write.as

THE STORY OF US

> So many things that I wish you knew, so many walls up I can't break through. Musik dengan suara kencang yang memenuhi ruang kamar berhasil menjadi distraksi perasaan gundah yang Atra rasakan sejak siang hari tadi, bukan tanpa sebab; tetapi Atra berusaha keras untuk menyangkal bahwa sosok itu adalah penyebab utama timbulnya rasa gundah yang mengganggunya. "SENA PULAAAAANG!" samar tapi suara itu berhasil ditangkap oleh indera pendengaran Atra, membuatnya mengecilkan *volume* musik pada pengeras suara. Jam yang menempel pada dinding kamarnya sudah menunjukan pukul sepuluh lewat lima belas, dan adiknya baru pulang; dengan cepat Atra membuka pintu kamar untuk memastikan jika sang adik (atau kembarannya) pulang dengan selamat. "Lu darimana aja Seen!? Kok gua telf... Oh." ucapannya terhenti, Atra mematung di depan pintu kamarnya saat mendapati Sena pulang tidak sendiri melainkan bersama Marcel - yang tampaknya tengah membantu Sena membawa barang, terlihat dari kardus berukuran sedang di dalam pelukan Marcel, entah isinya apa. Juan Marcel 'brengsek', sengaja Atra tambahkan nama belakang karena sangat sesuai dengan paras laki-laki itu, ya, nama tersebut sudah resmi sejak beberapa menit lalu saat kepalanya dipenuhi tentang kenapa *si brengsek* melakukan mogok bicara dan tidak membalas pesan singkatnya. Tanpa sadar buku buku jemari Atra memerah pucat karena menggengam knop pintu cukup kencang untuk menahan diri agar tidak menghampiri *si brengsek* yang mungkin akan berakhir dengan jambakan atau *ciuman rindu* (coret), bercanda, yang terakhir itu tidak mungkin karena ada Sena. "TRAAAA." "Hah apaan?" "Lo kenapa diem gituuu? Gue tuh abis beli kado buat Lia, ditemenin sama Marceeeeel" senyum Sena mengembang saat menyebut kata Marcel, kemudian dengan centil melingkarkan tangannya pada bisep Marcel (yang masih mengangkat kardus), sungguh, kembarannya memang semakin terang-terangan menunjukan rasa suka pada Marcel, bahkan di depan orangnya langsung Sena tidak mengenal kata jaim seperti perempuan kebanyakan. "Lo tidur aja gih, gue udah pulang dengan selamat." Atra melirik Sena dan Marcel secara bergantian - berjarak sekitar tiga meter dirinya dan Marcel berdiri, ia bisa melihat *si brengsek* melempar senyum pada Sena dan sepertinya dia sangat berlapang dada membantu kembarannya. "Terserah lu lah." suaranya kecil tapi bisa di dengar oleh Sena maupun Marcel, membuat keduanya melongo terdiam - jawaban itu bukan seperti 'Atra' apalaginya setelahnya pintu kamar tertutup dengan dobrakan kecil. Sena yang tahu betapa protektifnya Atra terhadap dirinya apalagi menyangkut Marcel benar-benar terheran, fakta bahwa ia dan Marcel akan berduaan dan tidak membuat Atra mencak-mencak sangatlah aneh, terlalu *chill* membuat Sena khawatir, *apa yang sedang mengganggu pikiran Atra?* "TRAAA, LO GAPAPA????" Sena mengetuk pintu kamar Atra yang sudah terkunci, tidak ada jawaban karena setelah itu suara musik kembali mengalun keras dari dalam sana. "Sen, ini kardus mau di bawah kemana?" --- > You held your pride like you should've held me, I'm scared of the ending, why are we pretending this is nothing? Mata Atra berusaha terpejam setelah kepalanya dipenuhi kemungkinan yang terjadi ketika memutuskan untuk meninggalkan Marcel dan Sena berdua, ia ingin peduli seperti yang biasa ia lakukan pada Sena, bagaimanapun Marcel memang brengsek, ia khawatir Sena akan semakin terbuai dengan si brengsek tetapi entah mengapa ada perasaan tidak suka melihat keduanya bersama, begitu dekat melempar senyum, jika Atra memutuskan berada di tengah keduanya, ia tidak tahu apa yang akan terjadi kedepan. Serius, Atra tidak suka perasaan yang ia rasakan sekarang, terlalu abstrak. Hampir terlelap sedetik sebelum terdengar ketukan kencang dari luar secara bertubi mengusik pendengan Atra, kebiasaan yang selalu Sena lakukan saat sedang membutuhkannya. "Kenapa Seeeen... ANJRIT LU NGAPAIN DISINI?!" suaranya memekik tertahan saat melihat sosok yang berdiri di depan pintu; di depannya Marcel tengah berdiri tanpa ekspresi - hanya datar. "Masuk." dengan tergesa ia menarik lengan 'si brengsek' setelah memastikan Sena tidak melihat aksi tersebut. Setelah pintu tertutup rapat, suasana kamar Atra terasa menjadi senyap, walaupun sayup sayup terdengar suara musik; amat sangat kecil, mungkin volumenya hanya satu sampai dua bar saja. Marcel dan Atra berdiri saling berhadapan, rasanya *deja vu*, suasana saat ini sama persis seperti pertama kali keduanya saling berhadapan di kamar jelek yang terletak di bengkel Alief - hari dimana keduanya berbicara empat mata (tanpa adu jotos), melainkan berakhir dengan ciuman panas di atas kasur reyot, juga, hari dimana Atra bersumpah akan membuat Marcel merasakan karmanya. Atra mulai ragu, apakah keinginannya terlalu naif? Membuat Marcel jatuh cinta saja sudah merupakan tujuan bodoh yang mustahil terjadi, sekarang Atra harus terjebak bersama Marcel sejauh ini, entah apa yang sedang terjadi di antara dirinya dan 'si brengsek' tapi ia sadar mungkin Marcel juga sadar, kalau hubungan mereka sudah tidak bisa dikatakan sebagai rival, dan jauh untuk disebut sebagai teman. Pelukan Marcel membuyarkan lamunan Atra, tubuhnya mematung dalam dekap laki-laki yang hampir seharian ini memenuhi pikirannya. "Maaf." satu kata cukup terdengar jelas di telinga Atra. "Maaf gua gak bales chat lu, gua kesel." dekapan Marcel pada tubuh Atra semakin erat, yang dipeluk tentu saja terheran, kesal kenapa? "Cel sebentar, lepas dulu." "Jangan, tunggu sebentar, gua mau peluk lu dulu biar keselnya ilang, lima menit aja, Tra." suara Marcel terdengar parau membuat Atra mengerutkan kening dan berakhir pasrah menunggu lima menit (yang sebenarnya tidak sampai lima menit karena Atra kepanasan dipeluk terlalu lama). "Lu kenapa?" runtuh sudah keinginan Atra untuk 'mendiamkan Marcel' karena melihat wajah kusut laki-laki di hadapannya, ia jadi tidak tega. Banyak kemungkinan sumber penyebab raut wajah kusut Marcel, mungkin karena festival musik, Atra dengar Marcel bertemu dengan angkatan atas, mungkin juga karena menemani Sena belanja, harus Atra akui kalau butuh kesabaran ekstra menemani kembarannya belanja, entahlah banyak kemungkinan - tapi ada satu kemungkinan yang Atra tepis jauh. "Gua cemburu. Gua kesel." *itu dia, kemungkinan kalau Marcel sedang cemburu.* seperti spekulasi Harvi, Atra memikirkan percakapannya dengan Harvi tadi sore tentang penyebab sikap acuh Marcel yang mungkin cemburu karena cuitan Rayang, tapi ia tidak mau terlalu percaya diri jadi sengaja ia tepis, sekarang siapa sangka kalau Marcel bicara langsung kalau sedang cemburu. "Tapi keselnya udah ilang." Marcel menghembuskan napas. "Kenapa bisa ilang?" "Karena udah liat elu." Marcel mengucapkan kalimat itu dengan wajah serius, terlalu serius untuk dikatakan gombal, membuat Atra salah tingkat, KENAPA JUJUR BANGET? "Terus kalo cemburunya?" Atra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tanpa ia sadari kedua telinganya sudah memerah padam. "Cemburunya masih ada." Atra bungkam. Bagaimana bisa kalimat seperti itu membuat perutnya tergelitik, ditambah sosok yang mengucapkannya adalah Marcel, laki-laki bermulut manis, mungkin saja 'kan dia mengucapkan kata-kata yang sama pada setiap perempuan atau laki-laki di luar sana? "Cemburu sama Harvi?" yang ditanya mengangguk tanpa keraguan, dasar Rayang babi, kenapa juga foto bertahun tahun lalu masih disimpan. Tentang foto Atra dan Harvi yang terlihat seperti sedang berciuman tiba-tiba menjadi bahan obrolan di media sosial teman kampusnya, Atra sendiri membenarkan eksistensi foto tersebut, tapi ia tidak membenarkan bagian ciumannya, karena dirinya dan Harvi tidak sedang bercium saat foto itu diambil. Foto itu diambil saat beberapa kawan angkatan sedang berkumpul, mereka semua melakukan permainan gaple dengan dua peringkat di bawah mendapat hukuman melakukan pocky kiss, tahu kan permainan mengigit pocky sampai kecil, benar, dari situ foto tersebut tercipta. "Oh, jadi lu sama Harvi gak pernah ada hubungan apa apa?" Atra mengangguk cepat, meyakinkan laki-laki di hadapannya. "Terus kenapa Harvi jemput lu pagi pagi? Malemnya gua nawarin buat jemput lu tolak." oh, tentang itu. Bagimana menjelaskannya ke Marcel kalau ia membutuhkan Harvi untuk menyembunyikan bekas merah pada lehernya. "Itu... gua minta tolong sesuatu." "Minta tolong apa?" Marcel bertanya penuh selidik, keningnya berkerut. "Ada pokoknya sesuatu." "Iya sesuatu apa? Kenapa gak minta tolong sama gua." Kesal karena otaknya tidak bisa memikirkan kata-kata yang pas, Atra menarik leher jaketnya sehingga memperlihatkan bekas kemerahan yang berwarna kontras pada kulit lehernya. "ANJINGGGG. Ini, nih gua minta tolong Harvi buat nutupin cupang dari lu, Juan Marceeeeeel." disana terlihat jelas bekas merah yang hampir berubah menjadi keunguan, Marcel sadar betul tanda itu miliknya, fakta lain kalau saat ini Atra sedang memakai jaket milik Marcel yang terlihat sedikit kebesaran ditubuh si manis membuat rasa cemburu dan kesal yang ia rasakan sirna seketika. "Ohh." "Aduh." Pukulan cukup keras melayang ke bahu Marcel membuatnya meng-aduh kesakitan, bagaimana tidak, sekarang gantian Atra yang kesal melihat respon singkat setelah ia menjelaskan panjang lebar. "Jelek lu." tanpa sadar ia memanyunkan bibirnya, membuat Marcel yang melihat tingkahnya tidak tahan untuk menahan senyum. "Maaaaaaf. Kan gua gak tauu." sebuah usapan jatuh pada surai milik Atra, setelahnya tangan Marcel melingkar bebas pada pinggang si manis. "Maaf yaa." "Oke, tapi besok jemput gua ya?" "Siap bos!" "Jam setengah tujuh." "Iya, jam lima pagi juga gua jabanin." "Oke, traktir bubur juga." "Siap." Kecupan bertubi menghujanin wajah Atra, kening, pipi, dagu, hidung, semua bagian tidak luput dari aksi Marcel. Atra sudah tidak ragu, sepertinya ia tidak naif? Membuat Marcel jatuh cinta bukan merupakan tujuan bodoh dan mustahil, sekarang Atra hanya perlu bertahan bersama Marcel, sampai waktu yang pas untuk membuat laki-laki dihadapannya hancur tiba; entah kapan.