah Winter apakan, untung saja belum terlepas.

Setelahnya, mereka bertiga menikmati sarapan dengan candaan dari Jaehyun yang pastinya tidak akan bisa dilupakan olehnya begitu saja.

Rumah kediaman keluarga Karina masih sama seperti dulu ketika mereka SMA. Ryujin tentu saja ingat, dirinya sering mengantarkan Winter ke rumah ini.

Senyuman Irene tidak selebar biasanya. Wajah cantiknya terlihat lelah, Ryujin, Ning, Lia dan Giselle tau itu. Lia mengirimkan pesan semalam, memastikan apakah Karina mau menemui mereka lagi. Namun jawaban Karina melalui Irene masih sama, tidak bisa. Akhirnya, misi mereka satu, jika pun Karina tidak mau lagi bertemu dengan mereka. Setidaknya mereka mau mengatakan perpisahan yang baik. Setidaknya ada selamat tinggal diantara mereka semua.

“Jangan dipaksa ya?” pesan Irene, “Dia sudah mulai stabil akhir-akhir ini.”

Pada akhirnya keempat orang itu berdiri di depan pintu kamar Karina. Lia mengetuk pintu, namun sebelum langkah kaki Karina berhenti di balik daun pintu, Giselle sudah menyahut.

“Ini kami, Rin,” sahut Giselle sedikit keras, “Lo gaperlu keluar kamar. Dengerin kami ya?”

Keheningan menyelimuti rumah Karina. Setelah terdiam sekitar dua menit, Giselle membuka pembicaraan.

“Gue di sini mau ngomong terimakasih karena Lo udah mau jadi temen gue sejak SMA,” kata Giselle, berhenti sejenak untuk menahan air matanya, “Lo tau kan gue baru pindah dari Jepang, tapi lo ga malu buat ngajak ngomong gue dengan Bahasa Inggris patah-patah. Lo juga yang bantu gue dari awal buat adaptasi sama sekolah. Kalo gada lo, gue gabisa bayangin gimana gue bisa betah di Indonesia.”

Giselle menghela nafas panjang

“Lo temen pertama gue, Rin. Dan gue bersyukur itu elo.”

“Kita kenal sejak SD ga sih?” Lia tertawa sedikit hambar setelah Giselle mulai menangis sesenggukan

“Gue emang sok akrab soalnya kita OSIS pas SMP. Gue ngajak lo ngobrol dan nyambung terus. Waktu kita SMA, gue ngerasa lo makin baik dan pinter. Gue yang temen lo aja selalu bangga kalo nyokap cerita soal prestasi lo. Waktu lo masuk FK, ga cuma keluarga lo, keluarga gue pun ikut bangga.”

Lia mulai merasakan air matanya mengalir deras

“Lo selalu jadi orang yang sedia gue curhatin sampe malem kalo gue patah hati. Lo hampir gapernah bilang enggak kalo gue minta tolong. Ga usah diingetin pun, gue selalu bangga dan seneng punya temen kaya lo, Rin.”

Lia membiarkan suaranya pecah di akhir. Air matanya sudah tidak lagi terbendung.

“Kak Rina,” Ning mulai bersuara walaupun sudah serak

“Kakak tau sendiri kenapa gue susah awalnya adaptasi di SMA. Harusnya gue masih SMP, banyak yang nyinyir ke gue. Tapi Kak Rina ngajak bicara di perpustakaan, ngobrol santai gara-gara gue baca buku yang pengen kakak pinjem. Kakak gapernah ngeremehin gue yang lebih muda. Bahkan ketika kita masuk FK, kemudian kakak jadi duta kampus, kakak gapernah berubah buat ngebimbing gue. Makasih kak, gue bisa semakin PD ngadepin semuanya.”

Ryujjn menepuk punggung Ning pelan, membiarkan kekasihnya menangis sesenggukan.

“Halo Karina,” Ryujin mulai berbicara, “Gue di sini ga ngewakilin temen gue. Gue ngomong sebagai gue sendiri. Gue cuma mau bilang thanks a lot ya Rin. Berkat lo jadi pacar temen gue, dia banyak berubah ke arah yang lebih baik. Gue masih inget susahnya ngendaliin emosi dia waktu SMP. Gue masih inget juga kalo gue harus siap kena pukul dia kalo lagi ngamuk ga terkendali. Tapi lo hadir buat dia. Lo bikin dia lebih tenang, lo bikin dia ngerasa dirinya berharga.”

Ryujin menarik nafas panjang

“Nyokap gue, Tante Jess dan Tante Taeyeon juga merasa beruntung ada kehadiran lo selama ini buat Winter. Lo gausah khawatir, dia emang sedih banget karena kekasihnya tidak lagi bisa ditemui, tapi seenggaknya emosi dia terkontrol dengan baik. Sekali lagi thanks, Rin. Kalo misal emang ini akhir dari seluruh cerita lo sama temen gue, dan lo sama sahabat-sahabat lo, gue cuma minta lo ga nyesel sama keputusan lo. Karena apapun itu, lo itu pantes disayang banyak orang. Lo bukan se-worthless seperti apa yang lo pikirin. Lo berhak bahagia, Rin.”

Setelah Ryujin mengakhirinya, dia mengajak ketiga sahabat itu untuk pulang. Semua udah selese, katanya.

Baru beberapa langkah menuju tangga turun, mereka mendengar kenop pintu diputar. Serasa seperti slow-motion di film, mereka berempat menoleh dan mendapati Karina membuka pintu kamarnya.

Gadis berambut hitam panjang itu terlihat kurus dan lesu, namun sorot matanya masih sama.

“Jangan... jangan pergi...” Karina seperti berbisik namun mereka masih bisa mendengarkannya, “Gue... Maafin gue...”

Satu hal yang kemudian terjadi, Giselle melompat dan memeluk sahabatnya erat, diikuti oleh Lia dan Ning, membuat mereka berempat menangis di pintu kamar Karina.

Sudah memasuki hari ketiga Karina berada di ruang inap rumah sakit. Dan sudah tiga hari ini pula Winter terus berusaha menemui kekasihnya itu, namun selalu gagal.

Hari ini, Winter ditemani oleh Lia menunggu di bangku panjang yang terletak di selasar rumah sakit. Menunggu kabar apakah mereka bisa bertemu dengan Karina hari ini.

Tak lama kemudian, Wendy membuka pintu. Winter dan Lia langsung bergegas berdiri dan menghampiri wanita paruh baya yang terlihat cukup lelah itu.

“Winter, Lia...” panggil Wendy lirih, “Maafin Karina ya?”

Bagai petir di siang bolong, kata-kata Wendy barusan mengagetkan keduanya.

“Karina minta maaf uda bikin kalian semua kerepotan dengan tingkahnya yang tidak mau menuruti kata-kata kalian dari awal. Karina ngerasa ga pantes punya temen sebaik kalian,” Wendy menghela nafas panjang sebelum melanjutkan penjelasannya, “Winter, Karina pengen kamu bisa cari yang lebih baik darinya. Dia minta maaf karena udah bikin kamu repot terus dan nurutin dia.”

“Aku gapernah ngerasa repot atau keberatan, Tante,” jawab Winter, “Aku... cuma mau Karina.”

“Maaf, Winter. Tante gabisa berbuag banyak.”

Setelah terdiam beberapa saat, Lia akhirnya menepuk pundak temannya itu. Mengajaknya pulang.

Winter hanya bisa menurutinya, terlebih tadi Wendy juga sempat mengatakan bahwa akan membawa Karina pulang untuk sementara waktu.

“Tante... Bilangin Karina ya? Aku sayang dia.”

****

“Ih anjing kok gitu sih?” Jeno mengacak rambutnya gusar. Setelah Winter dan Lia memutuskan pulang, Lia meminta Winter untuk menyetir ke arah kontrakan teman-temannya karena sudah terlihat sangat kacau. Baru dari kontrakan, Lia bertemu Shuhua dan memintanya mengantarkan pulang sambil menceritakan sesuatu yang terjadi di rumah sakit.

“Bangsat Dominic bangsat!” Mark memukul punggung sofa dengan sengaja. Mereka berlima sedang berkumpul di ruang tengah, sedangkan Winter hanya menyandarkan diri di pintu kaca yang membatasi ruang tengah dan halaman samping rumah kontrakan.

“Gue salah apa sih?” bisik Winter pelan ketika Ryujin datang dan duduk di sampingnya

“Gue apa ga pantes sama Karina sampai dunia giniin gue?”

Perlahan, air mata menetes dan mengalir deras dari mata Winter. Sebuah pemandangan yang tidak pernah dibayangkan oleh teman-temannya.

Winter Kim, sosok yang selalu terlihat dingin dan kuat, sekarang menangis pilu di pelukan temannya sambil memanggil nama kekasihnya.

Nafas Winter memburu, chat dari Giselle membuatnya tidak memperdulikan teriakan dari perawat yang mengingatkannya untuk tidak berlarian di lorong.

Di kepalanya hanya ada Karina. Karina sudah sadar. Karinanya sudah bangun.

Namun keinginan untuk segera memeluk kekasih hatinya harus ditahan ketika Giselle menyambutnya dengan wajah yang pucat dan gusar.

“Gis?” Winter memegang bahu sahabat karib Karina itu, “Ada apa? Gimana Karina?”

“Dia histeris ketika membuka mata,” Giselle menarik nafas panjang, terlihat berat sekali untuk melanjutkan penjelasannya, “Gada yang bisa deketin dia. Bahkan tadi dokter sama suster awalnya ga bisa. Pelan-pelan mereka bisa masuk. Tante Wendy dan Tante Irene tadi juga sempet gaboleh masuk, baru bisa ketika dokter ngebujuk Karina.”

“Kenapa...” suara Winter mulai bergetar

“Dia... dia takut. Kata dokter trauma karena kemarin. Walaupun hasil visum membuktikan kalo Karina ga sampe diperkosa, tapi Domi udah nyentuh dia.”

Winter mengepalkan tangannya erat, tidak peduli dengan luka yang masih segar di tangannya. Ingin rasanya dia meluapkan emosinya dengan memukul apapun.

“Winter,” suara Irene membuyarkan suara-suara berisik di kepala Winter. Gadis itu menoleh ke wanita paruh baya yang terlihat lelah itu.

“Tante...” Winter hanya bisa terdiam ketika Irene memeluknya erat.

“Maafin Karina ya? Kata dokter dia butuh waktu. Maafin dia ya?”

Winter mengangguk dan melepaskan pelukannya dengan pelan

“Iya Tante, bilangin Karina ya? Aku sayang dia.”

Kayna selalu berpikir bahwa dia adalah anak yang tidak diinginkan. Berjarak 10 tahun dengan kakaknya, Arin, dia jauh lebih merasa tersiksa dibandingkan bahagia.

Walaupun Arin selalu membelanya, namun kakaknya harus kuliah di kedokteran di kota lain, hampir 10 jam jaraknya jika menggunakan kereta eksekutif dari kota asalnya, Kayna harus menerima bahwa Bundanya hanya bangga terhadap Arin.

Kayna masih ingat ketika dia menerima rapor semester 1 di kelas I, dia mendapatkan peringkat 3. Menurut wali kelasnya, Kayna sangat pintar, hanya saja kurang di pelajaran kesenian dan olahraga sehingga nilainya ada di peringkat 3 besar. Itu merupakan rapor pertama Kayna, namun bukan kenangan indah yang dia dapatkan, namun celetukan Bundanya ketika pengambilan rapor bahwa Kak Arin selalu mendapatkan peringkat 1.

Ayah Kayna pernah kelimpungan mencari Kayna setelah penerimaan rapor pada kelas V. Pada saat itu Kayna turun ke peringkat 2 setelah selama ini berada di peringkat 1 sejak semester 2 kelas I. Ternyata gadis kecil itu meringkuk ketakutan di gudang olahraga sampai sore karena takut pulang.

Pernah suatu hari Kayna pingsan karena terpapar panas pada pelajaran olahraga di kelas VIII. Setelah dibawa ke rumah sakit, ternyata ditemukan Karina memiliki fisik yang lemah dan tekanan darah yang cenderung rendah. Hal ini yang membuat Kayna jarang bisa mendapatkan nilai bagus dalam olahraga. Waktu itu bukannya Kayna beristirahat, malah dia merasa bersalah karena nilai Olahraganya akan rendah sehingga dia belajar mati-matian untuk pelajaran lain.

Kayna Sekarningrat, 17 tahun, Wakil Ketua Osis SMA SM Internasional, selalu hidup di bawah bayang-bayang kakaknya, Arina Sekar Ayu.

Dalam ingatan Wira, Ummanya merupakan sosok yang seperti rumah baginya. Wira kecil selalu bersama Ummanya, baik ketika dia jatuh dari sepeda, baik ketika dia berebut permen dengan tetangganya, ataupun ketika dia masuk ke sekolah dasar di hari pertama.

Namun ingatan itupun serasa sedikit kabur dengan ingatan ketika Umma dan Maminya saling berteriak di suatu malam, membuat Wira kecil mengintip penuh ketakutan dari balik pintu kamarnya.

Ataupun tertumpuk dengan ingatan ketika Tante Krystal menjemputnya dari SD dan mengarah ke rumah sakit, mendapati Maminya terbaring lemas dan membisikkan padanya bahwa dia tidak jadi memiliki adik kecil yang lucu.

Tidak lama kemudian, Wira mendapati bahwa Ummanya pergi.

Dia ingat sore sebelumnya Tante Amber membawanya ke mobil yang terparkir di tempat yang sering didatangi Maminya ketika bekerja, lalu mereka pulang setelah Tante Krystal menelepon. Lalu, Ummanya pergi. Memeluknya erat di ambang pintu dan berpesan untuk menjaga Maminya.

Wirananta Gloria Wijaya, 10 tahun, mendapati bahwa Ummanya pergi dan tidak pernah kembali.

Mungkin perginya Umma membuat dunianya berputar dengan cepat. Tiba-tiba Maminya mengajak Wira kecil pindah ke apartemen, bukan lagi rumah dengan halaman kecil penuh rumput. Maminya juga menjadi sering bersamanya, terkadang bahkan tertidur di kasur Wira ketika menunggu Wira yang belajar atau bermain game. Guratan lelah selalu terlihat di wajah Maminya, namun beliau tetap tersenyum ketika Wira bercerita mengenai hari-harinya di sekolah. Ketika Wira lebih memilih baseball dan padus daripada harus les akademik, Maminya memberikan pilihan itu.

Pada usia 17 tahun, Wira menyadari bahwa Maminya seperti orang lain dibandingkan dengan 7 tahun yang lalu. Berbeda dengan ingatan Wira ketika Ummanya masih bersama mereka.

Walaupun ini adalah hal yang bagus, tapi di hati yang terdalam, Wira merindukan Ummanya. Semua foto dan kenangan mengenai Umma, diletakkan pada sebuah ruangan dengan lemari besar di apartemen mereka. Maminya memberikan kebebasan untuk Wira melihat itu semua, tapi tidak bersama Maminya. Sehingga menurut Wira, hanya dia yang merindukan Ummanya.

cw// fight, blood

Kekompakan mereka berenam sudah tidak perlu diragukan lagi; terutama berkaitan dengan baku-hantam seperti ini. Secara otomatis, mereka akan berkelompok menjadi 3, Jeno – Winter, Shuhua – Mark dan Ryujin – Jaemin.

Baru kali ini Karina melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Winter mulai melompat, memukul dan menendang lawannya. Sebelumnya dia hanya melihat Winter memukuli lawan yang tidak membalas.

“Winter...” Karina berbisik lemah melihat kekasihnya yang barusan menerima pukulan di wajahnya, namun langsung bangkit berdiri dan menarik lengan lawannya lalu memberikan bantingan depan yang keras.

“Pacar lo jago beneran ya. Gue selama ini cuma tahu rumor kalo lo punya pacar jago berantem,” kata Kevin sambil memperhatikan Winter dan Jeno yang cukup merepotkan lawannya karena mereka kuat dan cepat.

“Gue pun, baru tahu dia berantem beneran sekarang,” jawab Karina

“Rin, gue minta maaf ya,” kata Yuqi tiba-tiba, “Gue tahu lo pasti kesel banget sama gue karena udah bantuin Rei dan bikin lo sampai kaya gini.”

Karina hanya diam dan melihat ke arah Yuqi

“Gue gamau bahas itu sekarang,” kata Karina pelan, mengubah perhatiannya ke Winter yang barusan menendang kepala lawannya dibantu Jeno. Kekompakan dua orang itu memang sudah tidak perlu diragukan.

***

Jaemin menghantam cowok yang tingginya hampir dua kali dirinya dengan sikunya. Walaupun demikian, cowok itu terlihat tidak sadar sepenuhnya.

“Mabok apa ya dia,” bisik Ryujin, mundur sejenak karena yang mereka hadapi sudah terkapar dan masih berusaha untuk berdiri.

“Eh lo uda chat Ning belom?”

“Anjir belom,” Ryujin mengambil hpnya dan membuat dirinya tidak awas dengan sekitar

“Awas!” teriak Mark ketika ada yang mencoba memukul Ryujin dengan kayu. Karena sedikit terlambat menyadari, kayu itu mengenai kepala bagian atas dengan keras.

“Ryujin!” Jaemin menahan tubuh temannya agar tidak membentur lantai.

“Anjing sakit,” Ryujin memegang kepalanya yang berdarah, “Gue uda kirim.”

“Lo bisa berdiri ga?” belum sempat Jaemin membantu Ryujin berdiri, datang lagi preman geng Dominic yang akan memukul Jaemin. Beruntung Winter dengan cepat menendangnya dengan lutut sehingga membuat preman itu terjatuh.

“Thanks,” Jaemin membantu Ryujin berdiri, “Kena kepala nih.”

“Ati-ati,” kata Winter sebelum memasang kuda-kuda kembali, “Mereka sebenarnya uda kena pukulan banyak tapi kok masih bisa bangkit lagi ya?”

“Obat,” Jeno mendekat dan memasang kuda-kuda juga, bersiap jika ada yang menyerang, “Gue liat tadi ada yang nyuntikin sesuatu ke lengannya.”

“Anjir serem,” Jaemin mendesis. Tiba-tiba, salah satu dari mereka mendorong tumpukan rongsokan yang membuatnya terjatuh dan hampir menimpa Mark dan Shuhua yang berada di sisi kiri gudang.

Debu dari reruntuhan rongsokan membuat pandangan mereka tertutup debu. Jeno terhenyak setelah mendengar teriakan dari Yuqi, sepertinya mereka mengincar tiga anak yang lemah itu.

“Bangsat!” Winter melompati reruntuhan, tidak peduli lengannya tergores pinggiran atap besi yang berada di rongsokan itu.

“Jin lo jalan pelan-pelan aja,” kata Jaemin sambil menyusul Jeno yang juga menuju ke pusat suara.

“Brengsek!” Winter melompat ke arah satu preman bertubuh bongsor yang barusan memukul Yuqi. Preman bongsor itu mendekat ke arah Karina dan terlihat akan menariknya. Namun Winter masih lebih cepat untuk memukul dagunya.

“Cuih,” preman bongsor itu meludah dan tetap berjalan sempoyongan ke arah Karina. Winter tahu ini tidak beres, sehingga dia menarik Karina ke pelukannya. Namun gerakan itu justru membuat Winter terhuyung dan si preman bongsor melihat kesempatan itu untuk menendang punggung Winter. Gadis itu terjungkal ke depan sambil memeluk kekasihnya.

“Winter!” Karina berteriak karena tendangan barusan terdengar sangat keras. Belum sempat Winter membalas, datang satu preman lagi yang menendang punggung Winter sampai dia terbatuk. Tidak hanya itu, preman bongsor juga memberikan tendangan kerasnya, membuat Winter terbatuk dengan darah keluar dari mulutnya.

“Winter...” Karina mulai menangis ketika Winter justru mengeratkan pelukannya di tengah hantaman di punggungnya.

“Minggir bangsat!” pukulan keras dilayangkan oleh Jeno dari samping, ditambah dengan sabetan folding rod dari Kevin; Winter tadi melemparkan miliknya untuk Kevin gunakan.

“Win, lo gapapa?” Jeno berusaha membantu Winter berdiri, “Anjing orang-orang ini kaya ga punya rasa sakit.”

“HAHAHAHAHAHA,” tawa Dominic terdengar, “Gimana? Sudah lelah semuanya?”

Keempat sahabat dan Yuqi beringsut berkumpul, mereka kelelahan. Terlihat dari nafas mereka yang mulai tersengal. Yang mengherankan, keenam geng Winter dan Kevin tadi sudah cukup memberikan serangan yang mematikan. Beberapa kali dari preman-preman itu sudah terpelanting dan mengaduh kesakitan. Namun tidak lama kemudian, mereka bergerak lagi seperti zombie yang memiliki kekuatan.

“Jangan bergerak!” tiba-tiba terdengar teriakan yang lantang, disusul dengan suara derap langkah kaki. Sekelompok polisi bersenjata lengkap dengan tameng huru-hara mengepung mereka.

“Jatuhkan senjata dan serahkan diri kalian semua!”

Geng Winter dan Kevin meletakkan folding rod yang mereka pegang dan mengangkat tangan mereka. Namun berbeda dengan preman-preman itu yang justru menatap nyalang pada polisi itu.

“Tolol,” Dominic mendesis dan mengeluarkan pisau lipat dari sakunya. Tidak ada yang memperhatikan karena semua fokus pada gerombolan preman yang masih memasang kuda-kuda untuk menyerang. Dengan cepat, Dominic berlari ke arah Winter sambil menghunus pisaunya. Karina yang sudah menyadarinya menarik lengan Winter agar terhindar. Tapi justru pisau itu menusuk perutnya.

“Karina!” Winter terkejut mendapati kekasihnya tertusuk pisau dan mulai jatuh lemas. Jeno dan Mark langsung menindih Dominic agar dia tidak bergerak lagi. Mendapati kejadian itu, pemimpin regu penyergapan langsung meminta agar para preman dikepung. Winter masih bisa mendengar suara komandan itu meminta bantuan ambulan untuk segera datang di tengah kekacauan pengepungan para preman.

“Karina... Karina...” Winter tidak bisa lagi menahan getaran di suaranya.

“Winter,” Karina menyentuh pipi Winter dengan tangannya yang berlumuran darah.

“Tahan Karina, lo jangan sampe pingsan,” Shuhua menahan bagian kaki Karina agar darah tidak terus mengucur sambil membiarkan pisau menancap agar tidak membuat lukanya menyembur.

“Ambulan akan segera datang,” pemimpin regu penyergapan mendekati mereka, “Kalian juga akan diobati.”

“Terimakasih, Om,” jawab Ryujin sambil memegangi kepalanya yang masih berdenyut, “Beliau bokapnya Yeji.”

“Nanti kita ngobrol lagi ya,” kata Komandan Hwang. Mendengar sirene ambulan, dia langsung meminta pasukannya membuka jalan karena ada yang terluka parah.

“Kamu bakalan selamat. Kamu gapapa, Sayang,” bisik Winter terus menerus sambil memeluk tubuh Karina erat.

cw // fight, blood, harsh words

Yuqi merasa jika dia pernah melihat mobil Kijang lapuk yang terparkir di depan gudang yang mereka tuju, membuatnya yakin bahwa kemungkinan Dominic ada di sini.

Mereka berdelapan mengendap-ngendap, dan menemukan Karina dan Dominic di tengah ruangan.

“Bentar dulu,” Jeno menahan Winter yang sudah ingin melompat ke tengah. Mereka bersembunyi di balik barang rongsokan yang ditata tinggi.

“Gue mau ngabarin Ning,” Ryujin mengeluarkan gawainya, “Lah anjing no service.”

“Provider lo apa sih tai,” Jaemin mengumpat sambil mengeluarkan miliknya, “Ini gue bagi.”

“Gue juga mau,” bisik Mark, “Ngabarin Gis sekalian.”

“Bangsat buruan deh astaga,” Shuhua mendesis, heran dengan kelakuan teman-temannya.

“Nah ini nyambung,” Ryujin barusan mengetik di gawainya ketika menyadari Winter sudah melompst ke tengah dan menghantam Dominic sampai terlempar.

“Anjing kaget,” Jeno terbelalak karena tadi temannya itu masih di sampingnya, sedetik kemudian sudah berlari dan menghajar orang.

“Woi buruan susulin! Itu bisa bunuh anak orang itu!” teriak Shuhua sambil menyuruh teman-temannya maju. Jeno dan Jaemin berlari ke Winter yang masih sibuk memukuli wajah Dominic sampai darah melumuri kedua tangannya.

“Win!” Jeno dan Jaemin menarik tubuh Winter ke belakang

“Win, Karina Win!” kata Jaemin menyadarkan Winter. Gadis itu menoleh ke belakang, melihat Karina yang barusan dilepaskan ikatannya oleh Shuhua. Bajunya compang camping, matanya sembab bekas menangis. Tangisan yang membutakan Winter dan membuat dirinya bertindak dengan brutal barusan.

“Karina... Karina...” Winter berlari ke arah kekasihnya, memeluknya dengan erat.

“Winter...” Karina tersenyum, pelukan Winter sangat hangat. Menyadari baju Karina yang sedikit rusak, Winter melepaskan jaketnya dan memakaikannya pada Karina.

“Halo, para jagoan SMA Kwangya International,” kata Dominic keras setelah menelepon seseorang, “Lama tak jumpa.”

“Gue mah gapernah mau liat muka lo anjing,” Jeno mengumpat

“Tidak berubah ya? Masih kompak kalian. Beda sama gue yang ditinggal sirkel bangsat gue.”

“Gausah samain kita sama lo dan temen-temen lo ya!” teriak Jaemin, “Lo aja yang bangsat.”

“Eits,” Dominic terkekeh, “Sekarang gue punya banyak.”

Tiba-tiba, muncul sekitar 20 orang yang terlihat kusam dan rata-rata matanya merah. Beberapa meracau, beberapa bahkan berjalan linglung.

“Boss!” satu orang yang terlihat sadar sepenuhnya berlari dan membantu Dominic untuk berdiri

“Santai, yang penting bikin mereka bonyok. Kalo perlu, mati sekalian.”

“Wah, beneran ternyata ya kita berantem lagi,” Shuhua mengeluarkan folding rodnya dan memencet tombolnya, memunculkan tongkat yang cukup panjang.

“Winter...” Karina memegang lengan Winter erat

“Tunggu ya, Sayang,” Winter mengecup cepat bibir Karina, membuat Ryujin yang berdiri di sebelahnya menunjukkan wajah ingin muntah.

“Kevin, Yuqi, lo berdua ke pojokan yang aman sama Karina,” kata Ryujin, “Apapun yang terjadi, jangan sampai mereka nyentuh kalian.”

Kedua lelaki itu mengangguk dan mengajak Karina untuk mundur, memberikan ruang untuk keenam sahabat itu bertarung.

“Lama ga ngadepin preman gajelas kaya gini,” Jeno tertawa, “Siap guys? Let's go!”

cw // attempted rape

Karina mengerjap. Dia merasakan ada sesuatu dingin menyapa tubuh bagian depannya. Dia ingin bergerak, namun tangannya tertahan. Setelah mengedipkan mata beberapa kali, baru dia tersadar bahwa kemejanya sudah terbuka sekitar 4 kancing, memperlihatkan bagian depan dari tubuhnya. Tangannya terikat ke belakang, membuatnya tidak bisa bergerak.

“Bangun juga, enak tidurnya?” suara yang sedikit familiar menyapa telinganya, membuat Karina merasa ingin mengumpat. Sosok yang tiba-tiba muncul di pintunya dan membuatnya tidak sadar sampai sekarang.

Membuat Karina melewatkan acara penting hari ini.

“Lepasin gue, Kak Domi,” rintih Karina, air mata mulai lolos dari matanya

“Aduh aduh,” Dominic mendekat dan memegang kedua pipi Karina, “Kayaknya bakalan lebih enak kalo lo merintihnya di kasur sih.”

Dominic melepaskan pegangannya di kedua pipi Karina dan Karina kembali menangis.

“Kenapa ngelakuin ini ke gue, Kak...”

“Kenapa lo bilang?” Dominic tertawa sarkas, “Pacar lo udah buat hidup gue hancur, Rin!”

Dominic meletakkan kedua tangannya di pinggang sambil memdengus kasar. Dia melihat ke Karina sebelum melanjutkan keluhannya.

“Abis gue dikeluarin, gue nggelandang. Nico sama Lucas sih enak, keluarga mereka bawa mereka ke luar negeri buat ngelanjutin sekolah. Gue? Bokap gue stress ketika tahu gue dikeluarin!”

Dominic mengambil kotak kayu dan melemparkannya ke tembok, menimbulkan suara keras disertai hancurnya kotak kayu itu.

“Sampai akhirnya ada tetangga gue yang ngajakin bisnis,” Dominic tertawa, “Bisnis obat. Dan lo harus tau kalo Reinhart temen lo itu adalah pelanggan tetap gue.”

Karina terkejut. Reinhart adalah pengguna narkoba? Apakah ini jawaban atas dia yang selalu terlihat high dan moodnya selalu baik?

“Sampai dia cerita kalo naksir elo,” Dominic duduk di kursi plastik reyot yang ada di gudang itu. Dia mengambil rokok dan korek dari lantai, sebelum menyalakannya dan meneruskan cerita.

“Kaget dong gue, cinta tak terbalas jaman SMA gue muncul lagi,” Dominic meniup asap rokoknya sambil terkekeh, “Gue minta Reinhart buat deketin lo, eh ternyata dia emang taruhan sama kakelnya. Lo tau? Taruhan Porsche.”

Dominic menundukkan kepalanya, melihat ke lantai

“Lo tau, Rin? Hati gue nyesek ketika dia cerita dengan mudahnya mau taruhan mobil itu. Gue gapernah ngerasain kekayaan itu, gue miskin. Tapi gue harus tetep bertahan hidup. Dan menurut gue kesempatan bukan? Bisa dapetin lo lagi?”

“Lo gapernah bisa milikin gue,” Karina mendesis pelan, membuat Dominic tertawa dan melemparkan sisa rokoknya ke lantai sebelum menginjaknya

“Kata siapa?” Dominic berjalan mendekat dan mengelus pipi Karina dengan punggung tangannya. Jari telunjuknya menelusuri tulang pipi Karina, turun ke dagu sampai ke tulang selangkanya. Sentuhan itu membuat badan Karina bergetar ketakutan. Tangisannya kembali terdengar dan mulai terisak keras.

“Gausah nangis, Baby,” bisik Dominic di dekat telinga Karina, “Lo bakalan jadi...”

Belum sempat Dominic menyelesaikan kalimatnya, suara derap kaki dan hantaman keras terdengar. Ketika Karina membuka mata, dia bisa melihat Winter melompat ke arah Dominic yang terlempar dan memukulinya tanpa ampun.

Benar, Winter-nya sudah datang.

Shuhua menghela nafas panjang melihat Winter yang terlihat kacau. Terpantau sejak satu jam yang lalu, Winter hanya duduk bersandarkan pintu kaca yang membatasi ruang tengah dengan halaman samping rumahnya, terus merokok dan melamun.

“Gue ada update,” kata Ryujin setelah membaca sesuatu dari gawainya. Suaranya cukup pelan sampai tidak terdengar oleh Winter yang masih melamun.

“Apaan?” Jeno beringsut mendekat

“Abis ini ada temennya Karina sama Ning ke sini, dia kayaknya bawa petunjuk Karina ada dimana walaupun masih abu.”

“Lo yakin?” tanya Jaemin

“Kita harus pastiin langsung,” jawab Ryujin yakin, “Sebelum lapor polisi 1 x 24 jam, kita bisa lapor kalo uda nemuin bukti. Lagian bokapnya Lia kan polisi.”

Keempatnya mengangguk setuju dengan rencana Ryujin. Tak lama kemudian, bel rumah Shuhua berbunyi, menandakan ada tamu datang.

Shuhua sempat menaikkan alisnya bingung sebelum Ryujin menyapa Kevin Na

“Lo kenal?” Jaemin bertanya keheranan karena akhirnya Shuhua mempersilakan keduanya masuk.

“Lo temen si bangsat Rei itu kan?!” Winter berlajan mendekat sambil menunjuk Yuqi yang tertunduk lesu. Pipinya sudah lebam dan tangannya bergetar, sekarang mendengar suara Winter. Pukulan dari Kevin masih cukup terasa, dia tidak bisa membayangkan akan dipukul oleh Winter.

“Win, tahan,” Jeno langsung memeluk Winter dari samping dan mengunci tangannya, “Kita denger dulu.”

“Sorry gue lama ga segera ke sini,” kata Kevin, “Tadi kita ke apart Rei dan nemuin dia kejang. Trus kita bawa ke RS. Dan di situ gue baru tahu kejadian soal Karina.”

Kevin meminta Yuqi menunjukkan hape milik Rei yang dia bawa. Begitu membaca pesan dari Dominic, reflek Winter melemas. Gadisnya sedang dalam bahaya.

“Lo tau kan dimana gudang yang dimaksud?” tanya Ryujin

“Kayaknya gue tau,” Yuqi menjawab dengan ragu

“Oke. Kita berangkat bagi dua. Kevin sama Yuqi sama Jeno dan Winter, Jeno yang nyetir. Kita berempat ngikutin lo dari belakang,” Ryujin seperti biasa, memberikan arahan kepada teman-temannya.

“Jangan lupa bawa sesuatu,” Shuhua tiba-tiba meletakkan sekantong folding rod yang terbuat dari mental, “Nih ada 6, bawa satu-satu.”

“Siap!” jawab Jaemin dan Mark

“Yuk, gerak. Gue sambil kabarin Ning buat standby,” kata Ryujin menggerakkan teman-temannya.