write.as

075


Terakhir gue ketemu secara langsung dengan Adam, adalah sepuluh tahun silam, ketika kita berdua udah lulus SMA, dan baru aja keluar dari hotel di mana SMA kita ngadain Prom Night angkatan kita.

The night is blurred in my memory karena waktu yang udah lewat, tapi gue masih inget apa yang terjadi pada malam itu, yang memaksakan gue dan Adam harus meninggalkan acaranya lebih cepet dari teman-teman kita.

Gue dikabarin sama prom date gue kalo dia kena food poisoning, maka, ngga bisa dateng. Adam juga telah di-ghosting dengan prom date, membuat dia harus dateng tanpa pasangan juga.

Obviously, karena kita berdua ngehargai panitia dan sekolah, gue dan Adam ngga langsung kabur ketika kita berdua saling bertatapan di pintu masuk, melihat kalau kita sama-sama dateng sendirian. Him and I stayed until Prom King and Queen were announced, which wasn't too long after it started, tapi waktu udah diumumin, Adam langsung menatap gue dan mengangguk kepalanya ke arah pintu keluar, dan gue ngikut dia keluar. Gue ngga lupa buat kasih tau teman-teman gue kalo mau pergi duluan, tapi kayaknya mereka ngga nyadar, as they were busy with their dates.

Adam and I, saking deketnya, kita berdua ngga perlu berbicara apa-apa, dan bisa menghabiskan banyak waktu bersamaan tanpa ada yang ngomong sama sekali. The both of us climbed into his car, dan Adam mulai nyetir, entah ke mana, yang mengisi suasana yang hening di antara kita hanyalah lagu yang main melalui speaker.

Gue kayaknya sempet tertawa ketika gue ngeliat di mana dia bawa kita.

“McDonald's? Really?”

“Laper,” jawabnya dengan singkat, a deep chuckle following. Ia keluarkan dompet, terus melirik gue, “Biasa?” Gue hanya ngangguk.

I wonder if he still remembers my go-to order.

Gue inget kita ngomongin how pathetic we might've looked, karena dateng sendirian, mostly gue sih yang ngomong begitu. I looked forward to my prom date karena dia adalah teman yang gue ketemu pas lomba pidato, dari sekolah lain. Adam didn't say much about his own date, but he didn't look too disappointed that she didn't make it.

I hate myself for forgetting what we talked about that night. Gue ngga nyangka kalo malam tersebut jadi malam terakhir gue bersama dia.

Until now, at least.

“Mbak Stella.” Gue mendongak, melihat Aaliyah berdiri di depan gue.

“Mau ke situ sekarang?” tanya gue, dan ia mengangguk. Gue ngumpulin berkas yang diperlukan sebelum gue ngikut mereka ke IT department.

“Kalian kenal sama tim IT?” tanya gue, berusaha buat mencair suasana yang agak tegang (on my part, to be honest).

“Erland yang lebih sering ke situ kalo longgar,” ujar Secelia, laki-laki yang ia omongkan mengangguk setuju. “Tapi, kalo Mbak Stella udah ketemu sama mereka? Terutama, chief officernya?”

“P-Pak Susilo, maksud kamu?” I had to internally smack myself for stuttering. Cece ngangguk iya, dan gue jawab, “Secara langsung udah beberapa kali, tapi ngga lama—most of our interaction is virtual.”

“Aku denger kalo kebanyakan calon intern mereka, karena mau ketemuan sama dia,” ujar Cece, membuat Aaliyah mengangguk setuju dengan perkataannya. “Beliau ada beberapa kali jadi speaker di universitas di Belanda, so a lot of them found out about the program karena Pak Susilo emang promosiin di situ juga.”

“Kalian udah pernah ngobrol sama beliau?”

“Jarang, sih.” Sekarang Erland yang bersuara. “We've mostly heard about him through his employees, tapi katanya baik orangnya, keeps to himself most of the times.”

“Tapi, aku denger beliau pelihara kucing item yang sering dibawa ke kantor, cuma, ya, stay di ruangannya aja.” Gue hanya mengangguk, terkekeh sedikit. Akhirnya dia pelihara kucing juga ternyata, after years and years of begging his mom to have a cat, sekarang baru dibolehin.

Conversation was cut short ketika kita berempat udah sampe di lantai tujuh, di mana departemen Adam berada. Sambil menuju ke ruang rapatnya, gue melirik ke sana kemari, sedikit was-wasan dengan di mana Adam sedang berada. I'm honestly afraid he'll suddenly appear beside me, and I would react negatively in front of my staff.

Thankfully, we arrived at the meeting room, namun, tim dari IT departemennya udah terkumpul di situ juga. Everyone, including Adam.

Someone please take me away.

“Stella.” Adam mengulurkan tangannya ke arah gue.

With clenched teeth, I smiled stiffly, returning his handshake, dan berujar, “Pak.” A look of disappointment seemed to pass his eyes, but he didn't press on.

Setelah semuanya udah duduk, Adam beranjak ke depan, mulai dengan pembukaannya untuk rapat kali ini. I tuned most of it out, the lingering warmth against my palm too distracting for me to focus on whatever words he was speaking. The handshake. Pertama kali setelah sepuluh tahun gue menyentuhnya. Sentuhan tersebut rasanya seperti sebuah konfirmasi—a confirmation that he is real, and I am not making up his reappearance into my life now.

Gue berpikir gue bakal kuat sebelum gue bertemu dengannya, kalo gue bisa melalui rapat ini tanpa ngerasa overwhelmed karena Adam really came back.

I can't say the same now as I stare at the palm that he just touched, everything around me seemed to blur to nothing and I was left alone in a dark room.

“Stella?” Sebuah tepukan di bahu gue membuat gue ketarik keluar dari pikiran. Gue menoleh ke sebelah gue, Lia melihat gue dengan tatapan sedikit khawatir, sebelum mata gue melihat ke depan, Adam menatap gue juga.

“Oh, I'm so sorry,” gue minta maaf, menunduk sedikit.

“You can give your presentation,” ujar Adam, dan gue mengangguk, beranjak dan memberi tahu kepada operator soal file yang gue udah kirim.

“Good morning everyone, I'm the new Employee Relations Manager, Auristella Vany, however, please call me Stella,” mulai gue, sebelum lanjut ke pembahasan pada presentasi gue. “I've collected the results regarding the candidates that will make the shortlist from my team's perspective, and we can discuss further about it later. The other thing for our discussion today will be about the workshop trainings, and seminars—however, all seminars that revolve around the topic of work ethics, GenTech's code of conduct will be taken over by the HR Department.”

Gue pencet tombol pada pointer gue, untuk lanjut ke slide berikut dan melirik sekilas ke arah Adam. Ada yang aneh darinya. Sambil gue jelasin semua hasil interview yang udah dirangkumin oleh tim gue, sekali-kali gue ngelirik ke Adam untuk memastikan dia mendenger tapi yang ganjil darinya hampir membuat gue terkekeh.

Nih orang kagak keliatan anjir. Dari tadi gue ngeliat dia menyipit matanya berkali-kali. Granted, he's seated at the end of the meeting table, which unfortunately, is the farthest seat from where I stand right now.

Bukan Adam kalo dia ngga lupa kacamatanya, gue sempat berpikir.

“Ori, gue boleh liat catatan lo, ngga? Yang kelas Miss Murni,” Adam minta, ngehampirin meja gue setelah bel istirahat pertama udah bunyi.

“Lo lupa kacamata, ya?” Ia hanya terkekeh seperti ngga bersalah. “Pantesan pas berangkat tadi pagi, lo ngga make kacamata.”

“Bukan lupa...”

“Patah?” Gue hampir teriak, membuat beberapa dari temen sekelas menoleh ke arah kita.

“Gue ngga sengaja...”

“Lo dudukin!?” Ketika pipinya memerah, tangan gue langsung menepuk kepalanya, “Kasian Tante Edna, udah berapa kali, sih, lo dudukin kacamata sendiri dalam bulan ini?”

“Cuma tiga.”

“That's three too many, Adam!”

I wonder why he isn't wearing it this time. Did he forget them, or did he break them?

“Thank you everyone for gathering today, the next meeting will be arranged through internal discussion.”

Semua siap-siap buat keluar dari ruang rapatnya, gue sengaja menghabiskan waktu lama agar keluar belakangan, staf gue diizinkan untuk beristirahat duluan.

Ketika tersisa hanya gue, Adam dan sekretarisnya, gue beranjak jalan ke arah pintu keluar. Sebelum gue meninggalkan ruang rapat, gue letak laporan yang gue udah susun tentang apa yang gue barusan mempresentasikan di depan Adam, membuatnya mendongak kaget ke arah gue. “You should keep spare glasses, you look like an idiot trying to play it off.”

Tanpa menunggu balesannya, gue berjalan keluar, namun, berhenti karena Adam yang tiba-tiba menggenggam pergelangan tangan gue.

Gue tahu dia ingin mengajak gue untuk bahas whatever it is he wants to say, tapi jujur, saat gue menjabat tangannya, gue tahu kalo gue belum siap untuk mendengarkannya. I'm still processing the fact that he is really here, dan untuk mendengarkan penjelasannya, I'm just not ready.

Gue menatap tangannya di pergelangan tangan gue, sebelum melotot dia, no words leaving my lips, tapi dia ngerti maksud gue, dan dengan pelan, Adam melepaskan tangan gue, membiarkan gue untuk berjalan keluar tanpa melihat ke belakang.

You said you'll wait. You owe me that for leaving me alone for ten years.