wqwqwq12

Suara berisik membangunkan Jessica, oh, dirinya tertidur dengan posisi duduk. Setelah merenggangkan tubuhnya, dia memakai sandal rumah dan keluar dari ruang kerjanya.

Baik Taeyeon dan Jessica  cukup suka bekerja di rumah, makanya ada satu ruangan khusus yang isinya studio kecil Taeyeon, ruang kerja Jessica dan perpustakaan mini yang biasanya digunakan Winter untuk belajar. Minggu lalu, ruangan ini baru direnovasi sehingga posisi ruang kerja Jessica sedikit tersembunyi di belakang. Biar ga banyak gangguan kata Jessica.

Betapa terkejutnya Jessica ketika dia membuka pintu yang menghubungkan ruang kerjanya dan perpustakaan mini, Winter dan Taeyeon terlihat sedang kebingungan, dan ada Karina di belakang membawa sekotak kue.

“Kalian ngapain?” tanya Jessica membuat keduanya menoleh ke belakang.

“LOH MOMMY TU MUNCUL DARIMANA?” Winter setengah berteriak dan memeluk mommynya, “Kami nyariin daritadi kirain Mommy marah.”

Jessica terkekeh sambil mengelus puncak kepala anak tunggalnya itu, “Mommy di ruang kerja daritadi.”

“Oh iya... Ruang kerjanya ganti posisi sama pintu ya,” Taeyeon menggaruk kepalanya

“Umma ih bikin panik,” Winter mendengus sebal

“Trus, mau apa?” Jessica melepaskan pelukannya sambil menunjuk kue yang dipegang Karina

“Hehe, selamat ulang tahun Mommyku sayang!” Winter mengecup pipi Jessica, diikuti oleh Taeyeon yang mengecup pipi sebelahnya. Karina menyalakan kue dan disodorkan kepada Jessica

“Tante, selamat ulang tahun ya. Semoga usianya berkah terus,” ucap Karina sambil tersenyum manis.

“Makasih semuanya,” Jessica tergelak, “Hampir gagal ya surprisenya?”

“Iya ih gara-gara Umma doang nih,” Winter menunjuk Ummanya yang sibuk nyengir

“Ya maaf, namanya orang tua,” Taeyeon balas meledek, “Lilinnya ditiup dong sayang.”

Jessica meniup lilin yang berada di atas kue dan mendapatkan tepuk tangan meriah dari Taeyeon maupun Winter. Perlahan, Taeyeon menarik lengan Jessica untuk ke studio, Winter dan Karina mengekor di belakang.

“Sebelum tidur, kami mau perform,” Winter duduk di depan keyboard sambil memencet tutsnya, “Ini lagu lama banget, Mommy. Tapi kata Umma, Mommy pasti suka.”

Taeyeon mengerling jahil sebelum menyalakan microphonenya

“Karina, sini duduk sebelah tante buat liat dua wanita favorit kita,” Jessica tertawa melihat Karina yang malu-malu bergeser.

Awalnya ku tak mengerti apa yang sedang kurasakan Segalanya berubah dan rasa rindu itu pun ada Sejak kau hadir di setiap malam di tidurku Aku tahu sesuatu sedang terjadi padaku

Sudah sekian lama kualami pedih putus cinta Dan mulai terbiasa hidup sendiri tanpa asmara Dan hadirmu membawa cinta sembuhkan lukaku Kau berbeda dari yang kukira

Aku jatuh cinta kepada dirinya Sunguh-sungguh cinta, oh, apa adanya Tak pernah kuragu namun tetap selalu menunggu Sungguh aku jatuh cinta kepadanya

Jessica tersenyum lebar. Mungkin dia tidak pernah lagi menghitung usianya, namun dia selalu bersyukur di setiap pertambahan usianya, dia selalu diberikan kehangatan melalui keluarga kecilnya ini.

#Surprise

Suara berisik membangunkan Jessica, oh, dirinya tertidur dengan posisi duduk. Setelah merenggangkan tubuhnya, dia memakai sandal rumah dan keluar dari ruang kerjanya.

Baik Taeyeon dan Jessica  cukup suka bekerja di rumah, makanya ada satu ruangan khusus yang isinya studio kecil Taeyeon, ruang kerja Jessica dan perpustakaan mini yang biasanya digunakan Winter untuk belajar. Minggu lalu, ruangan ini baru direnovasi sehingga posisi ruang kerja Jessica sedikit tersembunyi di belakang. Biar ga banyak gangguan kata Jessica.

Betapa terkejutnya Jessica ketika dia membuka pintu yang menghubungkan ruang kerjanya dan perpustakaan mini, Winter dan Taeyeon terlihat sedang kebingungan, dan ada Karina di belakang membawa sekotak kue.

“Kalian ngapain?” tanya Jessica membuat keduanya menoleh ke belakang.

“LOH MOMMY TU MUNCUL DARIMANA?” Winter setengah berteriak dan memeluk mommynya, “Kami nyariin daritadi kirain Mommy marah.”

Jessica terkekeh sambil mengelus puncak kepala anak tunggalnya itu, “Mommy di ruang kerja daritadi.”

“Oh iya... Ruang kerjanya ganti posisi sama pintu ya,” Taeyeon menggaruk kepalanya

“Umma ih bikin panik,” Winter mendengus sebal

“Trus, mau apa?” Jessica melepaskan pelukannya sambil menunjuk kue yang dipegang Karina

“Hehe, selamat ulang tahun Mommyku sayang!” Winter mengecup pipi Jessica, diikuti oleh Taeyeon yang mengecup pipi sebelahnya. Karina menyalakan kue dan disodorkan kepada Jessica

“Tante, selamat ulang tahun ya. Semoga usianya berkah terus,” ucap Karina sambil tersenyum manis.

“Makasih semuanya,” Jessica tergelak, “Hampir gagal ya surprisenya?”

“Iya ih gara-gara Umma doang nih,” Winter menunjuk Ummanya yang sibuk nyengir

“Ya maaf, namanya orang tua,” Taeyeon balas meledek, “Lilinnya ditiup dong sayang.”

Jessica meniup lilin yang berada di atas kue dan mendapatkan tepuk tangan meriah dari Taeyeon maupun Winter. Perlahan, Taeyeon menarik lengan Jessica untuk ke studio, Winter dan Karina mengekor di belakang.

“Sebelum tidur, kami mau perform,” Winter duduk di depan keyboard sambil memencet tutsnya, “Ini lagu lama banget, Mommy. Tapi kata Umma, Mommy pasti suka.”

Taeyeon mengerling jahil sebelum menyalakan microphonenya

“Karina, sini duduk sebelah tante buat liat dua wanita favorit kita,” Jessica tertawa melihat Karina yang malu-malu bergeser.

Awalnya ku tak mengerti apa yang sedang kurasakan Segalanya berubah dan rasa rindu itu pun ada Sejak kau hadir di setiap malam di tidurku Aku tahu sesuatu sedang terjadi padaku

Sudah sekian lama kualami pedih putus cinta Dan mulai terbiasa hidup sendiri tanpa asmara Dan hadirmu membawa cinta sembuhkan lukaku Kau berbeda dari yang kukira

Aku jatuh cinta kepada dirinya Sunguh-sungguh cinta, oh, apa adanya Tak pernah kuragu namun tetap selalu menunggu Sungguh aku jatuh cinta kepadanya

Jessica tersenyum lebar. Mungkin dia tidak pernah lagi menghitung usianya, namun dia selalu bersyukur di setiap pertambahan usianya, dia selalu diberikan kehangatan melalui keluarga kecilnya ini.

Tamara mendorong kursi roda milik Wina perlahan. Mereka sengaja menyingkir untuk berbicara berdua, membiarkan Jessica dan Karina mencari makan terlebih dahulu.

“Di sini aja ya?” Tamara menghentikan dorongannya dan duduk di pagar batu yang menjadi pembatas antara jalanan dan tumbuhan-tumbuhan di taman. Wina hanya mengangguk, membiarkan kakaknya itu memulai pembicaraan.

“Wina, aku minta maaf,” kata Tamara, membuka obrolan siang itu, “Aku tau aku bukan kakak yang baik, jauh bahkan.”

Tamara menghela nafasnya, sepatunya terlihat lebih menarik daripada dia harus melihat mata Wina yang memperhatikannya daritadi

“Waktu kamu lahir dulu aku seneng banget, aku punya adik. Makanya daridulu aku selalu bawa kamu kemana-kemana. Waktu kamu sakit dulu, aku ikutan nangis. Kayaknya itu semua berakhir ketika aku uda masuk kuliah ya? Kita uda jarang ketemu juga. Aku sampai gatau kalo kamu juga pengen jadi arsitek, trus malah masuk ke univ yang ada di kota ini.”

Tamara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal

“Aku sibuk banget ya, Win? Sampai gatau ada banyak perubahan di kamu. Kamu uda gede, uda ga bisa diatur-atur terus, kamu berhak memilih mana yang paling baik buat kamu.”

Setetes air mata jatuh dari mata Wina. Tamara bergerak ke depan untuk mengusapnya pelan, “Jangan nangis, Dek Wina.”

Panggilan yang sudah lama tidak keluar dari mulut Tamara dan didengar oleh Wina, terasa sangat menyejukkan di siang hari ini.

“Adek boleh pindah kuliah?”

“Boleh,” Tamara mengangguk dan mengusap kepala Wina pelan, “Adek mau ambil apa?”

“DKV.”

“Tetep di UP?”

“Iya, kayaknya enggak ke tempat lain. Gapapa kan, Kak? Kalo aku ngulang ke tahun pertama?”

“Gapapa. Asalkan kamu cocok. Jangan dipaksa ya?”

“Iya, Kak. Makasih.”

“Nanti aku bantuin urusan pindahnya, kamu gausah khawatir. Kalo ada apa-apa, bilang ya. Jangan dipendem sendiri. Kakak mungkin belum sebaik yang kamu pengenin untuk jadi kakak, tapi aku bakalan usaha kok.”

Wina tersenyum lebar melihat ketulusan dari Tamara. Memang inilah yang dia butuhkan, dukungan dari Tamara untuk menghadapi tantangan hidup ataupun suara-suara yang suka muncul di kepalanya tiba-tiba.

“Nah, sekarang certain soal kamu sama Karina,” Tamara tersenyum miring, menggoda adiknya yang mukanya bersemu kemerahan karena malu.

Tamara menutup pintu sambil terkekeh pelan. Niatan dirinya untuk langsung bertemu adiknya tertunda karena yang lebih muda sedang tertidur pulas di pelukan kekasihnya.

Eh mereka uda jadian belum sih?

Tamara hanya tertawa dengan pikirannya sendiri. Baru kemarin, dirinya terlibat pertengkaran hebat yang membuat dia harus didudukkan oleh para direksi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Beruntung sih, ada Bang Abi dan Hera, serta dukungan penuh dari Jessica membuatnya bisa melewatinya.

Masih teringat jelas bagaimana kejadian kemarin di otakknya

“Lagian kenapa sih, Tam? Kamu gapernah protes soal perekrutan?” Reno, adik ayahnya mengerutkan kening heran, “Ini tuh anaknya Om Hartanto loh. Bagus buat firma kita.”

“Aku ga peduli, Om. Yang jelas gabisa Karina tiba-tiba gajadi di sini.”

“Arsitek industrial banyak. Kenapa harus Karina? Kamu naksir ya?”

“Maksud Om apa?” Tamara menggertakkan giginya, merasa omongan omnya semakin ga masuk akal

“Ya itu. Maksa bener buat Karina di sini. Lagian kamu ngapain? Jessica emang ga cukup? Karina mau aku jodohin sama Jona,” Reno tergelak sambil menyebut nama anak bungsunya, “Jadi ga usah naksir kamu.”

“Kaya Jona punya kualitas aja,” Tamara mendecakkan lidahnya, “Bilangin ke anak temen om itu gausah masuk sini, aku uda putusin buat Karina yang masuk.”

“Kamu nantang Om?” Reno mendekatkan diri ke Tamara yang masih berdiri tegap di depannya, “Berani ya kamu?”

“Tentu saja berani, aku gamau orang ga berkemampuan kaya Om yang terus merongrong firma kita.”

“Jaga mulut kamu, Tamara! Mending kamu urus adik kamu yang ga becus itu, ga keliatan prestasinya sama sekali, malah bikin...”

bukk

Tamara sudah tidak tahan, dia memukul omnya sampai terpelanting ke belakang. Reno tidak mau kalah, dirinya langsung bangkit dan balas memukul keponakannya, menyebabkan bibir dan pipi Tamara lebam. Untung beberapa orang dengan cepat memisahkan mereka, kalau tidak akan lebih parah luka-lukanya.

“Aku uda ngelakuin hal yang tepat kan?” tanya Tamara pada dirinya sendiri, sembari menyenderkan kepalanya ke tembok dan menunggu kedatangan Jessica.

Setidaknya, dia bisa membalas orang yang seenaknya mengatakan sesuatu mengenai Winata, tanpa tahu perjuangan apa yang sedang dilewati oleh adiknya itu.

Jessica dan Karina masuk ke kamar Wina tanpa menimbulkan suara. Wina masih tertidur. Dadanya naik dan turun dengan teratur, membuat Karina tersenyum. Sosok itu terlihat damai.

Karina teringat pesan Bunda Tari tadi pagi, Wina sedikit rewel dengan sarapan dan hanya mau makan sedikit. Bunda Tari berharap Karina bisa membuat Wina makan lebih banyak.

Jessica membetulkan selimut Wina ketika Karina menata beberapa barang yang berserakan. Pergerakan kecil itu membuat Wina membuka mata dan melirik kepada dua wanita yang masuk ke kamarnya.

“Kak, haus...” bisik Wina yang langsung ditanggapi oleh Jessica. Wanita yang lebih tua tersebut mengambil gelas dan menuangkan air putih sebelum membantu Wina duduk.

“Na...” panggil Karina pelan, masih takut akan tanggapan dari gadis yang lebih muda.

“Kak Karina...” Wina hanya menunduk

Kecanggungan itu terputus dengan ketukan di pintu, suster datang membawa nampan berisi makanan dan obat.

“Kakak tinggal kalian berdua ya?” kata Jessica setelah membantu Karina mengeset makan siang untuk Wina, “Wina makan yang banyak ya. Tadi bunda bilang kamu makannya dikit.”

Wina hanya mengangguk ketika Jessica mengusap kepalanya pelan. Dia berpamitan kepada Karina sebelum meninggalkan kamar Wina.

“Na, makan ya? Aku suapin,” Karina mengambil kursi di dekat ranjang

“Iya mau. Kakak ga pergi lagi kan?”

“Iya, Wina. Kakak di sini kok.”

***

Setelah kejadian sebelumnya, Karina berusaha menyingkirkan perasaan rikuh diantara keduanya. Wina makan dengan lahap ketika dia menyuapinya, itu sudah cukup bagi Karina.

“Kak...” Wina kembali memanggil Karina yang sedang membereskan peralatan makan

“Iya?”

“Apa yang kakak bilang kemarin itu benar?”

“Iya,” Karina menjawab dengan singkat dan kembali duduk di kursi sebelah ranjang, “Soal semuanya. Kamu uda mencuri perhatianku, dan I think I fall for you.”

“Emangnya kakak mau.... Sama aku?” Wina meremas selimut, suaranya bergetar, menandakan rasa tidak percaya dirinya lagi.

“Wina, why?”

“If the world fell apart, would you still love me the same?”

“Why would I not, Wina?” Karina bangkit dari duduknya dan mengecup puncak kepala Wina lembut, “I love you.”

Wina hanya bisa menangis, dan semakin terisak ketika Karina menariknya ke dalam pelukannya.

“Jangan pergi, jangan tinggalin aku, kak,” ucap Wina berkali-kali, terdengar seperti sebuah mantra di telinga Karina

Wina sedang diperiksa oleh dokter mengenai kondisinya ketika Karina tiba di rumah sakit. Setelah melalui malam yang cukup menyedihkan, entah bagi Karina ataupun Lia.

“Kita tunggu aja di taman samping yuk,” ajak Karina kepada temannya yang setia menunggunya. Lia hanya mengangguk pelan, mengikuti kemana arah Karina pergi.

Baru saja Karina membuka pintu yang mengarah ke taman, seseorang mencengkeram kerahnya dan mendorongnya sampai menabrak tembok.

“Apasih!” Lia langsung memegang tangan orang yang mendorong Karina, tapi ditepis begitu saja

“Prima?” Karina mengenali orang yang mendorongnya dengan kencang, yaitu teman dari Winata

“Prim, uda Prim,” seseorang lainnya berusaha melerai Prima dan Karina.

“Gue gabisa ya liat temen gue tersiksa cuma gara-gara lo aja!” sahut Prima yang sudah ditarik ke belakang oleh kedua temannya, melepaskan cengkeraman dari Karina.

“Gue juga gamau lihat Wina kaya gini,” Karina menahan tangisnya, berusaha untuk tetap mengontrol dirinya untuk tidak rubuh ke tanah dan kembali menangis pilu seperti semalam.

“Trus maksud kakak apa?” Ning bertanya dengan pelan, “Apa benar, Kak Karina menyukai Kak Tamara?”

Karina menghela nafas, “Kak Tamara crush gue waktu kuliah dan gue udah lupa hal itu. Gue pernah lihat Kak Tamara dan Kak Jessica sebelumnya, yang membuat gue memutuskan bahwa gue ga mungkin bisa nerusin itu.”

Karina menoleh pelan ke Lia yang terdiam dengan tatapan kosong.

“Gue tahu gue salah. Gue ga segera ngomong ke Wina dan mungkin dia denger waktu gue bercanda sama temen-temen gue via telepon di Jumat malam itu. Gue ga nyangka itu jadi trigger dia. Gue juga gamau semua ini terjadi.”

“Gimana perasaan kakak ke Wina?” Yujin bertanya pelan-pelan, takut membuat suasana menjadi runyam

“Gue suka sama dia.”

*****

Suasana canggung sebelumnya terputus dengan telepon dari Jessica yang memberikan kabar bahwa Wina sudah selesai dicek oleh dokter.

“Lo gaikut masuk?” Karina bertanya kepada Lia yang hanya terdiam di pintu

“Ga, gue di sini aja. Gue tunggu ya?” Lia hanya tersenyum kecil dan menunjuk bangku panjang di depan ruangan

Karina mengangguk dan masuk ke dalam kamar, tidak lupa menutup pintu di belakangnya.

Sosok Wina terlihat murung. Dia hanya melihat ke jendela yang mengarah ke luar, diam seperti tidak memiliki semangat.

“Winata…”

Wina menoleh, Karina bisa melihat dengan jelas perban di kepalanya. Tangan kirinya dibalut perban, sedangkan tangan kanannya menancap infus.

Gadis yang terduduk di ranjang itu masih diam, hanya mengalihkan pandangan dari luar ke sosok Karina yang menarik kursi untuk duduk di dekat ranjang.

“Naa… Aku di sini.”

Setetes air mata jatuh dari mata Wina, namun langsung diusapnya dengan cepat. Pemandangan yang membuat hati Karina seperti ditusuk bilah panah.

“Oke mungkin kamu gamau jawab kakak. Tapi, dengerin kakak bicara ya, Na?”

Karina menggeser duduknya agar lebih nyaman. Menyandarkan kedua lengannya di pinggir kasur agar bisa lebih dekat dengan Wina.

“Kakak memang sudah pernah satu organisasi dengan Kak Tamara. Dulu ketika kakak masih maba, kakak ikut organisasi yang sama dengan Kak Tamara dan Kak Hera. Jujur, iya kakak dulu sempat naksir Kak Tamara, dalam artian mengagumi dari jauh ya. Toh buktinya Kak Tamara ga inget kan sama aku?” Karina terkekeh pelan sebelum melanjutkan penjelasannya,

“Kakak selalu menganggapnya hanya sebagai sebuah hiburan dalam hidup. Ga pernah kepikiran untuk meneruskan perasaan itu, toh ketika aku liat Kak Jessica, mana mungkin mau memperjuangkan? Sudah terlalu lengkap Kak Jessica bagi siapapun. Lalu kakak ketemu kamu.”

Wina menaikkan alisnya, pertanda dia juga memperhatikan apa yang dibicarakan oleh Karina

“Awalnya aku pun sebel sama kamu, kenapa kamu liatnya kakak ini seperti menganggu? Apa kakak membuatmu tidak nyaman? Namun perasaan itu langsung berubah ketika kamu bantuin kakak buat install SkecthPro. Di situ kakak senang bisa liat kamu senyum. Kemudian besoknya kakak liat kamu tersiksa, rasanya ingin banget melindungimu dari semuanya. Kamu pantes bahagia, Wina. Tidak tersiksa seperti itu.”

Karina memberanikan diri menggenggam tangan kanan Wina

“Aku suka banget kamu ajakin ke studio pinggir pantai itu. Aku bisa lihat kamu senyum. Apalagi di hari Kamis ketika kamu cerita semuanya. Wina, I think I’m fallen for you. Kamu mungkin menjadi benci denganku setelah mendengar fakta bahwa aku pernah menyukai kakakmu. Tapi Winata, kamu salah. Mungkin beberapa hal, memang benar semua soal Kak Tamara. Tapi bagi duniaku, tidak pernah soal Kak Tamara, tapi semua soal Winata.”

*****

Karina meninggalkan ruangan Winata karena gadis itu masih terdiam, walaupun sudah menunjukkan bahwa dirinya mendengarkan perkataan Karina. Namun yang tidak Karina sadari, Lia mendengarkan semuanya. Membuat gadis itu meninggalkan bangku panjang tempat dia duduk sebelumnya karena air matanya sudah tidak bisa lagi ditahan.

Tamara dan Jessica dengan mudah menemukan Karina dan temannya yang sedang menunggu di kafe yang terletak di lobi hotel yang disebut. Mereka berdua terlihat sedang menikmati minumannya, walaupun demikian, kelelahan terpancar jelas dari keduanya.

“Karina,” Tamara menyapa adik kelasnya itu

“Malam, Kak.”

“Oh, Lia?” Jessica memiringkan kepalanya untuk melihat lebih jelas teman yang sedang bersama Karina.

“Iya, Kak Jess,” Lia tersenyum simpul, “Lama ga ketemu ya.”

“Kamu kenal?” Tamara bertanya kepada kekasihnya

“Ini si Lia, anak Om Hartono.”

“Oalah, adiknya Sonia ya?”

“Iya, Kak Tamara.”

“Wah, saling kenal ya,” Karina terkekeh. Memang dia sering menemui orang yang tiba-tiba mengenal Lia ketika mereka jalan di mall. Memang keluarga Lia ini cukup terpandang.

“Beberapa kali ketemu,” jawab Lia singkat, mengisyaratkan dengan matanya bahwa Karina tidak perlu khawatir.

Salah satu sifat Lia yang cukup menyenangkan, walaupun dia dari keluarga terpandang, dia tidak pernah memandang sebelah mata sahabat-sahabatnya. Bagi Lia, justru dirinya beruntung karena teman-temannya itu benar-benar ingin berteman dengannya, tanpa melihat nama Hartono di belakangnya. Jessica memesankan minuman untuk dirinya dan Tamara, setelah si arsitek masih sempat ingin memesan kopi, yang jelas saja ditolak oleh Jessica.

“Kamu tu harusnya tidur habis gini, malah mau ngopi,” sungut Jessica sebelum memanggil pelayan untuk memesan minuman mereka berdua.

Interaksi yang entah kenapa membuat Karina terkekeh pelan. Dinamika keduanya selalu terlihat hangat bagi Karina.

Setelah basa-basi, Tamara akhirnya masuk ke dalam topik utama pembicaraan mereka malam mini.

“Maaf ya, Rin. Kami minta kamu ke sini tapi kami juga yang minta kamu buat nemuin Wina besok,” Tamara menjelaskan, “Wina seharian ini di ICU setelah dia dioperasi. Kondisinya sempet drop banget.”

“Sekarang gimana, Kak?” Karina bisa merasakan suaranya tercekat. Berita Wina masuk rumah sakit saja sudah cukup membuatnya panik, apalagi ternyata dia sampai masuk ICU hari ini.

“Sudah masuk ruang perawatan. Ditungguin Bunda,” Tamara menarik nafas panjang. Jika diperhatian, wajahnya terlihat sangat letih. Begitupun Jessica. Biasanya wanita itu terlihat segar dan penuh senyum, namun malam ini matanya terlihat sembap dan letih. Karina hanya bisa menduga-duga kondisi Wina yang cukup parah sehingga membuat keduanya demikian.

“Ini ada diary milik Wina,” Tamara menyodorkan buku bersampul biru langit, “There are so many things left unsaid between us, and between you and her.”

Setelah menjalani sekitar 3 jam operasi, dokter beserta tim keluar dari ruang operasi dengan wajah yang cukup lelah.

“Dokter,” Tamara berdiri, diikuti oleh Jessica

“Anda keluarganya?” tanya dokter itu pelan

“Iya. Saya kakaknya.”

“Dokter Bagas,” dokter paruh baya itu mengenalkan dirinya, “Kami sudah menangani Saudari Winata. Pendaharan sudah bisa dihentikan, transfusi darah sudah kami berikan juga. Overall, semua sudah selesai. Tapi...”

“Tapi apa, Dok?” Jessica bertanya dengan khawatir

“Beberapa kali tekanan darahnya naik turun tidak terkendali. Saturasi oksigen sempat turun drastis. Ditambah dengan gegar otak ringan, membuat kepanikan dalam dirinya sehingga beberapa kali kami harus melakukan prosedur yang berbeda. Kami sudah meminta suster mengecek rekam medis Winata, namun masih belum ditemukan. Kemungkinan memang tidak ada di rumah sakit ini. Jadi saya minta tolong untuk keluarga memastikan riwayat kesehatan Winata, akan lebih baik misalnya riwayat berobatnya.”

Tamara mengangguk, “Baik. Lalu bagaimana kondisi Wina?”

“Kami masih akan menaruhnya di ICU. Butuh observasi dahulu, karena takutnya akan ada shock pasca operasi, mengingat selama proses operasi Winata mengalaminya berkali-kali.”

Tamara dan Jessica mengangguk sopan, memberikan ucapan terimakasih kepada dokter dan tim yang bertugas. Setelah itu, mereka melihat tubuh Winata dibawa ke ICU untuk observasi. Terlihat sangat lemah. Dokter bilang mereka menidurkan Winata setelah operasi untuk terus diobservasi.

“Aku harus ambil kartu asuransi Wina dulu,” kata Tamara setelah Winata dibawa ke ICU.

“Iya. Sama bawa baju ganti ya?” Jessica melihat ke piyama putihnya yang sudah berlepotan darah Winata dari kejadian sebelumnya.

“Oke. Titip Wina ya, sama kalo misalnya Bunda dateng. Beliau bilang sedang di perjalanan.”

“Iya, Sayang. Hati-hati nyetirnya,” Jessica mengecup bibir Tamara lembut, “I hope Wina will be alright.”

“She will.”

****

Tamara memutuskan untuk memarkirkan mobilnya di parkiran depan, bukan di basement seperti biasa. Ketika berjalan ke arah lift, dirinya mendengar beberapa orang beradu argumen dengan satpam di lobi depan. Tamara menoleh, dan melihat ketiga teman Winata yang memang dia kenal, sedang berdebat dengan satpam apartemennya.

“Yujin, Prima, Ning?” Tamara memanggil ketiga anak itu sambil mendekat.

“Kak Tamara!” Ning langsung memanggil kakak dari sahabatnya itu, “Kak.... Wina dimana?”

Tamara diam sejenak, sedikit heran karena air muka ketiganya terlihat sangat panik

“Kalian kenapa kesini?” Tamara justru balik bertanya

“Karena....” Ning menghela nafas, “Wina bilang capek dan nyerah.”

Tamara terdiam lagi, mengingat kata-kata Dokter Bagas sebelumnya.

“Kalian... tahu apa soal Wina?”

Ning mengerutkan alisnya tidak suka, pertanda dirinya sudah ingin marah. Beruntung Prima menahan tangannya, dan Yujin yang menjawab pertanyaan Tamara.

“Kak, kami tahu sesuatu yang kakak gatau,” jawab Yujin, berusaha tenang, “Jadi tolong beritahu dimana Wina sekarang.”

Tamara sekali lagi terdiam. Sepertinya dia mulai menyadari bahwa ketiga sahabat adiknya mengetahui sesuatu yang dia maupun Jessica tidak tahu.

“Ikut aku ke atas,” Tamara menyudahi obrolan dengan melangkahkan kakinya ke lift.

Perjalanan hanya diwarnai oleh diam yang canggung. Sampai pada akhirnya mereka sampai di unit Tamara. Kedatangan keempatnya disambut oleh gonggongan lemah dari Zero. Anjing silver itu terlihat masih kaget. Prima menggendongnya dan menenangkannya, melihat Tamara yang masih diam dan masuk ke kamarnya sendiri. Tidak berselang lama, dia keluar membawa duffel bag.

“Wina melakukan percobaan bunuh diri. Harusnya kalian tahu dia kenapa?” Tamara bertanya dengan nada menuduh.

“Kak?!” Ning menahan teriakan histerisnya, “Wina gapapa?”

“Sudah dioperasi,” jawab Tamara datar, “Jawab aku.”

“Wina mengalami anxiety disorder,” jawab Yujin pelan, “Dan memang selalu mengarah ke self harm

“What?”

“Kakak cek ke RS Pendidikan UP. Wina selalu ke sana. Kita bisa nemu diagnosisnya di kamarnya,” Yujin menjelaskan, membuat Tamara langsung berlari ke kamar adiknya. Ketiganya berpandangan sejenak sebelum mengikuti Tamara.

Kamar yang sungguh berantakan, hati ketiga sekawan itu berasa diaduk-aduk. Perasaan bersalah kembali mendera karena tidak bisa menghentikan upaya Wina untuk melukai dirinya sendiri.

“Ketemu,” kata Tamara pelan pada dirinya. Dia mengambil map bertuliskan nama rumah sakit yang disebutkan oleh Yujin. Terlihat tangan Tamara bergetar hebat, sampai dia tidak sadar bahwa gawainya berbunyi.

“Kak, ada telepon,” Prima menepuk pelan bahu Tamara, baru gadis yang lebih tua mengambil gawai dari sakunya. Tertera nama kekasihnya sedang memanggil.

“Iya, Sayang. Abis ini aku ke sana,” ada jeda yang cukup panjang sebelum Tamara dengan cepat memasukkan gawainya ke saku. Dia menoleh kepada ketiga sahabat Wina yang panik.

“Wina drop, dia kritis.”

Tamara mendapati kekasihnya sedang menangis sesenggukan, di pelukan Bundanya.

“Wina gimana?” Tamara setengah berteriak setelah berada di dekat kedua wanita kesayangannya itu .

“Masih ditangani,” jawab Bunda Tari, “Eh, ada Yujin, Prima sama Ning.”

“Bunda,” Yujin mengangguk sopan, ingin menyalami wanita paruh baya tersebut tapi sepertinya waktunya kurang tepat karena Jessica masih menangis sesenggukan.

Keenamnya masih terdiam setidaknya selama 30 menit ke depan sampai Dokter Bagas keluar dari ICU. Dia mengusap wajahnya sebelum melihat enam orang menunggu kabar darinya.

“Saya Ibunya,” Bunda Tari tersenyum kepada dokter yang menangani anaknya. Dokter Bagas mengangguuk, sebelum menerima map dari Taeyeon dan melihatnya sekilas.

“Winata barusan mengalami kejang dan shock pasca operasi. Hal ini disebabkan karena banyaknya darah yang hilang. Kami sudah menanganinya, namun kondisinya masih belum stabil. Sehingga kami masih akan menaruhnya di ICU.”

“Terimakasih, Dokter Bagas,” kata Bunda Tari sebelum Dokter Bagas berpamitan kepada mereka.

“Sekarang jelasin,” Tamara tiba-tiba membentak ketiga teman Wina yang sedang menunggu di ruang tunggu ICU bersama dengannya

“Tamara,” Jessica menahan tubuh Tamara yang sudah maju ke depan. Terlihat seperti ingin menyerang ketiga teman Winata

“Mereka tahu apa yang tidak kita ketahui, Jessica,” Tamara menggeram, amarahnya sudah terlihat memuncak.

“Kalian bicaralah di tempat lain,” Bunda Tari mendorong pelan punggung Tamara, “Bunda yang akan menunggu adek di sini.”

“Ayo,” Jessica menarik tangan Tamara untuk membawanya ke tempat yang lebi sepi. Diikuti oleh Yujin, Prima dan Ning. Jessica membawa mereka ke taman belakang, ada beberapa pasien dan pengunjung yang terlihat menikmati udara bebas di taman tersebut. Jessica memilih sudut yang jauh dari kerumunan agar tidak menganggu pengunjung lain.

“Ngomong sama aku, apa yang kalian sembunyiin,” Tamara kembali menuduh ketiga teman adiknya

“Kami ga nyembunyiin apapun, Kak!” Yujin sudah kepalang emosi. Tadi ketika Tamara langsung berlari meninggalkan mereka, mereka langsung mengikutinya. Untung Ning sempat mendengar mengenai nama rumah sakit tempat Wina dirawat. Mereka memang sedikit di belakang karena harus menitipkan Zero ke satpam, tidak mungkin membawa anjing yang sedang panik itu ke rumah sakit.

“Ga mungkin! Kalian tahu kan kalo Wina dirawat karena anxiety dan kalian ga ngasih tahu aku? Apa maksud kalian?”

Yujin mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah diari.

“Nih,” Yujin memberikan buku bersampul biru langit; warna kesukaan Wina. Tamara menerimanya dengan ragu, terlebih melihat insial nama Wina di sampulnya.

“Alasan kami ga pernah menyinggung atau menyampaikan ini semua ke kakak karena kakak adalah salah satu triggernya. Ditambah lagi, Wina tidak mau kakak terbebani dengan dirinya,” Ning menjelaskan dengan suara yang parau, dirinya habis menangis cukup lama sebelumnya.

Jessica hampir selalu menginap di apartemen Tamara setiap Minggu malam, sehingga Senin pagi seringkali mereka bertiga; dengan Winata tentunya, mereka sarapan bersama.

Jessica melirik jam dinding yang terletak di tembok dapur, menunjukkan pukul 06.30, sudah biasa Jessica bangun jam segini, sedangkan Riady bersaudara cenderung bangun lebih siang.

“Zero-ya, udah laper?” Jessica sedikit terkejut ketika anjing kecil milik Tamara dan Winata tiba-tiba menggigit ujung piyamanya, seakan mengajaknya untuk berpindah. Melihat Jessica masih sibuk melihat isi kulkas dan mempertimbangkan sarapan yang akan dibuat

“Sebentar, Zero,” Jessica menepuk kepala Zero pelan, tetapi anjing kecil itu menggonggong, memaksa Jessica untuk memberikan perhatiannya kepadanya. Jessica menoleh kepada anjing kecil itu, yang kemudian berlari kecil ke arah kamar Wina.

“Kamu kenapa sih, Zero? Winata masih tidur jam segini,” kata Jessica, “Iya kan…”

Ucapan Jessica terhenti ketika melihat Winata tergolek lemas di pinggir kasur, pergelangan tangannya penuh darah dan terlihat ada cutter di dekatnya

“Winata!” Jessica langsung berteriak dan mengecek nafas Winata. Masih ada walaupun sangat lemah.

“Tamara! Tae!” Jessica berteriak dan membuat Tamara tergopoh-gopoh berlari ke arah sumber suara

“Sayang? Apa ini masih pagi?” Tamara mengucek matanya, tercengang melihat Winata di pelukan kekasihnya.

“Panggil ambulan!” teriak Jessica lagi, sambil dirinya mengambil sarung bantal, membuatnya menjadi seperti ikatan dan mengikat lengan atas Winata. Betapa terkejutnya Jessica ketika mengangkat lengan baju Winata, begitu banyak bekas sayatan.

“Wina…” Jessica tidak bisa menahan air matanya, membiarkan dirinya memeluk erat adik dari kekasihnya itu.