write.as

—smoking kills, so does loving you. Jakarta, dari balkon apartemen lantai dua-dua. Tengah malam. Nggak ada bintang malam ini. Jalanan masih padat dibelah orang-orang dan kendaraannya. Apakah mereka pulang atau malah baru mulai? Pintu kaca balkon bergeser terbuka. Menerangi tempat Mingyu berdiri ketika seleret cahaya dari dalam memaksa masuk. Dia mengalihkan pandangan dari bawah sana dan menemukan Wonwoo. Hanya dibalut kaos kedodoran yang berakhir di tengah pahanya yang mulus. Ada cahaya di atas kepalanya. Kayak halo. "Ngerokok terus. Impoten lo," tegurnya. Suaranya berat khas bangun tidur. "Oh sorry. Lo nggak suka rokok." Mingyu tahu. Kok Mingyu bisa tahu? Masih celingukan mencari asbak, Wonwoo menyambar rokok di jari Mingyu dan ganti menghisapnya. Lega. Sudah sangat lama sejak gelenyar racun nikotin itu memenuhi dadanya. "Gue emang benci tapi nggak pernah bilang gue nggak bisa ngerokok," jawab Wonwoo. Asap putih berhembus dari bibirnya. "Jongin yang ngajarin gue." Wonwoo menambahkan, seolah menjawab rasa penasaran di wajah Mingyu. Jongin. Jongin yang ngerokok kayak gerobak kue putu. Jongin yang mengajari dan Jongin juga lah yang membuatnya berhenti. Selain baunya yang bikin nggak tahan, ancaman kesehatan, juga teguran keluarga. Mungkin Wonwoo sudah terlanjur mengasosiasikan stik kanker tersebut dengan mantannya itu. Dan itu sudah cukup untuk membuatnya berhenti. Rokok emang cuma bagus buat diromantisasi aja. "Suruh gue berhenti." "Hm?" "Suruh gue stop dan gue bakal berhenti ngerokok." Dengusan. Wonwoo mengembalikan lintingan tersebut kepada si empunya hanya untuk ditolak. Masih belum menemukan asbak, Wonwoo mematikan rokok di pot kaktus yang Mingyu ingat mamanya paksakan untuk dipajang di sudut balkon. "Kan bahaya buat kesehatan lo, harusnya itu udah cukup sih buat lo berhenti," Wonwoo tertawa. Begitu juga mencintai Mingyu. Sama-sama bahaya tapi Wonwoo masih melakukannya. Dia berdeham. "Gue tersanjung. Tapi lo tuh harus mulai dari diri sendiri dulu. Jangan dari orang lain. Apalagi gue." "Emang lo kenapa? Salah ya?" Mata elang Mingyu memindai wajah Wonwoo. Lagi-lagi tatapan intens itu. Wonwoo buru-buru membuang muka ke gedung yang berkilauan kayak kunang-kunang. Mukanya panas. "I'm not worth it," jawab Wonwoo akhirnya. Juga satu dan lain alasan. Wonwoo nggak akan selamanya ada di sisi Mingyu. Dan apa yang Mingyu lakukan kalo itu terjadi? jadi pecandu yang lebih parah lagi? Lucu bagaimana Mingyu selalu memanggilnya dengan sebutan majikan padahal fakta di ranjang Wonwoo-lah yang selama ini jadi babunya. Mingyu nggak benar-benar mikir kalo dia bakalan melakukan ini seumur hidupnya kan? jadi simpanan dan teriak keenakan di ranjangnya. Mingyu menghela nafas. Lagi-lagi Wonwoo dan kasus rendah dirinya yang kompleks. "Kalo lo? apa yang bikin lo berhenti, Kak?" "Gampang. Kalo inget orang yang bikin gue mulai ngerokok, gue jadi nggak pingin lagi." Dan segala rasa sakit yang ditimbulkan oleh mantannya itu. Bekasnya masih ada. Di sudut atas punggung kirinya. Sering dia rasakan belaian Mingyu di bekas lukanya ketika bersenggama. Jarinya menari-nari seolah melukis tanda tanya disana. Wonwoo yakin Mingyu penasaran. Tapi dia tidak akan bercerita. Mungkin nanti. Mungkin tidak sama sekali. "Gini aja," tawar Mingyu. "Gue nggak bakal bisa putus sama sekali. Itu nggak mungkin. Jadi sebagai gantinya, gue butuh distraksi lain." "Which is...?" "Bibir lo. Kalo gue lagi pingin nyebat, lo harus cium gue." "Jadi selain nyepong lo, job desc gue nambah nih?" Tawa Wonwoo membelah malam. Tapi Mingyu terlihat serius. Tanpa disadari oleh Mingyu. Wonwoo tak ubahnya candu yang sama. Hanya dalam kemasan lebih menarik. "Yaudah sini. Bibir gue nganggur," Wonwoo menarik Mingyu yang langsung mengurungnya dalam pelukan. Tangannya melingkar di pinggang Wonwoo. "Tapi kalo lo kecanduan," bisik Wonwoo di bibir Mingyu. "Gue nggak tanggung jawab." I think i already have, pikir Mingyu. Dan bibir mereka bertemu. Tangan siapa dimana. Tak ada yang tahu lagi. Saling cumbu. Saling lumat. Jelas bukan yang pertama but it feels like one. Nggak ada kembang api agustusan yang jadi latar mereka. Hanya ada kaktus sekarat dan jakarta yang lagi gerah-gerahnya. Wonwoo melepas tautan mereka. Kembang api pindah ke dadanya, meletup-letup. "Pokoknya gue minta naik gaji," bisik Wonwoo, nafasnya tersengal. Jari Mingyu di bibirnya. Mengagumi merah yang ia ciptakan. Matanya nggak bisa pindah dari sana. Indah. "Bisa diatur," jawab Mingyu, menarik dagu Wonwoo mendekat lagi. Bibirnya. Bibir Wonwoo. Kiamat. Sekarang Mingyu paham kemana perginya bintang malam ini. Mereka semua ada di mata Wonwoo. Klise? memang. Wonwoo pun akan ninju mukanya kalo berani nyeletuk kayak gitu di momen ini. Tapi di kepalanya sekarang penuh dan cuma ada Wonwoo Wonwoo Wonwoo. Mingyu memutar tubuh Wonwoo dan membawanya memandangi jakarta. Memeluk tubuhnya dari belakang. "Bagus kan pemandangannya?" Mingyu menggumam di rambut Wonwoo. Harum. "Nggak keliatan. Gue buta," cetus Wonwoo. Merujuk pada matanya yang telanjang tanpa kacamata. Mingyu ngakak dan mengusak rambut Wonwoo, sayang. Mingyu nggak bohong waktu bilang kalo Wonwoo sedang manis-manisnya malam ini. "Capek nggak, Kak? main lagi yuk?" "Lagi?!" Wonwoo memutar badan, wajahnya horor. "Mingyu lo tuh emang beast ya...nggak ada capek-capeknya anjir..." "Yaaa gue kan udah berhenti nyebat biar gak impoten kayak lo bilang." "Baru semenit nggak nyebat aja udah sok-sokan," Wonwoo geleng-geleng. "Yaudah ayo masuk." "Nggak mau. Disini aja." Muka Wonwoo udah kayak liat pocong. "Gue tau lo gila tapi ya gak ngewe disini juga???" "Tetangga sebelah selalu kosong kok. Lagian ini udah jam berapa sih? nggak bakal ada yang liat," Mingyu masih maksa. Otak dan kelaminnya emang nggak pernah beres kalo urusan sama cowok satu ini. "Gila ya lo...," Wonwoo ngedumel tapi kemudian dia melebarkan kakinya dan membungkuk sedikit. Mingyu mengangkat kaos Wonwoo dan nyengir ketika ngeliat nggak ada underwear. Membuka celananya sendiri yang ngganjel nggak nyaman. Mingyu then squeeze and spread his hole. Sisa senggama tadi masih ada dan ngalir di paha Wonwoo. Berantakan. Pegangan Wonwoo mengencang di railing balkon ketika punya Mingyu masuk tanpa peringatan. "Lo becek, Kak," ujar Mingyu, pinggulnya mulai jalan. Wonwoo tahu dan udah nyesel nggak segera bersih-bersih karena bekas di dalem itu paling repot beresinnya. Tapi dia nggak munafik dan sebenernya suka the feeling of Mingyu's cum inside him. "Jangan khawatir. Nanti gue bantu bersihinnya." Jorok. Tapi kenapa di telinga Wonwoo terasa begitu indah? "Gue—," lenguhan. "—nggak tau kalo lo tuh eksibisionis juga ya, bangsat." "Sshh. Lo nggak pingin seantero jakarta denger lo keenakan kan, Kak? hm?" telapak Mingyu membungkam kuat mulut Wonwoo. Wonwoo mendorong pinggulnya balik. Menemui Mingyu yang maju. Rambut Wonwoo di pipi Mingyu. Tebal, hitam, dan wangi strawberry. Selain stok es krim frozen bars yang memenuhi freezernya, sampo Wonwoo termasuk satu dua tambahan benda milik Wonwoo yang kini menghuni apartemen Mingyu. Mingyu menelan desahan Wonwoo yang kian ramai. Membungkamnya dengan bibir. Nikotin bertemu nikotin. Mingyu teringat gimana Wonwoo suka sama strawberry dan dia yang kebetulan merokok. Mingyu meringis. Troye Sivan bakalan nangis bahagia melihat mereka berdua. "Hmhh kurang dalem," protes Wonwoo berisik di tengah pagutan. Mingyu menyeringai. "Gini?" Mingyu menghentak pelan. Mengirim tusukan yang membuat reputasinya di ranjang tertawa. "Lo tuh bisa nggak sih?" Wonwoo menyikut perutnya kesal. "Berani ya lo ngomong begitu? siapa yang dulu nangis keenakan abis jadi bulan-bulanan gue?" "Shut up and fuck me right!" "Lo masih bisa ngomong. Gue bakal bikin lo nggak bisa ngomong." Mengangkat satu kaki Wonwoo ke railing, Mingyu melempar seluruh berat tubuhnya ke Wonwoo. Membuktikan janjinya. Menusuk ke pusat tubuh Wonwoo dan membuatnya melepaskan precum. "Kalo gini?" sebuah hentakan. "Enak nggak?" hentakan lagi. Pinggang Wonwoo ditarik untuk kemudian ditabrakkan tanpa ampun ke belakang. Begitu kuat kaki Wonwoo di lantai bergeser sepersekian senti. Mingyu menahan pinggangnya disana lalu mengulangi penetrasi yang sama. Lagi dan lagi. Wonwoo sudah lupa cara bicara. Kaki Wonwoo merosot dan Mingyu menariknya ke dalam pelukan. Melepaskan muatan di lubangnya. Punya Wonwoo muncrat di lantai balkon, bergabung dengan abu rokok yang berceceran. Rintihan pelan lolos dari bibir Wonwoo. Mukanya kayak lagi di puncak dunia. Pure bliss. "Bawa gue masuk," pintanya. Maka Mingyu mengirim kecupan terakhir ke pelipis Wonwoo dan mengangkat tubuh setengah sadar itu hati-hati ke pelukan layaknya pengantin. Menggendongnya ke dalam. Jakarta, lewat tengah malam. Langit tanpa bintang. Jalanan padat yang familiar. Asap dan debu yang sama. Nggak sadar baru jadi saksi dahsyatnya klimaks sepasang manusia. Jakarta, dari balkon apartemen lantai dua-dua. Mereka nggak peduli Mingyu lagi jatuh cinta.