wqwqwq12

Theodora Hwang, nama gadis yang pernah berstatus sebagai kekasih dari Reinhart Kim. Gadis manis itu cukup terkejut ketika Jeno, lelaki yang dia temui di klub mengajaknya ke apartemen miliknya.

Terlalu cepat batin Theodora, mereka hanya bertemu tiga kali, namun gadis itu lebih ke arah penasaran mengenai reputasi Jeno yang tidak pernah baper dengan gadis yang dia ajak bermalam ataupun berkencan kilat.

Namun rasa penasaran Theodora harus ditepiskan karena di apartemen milik Jeno, ada lima orang yang sudah duduk di ruang tengah dan menunggu kehadirannya.

“Harusnya emang gue ga boleh langsung percaya,” Theodora terkekeh sambil duduk di salah satu sofa yang ada, “Ternyata malah ada jebakan batman.”

“Ini bukan jebakan,” sahut Shuhua

“Hi, Shu. Lama ga ketemu,” Theodora tersenyum, “Kok bisa gue lupa kalo Jeno punya geng yang terkenal, lebih terkenal dari reputasinya sebagai womanizer

Jeno mengendikkan bahunya tidak peduli

“Dan Winter Kim, entah gue harusnya berterimakasih atau gimana, tapi good job udah bikin babak belur si Reinhart.”

Winter menautkan alisnya bingung, kenapa mantan kekasih dari musuhnya ini malah berterimakasih?

“Lo musuhan ya sama mantan lo?” Mark bertanya dengan keheranan

“Semacam,” yang ditanya hanya menjawab dengan senyuman.

“Kami cuma mau tau sebenernya Rei itu anaknya kaya gimana,” kata Winter, masih menggunakan wajahnya yang datar.

“Manipulatif?” Theodora terkekeh, “Alasan gue putus karena gue capek diatur sama dia. Paling pinter gaslight dia. Mungkin mantan lo digituin sama Rei, makanya dia bingung.”

“Masih pacar gue,” Winter menggeram

“Oh sorry. Street says you broke up with her.”

“Cepet bener gosipnya nyebar,” Jaemin menggelengkan kepalanya yang diaminin oleh Ryujin

“Soalnya Rei lumayan bacot di Mabes,” jawab Theodora lagi, “Dan semua sih gapernah mastiin, cuma ngeiyain dan nyebarin aja.”

“Tuh yang gue gapernah suka di Mabes,” kata Jeno

“Good for you punya temen-temen kaya gini.”

“I took it as a compliment, Theo.”

“Jadi, kalo gada pertanyaan lagi gue mau balik,” Theodora mengambil tasnya dari lantai sebelum berbalik ke arah Jeno, “It's nice to meet you.”

Dengan cepat Theodora mengecup pipi Jeno dan meninggalkan ruang tengah apartemennya.

“Awas baper,” sahut Ryujin melihat Jeno masih termenung di tempatnya.

“Mereka ke apart Jeno aja katanya, Kak?” Ning bertanya kepada Karina yang baru saja meletakkan gawainya di sofa. Mereka baru memindahkan meja rendah Karina untuk bisa merebahkan diri di depan TV di ruang tamu mini miliknya.

“Katanya sih, iya,” jawab Karina

“Nah sekarang lo harus banyak cerita sih, Rin, ke kita,” Lia membuka bungkusan keripik kentang yang tadi dia beli, “Banyak hutang lo.”

“Iya banget,” Giselle mengangguk, “Gue sama Lia apalagi, ngerasa banyak yang kalian tutupin dari kita.”

“Sebenarnya bukan ditutupin,” Karina menghela nafas sebelum melihat ke arah Ning yang menganggukkan kepala untuk menyemangati sahabatnya bercerita.

“Lebih ke gue yang memaksa Ning untuk diem dan ada banyak hal yang berisik di kepala gue yang malah gue biarin aja.”

Lia dan Giselle mengangguk, berusaha mengerti keresahan yang selama ini ada di hati Karina.

“Semua berawal dari Rei yang nabrak Winter di Arena. Gue merasa ada baiknya Winter ga tau soal ini. Kenapa? Karena gue takut Winter marah dan lepas kontrol.”

Karina menghela nafas panjang, matanya mulai panas. Lia mengangsurkan minuman untuk menenangkan Karina.

“Thanks,” Karina menenggak teh botolan yang diberikan oleh Lia sebelum melanjutkan ceritanya, “Ternyata gue salah. Winter menemukan siapa yang nabrak dia dan dia mukulin Rei. Pada saat itu, puncak ketika gue ngerasa gue takut banget sama Winter. Gue takut gabisa ngendaliin amarah dia kalo kita jauh. Di saat bersamaan, Rei selalu jadi teman diskusi gue dan sering banget menceritakan soal kemungkinan apa yang dilakukan oleh Winter tanpa gue ketahui.”

“Dan lo percaya?” Giselle membulatkan matanya tidak percaya

“Bodohnya gue percaya. Pun setelah Winter minta break, Rei semakin sering bikin guilt trap ke gue dengan alasan dia gabisa ngapa-ngapain abis dipukulin Winter. Itu terus terjadi sampai Kevin, temen sekelompok gue juga, yang dia sadar gue mulai ga nyaman sama Rei dan akhirnya dia bisa bikin gue berjarak sama Rei. Rei sering banget nyuruh gue ke apart dia, gue turutin tapi gue selalu ngajak Kevin. Sampai gue nyaris pingsan kemarin, gue bilang ke Kevin buat hubungin Ning biar Rei ga maksa nganterin gue.”

“Oke kita mulai paham ada apa antara lo sama Rei,” Lia memainkan kepingan keripik kentangnya, “Gue boleh nanya ga?”

“Go on.”

“Lo sama Winter tuh kaya berjarak bahkan sebelum break, kenapa?”

“Gue ngerasa insecure,” Karina menunduk lagi, “Gue maksa dia HS sama gue, tapi setelah gitu gue takut dia bakalan ninggalin gue.”

“Kok?” Giselle menautkan alisnya bingung

“Karena Rei cerita soal reputasi Jeno dan Winter hampir selalu ada kalo Jeno ke Mabes. Gue tau gue salah banget malah percaya sama orang lain. Tapi rasa takut kalo Winter bakalan ninggalin gue habis dia dapet yang dia mau, selalu muncul.”

“Lo lihat Winter serendah itu Kak?” Ning yang daritadi diam akhirnya bersuara

“Iya. Dan gue bener-bener bodoh untuk itu. Gue malah bikin kita berdua semakin jatuh.”

“Dan keputusan Winter buat break juga bikin dia jatuh, Kak,,” Ning menjelaskan, “Dia bahkan sempet di kantor polisi karena berantem. Luka di pipinya itu bekasnya.”

“Gue selalu pengen yang terbaik buat temen gue, Rin,” Giselle menggenggam erat tangan Karina, “Lo tau mana yang terbaik buat elo sendiri. Jangan pernah ngerasa sendiri. Ada kita.”

Karina mengangguk dan tidak bisa lagi menahan tangisnya. Tangisan penyesalan dan terimakasih karena memiliki sahabat yang selalu ada untuknya.

Karina memperhatikan Winter yang sibuk dengan iPadnya, memainkan sebuah aplikasi yang terlihat seperti tuts keyboard. Earphonenya hanya digunakan sebelah, katanya tadi biar tetep denger jika Karina memanggil.

Sebuah sikap kecil dari Winter yang selalu menghangatkan hati Karina.

“Win...” panggil Karina, membuat gadis berambut sebahu itu menoleh kepadanya, “Tadi dokter bilang gimana?”

“Besok kamu bisa pulang kalo check up terakhir uda bagus, terutama tekanan darah kamu yang rendah banget,” jawab Winter, pandangannya beralih ke wajah pucat Karina yang masih nampak ayu baginya, “Jangan dibiasain telat makan, trus tidur kemaleman. Kamu sering mimisan juga kan? Jangan diforsir badannya.”

Karina tersenyum, sangat jarang Winter mau berbicara panjang lebar.

“Kamu di kosan aja, istirahat. Gausah ke kampus dulu, nanti minta surat dokter biar kamu bisa izin.”

“Iya, Sayang,” Karina terkekeh dan meraih tangan Winter, “Kamu lucu kalo bawel.”

“Malah dibilang lucu,” Winter mendengus kesal, “Aku serius.”

“Iya, Winter. Paham kok. Btw itu tugas kamu?”

“Iya,” Winter mengangkat iPadnya, “Ada beberapa hal yang harus dipelajari buat showcase hari minggu besok.”

“Semangat ya.”

“Iya, makanya kamu harus sehat biar bisa nonton.”

“Iya, Sayang,” Karina tersenyum lagi, mendapati balasan senyuman yang lebar dari kekasihnya itu.

Setelah berbincang dan berkenalan dengan Yeji, yang sudah resmi berpacaran dengan Lia, rombongan Lia, Yeji, Ryujin dan Ning pamit, membiarkan Winter sendirian bersama Karina.

“Tadi uda makan kan?” Winter mengambil posisi duduk di sebelah kiri kasur milik Karina.

“Udah, tadi disuapin Lia,” Karina meraih tangan Winter dan menggenggamnya, sebuah tanda bahwa dia tidak ingin ditinggal malam ini.

“Aku di sini kok, Sayang,” Winter menyisipkan poni Karina ke samping sebelum mengelus pipinya dengan tangan yang bebas, “Jadi kamu gausah khawatir.”

Karina mengangguk

“Tante Wendy gimana kabarnya? Kamu uda ngabarin orang rumah?”

“Mami uda mulai pulih, sekarang uda pulang dan tekanan darahnya berangsur menurun. Tapi aku emang gamau bilang orang rumah, gapapa kok.”

“Karina...”

“Gapapa ya, Sayang? Kan ada kamu.”

“Cepet sembuh ya? Aku minggu ini tampil di showcase umum, aku pengen kamu nonton aku.”

Karina tersenyum, setidaknya Winter masih mengingatnya

“Iya. Anyway, Winter... soal hubungan kita...”

“Nanti aja ya? Kamu masih harus istirahat,” sela Winter yang dijawab anggukan lemah dari Karina.

Melihat keraguan di mata Karina, Winter beranjak dan mengecup dahi Karina dan meletakkan dahinya di puncak kepala Karina sejenak.

“Aku sayang kamu, Rin.”

“Aku juga menyayangimu, Winter.”

Winter tidak menyangka Krystal, adik dari mamanya, datang ke kantor polisi. Awalnya dia cukup terkejut melihat kehadiran Jeno dan disusul yang lain. Pasti Renjun yang memberitahukan, karena lelaki di sampingnya itu daritadi sudah menggeleng frustasi melihat kedua pihak yang bertengkar masih saja cekcok walaupun di depan polisi.

“Krystal Jung,” Krystal mengangsurkan kartu namanya kepada polisi yang terlihat sudah lelah mendengarkan cekcok kedua belah pihak, “Saya pengacara dan wali dari Winter Kim.”

“Baik Bu, silakan,” polisi tersebut mempersilakan Krystal masuk ke ruangan yang dibatasi kaca, makanya Winter bisa menyadari kehadiran tantenya, yang datang berserta dengan istrinya, Amber Liu.

Perlu waktu sekitar satu jam untuk menyelesaikan entah apa di dalam, intinya baik Winter dan lawan ributnya tadi berakhir dengan damai. Namun bukan berarti Krystal akan mengabaikannya begitu saja.

“Winter Kim,” panggil Krystal ketika mereka semua sudah berada di parkiran mobil, “You owe an explanation.”

“Tante udah denger kan tadi? Gada yang perlu Winter jelasin lagi.”

“Winter Kim! Gada yang ngajarin kamu buat sok jagoan kaya gitu tadi? Gada alasan buat kamu mukul dia pertama kali seperti yang ada di cctv.”

“Tante ga bakal ngerti,” Winter mendengus kesal, membuat Krystal semakin ingin memarahi keponakannya itu.

“Babe, calm down,” Amber menepuk lengan Krystal lembut sebelum berjalan mendekati Winter dan menepuk pundaknya pelan.

“Hey jagoan, bukan itu caranya buktiin kalo kamu paling kuat.”

“Tapi dia nantangin terus, Tante. Kalo ga gitu bakalan ngejek terus.”

“Kalo kamu ga nanggepin, you might be lose the war, but you win the battle. Oke?”

Winter mengangguk pelan, menyetujui ucapan tantenya itu.

“Sekarang pulang, obatin lukamu dan istirahat,” kata Amber lagi sebelum mengedarkan pandangannya ke teman-teman Winter, “Saya dan Krystal titip Winter ya?”

“Iya Tante Amber,” jawab mereka bersamaan

“Sana, minta maaf ke Tante Krystal,” Amber mendorong pelan tubuh Winter agar mendekati Krystal. Wanita yang lebih tua menariknya ke dalam pelukan dan menepuk punggungnya pelan

“Maafin Winter ya Tante. Jangan dibilangin ke Mamah ya?”

“Iya, jangan diulangin ya?”

Winter mengangguk dalam pelukan Krystal.

cw// harsh words, blood, fighting

“Uda mau nyampe tuh,” Jeno melihat chat Shuhua ke grup. Sepertinya Shuhua dan Mark memancing Marcus dengan topik mobil drift, dan Jeno sudah meminjam satu garasi kecil dekat arena dari Chenle.

Ketiga temannya mengangguk dan duduk di beberapa kursi yang sudah ditata melingkar. Tidak lama, terdengar suara mobil Pajero milik Shuhua parkir, disusul dengan gelak tawa dari Marcus.

“Gue juga mau lah kalian ajarin drift yang keren, belum pernah tandem gue soalnya. Trus...” ocehan Marcus terpotong ketika mereka memasuki garasi dan melihat Winter menatapnya.

Marcus langsung membalikkan badan, namun terlambat. Mark sudah mengunci pintu garasi.

“Bangsat kalian, jebak gue ya?” Marcus menunjuk wajah Shuhua dan Mark, keduanya hanya mengendikkan bahu tidak peduli.

“Gausa tunjuk-tunjuk temen gue gitu,” Jeno tersenyum miring sambil berjalan mendekati Marcus. Dia berjalan mundur, menghindari tatapan Jeno yang tajam, ditambah dengan senyumannya, menambah ketakutan di dalam hati Marcus.

“Lo duduk aja diem, gausah kabur,” Mark mendorong punggung Marcus ke arah Jaemin dan Ryujin yang sudah berdiri di tengah ruangan. Ryujin menarik kursi dan diletakkan di tengah.

Sedangkan Winter masih melihat dari kejauhan, sama sekali tidak beranjak dari posisi duduknya.

Marcus awalnya menolak, namun cengkeraman dari Mark di kerah kaos polonya cukup kuat, membuatnya menurut untuk duduk di kursi plastik yang terlihat rapuh itu.

“Kita cuma butuh lo jawab aja pertanyaan dari kita,” kata Jaemin

“Ga sudi gue jawab pertanyaan dari orang miskin yang mainnya sama anak konglomerat,” sahut Marcus

plakk

Begitu cepat, Jeno menampar pipi kiri Marcus sampai dia terjengkang ke arah Ryujin yang masih berdiri tegak.

“Gue bisa nginjek kepala lo sekarang,” kata Ryujin pelan, “Tapi gue ga sudi mengotori kaki gue dengan darah orang sok kaya yang bacot doang bisanya.”

Marcus menggeram. Belum sempat dia membalas, Shuhua sudah menarik kerahnya dan memaksanya berdiri.

“Duduk,” perintah Shuhua lagi setelah melihat Marcus terbatuk karena cengkeramannya begitu kuat.

“Tanya aja, Win,” Jeno mempersilakan temannya untuk menyampaikan pertanyaan

“Ryujin aja,” Winter menoleh pada temannya yang berdiri di dekat Marcus, “Ntar kalo dia ngeremehin Ryujin atau Jaemin lagi, gue jamin dia ga bakal bisa liat matahari besok.”

Marcus bergidik mendengar ancaman dari Winter. Walaupun Winter mengucapkan dengan nada yang datar, Marcus teringat akan kejadian sebelumnya ketika hidungnya bengkok dan 2 giginya terlepas. Hantaman Winter tidak pernah main-main, dan Marcus harusnya paham bahwa posisi dia terjepit.

“K..kalian paham kan kalo gue bisa bawa ini ke polisi?” ancam Marcus terbata, yang justru mendapat tawaan mengejek dari Jeno dan Shuhua.

“Laporin aja,” Jeno mencengkeram bahu kanan Marcus sampai anak itu meringis kesakitan, “Ntar malah lo yang masuk penjara, tolol.”

“Udah Jen,” kata Winter, “Biar Ryujin nanya.”

Jeno melepaskan cengkeramannya dan membiarkan Ryujin mengambil alih situasi.

“Gue tanya dan lo tinggal bales aja.”

Marcus mengangguk

“Ada apa antara lo dan Reinhart?”

“Dia adek kelas gue,” jawaban Marcus membuat Jeno memegang dagu Marcus

“Gue nih paling tolol diantara kita berenam dan gue juga tau itu. Lo jawab ga jelas lagi, tu 4 gigi depan gue pastiin hilang.”

“I...iya...” Marcus kembali tergagap melihat ancaman kepadanya.

“Jadi?” Ryujin menaikkan satu alisnya.

Marcus menelan ludahnya cepat, matanya melirik ke arah Winter yang masih duduk dengan wajah datarnya. Posisi kelima orang itu mengerubunginya, dengan posisi Winter yang duduk tak jauh darinya, praktis tidak ada celah bagi Marcus untuk kabur.

“Gue..  gue taruhan sama Reinhart,” cicit Marcus

“Trus?” Ryujin kembali bertanya, “Apa taruhannya?”

“Mobil gue yang satunya.”

“Taruhannya soal apa?”

Marcus terdiam lagi, melirik ke Winter yang mulai berdiri dan mendekatinya. Bahkan ketika Winter berdiri tepat di depannya, Marcus hanya bisa melihat sepatu milik Winter.

“Soal apa?” suara Ryujin kembali terdengar.

“Soal... siapa yang bisa... bisa macarin dan.... dan nyentuh Karina.”

Semua di dalam ruangan terkesiap, tidak menyangka ada Karina di dalam obrolan ini. Mereka pikir ada masalah dengan Winter atau mungkin Jeno. Justru Karina hanya dianggap sebagai collateral damage karena pacar Winter dan dekat dengan gengnya.

Belum sempat yang lain merespons, Winter sudah mengangkat kakinya dan menyapa dagu Marcus dengan lututnya. Jelas lelaki itu terlempar ke belakang sambil mengaduh kesakitan karena lidahnya tergigit. Winter melompat ke depan untuk memberikan pukulan lagi. Untung saja Jeno dan Jaemin dengan sigap memegangi kedua tangan Winter sebelum gadis itu mengamuk.

“Lepasin gue! Gue mau bunuh si bangsat ini!” Winter meronta, membuat Jeno dan Jaemin harus memeganginya dengan erat.

“Winter, calm down. Winter...” Ryujin melompat ke hadapan Winter dan memegang kedua pipinya, memaksa Winter melihat mata Ryujin.

“Tarik nafas... Keluarin.... Inhale... Exhale...” Ryujin kembali memberikan instruksi

Winter tidak lagi terlihat marah, namun Jeno dan Jaemin tetap memegangi lengannya.

“Berdiri lo bangsat,” Shuhua menarik tangan Marcus dengan kasar, “Lo pikir Karina cewek apaan?”

“Dia duta kampus... paling cantik seangkatan dia dan pinter. Reinhart naksir dia namun kita tahu dia punya pacar. Gue cuma nantangin, tapi gue gatau kenapa Reinhart semangat banget,” Marcus berusaha menjelaskan sambil menahan sakit

“Ya jelas, mobil lo porsche,” Mark mendesis, “Tolol, mana ada cewek yang seharga mobil kaya gitu. Lo sama Reinhart sama aja, goblok.”

“Pergi lo dari hadapan gue,” kata Winter, “Pergi atau gue bunuh lo sekarang.”

Marcus berjalan tertatih-tatih ke arah pintu. Sebelum dia membuka pintu, Marcus menoleh ke arah Winter.

“Winter... Gue bener-bener minta maaf. Gue tahu ini keterlaluan dan mungkin gue ga bakal lo maafin, tapi gue bener-bener minta maaf.”

Karina menghembuskan nafas panjang sambil menaiki tangga ke kamar kosnya yang terletak di lantai 2. Hari ini cukup melelahkan karena dia harus mengisi kekosongan materi yang ditinggalkan Reinhart dalam presentasi sebelum UTS minggu depan.

Dan betapa terkejutnya Karina ketika mendapati Winter berdiri menunggunya di depan pintu. Gadis berambut sebahu itu menyandarkan tubuhnya ke pintu dan memasukkan kedua tangannya ke saku jaket. Walaupun demikian, Karina masih bisa melihat tangan kanannya dibalut perban cokelat.

“Kenapa ga masuk aja?” tanya Karina sambil berjalan mendekati kekasihnya itu.

“Gapapa, nunggu kamu aja yang buka pintunya,” jawab Winter singkat.

Jawaban yang membuat hati Karina sedikit mencelos. Entah kenapa rasanya Winter membuat jarak diantara keduanya.

“Aku mau kita break dulu,” kata Winter tiba-tiba setelah Karina menaruh tasnya di sofa, membuat Karina langsung menoleh ke belakang.

“A...apa?”

“You hear me right,” Winter menghela nafas, “Aku pengen kita break.”

“Why?”

“Aku pengen mikir dulu. Sendiri.”

“Winter, a...aku sayang kamu,” Karina terbata, air matanya sudah tidak terbendung lagi.

“Aku juga. Ga pernah sekalipun rasa sayangku berkurang sama kamu,” tukas Winter, “Tapi aku mau mikir dulu sendiri.”

“Kamu... kamu ga akan ninggalin aku kan?”

Winter diam. Pandangannya lurus ke depan, tidak goyah sekalipun walaupun Karina mulai tersedu di hadapannya.

“Aku sayang kamu, Karina,” kata Winter, tidak menjawab pertanyaan Karina dan membalikkan badannya untuk meninggalkan Karina di dalam kosannya.

Sendirian dan kembali menangisi hubungan mereka berdua.

“Makan lah anjing, mati lo ntar ngerokok doang,” Ryujin meletakkan sekotak nasi dan lauk di meja rendah yang terletak di ruang tengah rumah kontrakan mereka. Shuhua sengaja meminta desain ruang tengah yang cukup luas agar teman-temannya bisa dengan leluasa beraktivitas di sini.

“Iya iya,” Winter membuang puntung rokok terakhirnya ke asbak, sebelum membuka bungkusan yang diberikan oleh Ryujin.

“Makan juga lo akhirnya,” Jeno menggeleng, “Gue yang nyuruh ga mau lo daritadi.”

“Belom laper,” Winter mengendikkan bahunya cuek. Mark, Shuhua dan Jaemin bergabung ke sofa ruang tengah sambil membawa camilan.

“Kok kalian uda ngemil aja?” Winter sedikit bingung karena melihat teman-temannya yang tidak makan makanan berat

“Udah jam 10 malem tolol,” Shuhua menunjuk jam dindingnya, “Lo sih, ngerokok mulu. Mana diturutin ini sama Jeno satu slop dibeliin.”

“Ampun bunda,” Jeno memberikan gestur memohon ampun yang membuat Shuhua geli dan melempar kacang rebus ke kepalanya.

Winter menyelesaikan makannya dan melihat kelima temannya yang memperhatikan dengan seksama, menunggu dia bercerita.

Winter kembali menyalakan rokoknya dan perlahan meniupkan asap dari mulutnya.

“Ternyata emang Karina gamau ngomongin ini sama gue,” Winter menghembuskan nafas panjang

“Ning udah tau,” Ryujin mengambil korek milik Winter dan menyalakan rokoknya. Pernyataannya barusan membuat Jaemin dan Mark menoleh dengan cepat

“Kok?” Jeno mengangkat alisnya tanda tidak setuju

“Kalo kondisinya dibalik, gue juga bakalan milih hal yang sama. Kalo Winter tau sesuatu soal Karina dan dia minta gue ga ngomong ke Ning, gue bakalan diem juga,” jelas Ryujin

“Tapi kan lo bisa meminimalisir kejadian ini,” kata Jaemin

“Sekarang lo tanya ke Winter deh, kalo pun lo tau dari awal, lo bakalan mukulin Reinhart kan?” Shuhua balik bertanya dan mendapatkan anggukan dari Winter

“Gue kalo bisa bunuh, gue bunuh dia,” Winter mendesis pelan

“Winter,” Shuhua menggengam tangan Winter yang mengepal, “You won't do that.”

“Sekarang lo gimana sama Karina?” Mark yang sedari tadi hanya diam dan merokok ikut bertanya

“Gatau,” Winter mematikan sisa rokoknya dengan menekannya ke asbak, “Gue masih sayang sama dia. Tapi rasanya kaya dia ga nganggep gue masih pacarnya.”

“Mungkin Karina punya alasan lain, Win,” kata Jaemin

“Dia gamau gue bakalan luka kaya gini. Padahal dengan gue gatau apa-apa, gue bakalan lebih terluka,” Winter menghela nafas, “Gue mau tidur aja. Pusing sama masalah ini.”

“Yauda, lo mau tidur mana?” Shuhua bangkit dari duduknya

“Sini aja,” Winter menunjuk sofa yang dia duduki, “Pinjem selimut.”

“Iya gue ambilin. Jen lo tidur kamar Jaemin sama Mark?” tanya Shuhua

“Yoi,” Jeno mengacungkan jempolnya

“Yaudah buruan tidur. Udah malem, kita bahas lagi besok,” kata Jaemin sambil membereskan beberapa barang di meja.

Winter masih diam ketika Karina meletakkan tasnya dengan kasar di sofa ruang tengah. Semenjak memaksa Winter mengikutinya, Karina hanya diam sampai tiba di kosannya. Bahkan sekarang, puan berambut hitam legam itu hanya menaruh tangannya di pinggang sambil berdecak pelan, memandang kekasihnya yang memandangnya lurus.

Karina bisa melihat buku-buku jari Winter yang terluka. Melihat wajah Reinhart yang babak belur tadi, tentu saja Winter benar-benar menghajarnya.

“Kamu ngapain?” tanya Karina menepiskan sepi yang mencekam diantara keduanya.

“Dia ngomong ga enak soal kamu.”

“Kamu ngapain ke fakultasku?” nada pertanyaan Karina terdengar menuduh, dan Winter tidak menyukainya.

“Aku mau ketemu dia,” jawab Winter pelan, “Dia kan, yang nabrak aku kapan dulu?”

“Trus kalo emang dia, kenapa? Kenapa kamu malah mukulin dia kaya gitu?”

“Ya karena dia pantes dapetin itu semua.”

“Winter...” Karina menghela nafasnya panjang, “Kamu tahu aku ga suka kamu kaya gitu kan?”

Winter terdiam sejenak, merasa aneh dengan Karina yang selalu berbalik menanyakan sesuatu dibandingkan menjawab pertanyaannya.

“Kamu kenal sama Reinhart?” tanya Winter ragu

“Kenal. Dia temen sekelompokku.”

“Kamu berarti tau? Kalo dia yang nabrak aku?”

Sebuah anggukan penuh ragu diberikan Karina, membuat Winter menggenggam erat tangannya. Tidak peduli rasa sakit yang menjalar dari punggung tangannya.

“Kok kamu ga bilang?” suara Winter mulai bergetar.

“Aku gamau hal kaya tadi kejadian,” jawab Karina pelan, “Aku gamau kamu kasar kaya gitu tadi, Winter.”

“Dia pantes dapet itu.”

“Winter,” Karina menghela nafas panjang, “Gak, ga semua harus dibalas kekerasan kaya gitu.”

“Kamu kok bela dia sih?”

“Dia temenku, Winter.”

“Aku pacar kamu,” Winter menunjuk dirinya, nada bicaranya sudah sangat terluka, “Aku pacar kamu, Rin.”

“Justru karena kamu pacarku, aku gamau kamu kayak gini!”

“Kamu cuma malu kan sama temenmu? Kamu gamau kan kalo mereka tahu aku pacarmu?” Winter memandang Karina lurus, sorot matanya tajam.

“Ga kebalik? Bukannya kamu yang malu punya pacar kaya aku? Sampe gapernah dibawa ke tongkronganmu?” Karina balas menuduh

“Tongkrongan apa?”

“Ga usah banyak alesan kamu! Aku tau kamu biasanya kemana aja!”

“Aku selalu pamit dan bilang ya! Kamu kok jadi nuduh aku sih, Rin?”

“Udahlah! Kamu emang gapernah mau ngertiin aku, Win!”

Winter terhenyak, kaget mendengar kata-kata Karina.

“Yaudah. Emang aku gapernah ngertiin kamu,” Winter menghela nafas dan berbalik, menuju pintu dan membukanya dengan kasar. Tanpa berbalik, dia meninggalkan Karina yang masih berdiri di tengah ruangan.

Setelah Winter menutup pintunya, Karina terjatuh ke lantai. Menangis tersedu-sedu, menyesali kata-katanya yang mungkin keterlaluan bagi Winter.

Winter memarkirkan motornya di parkiran bagian belakang dari gedung utama FK.

“Lo yakin biasanya dia di sini?” tanya Winter setelah Ryujin turun dari boncengannya.

“Infonya sih yang bawa motor gede atau sport parkirnya selalu di sini. Soalnya kalo di depan ngalangin motor-motor biasa,” jawab Ryujin, “Nih lo muter sebelah sana, gue yang sana. Tanyain sama liatin mana yang namanya Reinhart. Uda gue kirim fotonya ke lo kali lo lupa mukanya..”

Winter mengangguk dan bergegas menuju ke arah yang Ryujin tunjuk. Entah keberuntungan apa yang menaunginya, dia melihat sosok yang mirip dengan foto yang diberikan oleh Ryujin. Lelaki yang dia lihat sedang berjalan ke arah motornya.

“Reinhart?” sapa Winter membuat lelaki itu berhenti dan menoleh ke belakang.

“Winter?” kata lelaki itu sambil tersenyum miring, “Kenapa cari gue?”

“Lo ada masalah apa sama gue?”

“Apa ya?” Reinhart mengendikkan bahunya, “Masalah lo sebenernya pacaran sama Karina aja sih.”

Winter menaikkan alisnya tidak suka

“Ga pantes. Cewek kaya Karina pantesnya sama gue, lagian lo tu aneh banget pacaran sama yang levelnya di bawah lo.”

Winter menggeretakkan giginya, kesal dengan ucapan dari Reinhart.

“Karina pun uda bosen sama lo kali.”

Ucapan terakhir Reinhart bagikan menarik pelatuk di dalam diri Winter. Dengan cepat, Winter memukul dagu Reinhart dan membuatnya terjatuh sampai menabrak motornya. Belum sempat Reinhart bangkit, Winter sudah menarik kerahnya untuk bergerak ke tempat yang lebih lapang. Keributan itu tentu saja mengundang kerumunan, apalagi FK cenderung dikenal sebagai fakultas yang damai.

“Ngomong sekali lagi,” Winter mempererat cengkeramannya

“Putus aja lo sama Karina, ga pan..”

duakk

Satu pukulan

“Lo tu ngapain sih pacaran lama sama orang selevel dia?”

duakk

kembali lagi pukulan ke hidungnya

Satu hal yang Winter bingung, walaupun pukulan-pukulannya sangat keras, Reinhart sama sekali tidak membalas dan justru dia tertawa-tawa seperti maniac. Semakin Winter melayangkan pukulan-pukulan, semakin keras tertawa dari Reinhart.

Tiba-tiba, Winter merasakan ada yang memeluknya dari belakang. Kedua lengannya digenggam perlahan oleh sosok ramping di belakang.

“Sayang, lepasin...” bisik Karina.

Winter seperti terkesiap dan melepaskan cengkeramannya, membuat sosok Reinhart yang sudah babak belur berlumuran darah terjatuh ke tanah.

“Kita pulang,” Karina memutar pelan tubuh Winter dan menyelipkan jari-jarinya ke rongga jari Winter, menggenggamnya erat. Winter bergerak mengikuti Karina, berpapasan dengan Ryujin yang sudah bersama Ning. Temannya itu memasang muka bersalah karena tidak menyangka Winter akan menemukan target mereka dan menghajarnya habis-habisan.

Winter hanya diam dan menyerahkan kunci motornya ke Ryujin, dan Ryujin paham itu.

Kerumunan di parkiran belakang FK mulai berkurang walaupun sebagaian masih melihat ke sosok Karina dan Winter yang berjalan ke arah mobil Karina.