write.as

EXTRA XVI

“Sini, A.” Atra melihat Ibu menyambutnya dengan senyum saat ia melangkah mendekat ke arah sofa ruang keluarga, sofa itu — tempat dimana keluarga kecil mereka sering menghabiskan waktu bersama.

“Anak Ibu kurusan ya.” tangan Ibu yang sudah tidak halus lagi namun masih terasa sangat lembut bagi Atra; menyentuh permukaan kulit wajahnya.

“Sini, Nak.” paham akan isyarat yang Ibu berikan saat menepuk pahanya; Atra menjadikan Ibu yang sedang duduk sebagai bantalan. Memang seperti ini, sejak kecil, Atra selalu suka tertidur berbantal pangkuan Ibu; disana, jemari Ibu akan bermain dengan rambutnya; membelai lembut hingga ia terlelap.

“Dulu waktu kecil, setiap A’a lagi tiduran gini sambil Ibu elus, pasti Sena selalu marah ya, A.” Ibu tertawa kecil; seolah ada gambaran kilas balik saat ia mengucapkan kalimat tersebut.

Atra dan Sena kecil, mutiara hati yang selalu menjadi kebanggaan Ibu — sampai sekarang pun masih; selamanya.

“Kalo adeknya udah marah, pasti A’a selalu ngalah.” Atra tidak bisa melihat wajah Ibu dengan jelas, tapi ia bisa merasakan Ibu tersenyum di tengah kalimat yang ia ucapkan.

Mata Atra mulai berat. akibat belaian pada kepalanya.

“Terima kasih ya, A. A’a udah jagain adek, selalu mau ngalah sama Sena.” selalu — sampai terbiasa.

Ia ingat, beberapa tahun lampau di bulan Agustus, hari ulang tahun mereka yang ke delapan. Sena dan Atra mendapat hadiah masing-masing sebuah sweater rajut yang dibuat oleh Ibu. Milik Atra berwarna biru muda sedangkan milik Sena berwarna merah muda. Namun, di luar dugaan, Sena yang memiliki sweater merah muda tampak tidak suka dengan warna tersebut, alih-alih menerima miliknya, Sena kecil berakhir dengan menangisi sweater biru muda milik Atra; menurut Sena, warna biru muda mirip seperti langit, Sena suka langit dan awan; ia ingin milik Atra, ia ingin bertukar.

Atra kecil yang sudah terlanjur jatuh hati dengan sweater biru muda miliknya memutuskan untuk mengalah, bertukar dengan Sena. — Sebenarnya kala itu, Atra bisa saja ikut merajuk untuk tidak memberikan sweater miliknya, tapi Atra cukup perasa, ia tidak tega jika harus membuat Sena bersedih, ditambah — ia tidak ingin membuat Ibu merasa bersalah akan penolakan yang diberikan sang adik. Sejak hari itu, Atra tidak bisa mempertahankan miliknya.

Juga, beberapa kalimat yang sejak dulu selalu diucapkan Ayah dan Ibu masih terngiang di kepala Atra, seperti: “Tolong bantu Ayah sama Ibu jaga adek ya, A.”, “Atra ngalah sama adek dulu ya”, “Atra harus jadi A’a yang baik.” hingga saat ini kalimat-kalimat itu masih tertanam jelas — sampai Atra tumbuh menjadi sosok yang baik untuk Sena dan sekitarnya; tapi tidak untuk dirinya sendiri.

“Maafin Ibu ya, Nak.”

“Ibu selalu nyusahin, A’a. Selalu minta A’a buat jaga adek, sampe Ibu lupa buat minta A’a jaga diri sendiri.” suara Ibu perlahan mengecil, belaian lembut masih terasa menyisir rambut Atra.

“Sekarang adeknya udah besar ya, A,” kalimat pernyataan yang terdengar seperti kalimat tanya tersebut menggantung, “Udah waktunya si adek jaga diri sendiri, gak melulu A’a yang harus jaga, gapapa, kan?”

Atra diam.

“Sekarang anak-anak Ibu harus bisa jaga diri sendiri, A’a juga harus bisa jaga diri A’a. Pilih apapun yang A’a suka, apapun yang A’a mau. Jangan pikirin orang lain ya, Nak.”

Tanpa terasa air mata Atra lolos, sudah selama ini ia menyimpan semua sendiri, ternyata harapan orang lain memang sangat melelahkan diri sendiri, ya?

“Kemarin adek cerita ke Ibu, katanya dia lagi kecewa sama dirinya sendiri karena buat A’a sedih.”

Cerita… bagian mana?

“Bener A’a putus sama pacar A’a karena adek?” Atra diam, ia tidak tahu sejauh mana Sena bercerita dengan Ibu.

“A’a? Jawab atuh.”

“Maaf, Bu.”

“Kenapa minta maaf? Adek udah cerita semuanya, A. Masalah perasaan kan gak ada yang bisa dipaksa. Kalo Marcel maunya sama A’a, berarti jodohnya sama A’a, bukan sama adek.”

Tunggu… Atra membalikan tubuhnya dengan cepat saat mendengar nama Marcel terucap; menjadi telentang hingga maniknya bertemu dengan milik Ibu.

“Ibu tau…?” tahu kalau sosok yang menjadi penyebab renggangnya hubungan kembar Atra dan Sena adalah Marcel.

“Tau dong, kan adek cerita semuanya.”

“Awalnya Ibu memang kaget, tapi kalau Ibu pikir pikir lagi, diumur seperti A’a sama Sena memang lagi masanya untuk cari pasangan.”

“Dari pengalaman ini A’a harus inget ya, gak semua hal bisa kita dapetin, apalagi urusan hati.”

“A’a juga gak harus terus ngalah sama Adek, kan Adeknya udah besar,” Atra bungkam — jadi… Sena sudah tidak marah? Tapi kenapa kembarannya belum juga menyapa?

“Coba A’a ajak lagi Adeknya ngobrol, dia kan suka gengsi.” ucap Ibu seperti dapat membaca pikiran Atra, tapi benar sih, Atra belum mencoba lagi.

“Makasih ya, Bu.”

“Sama-sama, Nak.” senyum Ibu selalu membuat Atra tenang, terbukti — rasa gundah dan resah yang beberapa hari ini menghantuinya perlahan hilang.

“Oh iya, A. Kalo A’a balikan sama Marcel. Tolong tanyain atuh beli sate yang waktu itu dikirim ke rumah tempatnya dimana? Enak banget, Ibu suka.”

Oh… Marcel ya… Atra tidak tahu bagaimana keadaan Marcel sekarang, mungkin laki-laki itu sudah membencinya.

“Iya, Bu. Nanti A’a coba tanya ya.” — tapi, Atra masih ingin mencoba; sekali lagi.