One Hundred and Twenty Five
cw // fight, blood
Winter mengedarkan pandangannya. Berbekalkan data dari Ryujin mengenai foto Marcus, dia berangkat ke Mabes seorang diri untuk menemui sosok yang sepertinya memegang kunci atas kerisauannya. Kondisi Karina yang aneh yang sempat mendistraksinya dari tujuan awal semakin membuat rasa risau di dadanya semakin penuh.
Sebenarnya Winter tidak terlalu suka Mabes. Apa sih maunya tempat ini? Tongkrongan eksklusif anak-anak konglomerat yang ngomongin soal dunia? Sambil bermain bilyard atau arcade game lain. Ditemani stok alkohol dan rokok, tentu tempat ini serasa surga bagi mereka.
Winter sih lebih memilih melakukan itu semua di rumah Shuhua, toh lebih enak bersama dengan teman-teman dekat.
Tanpa menunggu waktu lama, Winter akhirnya menemukan sosok Marcus yang barusan datang. Aura sombong terlihat dari caranya menyapa beberapa orang dengan sok asik. Winter bukan orang yang suka basa-basi. Maka ketika Marcus melewatinya, dia memegang bahunya pelan.
“Ya? Kenapa sis?” tanya Marcus sok asik. Tanpa diduga, Winter melayangkan pukulan keras sampai Marcus terjengkang ke belakang.
Secara fisik Marcus lebih tinggi dari Winter, namun kekuatan Winter tidak pernah berkurang dari dulu hingga sekarang.
“Anjing!” Marcus mengusap bibirnya yang berdarah dan berusaha untuk berdiri. Tapi Winter lebih cepat untuk menendang perutnya sehingga Marcus kembali tersungkur di lantai.
“Oh jadi ini yang katanya ngalahin gue di Arena?”
“W..Winter?”
Kasak kusuk terdengar di sekitar mereka berdua. Entah membicarakan sosok Winter yang jarang mereka lihat atau kemungkinan kalau Marcus membual.
“Kenapa? Kok kaget gitu?” Winter berjongkok dan mencengkeram kerah baju Marcus, “Kayaknya gue denger lo jago banget.”
“Win.. gue...”
plakk
Tamparan keras diterima pipi kiri Marcus. Dapat dipastikan telinganya berdenging melihat kerasnta tamparan dari telapak tangan Winter yang lebar itu.
“Ngomong yang jelas,” desis Winter
“Win, sumpah gue minta maaf,” kata Marcus sambil bergetar
“Apa? Ga denger,” Winter kembali menampar Marcus sampai dia terjengkang ke samping.
“Winter!” tiba-tiba sosok tinggi besar menariknya untuk berdiri, “Anjir Win, bisa mati dia lo gituin.”
Winter menoleh ke samping, ada Jeno dan Shuhua datang
“Dah, ayo pulang,” Shuhua menarik lengan Winter untuk bergerak. Yang ditarik hanya menghela nafas dan bergerak pergi.
“Bukan gue,” bisik Marcus pelan, “Bukan gue yang nyetirin mobil itu dan nabrak elo.”
“Iya gue tau. Siapa namanya?” tanya Winter dingin
“Reinhart.”
Winter hanya mengangguk, mengingat nama itu untuk dia cari nanti.
Ketika mereka bertiga akan keluar dari Mabes, dua sosok yang setinggi Jeno menghentikan mereka. Si kembar Valen dan Tino, pemilik tempat ini.
“Enak aja mau pergi, udah bikin rusuh,” kata Valen, yang memiliki potongan rambut cepak 2cm sehingga membedakan dengan kembarannya yang sedikit gondrong.
“Apaan sih, temen lo itu yang bikin rusuh ya,” dengus Jeno berusaha melewati hadangan mereka berdua. Valen yang merasa Jeno tidak sopan, menarik bahunya keras untuk berbalik. Namun Valen salah, karena dengan cepat Jeno menarik tangannya dan memutarnya ke atas, membanting sosok besar Valen ke lantai.
Melihat kembarannya diserang, Tino merangsek maju. Namun kalah cepat dengan kaki Shuhua yang mencatutnya sampai terjatuh. Ketika Tino bangkit dan akan menyerang Shuhua, Winter sudah terlebih dahulu meninju hidungnya sampai terdengar bunyi krek yang keras.
“Kalian mau ganti rugi?” Winter menggelengkan kepalanya heran, “Yauda sini gue bayar.”
Winter membuka dompetnya dan mengambil uang ratusan ribu yang ada di sana, lalu menaruhnya di dekat kaki Tino yang masih memegangi hidungnya yang bengkok.
“Kalo kurang minta temen gue Chenle dulu, ntar gue tuker.”
“Yailah keseret aja gue,” yang disebut namanya mendengus kesal
“Bantuin lah bro!” sahut Jeno sambil melompati kedua lelaki yang masih mengaduh kesakitan, “Sorry ya, bukan tandingan kita. Semoga lekas sembuh, babay.”