Her Story
“Wina kalau mau ngerokok, ngerokok aja,” kata Karina setelah mereka selesai makan malam. Kali ini Karina yang mengajak Wina ke sebuah kafe yang sering dia lewati ketika pulang dari kantor. Dan entah kebetulan sekali, mereka mendapatkan tempat di luar, melihat orang lalu-lalang di pedestrian.
“Kakak ga masalah sama asap rokok?” Wina balik bertanya
“Masalah sih,” Karina sedikit terkekeh, “Ayah aku meninggal karena kanker paru-paru. Dia perokok berat. Abangku sempet ngerokok ketika stress soal kerjaan, walaupun Mamahku ngingetin, tetep aja dia lakuin.”
Wina hanya mengangguk. Dia mengeluarkan rokok dari tas kecilnya dan menyalakannya. Tapi dia tidak melihat ke arah Karina, setidaknya asap rokoknya tidak mengenai wajah Karina.
“Kakak udah gapunya Ayah?” tiba-tiba Wina bertanya setelah keheningan menemani Wina menghisap rokoknya
“Iya. Sejak SMA,” jawab Karina
“Ayahku meninggal ketika aku masuk kuliah,” Wina mematikan rokoknya, menggeser posisi duduknya untuk melihat Karina, “Alasan aku jadi kaya gini.”
Karina hanya memainkan sedotan minumannya. Dirinya pun masih bingung, apakah Wina sudah benar-benar siap ingin menceritakan sesuatu dengannya? Atau hanya melihatnya sebagai seseorang yang sambil lalu?
“Wina…”
“Malam itu, adalah malam-malam seperti biasa ketika ada suara menganggu di kepalaku,” Wina membuka ceritanya, mengingatkan Karina pada kejadian ketika Wina terlihat sangat kacau di malam itu.
“Aku sudah ke psikiater, jika kakak penasaran,” Wina meneguk air putih yang dia pesan, “Tapi Kak Tamara dan Kak Jessica gada yang tau.”
“Why?” Karina mengangkat alisnya heran. Setidaknya, kedua orang itu adalah orang terdekat Wina dan Karina tahu sendiri betapa Jessica sangat perhatian kepada Wina.
“Karena mereka juga trigger-ku,” Wina menghela nafas, “Kak, aku mau cerita ya?”
“Boleh.”
“Kak Tamara adalah kebanggaan keluara Riady. Pinter, cantik dan mandiri. Dari kecil, doi udah berprestasi. Ditambah lagi, dia pacaran sama Kak Jessica yang notabene juga keluarga terpandang.”
Karina mengangguk. Tamara adalah kakak kelasnya, walaupun mereka terpaut 4 tahun, tapi cerita mengenai Tamara selalu ada di kalangan kakak tingkat dan dosen-dosennya.
“Ayah sama Bunda bangga banget. Apalagi Kak Tamara ambil arsitektur, sesuai dengan keinginan keluarga besar. Kemudian ada aku. Kebalikan dari Kak Tamara,” Wina terkekeh sedih, matanya terlihat sendu, “Aku ga pengen jadi arsitek, aku ga sepinter Kak Tamara. Selama ada Ayahku, aku sering dibelain, soalnya Omku suka banget banding-bandingin. Kata Kak Hera, Om Reno cuma iri aja karena dia sendiri ga sesukses kedua kakaknya, ayahku dan ayahnya Kak Hera.”
Wina memainkan sisa rokoknya tadi, berkontemplasi untuk menyalakan sebatang lagi atau tidak. Namun melihat wajah Karina, Wina memutuskan untuk tidak menyalakan rokoknya.
“Om Reno pernah bilang kalo aku cuma jadi beban soalnya Kak Tamara, ayah dan bundaku, semua orang sukses. Aku enggak. Aku bahkan enggak bisa masuk UKY.”
“Wina emang pengen jadi arsitek?”
Wina menoleh dan tersenyum lemah, “Enggak.”
Karina mulai mengerti mengapa Wina sampai setertekan itu
“Walaupun demikian, mungkin aku ada bakat ya? Bakat gambar. Ayahku arsitek, bundaku dosen tata wilayah kota. Mungkin setidaknya aku ada modal buat arsitek, walaupun aku ga pengen aslinya.”
“Kamu pengennya ambil apa, Na?”
“Semacem desain visual?”
“Gambaran tanganmu bagus,” Karina tersenyum
“Tapi aku gamau bikin Om Reno makin ngata-ngatain aku, Kak.”
“Wina, Om Reno kan enggak bayarin kuliahmu.”
“I know. Tapi aku gabisa begitu saja mengabaikan omongannya.”
Karina paham, salah satu hal yang membuat overthinking memang terkadang kita tidak bisa menghentikan komentar orang lain. Dan sebenarnya Wina sudah mengambil langkah yang tepat dengan bertemu profesional
“Sejak ayah pergi, tiba-tiba ada suara di kepalaku. Suara itu mengatakan bahwa aku ini cuma beban aja, aku ini ga berguna. Terkadang, ditambah dengan rasa sakit di dadaku,” Wina mengangkat ujung bajunya, menunjukkan luka di lengan atasnya, “Aku nyayat kaya gini biar rasa sakit di kepala dan dadaku berkurang, Kak.”
Karina hanya bisa terdiam, dia perlahan meraih tangan Wina dan menyelipkan jari-jarinya ke sela jari Wina, menggenggamnya erat.
“Kamu kuat, Wina.”
“Makasih, Kak.”