wqwqwq12

“Wina kalau mau ngerokok, ngerokok aja,” kata Karina setelah mereka selesai makan malam. Kali ini Karina yang mengajak Wina ke sebuah kafe yang sering dia lewati ketika pulang dari kantor. Dan entah kebetulan sekali, mereka mendapatkan tempat di luar, melihat orang lalu-lalang di pedestrian.

“Kakak ga masalah sama asap rokok?” Wina balik bertanya

“Masalah sih,” Karina sedikit terkekeh, “Ayah aku meninggal karena kanker paru-paru. Dia perokok berat. Abangku sempet ngerokok ketika stress soal kerjaan, walaupun Mamahku ngingetin, tetep aja dia lakuin.”

Wina hanya mengangguk. Dia mengeluarkan rokok dari tas kecilnya dan menyalakannya. Tapi dia tidak melihat ke arah Karina, setidaknya asap rokoknya tidak mengenai wajah Karina.

“Kakak udah gapunya Ayah?” tiba-tiba Wina bertanya setelah keheningan menemani Wina menghisap rokoknya

“Iya. Sejak SMA,” jawab Karina

“Ayahku meninggal ketika aku masuk kuliah,” Wina mematikan rokoknya, menggeser posisi duduknya untuk melihat Karina, “Alasan aku jadi kaya gini.”

Karina hanya memainkan sedotan minumannya. Dirinya pun masih bingung, apakah Wina sudah benar-benar siap ingin menceritakan sesuatu dengannya? Atau hanya melihatnya sebagai seseorang yang sambil lalu?

“Wina…”

“Malam itu, adalah malam-malam seperti biasa ketika ada suara menganggu di kepalaku,” Wina membuka ceritanya, mengingatkan Karina pada kejadian ketika Wina terlihat sangat kacau di malam itu.

“Aku sudah ke psikiater, jika kakak penasaran,” Wina meneguk air putih yang dia pesan, “Tapi Kak Tamara dan Kak Jessica gada yang tau.”

“Why?” Karina mengangkat alisnya heran. Setidaknya, kedua orang itu adalah orang terdekat Wina dan Karina tahu sendiri betapa Jessica sangat perhatian kepada Wina.

“Karena mereka juga trigger-ku,” Wina menghela nafas, “Kak, aku mau cerita ya?”

“Boleh.”

“Kak Tamara adalah kebanggaan keluara Riady. Pinter, cantik dan mandiri. Dari kecil, doi udah berprestasi. Ditambah lagi, dia pacaran sama Kak Jessica yang notabene juga keluarga terpandang.”

Karina mengangguk. Tamara adalah kakak kelasnya, walaupun mereka terpaut 4 tahun, tapi cerita mengenai Tamara selalu ada di kalangan kakak tingkat dan dosen-dosennya.

“Ayah sama Bunda bangga banget. Apalagi Kak Tamara ambil arsitektur, sesuai dengan keinginan keluarga besar. Kemudian ada aku. Kebalikan dari Kak Tamara,” Wina terkekeh sedih, matanya terlihat sendu, “Aku ga pengen jadi arsitek, aku ga sepinter Kak Tamara. Selama ada Ayahku, aku sering dibelain, soalnya Omku suka banget banding-bandingin. Kata Kak Hera, Om Reno cuma iri aja karena dia sendiri ga sesukses kedua kakaknya, ayahku dan ayahnya Kak Hera.”

Wina memainkan sisa rokoknya tadi, berkontemplasi untuk menyalakan sebatang lagi atau tidak. Namun melihat wajah Karina, Wina memutuskan untuk tidak menyalakan rokoknya.

“Om Reno pernah bilang kalo aku cuma jadi beban soalnya Kak Tamara, ayah dan bundaku, semua orang sukses. Aku enggak. Aku bahkan enggak bisa masuk UKY.”

“Wina emang pengen jadi arsitek?”

Wina menoleh dan tersenyum lemah, “Enggak.”

Karina mulai mengerti mengapa Wina sampai setertekan itu

“Walaupun demikian, mungkin aku ada bakat ya? Bakat gambar. Ayahku arsitek, bundaku dosen tata wilayah kota. Mungkin setidaknya aku ada modal buat arsitek, walaupun aku ga pengen aslinya.”

“Kamu pengennya ambil apa, Na?”

“Semacem desain visual?”

“Gambaran tanganmu bagus,” Karina tersenyum

“Tapi aku gamau bikin Om Reno makin ngata-ngatain aku, Kak.”

“Wina, Om Reno kan enggak bayarin kuliahmu.”

“I know. Tapi aku gabisa begitu saja mengabaikan omongannya.”

Karina paham, salah satu hal yang membuat overthinking memang terkadang kita tidak bisa menghentikan komentar orang lain. Dan sebenarnya Wina sudah mengambil langkah yang tepat dengan bertemu profesional

“Sejak ayah pergi, tiba-tiba ada suara di kepalaku. Suara itu mengatakan bahwa aku ini cuma beban aja, aku ini ga berguna. Terkadang, ditambah dengan rasa sakit di dadaku,” Wina mengangkat ujung bajunya, menunjukkan luka di lengan atasnya, “Aku nyayat kaya gini biar rasa sakit di kepala dan dadaku berkurang, Kak.”

Karina hanya bisa terdiam, dia perlahan meraih tangan Wina dan menyelipkan jari-jarinya ke sela jari Wina, menggenggamnya erat.

“Kamu kuat, Wina.”

“Makasih, Kak.”

“Lo kenapa gue tanya,” Prima bukan tipe teman yang suka basa-basi, maka dari itu dirinya langsung bertanya kepada Wina. Setelah makan pecel lele di kaki lima dekat apartemen Wina, mereka memutuskan untuk berjalan sebentar, Prima tahu temannya dari SMP ini tidak akan mengajaknya jalan kaki jika tidak ada yang menganggu pikirannya.

“Kak Karina,” jawab Wina singkat

“Kenapa?”

“Diajak keluar sama orang kantornya,” Wina menghela nafasnya sambil membuat pergerakan menendang kerikil

“Trus lo ga suka?”

“Boleh ga sih, gue ga suka gitu?”

“Ga boleh kalo bukan pacar,” Prima menggoda temannya. Dia tahu temannya tidak begitu suka membuka diri kepada orang lain. Pernah ada cewek pdkt dengannya, ternyata dia hanya ingin dekat dengan keluarga Riady.

“Haha, gue bisa apa?”

“Tapi lo suka kan dengan Kak Karina? Ga usah bohong, Win. Waktu kita keluar bareng kemarin Minggu, lo ga bisa lepas ngelatin dia.”

“Menurut lo dia ngerasa ga?”

“Parah sih kalo cuma karena dia nginep di tempat lo. Menurut gue emang dia dasarnya baik, tapi sama lo dia ada perhatian lebih.”

“Semoga,” Wina menghela nafas lagi, “Sejak ada dia, suara-suara di kepala gue gapernah dateng. Lucu ya, padahal biasanya seminggu sekali ada aja. Kemarin abis gue kena trigger itu, gue bisa langsung tenang gara-gara ada dia.”

“Bagus dong? Lo uda cerita ke dia”

“Belum. Dia bilang dia gamau maksa gue, Prim.”

“Sumpah ya, kalo lo ga naksir gue aja yang mepet.”

“Eh anjing jangan dong,” Wina mendorong bahu Prima yang membuat temannya itu terbahak

“Canda doaaang. Pelan-pelan aja, Win. Tapi jangan kaya kata tukang fotokopi.”

“Apaan tuh?”

“Ditunggu apa ditinggal?”

“Yaelah setan!”

“Kita mau kemana, Wina? Biar aku ga salah pakai baju,” Karina bertanya ketika sudah selesai membalut luka Wina. 30 menit yang menyiksa bagi Karina, karena dirinya harus menahan diri untuk tidak menghela nafas melihat luka sayatan Wina yang cukup banyak.

“Pantai, pakai baju santai aja ya, Kak,” Wina tersenyum, “Nanti aku yang nyetir kok.”

“Kamu gapapa nyetir?”

“Gapapa, Kak,” Winter mengangguk santai, “Aku siap-siap dulu ya. Kakak juga.” Tidak membutuhkan waktu lama bagi Karina dan Wina untuk bersiap-siap; entah mengapa sepertinya mereka cukup kompak dengan outfit hari ini, paduan jeans dan atasan putih.

Mereka berdua bersiap untuk pergi setelah Wina mengambil kunci mobilnya ketika Jessica masuk ke apartemen.

“Mau pergi?” Jessica memiringkan kepalanya, melihat pakaian Karina dan Wina yang cukup rapi di Sabtu pagi ini.

“Iya, Kak. Ke pantai,” jawab Wina singkat

“Oh ke tempat kamu biasanya main sama temen-temenmu itu ya?” tanya Jessica yang dijawab dengan anggukan kecil dari Wina, “Yaudah jangan lupa pakai topi ya, Wina. Cuacanya panas.”

“Iya, Kak,” Wina mengangguk lagi, diikuti oleh Karina yang dibalas senyuman hangat dari Jessica.

Lagi, Karina merasa banyak sesuatu yang rikuh diantara Jessica, Tamara dan Wina.

****

Wina memang mengatakan akan mengajaknya ke pantai, namun Karina tidak menyangka bahwa tujuan utamanya bukan pantainya itu sendiri. Ada sebuah studio kecil yang terletak di pinggir pantai.

“Aku sering kesini, Kak,” kata Winter, menjawab pertanyaan dari mata Karina ketika dia dipeluk oleh pemilik studio mini ini, “Aku suka ngelukis dari dulu dan tempat ini sangat menyenangkan.”

“Mau ditemenin atau bikin sendiri, Win?” Boa, pemilik studio tersebut menanyakan mengenai aktivitas yang akan dilakukan oleh Wina.

“Sendiri dulu aja, Kak. Mau coba-coba, lagian kakak kayaknya lagi banyak pelanggan.”

“Haha iya, tumben banget nih. Terkenal habis gini kayaknya aku,” Boa terkekeh sebelum menoleh ke arah Karina, “Semoga kamu menikmatinya ya, Karina.”

“Iya, Kak Boa. Terimakasih banyak,” Karina tersenyum merespon sikap bersahabat dari wanita yang lebih tua itu.

Wina kemudian mengajak Karina ke sebuah spot yang tidak jauh dari studio, cukup teduh dan dekat dengan pantai. Sepertinya bangunan ini baru dan terbuka, membuat Karina bisa menikmati semilir angin pantai dengan leluasa.

“Udaranya enak ya, Kak,” kata Wina ketika Karina terlihat seperti melamun melihat ke arah pantai

“Eh, sorry. Malah ngelamun,” Karina tersenyum. Matanya menangkap sosok Winter yang sedang memegang palet lukisan.

Keren batin Karina ketika melihat Wina menyapukan kuasnya ke kanvas. Gadis itu terlihat sangat bahagia, terlihat sangat lepas.

Terlihat sangat berbeda

Karina mendengus kesal. Pasalnya program tambahan yang diminta oleh OnDesign tidak pernah dia pakai sebelumnya. Hari ketiga dan keempat merupakan hari yang cukup melelahkan, terbukti dengan langsung terkaparnya Karina semalam.

Malam ini dia berniat untuk menyelesaikan programnya agar Jumat besok dia bisa segera mempelajarinya bersama dengan yang lain.

“Eh, Zero. Bikin kaget aja,” Karina terkekeh pelan melihat anjing berwarna silver itu naik kakinya. Karina sedang meluruskannya di bawah meja rendah di ruang tengah. Sebelumnya Tamara sempat menawarkan untuk menaruh meja kerja di kamar yang ditempati Karina. Tentu saja ditolak, Karina bisa menggunakan ruang tengah seperti sekarang.

Karina masih asyik mengelus kepala Zero yang mendengkur manja di pangkuannya, sampai tidak sadar bahwa ada Wina yang melihatnya dari belakang.

“Lagi nginstall Skecth Pro, Kak?”

Suara yang cukup asing membuat Karina menoleh ke belakang, disambut dengan senyuman dari Wina

deg

Karina bisa merasakan nafasnya sedikit tercekat, Wina cukup cantik dengan senyumannya.

“Eh, iya,” Karina berdehem untuk menjawab pertanyaan Wina. Entah kenapa tenggorokannya mendadak kering.

“Mau aku bantu? Emang agak sulit sih, kebetulan aku pake itu,” Wina berjalan memutari sofa yang memisahkan mereka dan duduk di lantai, tepat di sebelah Karina.

“Boleh,” Karina menggeser laptopnya agar Wina bisa melihatnya dengan leluasa. Posisi itu membuat Karina bisa melihat side profile dari gadis yang lebih muda.

Wina memiliki hidung yang sangat mancung, Tamara juga, namun rasanya lebih mancung milik Wina. Secara fitur wajah, mereka berdua sangat mirip, namun bagi Karina, Wina terlihat lebih imut karena pipinya yang tembem.

Karina memicingkan matanya, di pelipis kiri Wina terlihat seperti ada luka yang menabrak sesuatu. Pun ketika Karina mengamati layar laptopnya, dia bisa melihat buku-buku jari Wina seperti terluka.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Karina meluruskan kakinya setelah duduk di sofa ruang tengah apartemen milik Tamara ini. Cukup melelahkan sebenarnya hari pertama training inu, namun tidak jauh melelahkan dari pekerjaan dia nantinya. Karina bisa melihat bahwa firma arsitektur yang besar pun mengalami masalah kekurangan sumber daya manusia.

Tamara hanya berpesan untuk tidak sungkan menggunakan dapur, karena dia tahu mungkin Karina membutuhkannya. Dan di sinilah dia, duduk di sofa sambil meregangkan kakinya dan menikmati segelas teh susu kesukaannya; dia membeli produk ini karena Jessica memaksanya membeli sesuatu yang dia suka ketika di supermarket.

Mata Karina menyusuri desain minimalis dari ruang tengah apartemen ini. Sofa melingkar dan TV yang besar menjadi ornamen paling mencolok, sisanya hanya ada lemari rendah dengan hiasan beberapa foto di atasnya. Karina bisa melihat foto keluarga Riady di situ.

Karina memperhatikan wajah dua anak dari Alm. Sony Riady, salah satu arsitek terkenal yang sering menjadi dosen tamunya dulu.

Asli gue penasaran sama adiknya, kenapa kok aneh ya? Karina berbisik dalam hatinya. Sejak pertama kali bertemu, Winata, adik dari Tamara terlihat menghindarinya. Karina sempat bertanya pada Jessica apakah Wina tidak suka dirinya; namun Jessica hanya menggeleng

“Dia memang begitu. Nanti pasti ngajak kamu ngomong kok, Rina,” kata Jessica ketika Karina menanyakan mengenai Winata.

Karina masih melamun ketika merasakan sesuatu menyentuh kakinya. Ternyata anjing Tamara mendatanginya.

“Hi, Zero,” Karina tersenyum dan membawa Zero ke dalam pelukannya. Anjing berwarna silver itu tidak memberontak, hanya menurut ketika Karina memeluknya.

“Kok ada bekas darah?” Karina bertanya-tanya melihat bekas kemerahan di telapak kaki kanan Zero. Dia sengaja menyentuhnya, tapi Zero hanya terdiam dan menggeleng-gelengkan kepalanya manja, berarti luka ini bukan dari Zero.

Sesaat, Karina tersadar bahwa Zero tadinya keluar dari kamar Winata. Perasaan khawatir tiba-tiba menyeruak di dadanya, membuat Karina melangkahkan kakinya cepat.

“Winata?” walaupun pintu kamar Wina sedikit terbuka, Karina memilih untuk tetap mengetuk pintunya.

“Apa?” suara tidak ramah membalasnya

“Kamu terluka?”

Wina tidak segera menjawab, melainkan matanya membulat sempurna karena kaget.

“Gak, gapapa. Uda ya aku mau tidur,” belum sempat Karina membalas, Wina sudah menutup dan mengunci pintunya, meninggalkan sejuta pertanyaan bagi Karina.

Karina melihat ke luar jendela. Rencananya pada Jumat malam ini, dirinya ingin berjalan-jalan ke taman di pinggiran sungai dekat apartemen milik Tamara ini. Hera, salah satu seniornya juga, memberitahukan mengenai taman tersebut. Awalnya Hera dan Tamara ingin menemani Karina jika ingin menghabiskan Jumat malamnya dengan berjalan santai di sekitar apartemen. Namun keduanya tiba-tiba harus membicarakan sesuatu yang penting terkait firma mereka.

Pada akhirnya, Karina mengubah rencananya untuk menghabiskan waktunya di apartemen, toh hujan deras disertai angin sedang mendera kawasan tersebut. Karina menyeduh teh susu untuk menemani dirinya membaca buku; tadi Hera meminjaminya karena kemarin mereka sempat membicarakan penulis yang mereka gemari.

Karina baru saja meletakkan gelasnya di meja rendah ketika dia mendengar Zero menggonggong lemah di depan kamar Wina. Karina menautkan alisnya bingung, sedari sore dirinya tidak melihat kehadiran Wina, sehingga dia mengira bahwa gadis itu sedang keluar main.

Namun lama kelamaan, suara gonggongan Zero cukup menarik perhatian. Seperti ada yang ingin dia katakan. Karina melangkahkan kaki ke arah kamar Wina. Dia berjongkok dan menepuk kepala Zero. Baru saja Karina ingin mengetuk pintu kamar Wina, suara kaca pecah terdengar cukup keras dari dalam. Persetan dengan norma kesopanan, Karina membuka pintu kamar Wina dengan cepat.

Pemandangan di dalam kamar sungguh mengejutkan. Sangat berkebalikan dengan suasana putih dan terang di luar, kamar Wina sangat gelap. Bahkan Karina bisa mencium bau rokok yang sangat menyengat, ditambah dengan darah.

“Wina?” Karina berjalan perlahan, mulai masuk ke dalam kamar yang hanya memiliki penerangan dari cahaya lampu dari balkon dan sedikit dari ruang tengah

Karina bisa melihat sosok terduduk lemas di pojokan kasur, di dekatnya ada pecahan gelas.

“Winata…” Karina kembali memanggil nama Wina, “Winata kamu kenapa?”

Yang dipanggil hanya mendongakkan kepalanya. Matanya sembab dan nafasnya tersengal. Karina akhirnya bisa melihat lengan atas Wina yang selalu dia sembunyikan di balik baju lengan panjangnya. Samar-samar, Karina bisa melihat bekas sayatan yang tidak beraturan. Hatinya mencelos, entah kenapa dia merasa sangat sedih. Namun perasaan sedih itu hanya sebentar karena Karina melihat Wina akan meraih pecahan gelas di sampingnya. Denegan cepat, Karina meraih pergelangan tangan Wina.

“Lepasin!” Wina berteriak histeris

“Enggak,” walaupun Wina memberontak, Karina terus berusaha menahan kedua tangan Wina. Dia mengumpulkan kekuatannya untuk menarik Wina berdiri, namun entah mengapa justru membuat keduanya oleng. Beruntung Karina dan Wina terjatuh ke arah kasur, dengan posisi Wina di atas Karina.

Gadis yang lebih muda memberontak lagi, ingin melepaskan pegangan Karina yang cukup kuat.

“Na…” entah darimana Karina memanggil nama Wina dengan panggilan itu, membuat Wina terdiam tidak bergerak.

Melihat Wina yang tidak lagi memberontak, Karina menariknya ke dalam pelukan erat, meletakkan kepala Wina di ceruk lehernya dan mengelusnya pelan.

“Kak, jangan pergi ya…” Wina berbisik sebelum dirinya terlelap. Bisikan yang membuat Karina hanya bisa terdiam dan menatap langit-langit. Terlalu banyak pertanyaan di kepalanya, terlalu banyak kekhawatiran di hatinya.

“Welcome,” sambutan dari Tamara membuat Karina tersenyum lebar, bukan karena ada rasa suka seperti yang dulu dia rasakan, lebih kepada nyaman karena dianggap keluarga

Di sebelahnya, Jessica Chandra Wijaya, pacar Tamara juga tersenyum lebar menyambut kedatangan Karina.

“Wina kemana?” Jessica bertanya kepada pacarnya

“Iya,” belum sempat Tamara menjawab, Wina sudah datang di sebelahnya, memasang muka datar seperti biasa.

“Ini adek aku,” Tamara menepuk pundak Wina pelan, “Winata El Riady.”

“Salam kenal, Winata,” Karina menganggukkan kepalanya, “Karina Putri Santoso.”

“Salam kenal juga,” jawab Wina singkat. Ada sedikit suasana rikuh di sana. Jujur Karina bingung, apakah ada yang salah dengan kehadirannya? Namun pertanyaan-pertanyaan itu pun tidak terjawab. Siapa yang akan menjawab? Tentu tidak ada.

Untung saja suasana rikuh tersebut berakhir dengan datangnya sopir Jessica yang membantu membawakan koper Karina. Setelah masuk kamar yang disediakan untuknya, Jessica meningatkan bahwa nanti mereka berempat akan makan bersama di rumah.

“Istirahat dulu, Rin. Nanti pasti dipanggil, kamu pasti capek abis nyetir 3 jam tadi,” kata Jessica setelah Karina melepas jaketnya, “Kamar mandinya ada di sebelah, kamar ini kebetulan gada kamar mandinya.”

“Iya, Kak. Thanks banget udah dibantuin.”

“Sama-sama.”

*******

Suara-suara itu datang lagi.

Wina tidak pernah suka dengan pertemuan yang melibatkan topik mengenai arsitektur.

Lihat bagaimana Jessica dan Tamara cukup bangga ketika Karina menceritakan kuliahnya

“Diem anjing,” suara-suara itu benar-benar menekan Wina

Itulah yang bikin kamu tu gagal. It's all your own fault. Ngapain kamu ada di dunia ini?”

“Stop!” Wina membenamkan wajahnya ke bantal agar teriakannya tertelan, diikuti tangisan lirihnya.

“Ayah... Tolong....”

Jessica mengetuk pelan pintu kamar Wina; mendapati jawaban yang cukup lemah dari adik pacarnya itu.

“Wina, makan dulu ya? Kamu sakit?” Jessica meletakkan punggung tangannya di jidat Wina, terasa sedikit panas

“Kecapekan aja, Kak,” Wina menjawab sambil menutup pintu kamarnya, seolah tidak mau Jessica melihat isi kamarnya.

“Pucet banget kamu,” Jessica mengarahkan Wina ke meja makan dan menyiapkan makanan untuknya, “Kalo ga suka bilang ya, nanti Kakak belikan yang lain.”

“Suka kok, Kak Jess. Gausa khawatir.”

Baik Wina dan Jessica makan dalam diam. Terdiam sampai Wina menyelesaikan makannya dan memijit pelipisnya. Jessica baru akan bertanya ketika dia melihat darah mengalir dari hidung Wina.

“Wina!” Jessica bergerak ke arah Wina

“Gapapa, Kak. Udah biasa,” Wina berusaha menepis tangan Jessica tetapi kekasih kakaknya itu lebih cepat untuk menegakkan tubuhnya.

“Condong ke depan ya, pelan-pelan,” kata Jessica sambil mencubit cuping hidung Wina. Setelah beberapa saat, mimisan tersebut sudah berhenti.

“Kak, aku pusing. Mau rebahan di sofa,” bisik Wina pelan

“Enggak ke kamar sekalian?”

“Enggak usah,” Wina berjalan pelan, dituntun oleh Jessica. Setelah merebahkan diri, Jessica membantu mengatur bantal agar tidur Wina lebih enak. Perlahan, Jessica menepuk perut Wina dan membiarkan gadis yang lebih muda tertidur.

“Uda denger belom ada anak baru satu, bakalan di tim elo kayaknya, dude,” Hera menengguk kopinya. Sore ini dia dan sepupunya, Tamara, sedang menghabiskan waktu di café dekat kantor mereka

“Anjir pantesan Mita sama Andre kaya ngasi gue info-info. Gue pikir apaan,” Tamara tergelak sambil menghisap rokoknya, “Mayan lah ada tim baru. Masa gue cuma dikasi 2 orang plus satu admin. Banyak pusingnya anjir.”

“Ya lo ga minta ke Bang Abi, kan dia uda nanyain. Lo jangan bikin abang gue pusing ya sama permintaan elo yang ada aja. Arsitek bidang industri emang dikit banget di sini mah.”

“Ya gue kan menyesuaikan agar gue kerjanya enak brooo,” Tamara tertawa lagi. Dia meletakkan sisa rokok ke asbak, dan mengambil rokok selanjutnya. Belum sempat dia menyalakan rokok, ada suara yang menghentikannya

“Uda rokok ke berapa itu?”

“Eh, Sayangku,” Tamara meringis, kekasihnya itu memang tidak suka melihatnya merokok. Tamara sudah menguranginya, jauh berkurang dari jaman dia kuliah.

“Iya tuh Jess, uda ngebul banget dah pokoknya,” Hera ikut mengompori Jessica yang baru datang dengan Sunny, sahabat mereka yang lain.

“Emang bandel banget,” Jessica duduk di sebelah Tamara dan menolak untuk dicium pipinya, “Ogah, bau rokok.”

“Mampus lu Taeeeeeeeee,” Sunny tertawa sambil menyebut nama kecil dari Tamara

“Maaf dong, Sayangg,” Tamara memohon

“Iya iya, makan permen dulu sana,” Jessica memberikan permen mint ke pacarnya

“Gimana resto collab kalian?” Hera bertanya

“Lancar,” Sunny menganggukkan kepala, “Kolaborasi butik sama resto emang keren. Gue yakin lah ide bisnis kalo dari Jessica gada yang ga mantep.”

“Pacar gue,” Tamara membusungkan dadanya, sebelum Jessica mencubit pinggangnya gemas

“Btw kita tadi papasan sama Kak Eugene, katanya bakalan ada orang baru di kantor kalian,” Sunny mengubah topik daripada melihat pertengkaran Jessica dan Tamara, lebih tepatnya Jessica yang memarahi Tamara

“Iye, bakalan satu tim sama Tae tuh,” Hera menunjuk sepupunya

“Lulusan UKY kaya kita lo,” Jessica menambahkan, “Kak Eugene yang bilang.”

“Wah, satu almet sama kita tuh,” sahut Tamara, “Mantap nih pasti bokap-bokap kita bangga di surga sana, Her.”

“Suka-suka elo deh,” Hera menggeleng gemas, “Eh tawarin aja tinggal di tempat elo. Kan ada pelatihan 2 minggu tuh.”

“Boleh ga nih sama sayangku?” Tamara melirik pacarnya, “Tapi bener juga sih, ntar alesannya kaya si Agik sialan itu yang tiba-tiba kabur aja karena gabisa nemuin tempat tinggal sementara waktu mau training 2 minggu itu.”

“Boleh-boleh aja, ya ntar ketemu aku juga kan,” Jessica membetulkan poni panjang Tamara yang menusuk-nusuk matanya, “Bisa buat temen Winata juga.”

“Eh lo masih kaya perang dingin sama adek lo?” tanya Hera

“Tau deh, sejak ayah meninggal 2 tahun lalu kan dia makin pendiem dan menjauh gitu deh. Malah kadang maunya ngomong sama Jessica aja,” Tamara mengendikkan bahunya

“Lo tu perhatian dikit lah sama adek lo,” Sunny memberikan nasihat, “Kasihan lo gue liat.”

“Iyaa, ntar gue sama Jessica bakalan lebih care sama dia,” Tamara mengacungkan jempolnya

“Sayang, abis gini potong rambut ya. Poni kamu uda panjang banget,” kata Jessica setelah mereka selesai membicarakan meengenai pekerjaan

“Iyaa.”

“Whipped,” Hera cuma bisa mengejek karena dirinya jomblo

“Karina, kamu dipanggil Bu Sooyoung,” Joy, model senior di agensi Karina menepuk pundak Karina pelan, “Kamu lagi ada masalah? Kakak liat dari kemarin ga mood gitu.”

Karina hanya tersenyum kecil, “Iya kak, masalah pacar.”

“Oalah, semoga lekas beres. Tuh buruan, tadi Bu Sooyoung sendiri yang nitip pesen soalnya.”

“Makasi, Kak,” Karina berjalan gontai ke ruang rapat, sedikit heran kenapa tiba-tiba bosnya itu memanggil dirinya untuk bertemu.

Namun, bukan Sooyoung lah yang Karina lihat sedang menunggu di ruangan, namun sosok wanita berambut cokelat yang dia temui di apartemen pacarnya kemarin pagi.

“Hai, Karina,” wanita itu tersenyum, “Silakan duduk.”

“Ah....” Karina masih bingung, apa hubungan bosnya dengan wanita ini? Dan kenapa dia dicari?

“Mungkin kamu bingung kenapa ada saya tiba-tiba, padahal Sooyoung yang panggil kamu,” wanita itu tersenyum kecil, “Jessica Jung, CEO dari Blanc.”

Karina mengangguk, memproses segala informasi yang dia dapatkan barusan.

“Tujuan saya di sini sebenarnya menawarkan kerjasama ekslusif, kata Sooyoung bisa langsung ke kamu karena kami berteman dekat,” Jessica sedikit terkekeh, “Dan saya sudah baca profile kamu, saya pikir kamu cocok. Silakan ini dokumennya dibaca dulu sebelum memutuskannya.”

Jessica mengangsurkan satu folded map untuk Karina, yang diterima dengan perlahan oleh gadis berambut hitam di depannya.

“Dan satu lagi, saya mau klarifikasi.”

Karina mendongakkan pandangannya, bertemu dengan mata Jessica yang tajam

“Iya, Bu.”

“Saya dan Winter hanya bertemu dua kali. Yang kedua memang kebetulan saya sampai knocked out, dia bawa saya pulang karena saya lupa kasi alamat saya ke dia. Dan terlebih, dia tidur sofa ketika saya menggunakan kasurnya. Silakan tanya Ryujin kalo tidak percaya.”

“Kenapa...?” Karina bertanya

“Karena sepanjang saya bertemu dengannya, yang dia ceritakan hanya kamu dan kekalutannya mengenai kamu. Karina, mungkin saya bukan ahli di bidang percintaan, toh saya juga baru bertengkar dengan pasangan saya. Namun yang ingin saya sampaikan adalah percayalah pada pasanganmu. Dia punya banyak alasan di balik sikapnya, dan mungkin Winter tidak pintar menunjukkannya,” kata Jessica panjang lebar sebelum berdiri dan membereskan barang-barangnya, “Just talk it out with her, Karina.”