wqwqwq12

“Kocak banget sumpah,” Reinhart tertawa pelan setelah melihat linimasanya. Kerja kelompok mereka hari ini sudah selesai dan mereka memutuskan untuk ngobrol sebentar selagi waktu masih sore.

“Apaan?” Yuqi, sahabat dekat Rei sejak awal kuliah mendekatkan diri

“Ini, pacar lo kan?” Reinhart menunjukkan handphonenya pada Karina yang duduk di seberangnya, “Rame tuh di base kampus.”

“Oh,” Karina berusaha menahan kekagetannya, pasalnya Winter tidak bilang apa-apa dan hanya mengatakan sedang dalam perjalanan menjemputnya, “Gue baru tau juga.”

“Emang suka gitu ya Winter, cool banget,” Seola, teman kelompok Karina yang lain tiba-tiba ikut dalam pembicaraan. Sebenarnya masih ada satu orang lagi, namun dia izin duluan karena harus membantu menjaga toko ibunya.

“Seola kenal ya sama pacarnya Karina?” tanya Yuqi

“Kenal sih, tapi paling dia lupa,” Seola terkekeh, sering ketemu di acara-acara keluarga, ga nyangka dia ambil kuliah di kota ini.”

Karina hanya terdiam, entah kenapa fakta bahwa Seola pernah bertemu dengan Winter di luar sepengetahuannya, cukup menganggu pikirannya.

“Gue juga beberapa kali ketemu di mabes tuh,” sahut Reinhart, “Denger-denger dia nge-drift juga ya? Gue denger dia deket sama Chenle.”

“Iya, Chenle temen SMA gue juga,” jawab Karina pelan, dia sungguh tidak nyaman dengan obrolan ini.

“Next level banget sirkel dia,” Yuqi kembali memanaskan obrolan, “Susah disenggol, mana keluarga dia kan termasuk 10 konglomerat terkaya di negara ini.”

Pembicaraan mengenai status dan posisi keluarga Winter selalu menjadi beban bagi Karina. Rasanya selalu sesak; seakan diingatkan bahwa dia tidak selevel dengan kekasihnya itu.

“Beruntung ya kamu, Rin. Bisa dapet Winter,” kata Seola sambil tersenyum.

Untung saja suasana yang menekan Karina tersebut bisa berakhir dengan pesan dari Winter yang mengatakan dia sudah di pertigaan dekat perpustakaan FK, membuat Karina meminta izin segera untuk pulang.

“Loh uda bangun?” Karina terkekeh ketika melihat kekasihnya berjalan sambil menguap keluar kamar.

“Dingin soalnya gada kamu,” Winter mengusap matanya dan berjalan ke arah Karina yang menyiapkan sesuatu di dapur kecilnya.

“Sana cuci muka dulu.”

Tidak membutuhkan waktu lama bagi Winter untuk mencuci muka dan menyikat gigi. Karina menangkupkan kedua telapak tangannya ke pipi Winter dan mengusap pipi gembilnya.

“Morning, Cintaku,” kata Karina sambil mengecup ujung hidung mancung Winter

Yang dikecup hidungnya meminta lebih, dia menarik pinggang Karina dan mencium bibir Karina sebelum gadis berambut panjang itu protes.

“Kebiasaan,” Karina menyentil jidat Winter gemas setelah kekasihnya itu melepaskan tautan bibir mereka karena kehabisan nafas. Yang disentil hanya tersenyum lebar seperti biasanya.

“Nanti anterin ke perpus fakultas ya?”

“Iya, Karinaku.”

“Ih mulai.”

“Gampang salting banget sih, Sayang?”

“Mulutmu tuh, manis banget,”

“Mau lagi?” Winter mendekatkan wajahnya dan kembali melumat bibir favoritnya itu.

“Uda lo pesenin aja si Winternya?” Lia menaikkan alisnya bingung. Biasanya jika Winter datang menyusul Karina, mereka berdua baru akan memesan minuman untuk Winter.

“Iya, kalo ntar anaknya pasti minta es kopi,” kata Karina

“Kata Ujin dia pilek ya, Kak?” Ningning menanyakan kondisi pacar temannya itu

“Iya kemarin lusa sampai mbeler gitu. Katanya abis begadang ngerjain proyek trus sambil minum es.”

“Bandelnya masih ya,” Giselle ikut tertawa bersama dengan teman yang lain, “Kata anak-anak mabes, geng mereka tuh jarang nongol.”

“Mabes tuh apaan sih?” Lia mendekatkan diri untuk mendengar cerita Giselle

“Lo tau kan kalo sekolah kita tu kaya punya tiga tingkatan,” Giselle mengangkat tiga jari kirinya, lalu menurunkan telunjuknya, “Pertama keturunan konglomerat.”

“Bentar-bentar, emangnya sama?” Lia memiringkan kepalanya sambil berpikir keras.

“Setelah kita dua tahun di sini, rasa-rasanya sama cara klasifikasinya,” lanjut Giselle, “Kedua nih, orang kaya tapi bukan pemilik modal kalo kata Karl Marx, nah yang ketika orang biasa.”

“Dan diantara tiga itu, cuma lo doang yang masuk tingkat 1,” kata Karina sambil menunjuk Giselle, “Gue jadi paham gara-gara Mark sama Shuhua kadang ngomongin ini.”

“Berarti di geng mereka tuh malah jauh ya jaraknya kalo ngomongin kekayaan keluarga,” Ningning menganggukkan kepalanya, “Tapi keren banget sahabatan mereka.”

“Itu yang susah dicari dari sirkel orang-orang kaya,” Giselle tertawa lagi, “Makanya gue beruntung banget ketemu kalian.”

“Elah kok jadi mengharukan,” Lia menepuk bahu Giselle sambil tertawa

“Nah mabes itu sebutan dari markas besar, itu gudang sih tapi dibikin sebagus mungkin buat kumpul orang-orang kaya dan turunannya. Isinya ya ngomongin duit aja. Heran sih. Tapi ga semua yang masuk golongan konglomerat mau join ke situ, paling ya cuma mampir aja. Winter dkk kan ogah banget tuh,” jelas Giselle panjang lebar, “Selain kalo Winter juga ada faktor kalo pacarnya bawel banget.”

“Lah kok jadi gue,” Karina bersungut-sungut.

Mereka meneruskan candaan sampai Winter datang dan menghampiri meja keempat wanita itu. Awalnya, Winter sedikit bingung karena Karina sudah memesankan minuman untuknya, namun melihat senyum Karina yang penuh arti, Winter paham.

Setelah mengobrol selama kurang lebih satu jam, keempat sahabat dan Winter memutuskan untuk pulang dan beristirahat.

*****

“Hmm,” Winter hanya memejamkan matanya sambil berdehem ketika memeluk Karina erat. Bahkan Karina baru saja menutup pintu kosannya, Winter langsung menariknya ke dalam pelukan.

“Capek banget ya, Sayang?” Karina bertanya sembari mengecup kening Winter

“Iya, banyak banget tugasnya matkul yang ini.”

“Semangat,” Karina menepuk punggung Winter pelan, “Semangat calon produser kesayanganku.”

“Bisa aja kamu,” Winter tersenyum lebar sambil mengeratkan pelukannya.

“Nah sekarang ganti baju dan siap-siap tidur ya? Biar kamu istirahat yang banyak.”

“Iyaa.”

Karina mendapati kekasihnya memainkan Nintendo Switch di sofanya sambil tiduran.

“Kata sakit kok ngegame terus?” goda Karina sambil berjalan ke dapur untuk mencuci tangannya

“Bosen,” Winter hanya terkekeh pelan sambil menunggu Karina berjalan ke arahnya. Begitu kekasihnya duduk di sampingnya, Winter langsung melingkarkan lengannya ke pinggang ramping Karina.

“Mana yang sakit?” tanya Karina lembut ketika Winter malah menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Karina

“Ini,” Winter menunjukkan goresan di pipi kirinya, “Dipukul kemoceng.”

“Astaga kok bisa,” Karina mengecup pipi kekasihnya gemas sebelum mengecek wajahnya, apakah ada yang terluka lagi.

“Semalem Jeno tu bawa cewek trus kayaknya dia tinggal kuliah. Ga pulang-pulang ceweknya, Jeno minta tolong ngecekin. Kebetulan aku sama Mark yang nganggur. Waktu ke sana, tiba-tiba aku dipukul kemoceng dan diusir.”

“Kamu ga mukul dia balik kan?”

“Enggak, cuma dorong aja.”

“Dorongan kamu tu pasti bikin sakit,” Karina mengusap rambut Winter lembut

“Enggak ya,” Winter mendengus dan kembali membenamkan wajahnya di leher Karina. Perlahan dia menciumi leher jenjang kekasihnya yang selalu menjadi titik lemahnya.

“Sayang...” Karina mendesah pelan, mendorong kepala Winter untuk menjauh dari lehernya. Begitu gadis berambut pendek itu melepaskan bibirnya dari leher Karina, dia langsung dengan cepat mengulum bibir merah kekasihnya. Setelah berciuman beberapa saat, Winter melepaskan tautan bibir mereka, namun tetap menyandarkan dirinya ke Karina dan memeluknya.

“Tidur yuk?” Karina mengajak kekasihnya yang masih diam dan memeluknya erat.

Winter menekan tombol kunci untuk memastikan bahwa Audinya terkunci sebelum menyusul Mark yang sudah menunggunya di depan lift. Apartemen tempat tinggal Jeno dan Winter berada pada satu komplek, hanya beda tower saja.

“Ini cewek mana lagi coba,” Mark menggerutu setelah menekan tombol 15, lantai tempat unit Jeno berada.

“Gatau, dapet aja emang temen lo tuh,” sahut Winter acuh, “Semoga beres aja sih.”

“No drama yang penting.”

Kedua sahabat tersebut langsung masuk ke dalam unit Jeno; Winter bahkan punya kartu akses ke unit ini, sama dengan Jeno yang memegang kartu akses ke unit Winter.

Untuk alasan keamanan begitu Jessica dulu berpesan setelah keduanya memilih apartemen ini.

Mark langsung mengarah ke dapur, sedangkan Winter memilih melihat bagian kamar tidur utama. Pintunya tertutup, Winter memutar kenop dan membukanya dengan cepat.

plakk

Betapa terkejutnya Winter ketika mendapati seseorang memukulnya dengan gagang kemoceng. Tidak keras, namun pinggiran kayu tersebut membuat pipinya berdarah

“Anjing!” Winter mengumpat karena dia jatuh terduduk

“Apa ini?” Mark berlari ke sumber suara, mendapati gadis yang diceritakan, “Wow, easy girl.”

“Siapa kalian? Kenapa kalian masuk tempat ini tanpa izin?!” gadis itu menunjuk Mark dan Winter dengan kemocengnya

“Lah,” Winter mendengus, “Orang gila.”

“Gue bisa lapor satpam ya!” gadis itu masih terus mengancam.

“Kayanya muka gue ga banyak berubah dari SMA,” Mark menggelengkan kepalanya sambil menunjuk satu frame foto berisikan mereka berenam yang diletakkan di dinding ruang tengah.

“Lagian panggil aja satpam,” Winter mengeluarkan kartu akses unit Jeno, “Gue secara sah punya akses tempat ini. Lo yang justru bakalan kena, Keyra Lim.”

“Gue pacarnya Jeno!”

“Kita serius gamau bikin keributan,” Mark mendekat, “Lo silakan pergi atau kita pake cara kekerasan.”

“Silakan!” gadis itu menantang, membuat Winter melompat ke depan dan mencengkeram kerah gadis yang mulai menyebalkan di mata Winter

“Gue paling ga suka sama cewek ribet yang kebanyakan cingcong. Pergi atau gue hajar. Kalo lo mau panggil lawyer, gue juga bisa,” kata Winter tegas sambil mendorong gadis itu keras sampai menabrak tembok belakangnya, “Pergi.”

Keyra mengambil tas dan beberapa barangnya sebelum melewati Winter dan Mark, sambil mengumpat bangsat kau Lee Jeno dan menutup pintu dengan keras.

“Sebenernya gue yakin Jeno males ngadepinnya sendiri kalo dia balik,” kata Mark setelah Keyra pergi, “Kok lo tau namanya?”

“Termasuk semua datanya,” Winter menunjukkan handphonenya, “Punya temen kaya Ryujin mah harus dimanfaatin.”

“Ya deh,” Mark mengendikkan bahu, “Obatin dulu luka lo, sebelum ngatain Jeno ntar.”

Jessica menutup pintu mobilnya dengan kencang, menimbulkan suara yang keras di parkiran apartemennya. Dia hanya mengendikkan bahunya cuek sebelum masuk ke dalam.

“Kebiasaan suka dibanting banget pintunya.”

Suara yang familiar membuat Jessica terdiam sebentar, menoleh ke sumber suara.

“Hai?” Taeyeon tersenyum. Sosok itu menggunakan kemeja polos berwarna biru dengan paduan celana kulit hitam. Taeyeon melambaikan tangannya, menunggu Jessica berjalan ke arahnya.

“Kamu kok balik?”

“Ga boleh?” Taeyeon tertawa lagi, “Masih mau berdiri di sini?” Taeyeon menunjuk dirinya yang masih berdiri di depan lift.

“Let's talk upstairs,” Jessica berjalan melewati Taeyeon dan memencet tombol lantainya. Perjalanan menuju lantai Jessica cukup hening, tidak ada satupun dari mereka yang membuka suara.

“Jess, aku...” Taeyeon belum menyelesaikan kalimatnya setelah masuk ke unit Jessica, dan Jessica sudah memeluknya erat.

“Jangan pergi lagi,” bisik Jessica

“Maaf,” jawab Taeyeon, “Lucu memang semakin aku pengen ngelupain, semakin aku inget sama kamu.”

“Aku pikir kamu bener-bener udah lupain aku,” Jessica melonggarkan pelukannya, menatap mata Taeyeon dalam.

Dan Taeyeon tidak bohong, ada rasa kesepian yang amat dalam pada pandangan Jessica.

“Ternyata ga bisa,” Taeyeon terkekeh, “Sepanjang aku di London, tanpa disadari ketika liat sesuatu selalu mikir kalo misal ke sini sama kamu gimana? Lucu ya padahal dulu kalo ada kepikiran kamu hatiku sakit.”

Taeyeon mengelus pipi Jessica pelan, “Emang bener kata dokter, aku harus belajar mengikhlaskan dulu. Kita gabisa ngulang hal yang dulu. Jadi kiya harus buat yang baru.”

Jessica tersenyum kecil mendengar pernyataan Taeyeon

“Maukah lagi kau mengulang ragu? Dan sendu yang sama?”

Jessica menjawabnya dengan ciuman.

“Hai,” Taeyeon mengangkat kantung plastik yang dia bawa sebelumnya. Ketika di jalan, dia sempat menelepon Jessica dan menanyakan makan malam apa yang diinginkan.

“Burger, aku pengen itu.”

“Cepet ya nyetirnya,” tukas Jessica sambil mempersilakan tamunya masuk ke dalam.

Apartemen Jessica masih sama, bagi Taeyeon bahkan tidak ada yang berubah. Ruang tengah yang cukup luas, dikombinasikan dengan kaca lebar yang menyuguhkan pemandangan jalanan kota di bawah sana.

Masih sama, bahkan Taeyeon masih bisa melihat seperangkat speaker dan pemutar piringan hitam yang sering dia gunakan dulu.

Apakah benar Jessica sama sekali tidak berubah? Apakah benar Jessica masih ada di tempat yang sama dengan saat mereka berpisah?

Tunggu

Taeyeon tidak ingin berharap terlalu jauh

Maka ketika Jessica membuka bungkusan burger pesanannya, Taeyeon hanya terdiam dan mengikuti. Tanpa banyak komentar yang dirasa tidak perlu.

***

Cukup sulit awalnya bagi Taeyeon untuk melarang Jessica meminum wine favoritnya. Taeyeon tahu, Jessica ingin menyampaikan sesuatu dan akan sangat sulit bagi dirinya untuk mengatakan dengan sadar sepenuhnya.

Akhirnya Jessica mau mengalah dengan memesan kopi untuk mereka berdua.

Obrolan mereka cukup santai, bahkan Taeyeon menanyakan mengenai kabar Yuri yang sudah tidak bertunangan dengan mantan kekasihnya ini.

“Lagian emang gara-gara Bang Yunho aja,” Jessica mendengus kesal, “Yah, kata Yuri juga diambil hikmahnya aja. Kenaikan nilai saham selama setahun lumayan.”

“Kalo tetep sama aku, ga bakalan cuan ya?” Taeyeon hanya berniat bercanda, namun respons Jessica membuatnya terkejut

“Maaf...”

“Hei,” Taeyeon meletakkan gelas kopinya dan menggenggam tangan Jessica, “Aku ga maksud gitu.”

Jessica hanya tersenyum getir, “Iya gapapa.”

Kesunyian kembali menyelimuti dua insan yang pernah saling memiliki hati satu sama lain. Taeyeon beranjak, menuju ke seperangkat pengeras suara yang dulu sering menjadi barang favoritnya ketika berkunjung. Taeyeon menekan tombol on/off, menyambungkan dengan gawainya dan memutar sebuah lagu.

Jessica paham, daridulu, jika ada banyak hal yang mengganjal di hatinya dan sulit diungkapkan dengan kata-kata, maka Taeyeon akan memutar lagu.

Intro yang familiar di telinga Jessica

Dia tahu lagu ini, dan ini bukan lagu bahagia.

T'lah kucoba t'rus bertahan Tentang cinta yang kurasa Ku mencinta, kau tak cinta Tak sanggup ku terus bertahan

Baik Jessica maupun Taeyeon terdiam, membiarkan Lyodra Ginting menyanyikan lagu ini.

Ku tak membencimu Kuharap kau pun begitu, ha-ah (kuharap begitu), yeah, yeay Tak ingin kau jauh Tapi takdir menginginkan kita 'tuk berpisah

Alunan suara indah Lyodra mengisi ruang tengah Jessica.

Kedua insan tersebut membiarkan lagu berakhir, menyiratkan pesan terakhir untuk keduanya.

“Taeyeon, maukah kamu menginap malam ini?”

Get lose aja lah boskuuu,” Hyoyeon mengajak Taeyeon yang sibuk menyesap minumannya dan duduk tenang di meja. Sedikit mengabaikan keramaian yang menjadi latar belakang percakapan mereka.

“Lo duluan aja sana, tuh si Sunny uda joget asik,” Taeyeon menunjuk temannya yang sibuk bergoyang bersama beberapa orang. Suasana club yang sedikit ramai membuat siapapun bisa berbaur dengan mudah. Terlebih, club ini terkenal dengan pengunjung yang cenderung friendly dibanding sengaja mencari orang untuk dibungkus dan dibawa pulang. Istilah yang menyebalkan menurut Sunny karena membatasi dirinya untuk berjoget bebas di tempat lain.

“Yaudah lo jangan pulang duluan ya inget kita numpang mobil lo semua,” ancam Hyoyeon sebelum ikut bergabung ke dalam kerumunan.

Taeyeon hanya tersenyum kecil, dirinya pasti akan merindukan keributan yang selalu dihasilkan oleh kedua sahabatnya itu.

“Taeyeon?” suara yang familiar menyapanya

“Oh, Tiffany? Lo ke sini juga?”

“Haha iya kebetulan aja,” Tiffany mengambil tempat di samping Taeyeon, “Lo sendirian?”

“Sama Sunny dan Hyoyeon, biasa,” Taeyeon terkekeh sambil menunjuk segerombol orang yang sedang menari cukup heboh dengan dentuman lagu The Middle dari Zedd, “Elo sendiri?”

“Sendirian aja gue, lagi pengen cari suasana baru. Temen gue pernah bilang soal club ini tapi ini pertama kali gue coba,” jawab Tiffany sambil tersenyum. Taeyeon hanya mengangguk sambil mengalihkan pandangannya ke meja lain

Sebenarnya Tiffany berbohong. Dia tidak sengaja bertemu Hyoyeon pagi ini di café yang terletak di bawah kantor mereka dan menanyakan mengenai rencana Taeyeon malam ini. Hyoyeon hanya menjawab mereka akan ke club dan Tiffany mengatakan akan menyusul tapi belum tentu, agar Hyoyeon tidak memberitahu Taeyeon.

“Taeyeon…”

“Ya?”

“Sini deh mendekat.”

Taeyeon tidak terlalu mendengar dan mencodongkan tubuhnya ke arah Tiffany, namun dirinya kaget mendapati Tiffany tiba-tiba mencium pipinya

“Tiff?”

“Eh, sorry haha,” Tiffany menggelengkan kepala, “Kayaknya gue mabok.”

Taeyeon hanya terdiam, ada yang aneh dengan wanita di depannya yang menggunakan alasan mabuk untuk mencium pipinya, justru dia melihat Tiffany masih sadar. Bahkan barusan dia menenggak segelas vodka yang dia pesan.

Ini gue beneran harus jaga jarak waktu di London

***

“Seru ya clubnya,” sahut Jessica sambil mengikuti dentuman musik untuk bergoyang

“Apa gue bilang,” Sooyoung terkekeh pelan, “Yoona mana nih?”

“Tuh makan dia,” kata Jessica sambil menunjuk Yoona yang memakan kentang goreng dengan nikmat

“Emang bocah satu itu hadeh,” Sooyoung menggelengkan kepala, “Gue haus nih, minum ga?”

“Ya deh gue ngikut.”

“Ngapain ke sini kalian haduh,” Yoona memutar bola matanya malas ketika Sooyoung mencomot kentang gorengnya

“Haus Sis, emang situ doang,” Sooyoung tertawa sambil memesan minuman ke bartender

“Rame ya tempatnya,” kata Jessica sembari mengedarkan pandangan. Tak sengaja dirinya melihat sosok yang dia kenal. Baru saja dia ingin menanyakan kepada Sooyoung dan Yoona, tiba-tiba wanita di depannya mencium pipinya, membuat Jessica memalingkan mukanya.

“Kenapa, Kak?” Yoona kaget melihat air muka Jessica yang berubah tiba-tiba

“Itu, Taeyeon sama cewek barunya,” Jessica menghela nafas panjang, membuat Yoona dan Sooyoung mengikuti pergerakan mata Jessica

“Udah ga usah diliat,” dengus Jessica, “Gue balik duluan.”

“Lah, pesenannya?” Yoona melebarkan matanya, soalnya mereka ke sini menggunakan mobil milik Yoona

“Bungkus aja udah,” tukas Jessica sambil berjalan ke arah pintu keluar

“Lah dipikir warteg apa ini,” Sooyoung berdecak. Ketika pramusaji mengantarkan minuman mereka, Sooyoung memintanya untuk dibungkus beserta sisa platter yang dipesan Yoona sebelumnya.

“Eh gimana mbak?” si pramusaji bingung

“Udah deh bungkus aja pake plastik trus dikasih sedotan gapapa. Daripada ga saya bayar nih,” ancam Sooyoung

“B—baik, Mbak.”

Tamara melirik ke spion tengah, melihat adiknya tertidur cukup pulas. Beberapa waktu terakhir setelah keluar dari rumah sakit, Wina mengeluhkan sulit tidur.

Sebuah niatan impulsif hari ini untuk pergi mengunjungi Karina membuat Wina cukup senang, mungkin karena senang dia bisa tertidur pulas.

“Seneng ya liat Wina tidur pules,” kata Jessica

“Iya. Lucu ternyata. Uda lama ga liat dia bobo.”

Jessica menggenggam tangan Tamara yang dia letakkan di pahanya

“Wina udah baik-baik aja, percaya deh. Dia juga sedang berusaha untuk kembali seperti biasa tanpa ngerepotin kamu atau yang lain.”

“Iya,” Tamara mengangguk pelan, “After all this time, rasanya aku pengen banget ngasih yang terbaik untuk Wina.”

“Dia pasti seneng punya kakak sebaik kamu, kamu gausah khawatir.”

****

Karina sedikit terkejut melihat Wina, Tamara dan Jessica yang muncul di depan rumahnya

“Kok?”

“Kami telepon ibu kamu semalam dan memutuskan untuk ke sini,” jawab Jessica yang disetujui oleh Ibu Karina

“Mamah ga bilang ih,” Karina merengut, “Kan aku bisa siap-siap dulu.”

“Siap-siap apa sih, Dek? Kan uda cantik gitu,” goda wanita paruh baya itu, “Ya kan nak Wina?”

“Hehe iya, Tante,” Wina menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, membuat Karina pun tersipu malu.

“Kami dateng mau silaturahmi,” sambung Tamara, “Sekalian besok Karina berangkat kan? Biar ditemenin Wina. Kali-kali mau disetirin dia.”

Karina tidak bisa menutupi rasa senangnya. Terbukti dengan senyumnya yang membuat matanya menjadi bulan sabit, Karina tentu sangat bahagia mendengar informasi tersebut.

“Eh kok malah ngobrol di pintu. Yuk masuk,” Ibu dari Karina mempersilakan tamu-tamunya masuk.

****

“Mamah ngomongnya banyak banget ya? Sampai Kak Jess sama Kak Tamara memutuskan nginep,” tanya Karina ketika Wina masuk ke kamarnya.

“Enggak kok, Kak. Seru banget soalnya, apalagi Kak Jess. Kayaknya mau latihan jadi ibu-ibu dia,” Wina terkekeh sambil duduk di kasur, tepat di sebelah Karina yang berbaring.

“Gitu deh kalo udah ngobrol, suka ga berhenti emang,” sahut Karina lagi. Perlahan, dia menggenggam tangan Wina, menyelipkan jari-jarinya.

“Aku suka,” Wina melihat tautan tangan mereka berdua, “Aku suka ketika aku bisa merasakan ada kehadiran Kak Karina. Aku suka ketika indra penciumanku bisa menghirup aroma wangi Kak Karina.”

Wina mengangkat tautan tangan mereka dan mengecup punggung tangan Karina

“Bolehkah aku juga memiliki hatimu, Kak?”

Canggung

Itulah yang Karina rasakan ketika dia dan Julia datang di awal. Yesaya baru mengirim pesan bahwa dirinya akan sedikit terlambat karena mobilnya masih dibawa mamanya. Sedangkan Gisel sedang berada di bengkel karena ban mobilnya bocor.

“Lucu ya, malah kita berdua yang duluan,” Lia terkekeh sambil meminum lemon tea pesanannya

“Emang disengaja sama semesta,” balas Karina, “Gue minta maaf.”

“Buat apa?”

“Apapun,” Karina tersenyum, “Dan thanks, buat semuanya.”

“Lo kaya mau ninggalin dunia.”

“Ga juga sih,” Karina tergelak, “Maaf karena gue ga bisa bales perasaan lo padahal lo uda di samping gue terus. Thanks lo uda mau bertahan di sirkel pertemanan ini walaupun mungkin lo kecewa atau benci sama gue.”

“Gue gapernah benci sama lo, Rin,” Lia memainkan sedotannya, “Gue selalu takut buat maju, buat ngeyakinin diri gue kalo gue bisa lebih dari temen.”

“Kenapa lo takut?”

“Gue gamau kehilangan temen,” Lia tersenyum sedih, “Lo temen gue pertama. Temen gue yang ga liat latar belakang gue, ga liat nama belakang gue.”

“Gue gatau anjir,” Karina tergelak, “Kirain bercanda, ternyata beneran. Gue ngerasa cocok aja sama lo dari awal.”

“Intinya, gue minta maaf. Gue kayaknya kelamaan mikir dan kebanyakan menimbang-nimbang kemungkinan, yang ada lo malah bakalan terjebak sama kebimbangan gue. Gue gamau itu terjadi diantara kita.”

“Gue juga minta maaf kalo selama ini ga bisa liat effort lo lebih,” Karina menghela nafas, “Setiap gue berusaha numbuhin rasa ke elo, lo uda nutup semua aksesnya.”

“Gue gamau semua berantakan, Rin.”

“I know.”

“Let's start again, shall we?” Lia mengangsurkan tangannya dan disambut hangat oleh Karina, dengan senyuman terbaiknya.