wqwqwq12

cw // fight, blood

Winter mengedarkan pandangannya. Berbekalkan data dari Ryujin mengenai foto Marcus, dia berangkat ke Mabes seorang diri untuk menemui sosok yang sepertinya memegang kunci atas kerisauannya. Kondisi Karina yang aneh yang sempat mendistraksinya dari tujuan awal semakin membuat rasa risau di dadanya semakin penuh.

Sebenarnya Winter tidak terlalu suka Mabes. Apa sih maunya tempat ini? Tongkrongan eksklusif anak-anak konglomerat yang ngomongin soal dunia? Sambil bermain bilyard atau arcade game lain. Ditemani stok alkohol dan rokok, tentu tempat ini serasa surga bagi mereka.

Winter sih lebih memilih melakukan itu semua di rumah Shuhua, toh lebih enak bersama dengan teman-teman dekat.

Tanpa menunggu waktu lama, Winter akhirnya menemukan sosok Marcus yang barusan datang. Aura sombong terlihat dari caranya menyapa beberapa orang dengan sok asik. Winter bukan orang yang suka basa-basi. Maka ketika Marcus melewatinya, dia memegang bahunya pelan.

“Ya? Kenapa sis?” tanya Marcus sok asik. Tanpa diduga, Winter melayangkan pukulan keras sampai Marcus terjengkang ke belakang.

Secara fisik Marcus lebih tinggi dari Winter, namun kekuatan Winter tidak pernah berkurang dari dulu hingga sekarang.

“Anjing!” Marcus mengusap bibirnya yang berdarah dan berusaha untuk berdiri. Tapi Winter lebih cepat untuk menendang perutnya sehingga Marcus kembali tersungkur di lantai.

“Oh jadi ini yang katanya ngalahin gue di Arena?”

“W..Winter?”

Kasak kusuk terdengar di sekitar mereka berdua. Entah membicarakan sosok Winter yang jarang mereka lihat atau kemungkinan kalau Marcus membual.

“Kenapa? Kok kaget gitu?” Winter berjongkok dan mencengkeram kerah baju Marcus, “Kayaknya gue denger lo jago banget.”

“Win.. gue...”

plakk

Tamparan keras diterima pipi kiri Marcus. Dapat dipastikan telinganya berdenging melihat kerasnta tamparan dari telapak tangan Winter yang lebar itu.

“Ngomong yang jelas,” desis Winter

“Win, sumpah gue minta maaf,” kata Marcus sambil bergetar

“Apa? Ga denger,” Winter kembali menampar Marcus sampai dia terjengkang ke samping.

“Winter!” tiba-tiba sosok tinggi besar menariknya untuk berdiri, “Anjir Win, bisa mati dia lo gituin.”

Winter menoleh ke samping, ada Jeno dan Shuhua datang

“Dah, ayo pulang,” Shuhua menarik lengan Winter untuk bergerak. Yang ditarik hanya menghela nafas dan bergerak pergi.

“Bukan gue,” bisik Marcus pelan, “Bukan gue yang nyetirin mobil itu dan nabrak elo.”

“Iya gue tau. Siapa namanya?” tanya Winter dingin

“Reinhart.”

Winter hanya mengangguk, mengingat nama itu untuk dia cari nanti.

Ketika mereka bertiga akan keluar dari Mabes, dua sosok yang setinggi Jeno menghentikan mereka. Si kembar Valen dan Tino, pemilik tempat ini.

“Enak aja mau pergi, udah bikin rusuh,” kata Valen, yang memiliki potongan rambut cepak 2cm sehingga membedakan dengan kembarannya yang sedikit gondrong.

“Apaan sih, temen lo itu yang bikin rusuh ya,” dengus Jeno berusaha melewati hadangan mereka berdua. Valen yang merasa Jeno tidak sopan, menarik bahunya keras untuk berbalik. Namun Valen salah, karena dengan cepat Jeno menarik tangannya dan memutarnya ke atas, membanting sosok besar Valen ke lantai.

Melihat kembarannya diserang, Tino merangsek maju. Namun kalah cepat dengan kaki Shuhua yang mencatutnya sampai terjatuh. Ketika Tino bangkit dan akan menyerang Shuhua, Winter sudah terlebih dahulu meninju hidungnya sampai terdengar bunyi krek yang keras.

“Kalian mau ganti rugi?” Winter menggelengkan kepalanya heran, “Yauda sini gue bayar.”

Winter membuka dompetnya dan mengambil uang ratusan ribu yang ada di sana, lalu menaruhnya di dekat kaki Tino yang masih memegangi hidungnya yang bengkok.

“Kalo kurang minta temen gue Chenle dulu, ntar gue tuker.”

“Yailah keseret aja gue,” yang disebut namanya mendengus kesal

“Bantuin lah bro!” sahut Jeno sambil melompati kedua lelaki yang masih mengaduh kesakitan, “Sorry ya, bukan tandingan kita. Semoga lekas sembuh, babay.”

Karina mengantongi gawainya dan berjalan ke arah teman-teman kelompoknya. Sore ini, mereka berkumpul di taman FK yang dilengkapi dengan meja kursi dari batu. Memang berfungsi untuk diskusi di luar ruangan bagi para mahasiswa.

Karina melenpar senyuman kecil kepada salah satu teman kelompoknya yang pintar namun pendiam, Kevin, yang dibalas senyuman tipis juga dari lelaki itu. Karina menyadari bahwa ada satu temannya yang masih belum hadir.

“Yuqi masih dimintain tolong Pak Yoojung,” kata Kevin melihat ekspresi Karina

Reinhart dan Seola yang asyik mengobrol sebelumnya menoleh ke arah Karina dan tersenyum lebar kepadanya.

“Kalian lagi ngomongin apa? Seru banget kayaknya,” tanya Karina penasaran

“Ini ngomongin si Sara,” jawab Seola antusias, “Baru putus dia sama pacarnya.”

“Wah,” Karina sedikit terkejut. Pasalnya yang bernama Sara ini terkenal dengan gaya pacarannnya yang sangat wow. Terlebih katanya kedua keluarga sudah saling mengenal dekat.

“Padahal uda kaya istri-istri,” Seola sedikit terkekeh menyebutkan istilahnya, “Mana uda gituan sering banget lagi hahaha.”

“Ya kan katamu uda kaya istri-istri,” Reinhart menanggapi sambil tergelak, “Kirain mau nikah mereka waktu kuliah, eh malah putus. Mana alasan putusnya juga aneh. Jenuh katanya.”

“Padahal uda lama ga sih pacaran, mereka kan temen dari kecil. Gue tau soalnya pacarnya Sara temen sekelas gue SMA,” tambah Seola, “Lagian uda kasi semuanya loh si Sara. Ga nyangka juga ada titik jenuh.”

“Yaa gimana ya, giving all of yourself to her/him doesn't make them stay kali,” kata Reinhart

Entah kenapa kata-kata terakhir Reinhart terasa menusuk Karina. Membuat gadis itu menghela nafas panjang.

Melewatkan seringai jahat dari bibir Reinhart.

cw // explisit mentioning of sex activity

Winter memperhatikan Karina yang masih menggigit bibirnya.

Sebuah permintaan aneh. Winter sadar dirinya sangat suka physical touch dibandingkan love language lainnya. Baginya, sentuhan fisik selalu memberikan assurances bagi perasaannya. Namun berbeda dengan kekasihnya, Karina. Winter masih ingat dulu ketika SMA, Karina sering menahan tangannya ketika berciuman agar tidak menyentuh bagian intimnya.

Winter paham Karina tidak terlalu suka mengenai hal itu.

Makanya sekarang, di kasur yang terletak di kamar kosan Karina, mereka berdua duduk berhadapan, sedang memikirkan apa yang Karina minta sebelumnya.

“Sayang...” bisik Winter pelan, mengelus dagu Karina dengan jempolnya agar berhenti menggigiti bibirnya, “There's no turning back.”

“Do it,” jawab Karina singkat, seolah menantang Winter.

Winter hanya mengangguk dan mendekatkan wajahnya, perlahan melumat bibir merah milik Karina. Yang dicium melingkarkan lengannya ke leher Winter untuk memperdalam ciumannya. Desahan terlepas dari mulut Karina, namun Winter tidak berhenti untuk menciumnya. Tanpa Karina sadari, Winter sudah berhasil melepas kemeja dan kaitan branya, membuatnya setengah telanjang.

“Cepat sekali,” gumam Karina sambil memperhatikan Winter melempar bajunya ke samping kasur.

“Because I like this,” Winter terkekeh sambil mendorong Karina sampai terlentang di kasurnya.

Winter masih terdiam, menikmati pemandangan di depannya yang sungguh menyenangkan

“Apasih,” Karina menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Winter menarik tangan kanan Karina, mengangkatnya dan menciumi telapak tangan, membiarkan bibirnya turun ke bawah sampai siku.

“Kenapa ditutupin? Kamu cantik.”

Karina memalingkan mukanya, memerah karena malu.

Winter kembali terkekeh dan mendekatkan wajahnya ke leher Karina, menciumnya dengan basah. Nafas Karina tertahan ketika Winter berhasil menemukan titik lemahnya, membuat kekasihnya yang asik mencumbunya itu tersenyum.

Winter terus menciumi tubuh Karina, menghisap kedua payudara Karina bergantian sampai gadis berambut panjang itu kehilangan kata-katanya. Hanya desahan dan erangan yang terlepas dari mulut Karina.

“Kalo sakit atau ga nyaman, bilang ya, Sayang,” bisik Winter lembut sambil memegang ujung bawahan celana Karina. Dengan sekali tarikan, Karina sudah telanjang di bawah Winter.

“Kamu masih pake baju lengkap,” Karina menunjuk kaos hitam yang dikenakan Winter. Ketika Winter melepas kaosnya dan melemparkannya ke samping kasur, Karina hanya mendengus kesal.

“Aku pengen ngelakuin itu.”

“Lain kali,” Winter tersenyum dan kembali melumat bibir merah kekasihnya. Perlahan, dia memposisikan telapak tangannya tepat diantara kedua kaki Karina. Setelah mengecek bahwa kekasihnya larut di dalam ciuman mereka, Winter memasukkan satu jari, membuat Karina terhenyak.

“Ah...” Karina memeluk leher Winter erat, membiarkan Winter menggerakkan jarinya di dalam

“I will put another one.”

“Do it,” jawab Karina di tengah nafasnya yang tersengal.

Winter memasukkan jarinya yang lain, mendorongnya dan menggerakkannga dengan cepat, membuat Karina mengangkat pinggulnya untuk merasakan jari-jari Winter.

“Aku mau keluar, Sayang.”

“Look at me, Baby,” kata Winter pelan, membuat Karina membuka matanya dan melihat bagaimana Winter memandangnya dengan sayu, dengan penuh cinta.

Dengan satu gerakan, Karina melemas. Air matanya keluar, entah karena bahagia, atau karena yang lain.

“I love you so much, Karina. You are so good,” bisik Winter sambil mengecup kening Karina, membiarkan gadisnya itu memeluknya kembali dengan erat.

“Dandan kaya gitu biar apa sih?”

Karina sedikit terkejut ketika Winter sudah berada di kamarnya. Oh ya, mereka dipesankan kamar dengan pintu penghubung agar bisa saling mengecek. Walaupun dapat dipastikan baik Giselle maupun Ning malas mengecek Karina dan Winter. Malas karena mereka pasti sedang bermesraan.

Namun sepertinya tidak untuk kali ini.

“Ini kan baju sponsor,” Karina menunjuk kardigan crop top yang barusan dia lepas, menyisakan atasannya yang cukup minim bahan

“You know what I mean,” Winter melipat tangannya dan mendengus kesal, justru membuat Karina menaikkan alisnya bingung.

Oh, sepertinya Karina paham. Gadisnya sedang cemburu.

Karina mengerling jahil sebelum berjalan ke arah Winter yang duduk di pinggir kasurnya. Dengan cepat, dia melompat ke pangkuan Winter dan mengalungkan lengannya ke leher gadis dengan rambut lebih pendek itu.

“Astaga,” Winter sedikit terkesiap, reflek dia memeluk pinggang Karina agar gadis itu tidak merosot jatuh.

“Ga boleh cemburu gitu,” Karina dengan sengaja mendekatkan wajahnya dan berbisik pelan. Strateginya cukup berhasil karena barusan Winter meneguk salivanya kasar.

“A...aku ga cemburu,” Winter mengembungkan pipinya.

Lucu banget sih batin Karina. Tapi untuk kali ini, dia ingin sedikit bermain push and pull dengan Winter.

“Oh ya? Kalo aku yang cemburu gimana?”

Winter menoleh dan melihat mata Karina yang mulai sayu, namun senyumannya masih ada di wajah ayunya itu.

“Kenapa?”

“Kamu jadi sering pamer abs kamu, mentang-mentang udah jadi ya?” Karina dengan sengaja menyelipkan tangannya untuk mengelus perut rata Winter.

Yang di bawah hanya bisa menahan desahannya karena Karina tidak hanya mengelusnya sekali, namun membiarkan jarinya bermain di atas otot-otot perut Winter.

“Itu baju kan dari stylist unnie,” jawab Winter dengan suara yang masih bergetar, berusaha menahan nafsunya untuk mengangkat kekasihnya dan menindihnya di kasur, untuk membuatnya meneriakkan namanya berkali-kali.

Winter harus menahannya karena mereka masih banyak jadwal dan akan menjadi masalah besar kalo dia tidak bisa mengontrol nafsunya. Winter masih ingat kesulitan tim make up menutupi hickey dari Winter di leher jenjang Karina di akhir tahun kemarin.

“Tapi kan kamu bisa kasih masukan. Malahan kamu seneng banget. Baju yang kamu pake keluar sama Giselle juga kamu yang pilih buat jadiin crop top,” nada bicara Karina sudah terdengar merajuk. Sungguh, itu kelemahan Winter

“Aku ga suka, Winter. Aku ga suka orang-orang liat abs-mu yang bagus itu.”

“I'm only yours,” bisik Winter, pertahanannya sudah mulai runtuh ketika Karina mempererat pelukannya.

“Iya ya, mereka cuma bisa liat. Aku dong, bisa ngerasain. Trus emph...”

Karina tidak bisa meneruskan kalimatnya karena Winter sudah membungkam mulutnya dengan ciuman yang terburu-buru.

One thing that Karina likes, if Winter lost her defence, she would go hard.

Winter terus mencium Karina sampai Karina harus mendorong bahu Winter pelan, menandakan bahwa dia butuh mengambil udara. Namun karena Winter sudah kehilangan kontrol, dia mengarahkan bibir basahnya ke leher jenjang Karina.

Untung saja Winter belum sempat meninggalkan bekas di leher Karina. Aktivitasnya terhenti oleh gedoran di pintu penghubung ke kamar Giselle

“Gue tau kalian lagi enak tapi gue mau ngingetin 30 menit lagi kita pergi ada jadwal woy!”

Karina terkekeh karena melihat Winter yang memasang wajah terganggunya. Yang tidak Karina duga, Winter tiba-tiba mengangkat tubuh Karina dan membawanya ke kamar mandi.

“Win! Inget kata Giselle tadi, kita abis ini ada jadwal.”

“Cepet aja, aku ga tahan,” tukas Winter cepat dan menutup pintu kamar mandi dengan kasar.

Oh, how Karina loves when Winter got her defense crumbled like this.

Winter bukan tipe anak yang suka berbicara, Karina paham itu. Sehingga ketika dia datang dan tahu bahwa Winter sedang di studio mininya bersama Mark, Karina memilih menghabiskan waktunya berbincang dengan Shuhua.

Pun ketika Mark dan Shuhua pamit pulang, Winter hanya menggenggam tangan Karina sambil menyandarkan kepalanya ke bahu kekasihnya itu.

“Masih pusing?” Karina mengusap pipi Winter pelan, sedikit merasa bersalah karena membuatnya tidur di luar semalaman.

“Minum obat ya? Udah makan kan? Abis gitu bobo bentar ya. Aku temenin kok.”

Winter hanya mengangguk, mengiyakan rentetan pertanyaan dari Karina.

“Sini peluk,” Winter sudah terlihat mengantuk ketika Karina barusan mengganti bajunya. Kekasihnya itu merebahkan diri, memosisikan dirinya di dalam rengkuhan Winter yang kuat.

Tidak perlu waktu lama untuk Winter terlelap, menyisakan Karina yang masih menepuk-nepuk pipi Winter dengan jarinya agar kekasihnya itu tidur dengan nyaman.

Karina menoleh sedikit dan melihat notifikasi di gawai milik Winter. Dengan helaan nafas, Karina membalik gawai Winter agar layarnya menghadap ke bawah, sebelum kembali ke pelukan Winter yang mengerang dalam tidurnya karena Karina bergerak.

“How was your day?”

Pertanyaan tipikal dari Winter ketika mereka menghabiskan waktu bersama di malam hari. Karina merasa itu adalah perkembangan yang baik dari Winter; mungkin masih ingat bagaimana cueknya Winter dulu.

“Ada kuis dadakan but I got it,” jawab Karina sambil merebahkan dirinya di samping Winter. Gadis berambut pendek itu kemudian mengelus pipi tirus Karina, sebelum berhenti di bibir merahnya.

“Selalu terbaik,” kata Winter sebelum mencuri kecupan singkat.

“Good for me udah baca di perpus waktu aku chat kamu tadi,” Karina tersenyum, Winter tidak terlalu ahli dengan kata-kata, namun cara dia mengekspresikan sesuatu tidak pernah tidak membuat hati Karina berdebar.

“Kamu ngapain aja seharian? Jaemin bilang kamh mau main ps tapi gajadi.”

“Susah kalo cuma satu tangan,” Winter mengangkat tangannya yang masih dibebat, “Besok aja abis diganti.”

“Besok dianterin Bang Jaehyun jadinya?”

“Iya, dia uda bilang mau nganterin. Mungkin Mark ikut soalnya gada kelas besok,” jawab Winter sambil memainkan poni Karina, sesekali menyelipkan rambut kekasihnya itu ke belakang telinganya, “Ngomong-ngomong, tadi Mark sama Jeno ke tempat arena lagi. Dapet info kalo mobil lawanku itu mobilnya Marcus. Kata Shua, dia anak FK. Kamu kenal?”

Karina terdiam sejenak. Sebenarnya dia lupa kelebihan teman-teman Winter adalah mencari informasi sebanyak-banyaknya lalu menganalisisnya dengan cepat. Karina tahu itu persis, namun dia lupa akan fakta tersebut.

“Sayang?”

“Eh, sorry,” Karina tersenyum kecil, “Tadi aku nginget-nginget, kayaknya pernah tau aja namanya. He's not a good student, I think.”

“Iya, infonya gitu. Kamu ga pernah ada urusan sama dia kan?”

“Enggak. Kayanya pertama dan terakhir aku terlibat dengan preman, itu kamu,” Karina menyentil ujung hidung Winter gemas

“Kan bukan preman,” Winter mengembungkan pipinya, dan mendapat kecupan dari kekasihnya itu.

“Nanti aku coba tanya yang lain soal Kak Marcus itu. Sekarang tidur ya, Sayang?”

Winter mengangguk dan membiarkan Karina menariknya ke pelukannya yang hangat.

“Sayang, sini hapenya ditaroh,” kata Karina setelah menyelesaikan rutinitas malam harinya. Winter menyerahkan hapenya dan Karina meletakkannya di nakas dekat tempat dia berbaring. Setelah itu, gadis berambut panjang itu mematikan lampu utama dan mengganti lampu tidur untuk kamar Winter.

Menyadari kekasihnya masih diam, Winter dengab sengaja memanggil namanya.

“Apa?” Karina mendekatkan wajahnya ke arah Winter, dan mendapati bibirnya dikecup oleh kekasihnya itu.

“Maaf ya?”

“Kamu ga salah,” Karina mengelus rambut Winter, menyelipkan poninya ke belakang telinga sebelum mengecup keningnya.

“Aku uda buat kamu takut.”

Karina menghela nafas, “Kita bahas lain kali ya? Sekarang kamu tidur.”

Winter mengangguk dan membiarkan Karina menariknya ke dalam pelukannya. Setelah memosisikan tangan Winter yang terluka agar tidak terjepit, barulah Karina melingkarkan lengannya untuk memeluk Winter.

“Selamat tidur, kekasih hatiku,” bisik Winter yang dijawab dengan kecupan di puncak kepalanya.

Suasana UGD RSK cukup ramai malam ini. Ada beberapa pasien yang memerlukan penanganan segera, termasuk Winter dan Reinhart yang baru mengalami kecelakaan. Terlihat sosok Jeno yang berlari ke arah ruang tunggu.

“Sorry, macet,” Jeno menarik nafas panjang

“Santai, ini masih nunggu hasil rontgen kok,” jawab Mark

“Winternya dimana? Aman?”

“Masih di dalem tuh,” Jaemin menunjuk salah satu kubik yang tertutup gorden, “Sama Karina dan Shua. Bang Jaehyun tadi kesini juga. Lagi ngurus administrasi sama Ryujin.”

Jeno mengangguk, sebenarnya dirinya sedang “kencan” namun mendengar kabar mengenai Winter, dirinya langsung mengantarkan teman kencannya pulang dan langsung memacu mobilnya ke rs.

“Kayaknya gue ga pernah liat drifter yang nabrak Winter tadi deh,” kata Jaemin lagi, “Gue kan sering banget tuh nemenin Winter sama Shua sampe ke tempat preparationnya. Baru kali ini gue liat dia, mana dia langsung nantangin tandem drift sama Winter.”

“Chenle langsung ngeiyain?” Mark memiringkan kepalanya dan menoleh ke arah Jaemin yang berdiri di sampingnya, “Gue taunya gituan lewat Chenle.”

“Setau gue tadi, orangnya langsung ke tempat kumpul dan ngomong ke Winter,” jawab Jaemin, “Sebelum kalian bertiga ke tribun.”

“Winter kenal emang sama dia?” gantian Jeno yang bertanya

“Kayaknya enggak soalnya dia juga bingung. Tapi ya lo tau sendiri, Winter kan ga suka ditantang kaya gitu. Ya ditanggepin lah.”

“Bisa jadi orang itu yang kenal sama Winter,” tukas Jeno, “Waktunya kita main detektif lagi ga sie ini?”

“Lo kalo ginian semangat deh,” Mark tergelak, “Tapi gue penasaran asli.”

“Ntar gue tanya Chenle aja. Sama mungkin kita bisa ngintip arenanya. Aneh soalnya ini kan drift, uda ada tracknya, kok bisa gitu dia melenceng buat nabrak. Nabrak lo ya, bukan nyerempet,” keluh Jaemin panjang lebar

“Trus yang nabrak mana? Kabur? Ga luka dia?” Jeno memutar kepalanya untuk mencari-cari orang yang terlihat mencurigakan

“Nah itu, sama-sama dibawa ke sini tp dia langsung ilang gitu aja,” Mark mengendikkan bahunya, “Mana kita kan fokus sama Winter, jadi gatau tu orang kemana.”

“Emang mencurigakan sih,” Jeno mengusap dagunya sambil berpikir, “Ntar lah kita bahas bareng-bareng.”

“Eh tuh hasil rontgennya uda keluar,” Jaemin menunjuk petugas yang membawa amplop cokelat dan berjalan ke arah tempat Winter dirawat

“Yauda yuk kesana sambil dengerin kondisi Winter,” ajak Jeno menutup diskusi kecil mereka malam ini.

Suasana UGD RSK cukup ramai malam ini. Ada beberapa pasien yang memerlukan penanganan segera, termasuk Winter dan Reinhart yang baru mengalami kecelakaan. Terlihat sosok Jeno yang berlari ke arah ruang tunggu.

“Sorry, macet,” Jeno menarik nafas panjang

“Santai, ini masih nunggu hasil rontgen kok,” jawab Mark

“Winternya dimana? Aman?”

“Masih di dalem tuh,” Jaemin menunjuk salah satu kubik yang tertutup gorden, “Sama Karina dan Shua. Bang Jaehyun tadi kesini juga. Lagi ngurus administrasi sama Ryujin.”

Jeno mengangguk, sebenarnya dirinya sedang “kencan” namun mendengar kabar mengenai Winter, dirinya langsung mengantarkan teman kencannya pulang dan langsung memacu mobilnya ke rs.

“Kayaknya gue ga pernah liat drifter yang nabrak Winter tadi deh,” kata Jaemin lagi, “Gue kan sering banget tuh nemenin Winter sama Shua sampe ke tempat preparationnya. Baru kali ini gue liat dia, mana dia langsung nantangin tandem drift sama Winter.”

“Chenle langsung ngeiyain?” Mark memiringkan kepalanya dan menoleh ke arah Jaemin yang berdiri di sampingnya, “Gue taunya gituan lewat Chenle.”

“Setau gue tadi, orangnya langsung ke tempat kumpul dan ngomong ke Winter,” jawab Jaemin, “Sebelum kalian bertiga ke tribun.”

“Winter kenal emang sama dia?” gantian Jeno yang bertanya

“Kayaknya enggak soalnya dia juga bingung. Tapi ya lo tau sendiri, Winter kan ga suka ditantang kaya gitu. Ya ditanggepin lah.”

“Bisa jadi orang itu yang kenal sama Winter,” tukas Jeno, “Waktunya kita main detektif lagi ga sie ini?”

“Lo kalo ginian semangat deh,” Mark tergelak, “Tapi gue penasaran asli.”

“Ntar gue tanya Chenle aja. Sama mungkin kita bisa ngintip arenanya. Aneh soalnya ini kan drift, uda ada tracknya, kok bisa gitu dia melenceng buat nabrak. Nabrak lo ya, bukan nyerempet,” keluh Jaemin panjang lebar

“Trus yang nabrak mana? Kabur? Ga luka dia?” Jeno memutar kepalanya untuk mencari-cari orang yang terlihat mencurigakan

“Nah itu, sama-sama dibawa ke sini tp dia langsung ilang gitu aja,” Mark mengendikkan bahunya, “Mana kita kan fokus sama Winter, jadi gatau tu orang kemana.”

“Emang mencurigakan sih,” Jeno mengusap dagunya sambil berpikir, “Ntar lah kita bahas bareng-bareng.”

“Eh tuh hasil rontgennya uda keluar,” Jaemin menunjuk petugas yang membawa amplop cokelat dan berjalan ke arah tempat Winter dirawat

“Yauda yuk kesana sambil dengerin kondisi Winter,” ajak Jeno menutup diskusi kecil mereka malam ini.

“Tadi itu temen kamu?” tanya Winter setelah Karina mengganti mencuci tangannya setibanya di kosan.

“Iya, temen kelompok,” jawab Karina singkat. Entah kenapa tadi tiba-tiba Reinhart ikut turun menemani Karina menunggu Winter di parkiran. Walaupun sedikit kaget, Winter hanya diam dan mengajak Karina pulang.

“Ohh, baru tau.”

“Dia bilang dia kenal kamu,” Karina duduk di samping Winter yang barusan menyalakan TV

“Siapa? Aku gatau dia siapa, Sayang.”

“Hmm. Kamu tahu Seola? Seola Cho.”

“Kayaknya pernah tau, mungkin dia ponakan dari Om Kyuhyun, temen Mamahku.”

“Cantik siapa?”

“Heh? Kenapa tiba-tiba?”

“Jawab aja sih,” Karina melipat tangannya kesal, “Kenapa pake mikir gitu.”

“Aku cuma mikir yang Seola itu yang mana. Tapi siapapun itu, menurutku kamu paling cantik sih. Gila apa ada yang ga ngakuin kamu cantik.”

Karina masih merengut, membuat Winter mengubah posisi duduknya dan menghadap Karina. Perlahan, dia menguraikan lipatan tangan Karina dan menggenggam kedua tangan kekasihnya itu.

“Sayang? Liat aku sini,” kata Winter pelan

Mata Karina berkaca-kaca, biasanya ini terjadi ketika dia sedang kesal dan marah. Winter mengecup bibir Karina sekilas, membuat yang dikecup tersenyum kecil.

“Kamu merengut gitu aja cantik, apalagi senyum. Senyum ya, Sayang?”

“Iya. Aku ikut ke arena ya malam ini?”

“Lah? Ngapain?”

“Emang kenapa? Ada yang kamu sembunyiin?”

“Gada, Karina. Cuma tempatnya rame dan berisik, kamu gapapa?”

“Gapapa, aku pengen tahu aja.”

“Iya, aku bilang anak-anak ya nanti.”